Begitu menginjakkan kaki di rumah hajah Diana, sersan Budi dibuat terkagum-kagum dengan betapa mewahnya rumah itu. Meski berada di desa, rumah itu tidak kalah megah dengan rumah para saudagar intan di Martapura.
Polisi muda itu menimbang-nimbang, gajinya seumur hidup takkan sanggup punya rumah semewah itu.
Budi mengedarkan pandang, menatap barisan foto yang dipajang di ruang tamu. Ia terpaku sesaat, lalu bergidik sewaktu menatap foto Misnah yang sedang merangkul Jaya dengan mesra.
Rambut keriting menggantung si Misnah mengingatkannya pada sosok hantu sandah tadi malam. Ia pun mengalihkan pandang, tak kuat menatap foto itu berlama-lama. Terlalu ngeri, batinnya.
Ia lantas menatap foto hajah Diana yang terlihat bahagia, terpajang beberapa senti di samping foto Misnah dan Jaya. Mengenakan bolang merah, hajah Diana terlihat ceria di antara jejeran ibu-ibu pengajian yang duduk rapi.
Make up nya tebal, tubuhnya padat berisi, Berhiaskan gelang dan kalung emas di lengan dan leher, hajah Diana sangat kontras dengan ibu-ibu di sebelahnya yang berasal dari kalangan miskin dan kurang gizi.
"Pak Polisi, pian ditunggu bu hajah," tegur acil Ijum.
Sersan Budi mengangguk lalu mengikuti langkah acil Ijum sementara acil Lela menyiapkan minuman hangat. Setibanya di dalam kamar, duduk di kursi plastik, ia termangu-mangu melihat keadaan hajah Diana yang tampak berbeda dengan di foto.
Wanita di hadapannya terkulai lemah dengan tubuh jauh lebih kurus dibandingkan di foto. Wajahnya pucat dan terlihat seperti orang depresi. Balutan kapas luka yang menempel di kepala membuat keadaanya semakin memprihatinkan.
"Kenapa cil, kepala pian?" tanya Budi dengan jidat mengernyit.
"Inggih pak polisi ai. Untung ada ulun wan acil Lela. Kalo gak, entah apa yang terjadi dengan bu hajah," timpal acil Ijum.
Sebagai polisi, Budi tahu kedua wanita di hadapannya menutupi sesuatu. Namun ia tidak mau ambil pusing, ia lebih tertarik dengan keadaan si nyonya rumah yang terlihat berubah drastis dibandingan dengan di foto.
"Bu hajah, pian sudah lama kah sakit? Pian terlihat berbeda dengan yang ada di foto di ruang tamu."
Hajah Diana tersenyum getir, menatap si polisi muda lekat-lekat.
"Terlalu banyak makan hati, nak. Sejak anakku kawin lagi, hatiku remuk melihat keadaan menantuku, si Misnah. Melihat ia tak nafsu makan, seleraku ikut hilang. Melihat ia jatuh sakit, kesehatanku turut menurun. Sewaktu ia meninggal, runtuhlah kekuatanku.
Dan kini, ia bangkit jadi hantu. Ibu mertua mana yang takkan sakit, mendapat kabar menantu kesayangan bergentayangan."
Hajah Diana lantas termenung dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sersan Budi terdiam sesaat.
Di lubuk hati sebenarnya ia tak tega bertanya lebih jauh, tapi lantaran tugas membuatnya harus menepis sementara perasaan tak enak.
"Maaf cil ai, sebelum pian sakit dan kak Misnah meninggal, apakah Mariatul juga turut memasak di rumah ini. Apakah ia juga turut menghidangkan makanan bagi pian dan kak Misnah?"
"Tentu saja," timpal acil Ijum, "tidak mungkin ia hanya lenggak lenggok menghias diri di kamar. Ia juga punya kewajiban yang sama dengan istri tua. Bahkan, ialah yang menggantikan tugas Misnah untuk mengurus hal remeh di dapur."
"Apakah ia juga yang menyiapkan makan dan minum untuk bu hajah dan kak Misnah?"
Acil Ijum dan hajah Diana saling pandang, tidak mengerti arah pertanyaan sersan Budi.
