"Pak Ustad! Pak Ustad!" panggil Andi berulangkali sambil menepuk pundak Ustad yang tertidur di kursi ruang tunggu, karena saking paniknya.
"Andi?" ucap Ustad saat membuka mata. "A-a-apa yang terjadi? Di mana Bi Nur?" tanyanya lagi setelah menyadari Bi Nur tak ada di dekatnya.
"Bi Nur? Dia di rumah, tak ikut ke sini, dia bilang mau menjaga rumah selagi kita pergi. Memangnya kenapa, Ustad?"
Raut wajah Andi saat bicara meyakinkannya bahwa ucapan Andi benar.
"Jadi, dari saat di mobil ambulans, juga saat menunggu di sini, itu bukan Bi Nur?"
"Ustad!* Andi yang terlihat bingung memotong lamunan Ustad.
"Ah, ya, kenapa?"
"Ibu! Ibu kerasukan lagi di dalam!"
Mereka bergegas masuk kembali ke dalam ruangan UGD, dan mendapati dokter jaga dan perawat susah payah untuk menenangkan Bu Sri yang mencoba membuka infus dan alat bantu napasnya, segera Andi dan Ustad menolong.
Hampir satu jam hingga akhirnya Bu Sri bisa diam, itupun setelah diberikan suntikan obat penenang dan dibacakan doa oleh Pak Ustad.
Andi bersimpuh di samping ranjang ibunya, pikirannya kacau, teramat kacau setelah beberapa peristiwa tak masuk akal terjadi di hadapannya, dia yang semula tak mempercayai hal berbau mistis, harus mengakui bahwa dia salah selama ini.
"Ustad, kita harus pergi ke tempat Pak Ujang," ucap Andi pada akhirnya.
"Pak Ujang?" tanya Ustad. "Andi, kamu tidak berputus asa akan pertolongan Allah bukan?" lanjutnya.
Andi menggeleng. "Bukan, bukan karena itu, tetapi jika itu karena Tuju, berarti seorang dukunlah yang mengirimnya, dan dukun besar di desa ini adalah dia!"
Pak Ustad mengerutkan keningnya. "Lantas apa yang akan kau lakukan jika benar dia yang mengirim?"
Andi terdiam, nampak jelas bahwa dia belum memikirkan tindakan selanjutnya dari rencana tersebut.
"Saya tidak tahu harus bagaimana, tapi saya tetap ingin mencobanya, selagi itu bisa menyelamatkan Ibu," jawabnya lesu.
Dokter jaga masuk kembali ke dalam ruangan dengan membawa beberapa obat-obatan.
"Pak, ibunya sudah bisa dibawa pulang," ucap si dokter.
Andi dan Pak Ustad terlihat heran mendengarnya.
"Bukankah Bu Sri harus mendapat perawatan intensif terlebih dahulu, Pak?" tanya Ustad mewakili Andi.
"I-iya, hanya saja banyak pasien yang selalu masuk ke UGD," jawabnya gugup.
"Tidak bisa dipindahkan ke kamar perawatan?" kejar Ustad lagi.
Dokter terlihat menelan liurnya. "Masalahnya i-itu, kamar rawat di sini ... sudah penuh."
"Penuh?" tanya Andi.
"I-i-iya." jawab si dokter lagi. "Tenang, ini kami berikan obat untuk perawatan ibu Anda agar bengkak di lidahnya segera hilang, juga agar cepat menyembuhkan lukanya."
Jawaban si dokter tak membuat perasaan Andi tenang, dia yakin alasan sebenarnya bukan itu, tetapi mereka takut akan kejadian mistis yang ibunya alami.
Dengan berat hati Andi menerima dan mengurus administrasi untuk membawa ibunya kembali ke rumah. Pihak puskesmas pun setuju untuk mengantar ibunya kembali dengan mobil ambulans.
Andi yang sebelumnya duduk di depan bersama supir saat pergi ke puskesmas, kini duduk di belakang bersama ibunya, juga Pak Ustad.
