Seperti yang saya katakan di Tweet sebelumnya, Desa Setan akan mulai tayang seminggu sekali, karena kemarin sudah up, jadinya minggu depan lagi.
Kenapa?
Karena sudah hampir batas akhir bab yang boleh di-share oleh penerbit.
Sebagai selingan menunggu Desa Setan, saya bawa cerita horor saya lainnya, yakni TUJU.
Apa itu Tuju?
Ikuti kisahnya.
Sebentar, ya. Makan dulu. 😁
Oke lanjut!
Bismillah....
Bantu ramaikan dengan retweet, love tulisan ini.
Di sebuah desa kecil bernama Kendawangan, sebuah desa pesisir yang terletak di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, yang biasanya sudah sunyi di kala senja, tetapi sudah beberapa hari ini berbeda, khususnya di sebuah rumah sederhana yang tak jauh dari pasar,
sudah beberapa hari warga setempat selalu datang berkunjung untuk sekadar memanjatkan doa.
"Bu, Andi datang ...," ucap sendu seorang pemuda yang duduk bersimpuh di dekat wanita paruh baya, yang terbaring tak berdaya di atas kasur dengan tatapan kosong.
Tak ada jawaban apa pun, bahkan tak ada respon sama sekali, tatapannya tak berubah, menatap kosong ke arah langit-langit kamar.
Ustad Arifin yang ikut menjenguk menguatkan pemuda tersebut, karena memang tak mudah baginya, sebab hanya dia dan sang ibunda tercinta saja yang tersisa di keluarga kecilnya.
"Bagaimana bisa sampai seperti ini, Ustad?" tanya Andi dengan mata yang terlihat memerah.
"Saya tidak bisa menjawab, mungkin bibimu tahu awal mulanya," ucap Ustad sambil memandang ke arah Bik Nur, adik dari ibunya Andi.
Dengan mata berkaca-kaca, Bi Nur mulai bertutur sebab musabab musibah yang menimpa ibunya.
Beberapa minggu yang lalu, tepat di malam Jumat, saat ibunya Andi hendak mengambil air wudhu untuk sholat isya, dia melihat cahaya terang berwarna merah seperti bintang jatuh, hal yang cukup mencolok di langit malam yang gelap,
tetapi hal tersebut diabaikan olehnya, dan tetap mengambil wudhu lalu melaksanakan sholat. Namun, belum sempat menyelesaikan salam terakhir, terdengar suara letupan yang cukup besar dari halaman belakang rumah, hal tersebut memancing ibunya keluar untuk melihat,
dari sanalah petaka itu datang, entah apa yang dia lihat, karena saat ditanya, lidahnya kelu tiba-tiba, tubuhnya berguncang hebat, dan tatapannya mulai kosong saat itu juga.
"Tak mungkin! Tuju?" tanya Andi.
Bi Nur mengangguk. "Bibi juga awalnya tak percaya, tapi sepertinya itulah yang terjadi, sebab berapa kali dibawa ke puskesmas, tak ada satu pun penyakit yang terdeteksi di ibumu," jelasnya.
Ustad Arifin menghela napas mendengarnya.
Tuju merupakan sihir kiriman dari dukun, yang ditujukan kepada target yang ingin dicelakai, berbentuk menyerupai seperti bola api dengan ekor yang terang, apalagi keluarnya selalu di malam hari yang gelap.
Tuju tak menjadi hal aneh di desa ini, desa di mana orang-orangnya masih percaya dengan hal mistis, dan masih ada juga orang yang mempraktikkan ilmu hitam tersebut.
Belum usai rasa sedihnya, sudah muncul amarah pula di dada.
"Siapa yang tega melakukannya?" ucapnya dengan lantang, sehingga tak ada satupun di dalam kamar yang tak menoleh.
Helaan napas dan tatapan sendu mereka sudah cukup menjelaskan bahwa tak ada seorang pun yang tahu, atau pura-pura tak tahu?
Air mata Andi jatuh, tanpa dia sendiri sadari, air mata pertama setelah terakhir kali menangis ketika ayahnya tiada, saat Andi masih kecil.
"Siapa yang tega? Ibu tak punya masalah ataupun musuh di kampung ini, kenapa setega itu?" gumamnya masih tak percaya dengan apa yang terjadi.
Tawa memecah tiba-tiba di dalam kamar, tawa dari orang yang mereka kenal, dari orang yang sedang mereka jenguk sekarang, tetapi dengan suara yang berbeda, sangat jauh berbeda.
"SIAPA YANG KAU BILANG TAK ADA MUSUH?"
Tak cukup suara tawa yang mengejutkan, pertanyaan dengan suara lantang dari mulut ibunya Andi membuat mereka terlonjak dan menjauh serentak, hanya Andi dan Ustad Arifin yang masih terpaku dengan mata terbelalak di samping ibunya.
"I-I-Ibu ...?"
Ibunya menatap dengan lekat, lantas bangkit dari pembaringan, memajukan tubuh hingga tak ada jarak dengannya.
Refleks Andi menutup hidung, bukan karena bau tubuh ibunya, tetapi tercium bau busuk yang lain, bau busuk yang sangat jelas dari sosok yang ada dalam tubuh ibunya sekarang.
"IBU ....? YA, AKU IBUMU! SETIDAKNYA UNTUK SAAT INI!" serunya.
Mereka yang menjenguk, berhamburan keluar dari kamar seketika itu juga, menyisakan Andi, Ustad, dan Bi Nur yang kebingungan.
"Maksudnya ... kau bukan Ibu? L-l-lalu siapa kau?"
Tawanya kembali pecah, kali ini tepat di depan wajah Andi.
Dengan cepat Ustad mundur, menarik Andi bersamanya, membuat jarak aman di antara mereka.