"Untuk apa kau pertanyakan hal-hal seperti itu, pak Polisi? Bukanlah perkara aneh jika ia menghidangkan makan dan minum untukku dan Misnah. Bagaimana pun juga, Atul hanyalah istri muda, bukan putri raja."
Sersan Budi mengangguk-angguk, lantas kembali bertanya, "Apakah almarhuman Misnah pernah bertengkar dengan Mariatul?"
Hajah Diana tercenung mendengar pertanyaan itu. Pikirannya kembali menerawang ke peristiwa setahun silam, sewaktu Atul sudah sebulan berdiam di kamar belakang.
Dari balik jendela kamarnya di lantai dua, Misnah diam-diam mengamati Atul sembari memegang belati. Dengan sorot mata penuh benci, ia mencari kesempatan untuk menghabis madunya.
Rupanya Misnah telah gelap mata, bagai srigala lapar ia terus mengintai Atul yang tengah hamil muda. Kesempatan yang dinanti akhirnya tiba, sewaktu Jaya bertolak ke Banjarmasin untuk mengambil barang dagangan.
Pukul 23.00 wita, Misnah melangkah tenang dari kamarnya di lantai dua. Sambil memegang belati di balik punggung, ia bertekad mengabisi adik madunya malam itu juga. Tanpa mengucap salam, diketuknya pintu kamar dengan pelan.
Atul yang sudah terlelap, membuka pintu dengan mata masih mengantuk. Sewaktu pintu terbuka, Atul langsung terkejut setengah mati dan ngantuknya hilang detik itu juga. Di hadapannya, berdiri sosok kakak madunya dengan sorot mata mengerikan.
Dengan rambut keriting gantung tergerai, Misnah melangkah maju. Atul tercekat, mundur selangkah demi selangkah. Jantungnya seketika berdebar-debar tatkala Misnah mengeluarkan belati dari balik punggung.
Bukannya menjawab, Misnah justru meludahi wajah cantik Atul yang sedang ketakutan. Seketika Atul kaget lantas menjerit kencang.
Tatapan Misnah begitu dingin dan bengis, membuat jantungnyal terasa hendak copot. Kakinya mendadak lemas dan tulang-tulang terasa lepas dari badan.
"Arrrgghhhh…!!!"
Atul berteriak tatkala Misnah menjambak rambutnya. Ia menangis sesenggukan saat bilah belati yang dingin menyentuh kulit batang tenggorokannya. Terkencing-kencing, Atul mulai merasakan nafasnya kian sesak. Sedikit saja salah gerakan, nyawanya akan melayang.
"Kau renggut suamiku, maka kurenggut nyawamu," ujar Misnah dengan nada penuh amarah.
Atul terbelalak dengan mulut terganga, saat itu ia telah pasrah kehilangan nyawa. Seumur hidup, ia tak pernah ketakutan seperti ini.
Ia tak menyangka, istri tua suaminya itu akan berbuat nekat. Nampaknya kakak madunya itu telah sungguh tak waras.
"Misnah, hentikan!"
Bentakan hajah Diana membuat Misnah terkesiap. Rupanya jeritan Atul membuat penghuni rumah berhamburan ke kamar belakang.
Telat sedikit, Atul sudah meregang nyawa bersimbah darah. Amang Idar dan Husni, acil Lela dan Ijum, semuanya menahan napas melihat Misnah bersiap menyembelih Atul yang tak berdaya.
"Misnah, istighfar nak. Jaya akan membencimu bila kau bunuh Atul. Percayalah pada ibu, Jaya akan kembali ke pangkuanmu. Tapi, kau lepaskan dulu adikmu itu," tutur hajah Diana sedikit cemas.
"Aku tak peduli Jaya akan membenciku. Hilang sudah cintaku padanya sejak ia beristri lagi. Aku hanya ingin ia tahu, menyakitiku, ia akan lebih sakit lagi," balas Misnah dingin.
"Salahkan Jaya yang bermain mata. Salahkanlah ibu yang gagal mendidik. Tapi, Mariatul tidak bersalah. Ia hanya gadis muda yang patuh pada orang tua. Duhai Misnah anakku, jangan kotori tanganmu dengan darah. Demi ibu, nak…," bujuk hajah Diana dengan air mata berlinang.