"Bagaimana ini, Ustad? Apa Ibu saya benar-benar akan berakhir seperti ini?" tanyanya dengan tatapan tak lepas dari wajah ibunya yang masih belum sadarkan diri.
"Sepertinya kita memang harus mendatangi Pak Ujang."
Andi menoleh ke Pak Ustad kini. "Tapi tadi...."
"Tidak ada salahnya jika hanya bertanya, dan jika benar-benar dia yang melakukannya, kita coba untuk meminta baik-baik agar dia melepaskan ibumu."
"Seandainya dia menolak?"
"Terpaksa kita sendiri yang harus mengurusnya, tetapi mungkin akan berdampak lagi kepada ibumu."
"Maksudnya, Ustad?" Kerutan di keningnya timbul.
"Saya pikir, tindakan ibumu yang menggigit lidah, ada hubungannya dengan benda yang kita temukan," jelas Ustad.
"Hanya karena itu?"
Pak Ustad menggeleng. "Bukan hanya karena kita menemukannya, tetapi karena saya membacakan doa hingga benda tersebut terbakar hingga lenyap."
Andi membelalakkan mata mendengar ucapan Ustad.
"Sampai rumah nanti, sebaiknya kamu jaga ibumu, biar saya yang pergi mendatangi Pak Ujang, jaga-jaga jika ibumu melakukan hal aneh lagi."
"Tapi Ustad tidak apa-apa pergi sendiri?"
Pak Ustad tersenyum. "Saya tak sendiri, ada Allah yang selalu menemani hambanya, apalagi untuk menegakkan hal yang benar, dan menumbangkan yang batil."
Ambulans tiba di halaman rumah Andi, Bi Nur menyambut dan ikut membantu menyiapkan tempat tidur untuk kakaknya di kamar.
"Saya pergi dulu," ucap Ustad setelah pemindahannya selesai.
"Baik, Ustad, dan ... terima kasih sudah mau membantu hingga sejauh ini, suatu saat akan saya bayar lunas utang budi ini."
Ustad tersenyum mendengar ucapan Andi. "Jaga saja ibumu baik-baik, kita tak tahu apa dampak yang bakalan terjadi saat saya menemuinya.'
"Baik, Ustad."
Usai menerima salaman tangan Andi, Pak Ustad berlalu, menuju rumah yang tak pernah terpikirkan akan dia datangi seumur hidupnya, rumah seorang dukun—Si Pendua Tuhan.
Andi masuk kembali ke dalam rumah, melangkah menuju kamar di mana ibunya terbaring tak berdaya, dengan pipi yang mengembang karena lidahnya yang bengkak.
***
"Assalamualaikum," ucap Ustad sambil mengetuk pintu sebuah rumah kayu yang sangat sederhana.
Halaman rumah tersebut terlihat tak terurus, menambah kesan seram yang sudah tercipta dari letak rumah ini yang berada di dekat kuburan tua terbengkalai dan dikelilingi pepohonan tinggi menjulang, jauh dari kediaman warga lainnya.
"Ustad Arifin?" tanya seseorang dari balik pintu tanpa membukanya.
"Ya, ini saya! Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Siapa lagi orang bodoh yang bertamu ke rumah dukun dengan mengucapkan salam?" ejeknya lantas tertawa. "Jadi, apakah gerangan yang membuat seorang suci datang ke rumah dukun yang hina ini?"
"Ini soal Bu Sri."
Tawa si dukun pecah kembali saat mendengar nama tersebut.
"Apakah memang kamu yang melakukannya?"
Tak ada jawaban dari balik pintu, tetapi tak lama kemudian suara derit pintu yang dibuka, terdengar.
"Jika iya, apa yang akan kamu lakukan?" Tantang orang yang dari tadi bicara dari balik pintu, dengan tatapan tajam.
"Apapun akan saya lakukan agar Bu Sri bisa selamat!"
"Apapun?" tanya si dukun lagi lantas tersenyum.
***
Andi mengusap lembut tangan ibunya, memikirkan hal-hal yang terus berseliweran di kepalanya, tetapi ada satu hal utama yang membuat dia bertanya-tanya.
