Saat ini mereka sudah berada di rumah Pak Sugeng, duduk di teras rumahnya yang sederhana, dengan empat cangkir kopi panas yang disiapkan istri Pak Sugeng.
Retno menanyakan kabar Pak Abduh dan istrinya setelah mengalami peristiwa semalam, peristiwa mistis yang belum pernah Pak Abduh dan istrinya alami sebelumnya.
Beliau menjawab semua baik-baik saja, walaupun tak bisa menutupi keterkejutan saat terbangun di tengah-tengah areal perkuburan.
"Alhamdulillah," ucap Retno merasa lega. Dia menatap Wawan sejurus kemudian. "Ngomong-ngomong, dari mana kau tahu aku di kebun sawit, Wan?"
Wawan terdiam sejenak, menatap Pak Sugeng, lantas Pak Abduh, seakan enggan menceritakannya, bukan apa, karena Wawan takut sahabatnya itu menyalahkan dirinya sendiri lagi, karena tak bisa menolong Bu Desi-ibunya Santi.
Namun, Retno pasti langsung tahu jika Wawan mencoba mengarang cerita untuk membohonginya.
"Saat aku mendatangi kembali rumah Santi bersama Pak Abduh dan Pak Sugeng, kami bertemu dengan ibunya Santi dalam perjalanan, dia berkata, para makhluk tersebut membawamu ke pondok di tengah kebun sawit, tapi ...."
"Sayangnya yang kami temui itu arwah ibunya Santi," sambut Pak Abduh dengan raut sedih.
Mata Retno membulat. "Dia sudah ditumbalkan?"
"Sepertinya," jawab Wawan.
Mendengar hal tersebut Retno lantas memejamkan matanya, mendongak ke atas, lalu menundukkan kepala, dan menopang wajah dengan tangan kanannya.
Tepat seperti dugaan Wawan, dari gesturnya, terlukis penyesalan mendalam Retno atas apa yang menimpa Bu Desi.
"Aku sudah membuat kesepakatan dengan arwah Santi, Wan, kesepakatan untuk menyelamatkan ibunya," ucap Retno.
"Aku tahu, tapi itu juga bukan salahmu, tetapi salah setan yang berada dalam tubuh Mansor, seperti katamu!" Wawan mencoba membesarkan hati Retno.
Walau apa yang dikatakan Wawan benar, tetap saja Retno merasa bertanggung jawab atas apa yang menimpa Bu Desi, tetapi dia pun sadar, tiada gunanya lagi menyesali hal yang sudah terjadi, dan lebih baik memfokuskan pikiran untuk menyelesaikan masalah utamanya.
Mendengar ucapan Wawan tadi, dia teringat kembali akan arwah Mansor yang telah menolongnya keluar dari perkebunan sawit.
"Jadi benar yang membimbing saya keluar tadi arwah Mansor?" tanya Retno masih penasaran.
Pak Sugeng mengangguk. "Benar! Dia juga pernah meminta bantuan saya, sama seperti yang dia pinta kepadamu, tetapi saya terlalu ... takut," ucapnya lirih, sambil memasang perban di kedua tangan Retno, setelah membersihkan dan memberi obat merah.
"Dia meminta bantuan, Bapak?" tanya Retno.
"Ya! Saat itu, arwahnya menyambangi rumah ini, tepat setelah sholat Magrib. Dia menceritakan banyak hal, mulai dari asal mula masalah yang menimpa desa saat dia pulang dari Jawa, hingga penyebab dia kehilangan raganya," jelas Pak Sugeng
"Boleh, Bapak, ceritakan kembali apa yang dia sampai, kan?" tanya Retno yang jiwa penulisnya mulai bangkit.
Pak Sugeng menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan, lantas mulai bercerita, menceritakan kembali apa yang arwah Mansor sampaikan padanya.
Waktu itu, saat Mansor kembali dari Jawa, warga desa enggan dekat-dekat dengannya, ditambah isu yang lagi-lagi diembuskan oleh Arsyad, isu yang sama seperti sebelumnya, tetapi lebih parah lagi.
Akan tetapi, anehnya semua itu terjadi hanya pada hari dia tiba, keesokan harinya semua warga tunduk dan segan kepada Mansor, kecuali Arsyad, saat Pak Sugeng menanyakan alasannya menyisakan Arsyad,
Mansor menjawab karena dia ingin menjadikan Arsyad sebagai tumbal pertama dari pesugihan yang tengah dia lakukan.
Wawan menelan ludah mendengarnya. Sebuah cara yang cukup kejam untuk membalas dendam.
"Lalu, kenapa dia juga pada akhirnya menjadi tumbal?" tanya Retno yang dari tadi menyimak dengan saksama.