Misnah tak menggubris, tekadnya telah bulat. Apapun yang terjadi, Atul harus mati malam ini. Sejenak ia lengah, amang Husni dan Idar yang sedari tadi siaga tak membuang kesempatan. Sekali terjang, Misnah terjengkang dan belati berhasil direbut.
Gantian, kini Misnah yang menjerit. Ia berusaha berontak tapi cengkraman amang Husni dan Idar terlalu kuat, sementara Atul berhamburan menyelamatkan diri lantas memeluk ibu mertuanya sangat erat.
Tangis hajah Diana pecah melihat kedua menantunya tak akur. Dipelukannya, Atul sesenggukkan hingga suaranya hilang. Di hadapannya, Misnah menjerit-jerit bagai orang gila hingga akhirnya pingsan tak berdaya.
Malam itu juga, Atul dipulangkan ke rumah pambakal Sarip demi keselamatannya.
Sejak saat itu, Misnah mulai sakit-sakitan. Mariatul pun coba memperbaiki keadaan, menyuapinya makan dan menghidangkan minuman. Namun, Misnah terlalu keras kepala.
Hingga waktu berlalu dan ia pun mati karena luka batin yang tak sembuh.
"Bu hajah, pian baik-baik saja?"
Teguran sersan Budi membuyarkan lamunan hajah Diana. Segera ia seka air mata yang tanpa sadar mulai mengalir.
"Maaf, nak polisi ai. Aku sedang tak ingin membahas masalah menantuku. Ada urusan apa kau kemari?"
"Saya mendapat tugas dari letnan untuk menjaga pian."
Hajah Diana mengernyitkan dahi.
"Menjagaku? Menjagaku dari apa? Hantu sandah? Polisi pun tak mungkin bisa menghadapi hantu."
"Bukan hantu. Tapi orang yang berprilaku lebih jahat dari hantu."
"Sudah biasa aku menghadapi orang-orang seperti itu. Di kampung ini, banyak orang yang menginginkan kemalanganku. Mereka bilang aku memakan riba, tapi tetap saja memelas minta bantuanku."
"Bukan orang-orang yang iri dengan hartamu yang kurisaukan, bu hajah ai. Tapi…sudahlah, bukan hakku menyampaikan. Nanti kau dengar saja dari mulut letnan langsung. Aku hanya menjalankan tugas yang diperintahkan."
*****
"Letnan, ada apa?"
Pertanyaan ustad Gani seketika menyadarkan letnan Johar. Polisi tua itu gelagapan, seolah baru terbangun dari mimpi buruk yang sangat mengerikan. Ia menarik napas dalam-dalam, mengalirkan udara ke dalam paru-paru yang tadi sesak.
Melihat tingkah letnan Johar yang aneh, Ustad Gani lantas menolehkan wajah ke seberang sungai. Sekonyong-konyong ia menelah ludah, menyadari apa yang telah membuat letnan Johar terpaku.
Wanita berkaki buntung itu kembali melompat-lompat kecil dari batu ke batu lalu mendarat dengan lutut di atas rerumputan. Bagai manusia cebol, wanita aneh itu berlari di antara celah tanaman singkong dan katu lalu dengan lincah menaiki tangga Bubungan Tinggi yang miring.
Letnan Johar diam sejenak, matanya seperti sedang menerawang. Wajahnya terlihat ragu untuk meneruskan langkah ke rumah di seberang sungai.
"Tak ada waktu, sebentar lagi Jumatan."
Tanpa berunding, ustad Gani dengan sigap menyeberangi sungai, meniti di atas barisan batu yang tersusun rapi. Letnan Johar yang sudah ringkih berusaha mengingatkan, tapi ustad muda itu tak mau mendengar.
Tertatih Johar menyeret langkah, menyusul ustad Gani yang tak sabar bertemu Nini Tuha.
Sejurus kemudian mereka sudah ada di seberang sungai, menatap takjub rumah Bubungan Tinggi di hadapan mereka.
Meskipun telah reot dimakan usia, jelas terlihat rumah ini dahulunya adalah rumah yang megah. Bagaimanapun juga, rumuh Bubungan Tinggi hanya bisa dimiliki oleh para bangsawan kerajaan.
Belum juga mengucap salam, letnan Johar dan ustad Gani terperanjat kaget. Pintu rumah yang menempel seadanya itu tiba-tiba terbuka. Sekonyong-konyong mereka dibuat terheran, sewaktu satu-persatu penghuni rumah keluar dari pintu dengan cara-cara aneh.
