#BangEn Profile picture
Dec 13 54 tweets 9 min read
"Yang perlu kalian ingat adalah, jangan sampai benang kalian terputus! Jika sampai itu terjadi, salah satu di antara kalian yang masuk ke dalam Padang 12, tidak akan pernah kembali!"
Nek Sirih memperingatkan Retno dan Wawan, lantas memberikan sebuah benang jahit berwarna merah yang lebih tebal dibanding benang biasa.

Retno menerima benang tersebut diikuti tatapan penasaran Wawan.
"Apa cukup benang satu gulungan ini saja?" tanya Retno. Wawan mengangguk menyetujui ucapan sahabatnya itu.

"Jangan menilai sesuatu dari yang terlihat saja, coba dulu baru kau akan tau!"

Retno memasukkan gulungan benang ke dalam kocek celana jeans-nya.
"Sebaiknya kalian bergegas sekarang, karena racun itu punya waktu reaksi yang berbeda-beda pada setiap orang yang meminumnya." Nek Sirih mengambil sirih yang baru saja dibuatnya lagi di atas piring dan mengunyah.
"Tergantung dari tingkat keimanan orang yang meminumnya, semakin beriman maka semakin lama hingga racun tersebut berhasil memutus seluruh tali jiwa, tapi jika imannya tipis, sekali teguk saja bisa langsung mati," tambahnya dengan mulut penuh sirih.
Mereka paham dengan apa yang Nek Sirih maksud, dan itu membuat mereka benar-benar harus bergegas, sebab keimanan seseorang sulit ditakar oleh manusia lainnya, tak ada yang tahu siapa lagi yang akan menjadi korban selanjutnya.
Retno bersimpuh dan mengulurkan tangan ke Nek Sirih untuk bersalaman. "Kami pamit dulu," ucap Retno.

Nek Sirih menatap mata Retno yang berwarna cokelat dengan saksama, lantas menyambut uluran tangannya.
"Awalnya aku ragu, tetapi setelah melihat sinar matamu, keraguanku hilang seperti debu. Tatapanmu sama seperti tatapan pria yang kukenal dulu!" serunya membuat tanda tanya di kepala Retno kembali muncul.

"Siapa?" tanya Retno tak mampu menahan rasa penasaran.
Nek Sirih menyipitkan matanya. "Atau mungkin ... kalian memiliki hubungan darah?"

Wawan hanya mendengar percakapan mereka dengan wajah bingung.

"Siapa namanya?" kejar Retno lagi.

"Putra Kelana!" tandas Nek Sirih.

Retno dan Wawan dibuat terbelalak mendengarnya.
"Bagaimana Nenek tau nama ayahnya?" tanya Wawan takjub.

Keringat menyucur di dahi Retno. Tangannya dingin bagai balok es.
Nek Sirih mengangguk sambil senyum. "Jadi benar? Kalau begitu kau orang yang tepat untuk menghentikannya! Biar kau yang masuk, dan temanmu yang menjaga benang sebagai jalan kembali!" Dia menatap Retno dan Wawan bergantian.

"Bagaimana Anda mengenal ayah saya?"
"Aku bisa menceritakan detailnya, tetapi bukankah saat ini ada yang lebih penting untuk kalian lakukan? Atau aku salah?"
Wawan menatap Retno yang terdiam, dia mengerti apa yang ada di pikiran Retno saat ini, yang ingin tahu lebih banyak tentang ayahnya yang sudah meninggalkannya sejak kecil.
Wawan menepuk bahu kanan Retno. "Ret, kita bisa kembali ke sini lagi setelah semua selesai!" serunya mencoba menenangkan pikiran sahabatnya itu.

Retno menarik napas panjang, dan mengembuskannya perlahan. "Baiklah, ayo kita pergi!"
Nek Sirih tersenyum puas mendengarnya. "Semoga berhasil, Nak," doanya.
Hamparan pasir putih, rerumputan liar yang jarang-jarang, dan pohon yang tumbuh berjauh-jauhanan yang dapat di hitung jari, adalah pemandangan yang sama terhampar seperti pertama kali mereka berhenti di tempat ini sebelumnya.
Namun, ada yang berbeda kali ini, tempat ini bukan hanya menjadi perlintasan, tetapi menjadi sebuah tujuan.

Wawan menelan ludah menyadari mereka kembali lagi ke tempat ini. "Aku tak perlu bertanya soal keyakinanmu lagi, kan?"
Retno tersenyum getir mendengar candaan sahabatnya. "Jangan khawatir! Nek Sirih sudah bilang aku orang yang bisa melakukannya, kan? Sekarang pikirkan saja dirimu, jangan sampai kau lari terbirit-birit dari sini meninggalkanku!"

"SIal! Kau sudah tau rencana daruratku!" seru Wawan
Tawa pecah di antara mereka, tawa yang hanya menyamarkan apa yang sebenarnya saat ini mereka rasakan, tawa yang bertujuan menguatkan diri mereka masing-masing.