Baru saja Pak Sugeng hendak menjawab, ada seorang pemuda, salah satu warga desa yang datang mencari Pak Sugeng. Walau sudah bukan Ketua RT lagi dalam waktu yang lama, warga menjadikan Pak Sugeng orang yang dituakan di desa, tempat meminta masukan bahkan pertolongan.
"Assalamu'alaikum," salam pemuda kurus dengan kulit hitam itu.
"Wa'alaikumsalam," jawab mereka serentak.
"Ada apa, Junai?" tanya Pak Sugeng kepada pemuda tersebut.
Dia menatap Retno dan Wawan bergantian, seakan takut untuk bicara di hadapan mereka.
"Tenang saja, mereka tak seperti yang kalian pikir!" seru Pak Sugeng menyadari hal itu.
"Tapi ... yang menimpa Pak Abduh dan istrinya?" tanya Junai lagi.
Kabar tentang Pak Abduh dan istrinya yang tiba-tiba terbangun di kuburan, sudah menyebar di desa dengan sendirinya, hal yang wajar terjadi di desa kecil.
"Itu ulah Mansor!" jawab Pak Abduh langsung. "Mereka orang baik! Jadi ada apa?"
Raut ketakutan pemuda bernama Junai berubah sedih tiba-tiba. "Bapak saya, Bapak saya mengalami hal yang sama seperti Santi!" serunya.
Retno dan Wawan saling tatap, begitu pula dengan Pak Sugeng dan Pak Abduh.
"Mati Suri juga?" tanya Retno.
Junai mengangguk lemah.
"Ayo kita ke sana!" ajak Pak Sugeng.
Mereka pun pergi menuju rumah orang tua Junai, setelah Pak Sugeng pamit ke istrinya, rumah yang tak terlalu jauh jaraknya dari kediaman Pak sugeng, rumah yang berada di pertengahan desa Pagar Mentimun.
Sesampainya di sana, semua mata warga tertuju kepada Retno dan Wawan, mereka lantas berbisik-bisik, menggunjingkan hal yang mereka tuduhkan kepada Retno dan Wawan, walau belum terbukti kebenarannya.
"Retno," panggil Pak Sugeng dari dalam kamar orang tuanya Junai. "Coba masuk dan lihatlah!"
"Jangan! Jangan berani masuk!" Cegah seorang pria, salah satu keluarga dari orang tua Junai. "Semua ini pasti karena mereka!" tandasnya.
"Tenanglah, Andi, semua ini bukan salah mereka! Malah saat ini dialah yang dapat memastikan kondisi abangmu!" seru Pak Sugeng sambil menunjuk Retno.
Pria bernama Andi tersebut terlihat gelisah. Bisikan demi bisikan warga terdengar di ruang keluarga yang tak terlalu besar ini.
"Nanti akan saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi percayalah, mereka tidak berbahaya, dan apa yang terjadi di sini bukan karena mereka!" tambah Pak Sugeng, mencoba meyakinkan warga yang hadir.
"Biarkan mereka masuk, Andi!" perintah ibu Junai dari dalam kamar dengan tersedu-sedu.
Mendengar ucapan kakak iparnya, Andi akhirnya mengalah dan memberikan jalan agar Retno bisa masuk.
Sejak melangkah ke dalam kamar, Retno sudah menangkap hawa yang berbeda, hawa yang sama saat dia bertemu Santi, juga Mansor. Tercium bau setanggi yang kuat di hidungnya, dan kehadiran sosok makhluk halus yang tersamarkan.
"Kalian mencium bau setanggi?" tanya Retno kepada Wawan, Pak Sugeng, dan Pak Abduh.
Mereka semua menggeleng pelan.
Di hadapannya kini duduk seorang pria paruh baya bertubuh kurus, di atas tempat tidur yang lumus dan sedikit berbau.
Dia hanya menunduk, tak sedikit pun bereaksi atas keributan yang terjadi di luar.
"Dari kapan, Bu Susi?" tanya Pak Sugeng pelan, kepada istri pria tersebut.
Dengan linangan air mata, dia bercerita tragedi yang menimpa suaminya itu.
Semuanya terjadi begitu cepat, bahkan lebih cepat dari apa yang dialami Santi.
Subuh, saat suaminya selesai menjalankan sholat, dia terduduk sejenak, lantas terbaring begitu saja di atas kasur, dan saat dicek detak jantung serta nadinya oleh Junai,
nyawanya sudah tak ada lagi, mereka pun sudah memanggil mantri desa untuk memastikannya, dan benar saja, suaminya dinyatakan sudah meninggal.
"Lalu kenapa saya tidak melihat persiapan untuk menguburkannya?" tanya Retno.
"Benar juga, gak ada kain kafan atau perlengkapan lainnya dari tadi kulihat, Ret," sambung Wawan.
