gil Profile picture
Oct 21 107 tweets 19 min read
MULIH - (Bagian 2)

"Sosok yang menyerupai Bapak itu, terus saja datang, membuatku hampir gila dibuatnya".~ Sukirman

@bacahorror_id @IDN_Horor @ceritaht @menghorror #bacahorror #idnhorror #ceritaht #menghorror Image
Kembali lagi bersama Sukirman di cerita "MULIH", kisah ini sudah tamat di karyakarsa, buat yang pengen buru-buru baca, bisa langsung saja mampir :))

Bagian ke 2 - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…

Bagian 3 - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…

Bagian 4 (Tamat) - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Untuk bagian 1, sudah UP ya ditwitter, bisa baca dulu disini buat teman-teman yang belum baca biar nyambung, kalau sudah, Mari kita simak bertahap ya :)) -
MULIH (Bagian 2)

“Hari ke 9, sepeninggal Bapak”.
Adzan isya baru saja selesai berkumandang, aku tengah duduk diruang tamu bersama ibu yang tengah menjahit. Seraya menyesap rokok, pikiranku masih saja tentang obrolan pagi tadi bersama Pakde dan Paman, perihal keris itu.
“Ngerokok’e kui dilongi, durung nyambut gawe kok ngrokok’e banter!!”.

(Ngerokoknya itu dikurangi, belum kerja kok ngrokoknya banter!!). Kata ibu tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

“Yo rapopo to buk, sing penting ning omah, timbang umpet-umpetan!! Hehehe”.
--
--(Ya ndak papa to buk, yang penting kan dirumah, ngrokoknya, gak sembunyi-sembunyi!! Hehehe). Jawabku sambil bercanda.

“Woo.. Cah tambeng, kui obate diombe disik, ben mengko turune kepenak”.--
--(Wooo.. Anak nakal, itu obatnya diminum dulu, biar nanti tidurnya enak). Jwb ibu sambil menunjuk obat di meja yg tadi baru saja ia beli.

Aku pun meminum obat itu & kini rebahan di kursi, sekedar untuk menemani ibu sembari membaca majalah2 lama yg ku ambil dari rak meja.
Menit pun berganti jam, efek obat yang aku minum membuatku merasakan kantuk, ku singkap majalahku sebentar untuk melihat ibu yang masih belum selesai menjahit, inginku masuk ke kamar dan tidur tapi rasanya tak tega meninggalkan ibu sendiri di ruangan ini.
“Aku tak ngliyep sik yo buk, mengko nek ibuk wes rampung, aku di gugah”.

(Aku merem sebentar ya buk, nanti kalau ibu sudah selesai, tolong aku di bangunkan). Ucapku sambil menutup wajahku dengan majalah yang ku baca.
Ibu sempat menyuruhku untuk masuk saja kalau memang aku sudah mengantuk, tapi rasanya terlalu malas badan ini kalau harus beranjak sekarang. Aku pun tak terasa terlelap.
Dan entah berapa lama mata ini terpejam tiba-tiba terdengar suara batuk yang membangunkanku. “Uhuk..uhuk..uhuk”. Terdengar suara batuk, Aku agak sedikit terkejut, dengan sayu aku buka majalah yang menutup mukaku ini. Dan apa yang kulihat?. Image
Bapak!! Ya!! Benar Bapak, kini duduk di kursi dimana tadi ibu berada. Sempat sejenak aku mencermati, memastikan ini bukanlah ilusi, dan sepertinya memang benar, wujud Bapak kini ada di hadapanku.
Semua tampak jelas, karena cahaya lampu diruangan itu cukup terang, sontak ku palingkan pandanganku ke arah lain, meski nyatanya ekor mataku tetap bisa melihat bayangnya.

Aku ingin sekali bangkit dari tempat itu dan berlari, tapi tubuhku seperti dikunci, tak bisa bergerak.
“Uhuk.. Uhuk.. Uhuk!!”. Suara batuk itu terdengar lagi. Sangat mirip dengan batuknya bapak dulu.
Dan saat aku mencoba berdoa, ayat kursi yang terlantun di pertengahan. Tiba-tiba bapak memanggilku.

“Sukir!!!!!! Kir... Sukir.. Anak Lanangku!!”.--
--
(Sukir!!! Kir... Sukir.. Anak lelakiku!!!). Kata sosok yang menyerupai bapak itu.

Panggilan itu seketika membuatku berhenti berdoa, terkejut dan seperti tersedak ludah sendiri. Aku terbatuk hingga jatuh dari kursi dengan mataku yang masih sengaja aku pejamkan.
Panggilan itu seketika membuatku berhenti berdoa, terkejut dan seperti tersedak ludah sendiri. Aku terbatuk hingga jatuh dari kursi dengan mataku yang masih sengaja aku pejamkan.