"Pegang baik-baik gumpalan benang itu! Pastikan kau menarik kembali setelah mendapatkan isyarat dariku!" pinta Retno.
Wawan menengadah ke langit yang mulai menggelap. Telinganya lamat-lamat mendengar kumandang azan dari kejauhan, mungkin Pak Abduh yang sedang azan, pikirnya.
Setelah pikirannya sedikit tenang, dia menurunkan pandangan kembali ke depannya, mulutnya sudah hampir berucap membalas Retno, tetapi ... sahabatnya sudah menghilang seperti ditelan bumi.

"K-kau ke mana, Retno?"
Jantung Wawan berpacu sangat cepat. Diliriknya gulungan benang yang berada dalam genggamannya. Gulungan tersebut sudah bergerak tanpa dia sadari, sudah terulur mengikuti langkah Retno yang sosoknya tak dapat dia lihat lagi.

"Kembalilah dengan selamat, Retno," gumam Wawan.
Di sisi lain, Retno sedang melangkah di pinggiran sebuah jalan besar, jalan dengan aspal hitam legam dan sangat mulus.
Di ujung jalannya terdapat sebuah gerbang selamat datang yang begitu indah, besar dan mewah, cahaya lampu yang terang benderang menghiasi di seluruh pinggirannya,
dan di balik gerbang tersebut terdapat sebuah kota dengan banyak bangunan besar yang lebih bercahaya dari gerbang selamat datangnya.

Lama Retno terpukau menatapnya. "Ini Kota Gaib Padang 12?"
Dia beralih menatap ke arah belakang, gelap, hanya itu yang terlihat, tak ada jalan, tak ada sahabat yang diajaknya bicara sebelumnya. Dia mengikat benang ke jari kelingking sebelah kanannya.
"Bismillah," ucapnya. Retno melangkah ke arah gerbang dengan pasti, dengan langkah yang terasa lebih ringan dari sebelumnya, seakan gravitasi di sini lebih kecil dari dunia luar.
Gerbang sudah dilewati, masuk ke dalam kota yang dipenuhi keramaian warganya yang sedang menikmati malam. Deretan mobil mewah terparkir di pinggiran bangunan semacam kafe, beberapa merek bahkan tak pernah terlihat di kota Ketapang,
salah satunya mobil merah berlambang kuda jingkrak di kap depannya.

Retno tertawa sambil menggelengkan kepala. "Ini kota gaib Padang 12? Ini lebih mirip kota di luar negeri sana!" serunya tak percaya.
Beberapa warga kota melihat ke arahnya karena suara yang dia keluarkan, mereka menatapnya dengan tatapan merendahkan, lantas tertawa.

"Apa yang kau cari?" tanya seorang wanita cantik yang terlihat seumuran Retno yang sudah berdiri di sampingnya.
Aroma parfum berbau bunga memenuhi rongga hidung Retno.

"Ah, aku sedang mencari seseorang," jawab Retno.

"Siapa?" tanya wanita itu lagi dengan lembut.
Retno lupa bertanya kepada Nek Sirih namanya, atau nama panggilannya, tetapi dia sudah terlanjur masuk, dan tak mungkin untuk masuk kedua kalinya.

"A-aku ... tak tau namanya," jawab Retno tergagap.
Si wanita tertawa pelan sambil menutupi mulut dengan tangannya. "Bagaimana kamu bisa menemukannya jika begitu?"

Retno ikut tertawa, mentertawakan kebodohannya sendiri.

"Kalau begitu mau ikut aku?"

Retno mengernyitkan dahinya. "Ke mana?"

"Ke rumahku!"
"U-untuk apa?" Retno masih belum memahami keinginan wanita di hadapannya ini.

Si wanita berambut hitam panjang, dengan hidung mancung seperti luncuran, dan bibir mungil yang merah itu meraih tangan kanan Retno dan menggenggamnya.
"Ayah sudah menyuruhku untuk segera menikah, dan dia pasti bangga jika aku berhasil menikah dengan manusia sepertimu," ucapnya, lantas tersenyum.
Bulu kuduk Retno mendadak berdiri, sesaat dia lupa sedang berada di kota gaib, kota tempat para jin yang disebut 'orang limun', dan ... wanita di hadapannya merupakan salah satu dari mereka.
"Ayo!" Jin wanita itu menarik tangannya, menggiring Retno menuju mobil mewah berwarna hitam yang terparkir tak jauh dari tempat mereka bicara.

"T-tapi bukan itu tujuanku ke sini," protes Retno pelan.
Tanpa mengindahkan ucapan Retno, si jin wanita makin kuat menggenggam dan menariknya.

Retno berhenti mengikutinya, dan mencoba menarik lengannya, memberikan perlawanan. "Hei! Kamu dengar? Aku ke sini bukan untuk menetap, apalagi menikah denganmu!"
Jin wanita tersebut akhirnya merespon, dia berhenti melangkah dan membalik badan menghadap Retno. "KAU HARUS MENJADI SUAMIKU!" teriaknya dengan suara yang mengerikan.
"Astagfirullah al'azim!" Retno terkejut melihat wajah jin wanita tersebut yang sudah berubah menjadi sangat buruk, berbanding terbalik dengan rupa sebelumnya.