"Siapa yang membenci Ibu? Apa Ibu pernah menyakiti orang lain?" gumamnya.
Bau busuk yang menyengat tiba-tiba tercium, membuat tangan Andi refleks menutup hidungnya.
"Bau apa ini?" Andi bangkit, meninggalkan ibunya, mencari sumber bau untuk memastikan.
Dia mengarah ke dapur usai mengikuti arahan indera penciumannya, dan tepat di hadapannya kini, terlihat sosok jin hitam, tinggi, dan besar, tengah memakan makanan yang ada di dapur.
"Bau itu berasal dari makhluk tersebut?" gumam Andi.
"MAKAN!" seru jin tersebut sambil menyeringai setelah melihat Andi.
Mohon maaf baru sempat melanjutkan. Kemarin 1 mingguan saya sakit ISPA, jadi enggak bisa konsen mikirin alur cerita. Juga saya sudah mulai promosi novel Desa Setan yang akan mulai Open PO tanggal 23 Februari sampai 9 Maret nanti.
Langsung saja.
Ustaz Arifin dan Dian tiba di desa. Kemunculan mereka membuat heboh warga, sebab kabar tentang Ustaz Arifin disekap oleh Pak Ujang sudah tersebar sejak pagi.
"Jadi semua itu benar, Pak?" tanya Pak Karyo, mereka kini tengah berbicara di ruang tamu rumah Ustaz Arifin.
Udah nonton series From? Kalau belum silakan nonton bagi pecinta film horor-fiksi ilmiah-misteri.
From berkisah tentang sebuah kota yang bisa dimasuki tetapi tak bisa ditinggalkan. Masalahnya bukan hanya di sana, tetapi mereka yang ada di dalamnya diteror sosok hantu/monster
-yang hanya keluar saat hari sudah mulai malam.
Mereka yang ada di dalamnya bertahan hidup dengan mengurung diri di rumah yang sudah dalam perlindungan jimat saat malam hari. Jika mereka melakukan itu, mereka akan aman. Namun apakah semudag itu? Tentu tidak!
Sosok hantu/monster itu menjelma menjadi seseorang yang kita kenal, sayangi, cintai, dan mereka akan memengaruhi pikiran kita untuk membuka pintu atau jendela agar mereka bisa masuk lalu menyantap kita dengan sadis.
Serie ini berjumlah 10 episode dan sepertinya akan ada season 2
Alhamdulillah akhirnya buku antologi bersama Gol A Gong sampai di tangan, buku yang berisi kumpulan fiksi mini dari banyak penulis yang rata-rata guru di Indonesia.
Sebenarnya sudah sampai tanggal 18 Desember tahun lalu, hanya saja dikirimnya ke alamat orang tua di kabupaten, dan baru sempat dikirim ke saya kemarin.
Menurut saya harganya cukup murah, karena masa Open PO kemarin hanya dibanderol di harga 80-an dengan jumlah halaman 300-an.
Akan tetapi, yang terpenting bukan harganya, tetapi banyak cerita yang bisa dibaca, dan banyak pesan di dalamnya.
Terima kasih sudah membaca dan mendukung cerita Desa Setan sejauh ini. Jujur saya sangat tak menyangka responnya akan seperti ini, dari akun Twitter saya yang sepi dan hanya punya 49 follower selama 2 tahun, akhirnya hampir mencapai 700 follower.
Setelah ini saya akan fokus melanjutkan cerita TUJU hingga selesai, dan akan saya TAMATKAN DI SINI sebagai ungkapan terima kasih kepada kalian.
Bab ini jadi bab terakhir yang boleh saya bagikan, jika kalian penasaran dengan nasib Retno & Wawan, tunggu presalenya bulan depan. 😁
Sebelum mulai, saya mau memberitahukan bahwa perjalanan menuju Desa Setan akan segera dilakukan bulan depan. Jadi, siapkan uang untuk membeli tiketnya! 😁👍🏻