“Sukir....kir... Sukir!!!”. Panggilan itu kembali terdengar.
Disini aku yang sudah tak kuat, mulai berteriak minta ampun.

“Ampunnnn Pakkkkk!!!! Karepmu pie pak!!!!”.

(Ampun Pak!!! Maumu bagaimana Pak). Teriakku sambil menangis dan menganggap bahwa sosok itu benar-benar adalah Bapak.
Tampaknya teriakanku ini didengar oleh ibu, yang segera datang menghampiriku, yang ternyata baru saja dari kamar mandi.

“Nyebut kir!!!! Nyebut!!!”. Kata ibuku yang melihatku tertelungkup di lantai ketakutan.

“Ono opo kir!!! Ono opoooo!!”.

(Ada apa Kir!! Ada apa!!).--
--Ucap ibuku lagi sambil meraih dan memapah tubuhku untuk bangkit.

Tak henti-hentinya aku menunjuk ke arah kursi itu, kursi dimana sosok yang menyerupai Bapak tadi duduk dan memanggil-manggil namaku.
“Bapak..buk.. Bapak!!!”. Ucapku menangis dipeluknya.
Ibu memapahku menuju kamar. Memberikanku air putih dan menenangkanku.

“Iki digocek!! Kowe kudu wiridan”.

(Ini dipegang, kamu harus berdzikir). Ucap ibu sambil meraih tasbih yang berada di meja samping ranjangku.
“Kowe kudu kuat!! Kae ki dudu Bapak!! Kae jin!!”.

(kamu harus kuat!! Itu bukan bapak, itu hanyalah Jin). Kata ibuku lagi.
Ibu keluar dan kembali lagi kekamarku sambil membawa selimut.

Malam ini dia akan menemaniku tidur dikamarku.
Tanpa sepatah kata lagi, ibu pun mengunci pintu mematikan lampu dan merebah disampingku dengan aku yang masih merasa syok dan tak habis pikir dengan apa yang baru saja terjadi. “kenapa ini harus menimpaku!!”. Batinku sambil menyerongkan tubuhku ke arah ibu yang membelakangiku.
“Jam berapa ini?”. Batinku seraya bangkit dan mengamati jam di dinding kamarku yang ternyata menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Aku pun kembali merebah dan mencoba untuk memejamkan mataku. Tapi setelah apa yang aku alami tadi tentu tak semudah itu aku bisa tertidur.
Rasanya was-was, aku merasa seperti di awasi!!. Beda dengan ibu yang terlihat sudah pulas dan sedikit mendengkur.

Tetap kucoba memejamkan mata sambil berdzikir. Hingga beberapa saat kemudian. “jegleg..jegleg!!!!”. Engsel pintu kamarku bergerak, disusul dengan suara orang--
--yg memanggilku.

“Kir....!!!! Sukir!!!! Tok..tok..tok!!”. Itu adalah suara ibu yg memanggilku, suaranya terdengar panik & ketakutan.

Bersambung
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
“Kir...!!! Sukir!! Ibu bukak’i..!!!”.

(Kir..!! Sukir!!! Ibu bukain!!). Kata ibu tak begitu keras dari luar kamarku.
Seketika aku tersentak, tubuhku gemetar kebingungan. “Kalau di luar adalah ibu, lantas siapa yang berada disampingku ini?”. Batinku.
Disisi lain aku mendengar suara ibu memanggilku dari luar namun dalam bersamaan ada seseorang yang tadi aku yakini sebagai ibu, tidur disampingku dengan bertutup selimut.

“Kir!!! Sukir!!! Bukak’i.. Tok..tok..tok”. Ketuk suara ibu dari luar.
Ibu yang berada disampingku tak bergeming, masih saja tidur mendengkur disampingku. Mulai muncul keraguan dalam diriku. “Apakah ini benar-benar ibu!!”. Batinku.
Dengan sisa-sisa keberanian, aku coba untuk membangunkan ibu yang berada di sampingku. Ku tepuk tubuh itu.

“Bbbukk... Ibukkk”. Ucapku seraya tanganku menyentuh tubuhnya. Dan beberapa saat kemudian ibu pun menjawab tanpa memalingkan badannya.
“Opo to.. Kir.... Kir..hihihihi.”.
(Apa sih Kir.. Kir..hihihihihi). Ucapnya dengan suara “Bapak”.

Pikiranku seperti hilang sejenak, aku terperanjat mundur memepet tembok.

“Aaagstafirullahhhhh!!!”. Ucapku terbata gemetar.
Sosok ibu yang bersuara bapak itu kini menyingkap selimutnya, dengan perlahan wujudnya berubah, ia berdiri dan menoleh. Suasana memang gelap tapi aku cukup bisa melihat wujudnya.