"Itu karena ... saya berharap dia masih dapat bangun seperti Santi," ucap Bu Susi lirih. "Dan ternyata memang terjadi, tetapi ...."
"Suami Ibu menjadi seperti orang lain?" selidik Retno, tatapannya tak luput dari pria tersebut.
Tangis Bu Susi memecah kembali. "Begitulah, Nak."
"Bagaimana, Retno?" tanya Pak Sugeng.
"Yang ada di hadapan kita, masih tubuh suami Ibu, tetapi jiwanya sudah ditempati makhluk lain, sama seperti Santi dan Mansor!" jelas Retno.
Bu Susi menangis sekencang-kencangnya, memancing mereka yang berada di luar masuk dan bertanya,
tetapi lagi-lagi Pak Sugeng mampu menenangkan keadaan dengan baik.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Bu Susi.
Suaminya tiba-tiba tertawa, tawa yang mampu membuat bulu kuduk siapa pun yang mendengar berdiri.
"Kalian tak bisa melakukan apa pun! Rencananya sudah mulai berjalan, dan tubuh suamimu ini hanya permulaan! Pulang dan lihat keadaan anggota keluarga kalian, semua akan mendapat giliran!" serunya.
Mendengar ucapannya, seluruh warga yang berada di rumah tersebut panik dan langsung berhamburan pulang ke rumah masing-masing, hanya menyisakan keluarga inti pemilik rumah saja, juga kelompok kecil Retno.
"Dasar warga desa goblok!" ucapnya lantas tertawa terbahak-bahak hingga memegang perut.
"Apa yang harus kita perbuat, Pak?" tanya Pak Abduh kepada Pak Sugeng.
Pak Sugeng melihat keadaan di dalam kamar, dan menemukan tali pengikat kapal yang tak terlalu tebal, tali yang biasa digunakan Junai untuk menambat perahu milik bapaknya, yang dia gunakan untuk menangkap ikan.
"Untuk sementara kita ikat saja dia!" usul Pak Sugeng.
"Tetapi, Pak?" protes Bu Susi.
"Benar kata Pak Sugeng, lagi pula dia bukan suami Ibu lagi, suami Ibu sudah meninggal sesaat sebelum dimasuki olehnya," jelas Retno.
Tak lama, teriakan warga satu per satu terdengar hingga ke tempat mereka berada, teriakan yang berasal dari setiap rumah yang berbeda-beda.
"Tolong! Tolong, Pak Sugeng!" teriak salah satu warga, yang rumahnya berada tepat di samping rumah Bu Susi.
"Ada apa, Pak Budi?" tanya Pak Sugeng heran.
"Anak saya! Anak saya tak ada napas dan detak jantungnya lagi!" jawab Pak Budi panik, bercampur tangis.
Suami Bu Susi tertawa dan menatap nyalang ke setiap orang dalam kamar secara bergantian. "SUDAH DIMULAI!"
"Yang perlu kalian ingat adalah, jangan sampai benang kalian terputus! Jika sampai itu terjadi, salah satu di antara kalian yang masuk ke dalam Padang 12, tidak akan pernah kembali!"
Desa Setan dikit lagi sampai batas bab yang dibolehkan penerbit untuj di-share, setelah itu bagi yang penasaran dan ingin membaca hingga tamat, solusinya hanya 2:
1. Beli novel cetaknya 2. Ikut give away-nya (jika nanti diadakan 😂)
Jangan bersedih bagi yang tidak bisa membeli, kalian bisa bantu share promo novelnya nanti, dan sebagai gantinya, saya akan menulis banyak cerita horor hingga tamat di sini.
Di bawah saya spill cover novel online saya yang berserakan di mana-mana.
TUJU
Kisah tentang santet yang mengerikan dari daerah Kalimantan Barat.
Pontang-panting Retno berlari, menerobos masuk ke dalam deretan pohon-pohon sawit. Pikirnya makhluk itu akan terhalang oleh tanaman berdaun lebat dan tinggi itu, tetapi nyatanya tidak sama sekali.
Perlahan mata Retno terbuka. Sinar matahari yang masuk lewat ventilasi jendela di dekatnya, menerpa tepat ke arah matanya, membuatnya mengerjap-ngerjap saat itu juga.
Tak hanya itu, bau setanggi menyeruak ke dalam hidungnya, menyesakkan dada seketika.
Assalamualaikum. Selamat malam.
Sebelum mulai bab 7, saya mau mengucapkan terima kasih atas antusias kalian di cerita saya ini, cerita yang saya garap dari tahun 2022.
Saya tak menyangka ternyata lewat Twitter saya yang sepi sejak tahun 2019 aplikasi ini diunduh, cerita saya bisa lebih dikenal.
Oke, novel ini alhamdulillah sudah dipinang oleh Penerbit Epilog, dan mungkin akan segera terbit dalam buku cetak.