Sebaik-baiknya rupa jin ialah seburuk-buruknya rupa manusia, Retno hampir melupakan hal tersebut.
Para jin lelaki yang tengah santai di dekat mereka, berjalan menghampiri karena keributan yang tercipta, dan mereka pun sudah berubah ke wujud aslinya.
Retno menutup mata. Mulutnya tak henti melapal doa, mulai dari ayat kursi, AL Falaq, dan An Nas, dan upayanya membuahkan hasil, para jin tersebut menjauh beberapa langkah darinya, tetapi tak meninggalkannya sendiri, mereka malah mengepung Retno kini.
"PERGI! TINGGALKAN DIA SEKARANG!" teriak jin bersosok seorang pria paruh baya. Retno membuka mata dan menatap ke arahnya.
"Kakek?" Retno mengenali sosok tersebut, sosok yang ternyata adalah kakek-kakek yang sempat memperingatkan Retno dan Wawan agar tidak pergi ke desa Pagar Mentimun.

Si kakek tersenyum karena Retno masih mengenalinya. "Kita berjumpa lagi, Nak!"
Tanpa perlu menunggu perintah berikutnya, para jin yang semula menggoda Retno pergi meninggalkan mereka berdua secepat mungkin, mereka terlihat sangat ketakutan dengan jin paruh baya itu.
Baru saja Retno hendak berucap, si kakek sudah menyelanya. "Kau disuruh oleh Nek Sirih kemari?"

Mata Retno membulat. "B-b-bagaimana Kakek bisa tahu?"

"Dia sudah mengirim pesan kepadaku," ucapnya.

Wajah Retno terlihat makin bingung. "C-caranya?"
Si kakek tersenyum. "Cuma sesama kami yang bisa melakukannya," ucapnya membuat kening Retno penuh kerutan. "Nek Sirih ... dia sebangsa kami, 'orang limun'!"

Retno memejamkan mata dan menghela napas panjang. "Kenapa saya bisa tak menyadarinya?"
"Karena dia sudah lama menetap di alam manusia, boleh dibilang ... dia seperti manusia yang sudah merasa nyaman tinggal di sini dan tak ingin kembali lagi ke alamnya," jelas si kakek.
Tak henti-hentinya Retno dibuat takjub oleh warga desa Pagar Mentimun, selalu saja ada hal yang mampu membuatnya terperangah, termasuk hal yang baru diucapkan oleh si kakek padanya.
Namun, siapa pun itu, apa pun itu, jika bisa membantunya menyelesaikan tragedi yang sedang terjadi, akan dia terima, kecuali dari golongan setan yang sudah jelas-jelas membangkang Penciptanya.

"Ikut aku!" ajak si kakek kemudian.
"Ke mana?"

"Ke tempat di mana penawar yang kau cari berada!" seru si kakek.

Bersambung....

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with #BangEn

#BangEn Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @Enrickohendaya1

Dec 12
Selamat Malam.

Desa Setan dikit lagi sampai batas bab yang dibolehkan penerbit untuj di-share, setelah itu bagi yang penasaran dan ingin membaca hingga tamat, solusinya hanya 2:

1. Beli novel cetaknya
2. Ikut give away-nya (jika nanti diadakan 😂)
Jangan bersedih bagi yang tidak bisa membeli, kalian bisa bantu share promo novelnya nanti, dan sebagai gantinya, saya akan menulis banyak cerita horor hingga tamat di sini.

Di bawah saya spill cover novel online saya yang berserakan di mana-mana.
TUJU

Kisah tentang santet yang mengerikan dari daerah Kalimantan Barat.
Read 4 tweets
Dec 11
Saat ini mereka sudah berada di rumah Pak Sugeng, duduk di teras rumahnya yang sederhana, dengan empat cangkir kopi panas yang disiapkan istri Pak Sugeng.
Read 49 tweets
Dec 10
Pontang-panting Retno berlari, menerobos masuk ke dalam deretan pohon-pohon sawit. Pikirnya makhluk itu akan terhalang oleh tanaman berdaun lebat dan tinggi itu, tetapi nyatanya tidak sama sekali.
Read 44 tweets
Dec 9
Perlahan mata Retno terbuka. Sinar matahari yang masuk lewat ventilasi jendela di dekatnya, menerpa tepat ke arah matanya, membuatnya mengerjap-ngerjap saat itu juga.

Tak hanya itu, bau setanggi menyeruak ke dalam hidungnya, menyesakkan dada seketika.
Read 40 tweets
Dec 8
Assalamualaikum. Selamat malam.
Sebelum mulai bab 7, saya mau mengucapkan terima kasih atas antusias kalian di cerita saya ini, cerita yang saya garap dari tahun 2022.
Saya tak menyangka ternyata lewat Twitter saya yang sepi sejak tahun 2019 aplikasi ini diunduh, cerita saya bisa lebih dikenal.

Oke, novel ini alhamdulillah sudah dipinang oleh Penerbit Epilog, dan mungkin akan segera terbit dalam buku cetak.
Read 40 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(