“Kir... Sukir!!!!!”. Ucapnya.
Suara bapak!!! Tapi tidak dengan wujudnya yang hitam dan besar. Sosok itu kini berdiri didepanku dan terus memanggil-manggil namaku. Kini aku hanya bisa berteriak.

Sementara ibu yang sepertinya mendengar teriakkanku kini tampak semakin kencang menggedor pintu. Image
“Bukak Kir... Bukaaaa”. Teriak ibu dari luar kamar.

Aku yang ketakutan kini menutup mataku seraya terus menerus berteriak memanggil ibu. “Tulung bukkkk...tulung!!!”. Kataku meringkuk di sudut tembok.
Sempat terdengar ibu yang sepertinya ingin mendobrak pintu, Hingga perlahan pendengaranku mulai pengang, tak ada lagi yang bisa ku dengar selain suara bapak yang keluar dari sosok itu. Menggema di telinga dan kepalaku. Suasana yang gelap itu juga perlahan semakin menggelap,--
--gelap sampai benar-benar gelap. Aku pun tak sadarkan diri.

Entah berapa lama itu, yang jelas ketika aku kembali tersadar ,masih ditempat yang sama, ada ibu, Pakde karjo dan Lik Minto disitu. Langit sudah tak lagi gelap, sepertinya aku terbangun di keesokan harinya.
Wajah ibu yang pertama kali kulihat, matanya sembab seperti orang yang terlalu lama menangis.

“Alhamdulilah!!!”. Kata ibu yang saat itu terdengar ketika aku membuka mataku.
Lik Minto tampak menghela nafasnya, begitu juga dengan Pakde Karjo yang kini mendekatiku dan memegang tanganku.

“Piye iki apike ibune Sukir?”.
(Sebaiknya bagaimana ini ‘Ibunya Sukir’?). Ucap Pakde menoleh ke arah ibuku.
Ibu pun terdiam sejenak menghela nafasnya dan berkata.

“Aku saiki manut kang, manut Sukir wae gelem ora”.

(sekarang terserah Sukir saja kang). Jawab ibu dengan wajah Pasrah.

“Nek sekirone bakal mbebayani, rapopo Kang, ditompo wae”.

(Kalau sekiranya, akan membahayakan,--
--tidak apa Kang, diterima saja). Kata ibu lagi sambil mengelus kepalaku.

Aku yang baru saja sadar, tentu masih memproses pembicaraan itu, tanpa bisa aku jawab.

“Pie Kir, Ibumu wes ngijinke, saiki kowe gelem pora?, nek gelem sukur, tapi nek kowe pancen ra gelem,--
--ora popo, nanging kudu dilawan, Mengko aku melu ngrewangi, nanging totoane nyawane Pakde karo Paklikmu”.

(Bagaimana Kir? Ibumu sudah mengijinkan, sekarang kamu mau atau tidak?, kalau mau ya Syukur, tapi kalau tidak ya tak apa, akan tetapi harus kamu lawan,--
--nanti aku bantu, tapi ya itu, taruhannya nyawa Pakde dan Pamanmu ini). Kata Pakde dengan wajah pakemnya.

Mendengar itu aku langsung bangkit dan terduduk, “Apa apaan ini, bisa-bisanya aku terjebak dengan takdir yang seperti ini!!”. Batinku gundah.
Dan beberapa saat kemudian aku pun menjawab dengan satu kata, “Nggih!!”. ( ya ). Kataku seraya menganggukkan kepalaku.

Sebenarnya jauh dari dalam lubuk hatiku tak bisa menerima ini, namun bagaimana kini aku bisa menolaknya jika taruhannya adalah nyawa dari--
--Pakde dan Paman. “warisan macam apa ini!!!”. Gerutuku dalam hati.

Ibu juga sempat terkejut ketika mendengar semua ini bisa membahayakan nyawa seseorang.

“Opo bener koyo ngono?”.
(Apa benar seperti itu?). Tanya ibu kepada Pakde Karjo dan Lik Minto.
“Yo awak dewe kan pingine Sukir iso nompo iki tanpo syarat to Mbakyu.. Ora nganggo dipekso, nek iso milih, aku karo Mas Karjo saktenane yo ra pingin mekso Sukir, nanging kit awal ‘Deknen’ milih Sukir Mbak, koyo mbiyen milih Mas Parman!!”.
(ya kita ini inginnya Sukir bisa menerima ini semua dgn suka rela Mbakyu, tidak terpaksa, kalau bisa memilih, aku dan Mas Karjo sebenarnya ya tidak ingin memaksa Sukir, tapi dari awal “Dia” sudah memilih Sukir Mbak, seperti dulu dia memilih Mas Parman (Bapak) ). Kata Lik Minto.
“Mas Parman yo ngerti iki, deknen yo wes tau kondo karo aku, ra pingin Sukir nerimo mandat iki, wong pancen abot!!”.