"Pertanyaan tolol! Tentu saja aku dari golongan jin, makhluk yang derajatnya lebih tinggi di atas kalian!" ejeknya.
"Jangan berdusta makhluk nista!" seru Ustad Arifin. "Derajatmu tak lebih tinggi dari keturunan Nabi Adam!" bentaknya lagi.
Jin yang berada dalam tubuh ibu Andi menatap Ustad lekat dengan mata yang telah menghitam total, lantas tersenyum, sebuah senyum yang terlihat sangat merendahkan.
"Lebih tinggi? Apa kau bisa begini?"
Belum sempat menanyakan maksud perkataannya, si ibu sudah melayang di udara, tubuhnya seakan berbaring telentang di langit-langit kamar, menghadap ke bawah.
Mereka yang melihatnya, mengucap istighfar,
"Turun!" perintah ustad yang hanya dibalas dengan tawa.
"Katamu derajatku tak lebih tinggi dari kalian—keturunan Adam, maka kemarilah dan turunkan wanita sialan ini sendiri!" tantangnya.
"Bagaimana ini, Pak ustad ..?" tanya Andi cemas, terlihat jelas kekhawatiran di wajahnya.
"Ayat kursi? Cuma itu kemampuanmu? Kau tak bisa terbang? Tak bisa sepertiku? Hanya seperti itu? Hahahahahaha ... DASAR LEMAH!" ejeknya.
Meski masih memasang wajah bengis, bahkan masih bisa tersenyum, tetapi gerakan tubuhnya tak bisa membohongi, ayat-ayat yang dibacakan ustad sudah mempengaruhinya.
"Meski aku tak bisa terbang, tak bisa sepertimu, bukan berarti derajatku lebih rendah darimu, wahai jin kafir yang sesat!"
"JANGAN CERAMAHI AKU USTAD SIALAN!"
Tanpa aba-aba dia melompat ke arah Ustad Arifin, mencoba membungkam mulut si Ustad agar tak melanjutkan doanya, hanya saja Ustad dengan sigap menangkap tangannya.
"Bantu saya untuk memegang tangan ibumu, Andi," pinta ustad.
Meski sedikit ragu, Andi melakukan apa yang ustad minta, dia memegang kuat-kuat tangan ibunya.
Wajah ibunya berubah drastis, dari wajah yang garang menjadi sendu saat dia menatap ke arah Andi, lantas berkata, "Apa kau tega menyakiti ibu, Nak?" ucapnya.
Batin Andi terguncang, karena kali ini suara ibunyalah yang dia dengar, bukan suara jin yang merasuki ibunya.
"Jangan dengarkan dia Andi, kuatkan imanmu, jangan terpengaruh!" seru Ustad di sela-sela doa.
"Andi, ini ibu, Nak, lepaskan tangan ibu, tangan ibu sakit, Nak, sakit ...," ucapnya lagi memelas.
Bi Nur yang hendak membantu memegang tangan kakaknya pun urung mendengar ucapan tersebut.
"Ibu sungguh-sungguh sudah kembali?" tanya Andi yang dibalas anggukan oleh ibunya.
Refleks Andi melepas tangannya, seakan terhipnotis, dan Bi Nur pun membiarkannya begitu saja.
"And—"
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, mulut Ustad sudah dibungkam oleh si ibu, dan dicengkeramnya sekuat tenaga.
Ustad memberontak, mencoba melepaskan diri, tetapi sia-sia.
Cukup lama hingga akhirnya Andi dan Bi Nur tersadar, lantas mencoba melepaskan tangan si ibu, dengan sekuat tenaga.
Pak Ustad jatuh, terjerembab ke lantai setelah Andi dan Bik Nur berhasil melepaskan tangan si ibu.
"Ibu sadarlah!" teriak Andi dengan tetap memegang tangan ibunya, begitu juga dengan Bi Nur.
"LEPAS!"
Sekali menggerakkan tangannya, Andi dan Bik Nur terhempas ke dinding dengan kuat.
"Wanita ini tak akan selamat! Aku sudah diperintahkan untuk menghabisinya secara perlahan, hingga membuatnya sendiri meminta kematian, itulah perjanjian yang sudah dibuat!"
"P-p-perjanjian ...? Dengan s-siapa kau melakukan ... perjanjian?"
"Kau tak perlu tahu!" geramnya.
"T-tak ... akan ... kubiarkan ...," ucap Andi dengan susah payah.
Dia tertawa mendengar ucapan Andi.
"Ustad seperti dia saja sulit menghentikanku, apalagi kau!" serunya. "Waktu hidupnya hanya tersisa 7 hari mulai dari sekarang!" serunya lantas tertawa, dan tak lama kemudian jatuh tak sadarkan diri di lantai.
"Yang perlu kalian ingat adalah, jangan sampai benang kalian terputus! Jika sampai itu terjadi, salah satu di antara kalian yang masuk ke dalam Padang 12, tidak akan pernah kembali!"
Desa Setan dikit lagi sampai batas bab yang dibolehkan penerbit untuj di-share, setelah itu bagi yang penasaran dan ingin membaca hingga tamat, solusinya hanya 2:
1. Beli novel cetaknya 2. Ikut give away-nya (jika nanti diadakan 😂)
Jangan bersedih bagi yang tidak bisa membeli, kalian bisa bantu share promo novelnya nanti, dan sebagai gantinya, saya akan menulis banyak cerita horor hingga tamat di sini.
Di bawah saya spill cover novel online saya yang berserakan di mana-mana.
TUJU
Kisah tentang santet yang mengerikan dari daerah Kalimantan Barat.
Saat ini mereka sudah berada di rumah Pak Sugeng, duduk di teras rumahnya yang sederhana, dengan empat cangkir kopi panas yang disiapkan istri Pak Sugeng.