(Mas Parman juga mengetahui ini, dia sudah pernah bicara denganku, tak ingin Sukir menerima mandat ini, karena memang berat!!). Kata Lik Minto lagi.
Setelah itu tak ada lagi perdebatan, yg ada hanyalah wajah-wajah pasrah. Sejenak suasana menjadi hening & ibu pun mengajak aku, Lik Minto & Pakde Karjo keluar dari kamar itu beberapa saat kemudian.

“Ayo dirembug ning njobo!!”.
(Ayo kita bicarakan diluar!!). Ucap Ibu.
Sambil terus mencerna fakta mengejutkan ini dalam benakku, aku bangkit memaksa tubuhku yang lemas ini berjalan keluar dan duduk diruang tamu bersama mereka. Suasana tampak canggung, tak ada yang mau memulai pembicaraan.
Pakde mengeluarkan Keris itu, masih dengan tampilan yang sama, terbalut kain putih. Setelah meletakkannya di atas meja Pakde kembali terdiam, seperti tengah merangkai kata untuk berbicara.
Setelah aku tunggu beberapa saat, aku yang mulai tak sabarpun kini berkata. “Terus pripun niki?”. (Terus bagaimana ini?). Tanyaku.

“Kowe ikhlas tenan to Kir?”.
(Kamu benar-benar ikhlas kan Kir?). Tanya Pakde.

Bersambung karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Pertanyaan ini sulit aku jawab, karena keraguan kuat yang masih bertahan dalam hatiku. Tapi mengingat aku tak bisa menolaknya lagi aku pun akhirnya berkata.

“Nggih Pakde.. Kulo ikhlas”.

(Ya Pakde, aku ikhlas). Jawabku terjeda beberapa saat.
“Kudu ikhlas tenan lho iki!!”.

(Harus benar-benar ikhlas lho ini). Tandas Pakde kembali.

“Saestu Pakde”.

(Benar Pakde). Jawabku mengangguk.

Sempat terdiam sejenak, Pakde pun kini membuka kain yang membalut keris itu, dan memberikan Kerisnya kepadaku.
“Aku ngerti kowe durung mantep Kir, nanging iki gowonen disik wae, karo ngulinakke, “tresno jalaran soko kulino” “.

(Aku tahu kamu belum yakin Kir, tapi ini bawa saja dulu, sambil membiasakan diri, “Cinta tumbuh karena terbiasa”). Kata Pakde yang setelah itu menyuruhku untuk-
-mengeluarkan keris itu dari rangkanya.

Ibu hanya terdiam pasrah, begitu juga dengan aku yang mau tak mau harus menerima ini. Hingga selang beberapa menit kemudian Pakde dan Paman berpamitan.
“Wes, Aku karo Minto tak mulih disik, sesuk nek wes wektune aku bakal mrene”.

(sudah, Aku dan Minto ijin pulang dahulu, besok kalau sudah waktunya aku akan kemari). Kata Pakde.
Tinggalah ibu dan aku diruang tamu itu, dengan wajah-wajah yang tampak bingung harus bagaimana. Setitik harap ada dalam pikiranku “Semoga tak ada lagi keganjilan yang aku alami setelah aku menerima ini”.
Pagi itu, aku pun mandi, sarapan dan setelah itu pergi keluar rumah untuk mendinginkan kepala ini. Satu-satunya tujuan yang terbesit saat aku keluar adalah “Naryo”, teman sebayaku yang untuk saat ini paling bisa kutemui.
Aku berjalan menuju ujung desa, dekat pematang sawah yang terdapat 2 buah kolam ikan, disitulah Naryo sehari-hari biasanya beraktifitas di kolam ikan lele miliknya.
Terlihat dari jauh, Naryo tengah melempar Pelet ke dalam kolamnya.

“Rene Kir!!”. (Sini Kir!!). Teriak Naryo dari jauh ketika melihat kedatanganku.

Aku pun duduk dikursi bambu di sebuah Gubung depan kolam itu. Naryo mendekat dan duduk disampingku.
“Piye Kir??, Lha ngono metu barang, ora ning omah wae!!”.

(Nah gitu dong keluar, jangan dirumah aja!!). Kata Naryo seraya menawariku sebatang rokok.

Pada awalnya tak banyak terjadi pembicaraan selain pertanyaan basa-basi yang terlontar dari mulut Naryo, begitu juga--
--denganku yang masih bingung. Aku disini seperti merasa bahwa Naryo masih canggung bertanya banyak kepadaku yang notabene masih dalam masa berkabung setelah meninggalnya Bapak.
Tapi mungkin karena ekspresiku yang tak wajar, membuat Naryo mulai membicarakan topik yang belakangan ini menjadi keresahanku. Ya tentang Bapak dan segala “Citranya” didesa ini.

“Kowe mesti oleh tinggalan akeh yo seko Bapakmu?”.

(Kamu Pasti mendapatkan peninggalan banyak--
--ya dari Bapakmu). Kata Naryo, sungguh pembuka obrolan yang cukup aneh.

“Tinggalan opo? Bondo opo opo?”.

(Peninggalan apa, Harta apa , apa?). Jawabku dengan sedikit tertawa.

“Cekelan Kir, Bapakmu kan ampuh, mesti cekelane akeh!! Hehehe”.
--
--(pegangan Kir, Bapakmu kan ampuh, pasti jimatnya banyak!! Hehehehe). Kata Naryo.

“Kowe ra kelingan po? Mbiyen maling sapi nggon Pak Kismo sing kecekel warga? Digebuki Warga ‘Mbeleng’ wae, mboso dislentik batuke karo Bapakmu langsung getihe kocor-kocor?”.--
--(Apa kamu tidak ingat? Dulu maling sapinya Pak Kismo yg tertangkap & digebukin warga tapi tidak apa-apa terus disentil jidatnya sama Bapakmu tiba2 langsung terkapar bersimbah darah?). Kata Naryo lagi.

“Oh, kui, Ho’o kui, aku kelingan”.
(Oh itu, iya itu aku ingat). Jawabku.
Tanpa henti Naryo terus “nerocos” tentang Bapakku, yang ia dengar sendiri dari kesaksian orang-orang, terutama orang didesa ini perihal kemampuan Bapakku, yang justru sebagian besar baru sekarang aku ketahui. Sebegitu banyaknya cerita tentang Bapak.
Pembicaraan itu berputar-putar cukup panjang dan sampai lagi ke pertanyaan awal dari Naryo, yaitu Apakah aku mendapatkan ‘Sesuatu’ dari Bapak?.

Disinilah giliran aku yang berbicara,
Aku awali dengan kata “Jangan bilang siapa-siapa”. Aku pun mulai menceritakan kejadian-kejadian itu dari awal hingga akhir beserta sebabnya dan perkembangannya sampai detik ini.

“Waduh”. Ungkapan Naryo setelah mendengar rangkuman kejadian itu.
Sayangnya pembicaraan itu pun sedikit terpotong oleh adzan dzuhur yang terdengar, tak terasa aku dan Naryo sudah mengobrol berjam-jam. Naryo yang waktu itu ada urusan dan harus kembali kerumah pun mengajakku pulang, kita berjalan sembari terus mengobrol--
--tentang hal itu sampai kita terpisah dipersimpangan desa.

“Dadi keris kui saiki wes digocek kowe?”.

(Jadi keris itu sekarang sudang dipegang kamu?). Tanya Naryo mengrenyitkan dahinya.

“Ho’o, saiki wes tak gowo aku, tapi aku kok durung mantep yo”.
--
--(Iya sekarang sudah di aku, tapi aku kok belum ‘mantap’ ya).Jawabku sambil mempercepat langkah, hingga sampailah kita di persimpangan desa dan usailah obrolanku dengan Naryo di hari itu.

“Sesuk moro blumbang meneh yo, critone dilanjut!!”.
(Besok datang ke kolam lagi ya!!--
--Ceritanya dilanjut!!). Ucap Naryo saat kita terpisah di persimpangan.

Sesampainya di rumah aku langsung makan siang, dan merebah dikamar setelahnya. Masih saja aku terjebak dalam renungan itu. “apakah memang harus aku ya”. Tanyaku dalam hati.
Tak lama kemudian ibu masuk ke kamar, membawa kotak kayu berwarna cokelat.

“Opo kui Buk?”.
(Apa itu ibu?). Tanyaku seraya bangkit dari rebahku.

“Iki nggon bapak, kowe koyone kudu ndelok”.

(Ini punya Bapak, kamu sepertinya harus melihatnya). Kata ibu sambil membuka kotak--
--itu dan memperlihatkannya padaku.

Sebuah kain bermotif batik di pinggirnya, ibu mengambil kain itu dan membentangkannya, bau wangi minyak melati menyerbak ketika kain itu terbentang.

“Opo iki buk?”.

(Apa ini bu?). Tanyaku lagi.
“iki koyone iket sirah sih, tapi iket iki sing mbiyen gawe mbuntel keris iku”.

(ini sepertinya ikat kepala sih,, tapi kain inilah yg dulu digunakan untuk membungkus keris itu). Jawab ibuku yang kini tampak mencoba mendukungku dalam hal ini.

Bersambung
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
“Ohhh”. Jawabku seraya menganggukkan kepalaku. Dan ibu pun mulai bercerita.

“Ibu raiso nampik yen bapakmu kui mbiyen ndue kaluwihan, senajan pertamane ibu ora mirno, nanging ibu ngerti yen kaluwihan bapak mbiyen iso mbantu uwong akeh”.
(Ibu tidak bisa menampik jika Bapakmu dulu itu memang memiliki kelebihan, walaupun awalnya ibu tidak begitu suka, tapi ibu tahu betul jika kelebihan itu sudah membantu banyak orang). Kata ibu sejenak mengambil nafas dan kembali meneruskan ceritanya.
“Salah sijine Gombal iki, ho’o gombal iki, mbiyen ibu nyekseni ono wong wedok karo keluargane moro ning omah tengah wengi, wetenge gedhi bangeti, mlembung koyo wong meteng, jarene sih disantet, terus karo bapak diusap-usap nganggo gombal iki, ora ono menitan, wetenge langsung--
--kempes, mari, sehat banjur bali”.

(Salah satunya kain ini,, ya!! Kain ini, dulu ibu pernah menyaksikan, ada wanita yang datang kerumah tengah malam bersama keluarganya, perutnya besar sekali, melembung seperti orang hamil, terus perutnya diusap-usap oleh bapak dengan--
--kain ini, dan tanpa menunggu menit, perutnya langsung kempis, sembuh dan pulang). Kata ibu sambil mengambil kain itu dari genggamanku.

“Mbiyen keluargane ameh menehi duit sak kresek, ibu weruh tenan kui duite, jarene kanggo roso maturnuwune soale wis tetombo nangdi-nangdi--
--ora tau mari, nanging bapakmu malah nolak karo ngomong “Kulo niku pegawe negeri, duite kulo pun kathah”. Padahal mbiyen yo kahanane isih pas-pasan”.

(dulu keluarganya ingin memberi uang sekantong kresek katanya untuk wujud terimakasihnya karena memang sudah berobat kesana-
-kemari dan tidak sembuh-sembuh, tapi bapakmu malah nolak dan berkata. “saya ini pegawai negeri, uang saya sudah banyak”. Begitu kata bapak, padahal dulu keadaan kita masih pas-pasan). Kata ibu meneruskan ceritanya.
Ibu pun kembali bercerita banyak hal-hal menakjubkan yang dilakukan oleh bapak dahulu, yang lucunya baru aku ketahui sekarang, karena memang kata ibu, bapak ingin aku tak begitu bersentuhan dengan hal-hal seperti itu. Ibu terlihat bersemangat menceritakan itu,--
--menjadikan obrolan ini cukup panjang, tidak hanya membahas klenik saja karena justru bagian panjangnya diisi oleh cerita-cerita nostalgia antara bapak dan ibu.

Kita mengobrol hingga menjelang sore, sampai obrolan kita terhenti oleh suara ketukan dari pintu depan rumah.
“Tok..tok..tok!! Kulonuwun”. Suara seorang pria yang terdengar dari depan rumah.

Ibu segera beranjak keluar dari kamar dan hendak membukakan pintu, diikuti oleh aku yang agaknya penasaran dengan siapa tamu yang datang.
Tapi saat aku masih berada di kejauhan mendadak suasana diluar menjadi riuh, seperti rombongan orang. Ibu yang membuka pintu dan menyapa langsung ditanya oleh seorang pria paruh baya yang terlihat agak panik.

“Pak Parman wonten buk?”.

(Pak Parman ada buk?). Ucap pria itu.
“eh..eh.. Mas Parman niku sampun seda mas, kinten-kinten 10 dinten punan, wonten nopo njih?”.

(Eh..eh, Mas Parman itu sudah meninggal mas, kira-kira 10 hari yang lalu, ada keperluan apa ya?). Jawab ibu dengan lembut dan lirih.
“Hah!!!! Saestu bu, ampun guyon to, niki kulo sek betah sanget, lare kulo nembe kesurupan niki”.

(Hah!!! Yang benar saja bu, jangan bercanda, ini saya sedang butuh sekali, anak saya sedang kesurupan ini). Jawab pria itu sambil mengeluarkan kertas dari kantong celananya.
“Lha!! Saestu Mas!!! Mas Parman pun seda, niko nek mboten ngandel, genderone mawon dereng mudun!!”.

(Lha!! Beneran Mas!! Mas Parman itu sudah meninggal, itu kalau tidak percaya, benderanya saja belum diturunkan!!). Kata ibu dengan nada tinggi sambil--
--menujuk bendera kuning yg masih berdiri di dekat pagar depan rumah.

“Mboten bu!!, Pak Parman, 3 dinten kepungkur ting nggriyo kulo nambani anak kulo sing kesurupan”.

(Tidak Bu!! Pak Parman 3 hari yang lalu kerumah saya, ngobatin anak saya yang kesurupan). Ucap pria itu--
--sambil memberikan kertas yang dikeluarkannya & memperlihatkannya kepada ibu.

Aku yang menengok dari belakang, melihat ibu gemetar ketika membaca kertas itu.

“Kapan niki?”.
(Kapan ini?). Ucap ibu kepada pria itu mempertanyakan kapan kertas ini diberikan.
“3 dinten kepungkur bu!!”.

(3 hari yang lalu bu!!). Jawab Pria itu.

“Ndak mungkin Mas, ndak mungkin!!, Mas Parman niku sampun seda 10 dinten kepungkur!!”.

(Tidak mungkin Mas!!! Tidak mungkin!! Mas Parman itu sudah meninggal 10 hari yang lalu). Kata ibuku yg terdengar panik.
Aku yg merebut kertas itu dari ibu & membacanya, samar-samar mengingat apa yang tertulis disitu.

Disitu tertulis dgn tulisan latin miring yg seingatku terbaca.

-Cengkeh telung iji (cengkeh 3 biji).

-Godhong Sirsat mujur ngulon (daun sirsak menghadap barat).--
--
-Cengkir Gadhing (kelapa gadhing muda).

Dan beberapa baris lagi yang tak kuingat jelas, kata ibu itu adalah resep jamu yg biasanya diberikan oleh bapak kepada orang2 yg meminta tolong dengannya, biasanya memang suka ditulis oleh bapak diatas kertas agar orang tidak mudah--
--lupa. Dan fakta yang cukup mengejutkan disini, ibu hafal betul bentuk lekuk tulisan bapak!!.

Diantara perdebatan antara ibu & pria itu, muncul seorang wanita dari belakang, yg tampak tengah diseret oleh beberapa orang. Wanita itu meronta dan berkata.

“Wegah!wegah!wegah!".--
--(Tidak mau!!tidak mau!!tidak mau!!). Teriaknya.

“Ono opo to Mbakyu!!”.

(Ada apa sih Mbakyu!!). Tanya Pak Sumantri salah satu tetangga yg datang karena mendengar keributan ini.

Sambil memegang kepalanya, ibu pun mulai menjelaskan, dgn nada marah yg bercampur kebingungan.
Hingga perdebatan kecil terjadi lagi, & disela-sela itu, wanita yang sedari tadi meronta2, entah bagaimana kini menjadi beringas & mengamuk, ia terlepas dari genggaman orang2 tadi dan kini merangkak2 di halaman rumah. Tingkahnya sangat aneh.
Di tengah keramaian itu, si Wanita tiba-tiba mendekat ke arahku, memandangku dengan tatapan tajam sambil mendesis mengucapkan kata-kata yang membisik tak jelas.

Sontak aku yang agak takut pun sedikit melangkah mundur, namun wanita itu justru seperti merangkak mengikutiku.--
--& dengan tiba-tiba melompat ke arahku. Aku yg tak siap, tidak sempat menghindar. Dengan refleks seadanya aku hanya meregangkan jariku sebagai respon perlindungan diri.

& entah bagaimana, aku tak tahu tiba-tiba wanita itu seperti terpental menggelinding dan lemas tak-- Image
--sadarkan diri.
Aku yang melihat itu hanya bisa terdiam kebingungan, sementara orang-orang kini semakin berdatangan karena kehebohan ini.

Termasuk Naryo yang kebetulan tengah lewat dan melihat kejadian itu.

Bersambung karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
“Ono opo Lur!!”
(Ada apa Lur!!). Kata Naryo yang mendekatiku.

Aku yang masih merasa bingung segera mengajak Naryo untuk masuk kedalam rumah meninggalkan keriuhan itu hingga beberapa saat kemudian, rombongan Pria dan Wanita yang kesurupan itu di ajak masuk oleh ibu.
Tampak Wanita itu dipapah oleh beberapa orang, dengan pandangan matanya yang tampak kebingungan dengan keadaan sekitarnya.

“aku wes mulih Pak?”.

(Aku sudah pulang Pak?). Kata wanita itu kepada Pria yang diketahui adalah Bapaknya.
“Uwes nduk, Kowe umat maneh Nduk”.

(Sudah nak, Kamu kumat lagi Nak). Jwb Pria itu.

Wanita itu menatap sekeliling & berhenti ketika melihatku. & tiba-tiba tangannya menguncup (isyarat menyembah). Kepalanya menunduk dan dengan suara yg tiba-tiba berubah, wanita itu berkata.
“Matursembah Nuwun, Mas”. Ucap Wanita itu dengan suara yang berubah menjadi seperti kakek-kakek.

“Enggg nggih”. Jawabku agak gagap sambil menoleh kearah Naryo yang berada di sampingku. Dan Wanita itu terhuyung lunglai tak sadarkan diri lagi. “Apa aku telah menyembuhkannya?”.--
--Batinku saat itu. Warga yang ikut masuk tampak memandangiku heran.

Singkat cerita, beberapa jam berlalu, setelah Wanita itu mulai sadar, Pria yg memperkenalkan diri sebagai Bapak dari Wanita itu. Berpamitan. Ia mendatangiku mengucapkan terimakasih sambil--
--“Matursuwun sanget Mas, Buk”.
(Terimakasih sekali Mas, Buk”). Ucap pria itu seraya memberikan rokok itu kepadaku yang masih bingung dengan semua ini.

"MULIH" Bagian 2 selesai disini dan berlanjut ke bagian 3, beberapa hari lagi, masih bersama SUKIRMAN!!
MULIH - Bagian 3 karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…

MULIH - Bagian 4 (Tamat) karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with gil

gil Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @AgilRSapoetra

Oct 27
MULIH - (Bagian 3)

"Nalarku terkoyak, karena sosok yang menyerupai Bapak itu terus saja datang dengan berbagai 'gelagat' janggalnya, akankah semua bisa berakhir?". ~ Sukirman

@bacahorror_id @IDN_Horor @ceritaht @menghorror #bacahorror #idnhorror #ceritaht #menghorror Image
Cerita MULIH sudah tamat di karyakarsa, buat temen-temen yang pengen buru-buru baca, bisa langsung aja ya :))

MULIH - Bagian 3 - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…

MULIH - Bagian 4 (Tamat) - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Bagian 1 dan 2 udah up ditwitter ya, buat yang belum baca, bisa baca terlebih dahulu biar nyambung.

Bagian 1 -

Bagian 2 -

Kalau sudah, mari Up secara bertahap ya :))
Read 50 tweets
Oct 15
MULIH (Bagian 1)

"Bapak yang sudah meninggal, PULANG lagi kerumah saat malam, menemuiku, untuk menyampaikan sesuatu".

#bacahorror #idnhorror #ceritaht #menghorror @bacahorror_id @IDN_Horor @ceritaht @menghorror Image
Cerita ini sudah Tamat di karyakarsa ya, untuk teman-teman yang pengen buru-buru baca bisa di baca disini :

Bagian 1. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Bagian 2. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Bagian 3. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Bagian 4. (Tamat). karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Karena cerita ini cukup panjang, akan saya up dari bagian 1, secara bertahap ya, dan akan saya update setiap harinya, Oke!!! Ayo kita Gas!!!
Read 102 tweets
Sep 22
SURENGKALA - Bagian 4 ( TAMAT )

@bacahorror_id @IDN_Horor @ceritaht @menghorror #bacahorror Image
Sampailah kita di bagian 4 (akhir) dari kisah SURENGKALA ini, karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Read 81 tweets
Sep 15
Cerita ini sudah tamat di karyakarsa :

Bagian 3 - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…

Bagian 4 - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Bagian 1 dan 2 udah up di twitter ya, bisa dibaca dulu buat yang belum sempet baca biar nyambung ya.

Bagian 1 :

Bagian 2 :

Kalau udah langsung aja kita mulai tipis-tipis ya!!! :))
Read 103 tweets
Sep 8
- SURENGKALA -

(Bagian 2) -'Pocong Pati'

@bacahorror_id @menghorror @gudangmistery @ceritaht #bacahorror Image
Cerita ini sudah tamat ya di Karyakarsa

Bagian 2 - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…

Bagian 3 - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…

Bagian 4 - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Bagian 1 udah ada ditwitter ya , bisa baca dulu kalo temen-temen belum baca biar nyambung. Kalau udah langsung aja kita mulai tipis-tipis ya :))
Read 92 tweets
Aug 29
SURENGKALA

(Bagian 1)

"Teluh dan karma, seakan datang bersama-sama dikehidupan Waluyo dan Suryani disaat mereka ingin meninggalkan keburukan dan dosa dimasa lalu".

@bacahorror_id @IDN_Horor @menghorror #kisahnyata #teluh #Karma Image
Kisah yang diyakini oleh narasumber saya sebagai kisah nyata ini saya dapatkan secara tidak sengaja sekira 3 tahun yang lalu, berlatar belakang tahun 90an, tentang pasangan "Lintah darat" Yang ingin bertobat setelah anak satu-satunya meninggal.
Namun ternyata seiring dengan pertobatannya itu, gangguan-gangguan aneh terus muncul, berupa teror lelembut dan teluh yang mengancam jiwa mereka & orang-orang disekitarnya. Bagaimana kisahnya?? Karena cerita ini cukup panjang, akan saya up menjadi beberapa bagian secara bertahap.
Read 166 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(