Belum juga mengucap salam, letnan Johar dan ustad Gani terperanjat kaget. Pintu rumah yang menempel seadanya itu tiba-tiba terbuka. Sekonyong-konyong mereka dibuat terheran, sewaktu satu-persatu penghuni rumah keluar dari pintu dengan cara-cara aneh.
Ada yang berjalan hanya menggunakan lutut, karena bagian betis telah terpotong. Ada yang melompat-lompat karena hanya memiliki kaki sebelah. Seorang lelaki paling tua berjalan normal, tapi kedua lengannya buntung di bagian sikut.
Wajahnya tirus dengan tulang rahang menonjol, sementara matanya buta sebelah. Di paling belakang, seorang wanita paruh baya mengesot, menyeret bagian bawah tubuhnya di lantai karena kaki sebelahnya berukuran lebih kecil.
Di hadapan mereka, kini berdiri sekumpulan orang-orang cacat. Selain berpakain serba putih dan berkulit albino, seluruh wajah mereka memiliki bekas luka bakar.
Mulut mereka terus bergerak-gerak seperti mengunyah sesuatu sehingga meneteskan lendir kental berwarna merah pekat.
Yang paling mencengangkan, tampak seorang gadis remaja dengan tinggi tubuh dua kali lipat ukuran orang dewasa.
*****
Ustad Gani dan letnan Johar menghela napas, langkah mereka untuk memasuki rumah Nini Tuha dihadang sekumpulan orang cacat tepat di depan tangga. Mulut orang-orang aneh itu masih mengunyah sesuatu sehingga mengeluarkan bunyi yang tak kalah aneh.
"Assalamu alaikum," ujar ustad Gani, sedikit gugup.
Namun, ucapan salamnya tidak mendapat tanggapan semestinya. Orang-orang aneh itu justru menatap mereka dengan sorot mata dingin yang tak ramah.
"Assalamu alaikum," ucap ustad Gani sekali lagi.
Cuiih !
Ustad Gani dan letnan Johar terlonjak kaget, mundur dua langkah. Wanita berkaki buntung tiba-tiba maju kedepan lalu meludah, mengeluarkan lendir berwarna merah kental bersama sirih pinang yang telah lumat.
Ustad Gani bergidik jijik, lumatan sirih pinang itu hampir saja mengenai kakinya.
"Ada apa datang kemari?" sahut si wanita berkaki buntung sedikit membentak. Matanya melotot penuh kebencian.
"Kami ingin bertemu Nini Tuha," sahut letnan Johar, balas melotot.
"Nini Tuha sedang berpuasa di hari Jumat. Ia sedang balampah, bersemedi di kamarnya. Ia tak boleh diganggu. Jika ingin bertemu, datanglah esok hari.".
"Puasa Jumat? Sungguh aneh. Seorang muslim dilarang berpuasa sunah di hari Jumat, kecuali ia berpuasa di hari sebelum dan sesudahnya," sahut Ustad Gani sinis.
"Tak perlu ikut campur urasan kami, pak Ustad. Pulang lah, sebelum kalian sekarat. Nini Tuha takkan sudi bertemu kalian," timpal kakek bertangan buntung.
"Kami takkan pulang sebelum bertatap muka dengan Nini," ujar Johar seraya mengeluarkan pistolnya. Revolver itu ia timang-timang di tangan, sengaja untuk menakut-nakuti.
Teras rumah Nini Tuha menjadi gaduh.
Orang-orang bertubuh tak sempurna itu mulai berisik seperti anak keci ketakutan, sebagian lagi menyembunyikan badan di balik badan lainnya. Si wanita berkaki buntung dilanda kegelisahan dengan nafas memburu.
Letnan Johar tersenyum meremehkan, tak disangka orang-orang yang katanya sakti itu menjadi ciut nyali dengan sebuah pistol tua.
"Orang-orang itu takut suara bising."
Tiba-tiba terdengar suara serak dari dalam rumah seiring seorang wanita tua berjalan tertatih melewati pintu. Nenek itu berjalan membungkuk, bertopang pada tongkat dengan ujung lengkung seperti tangkai payung.
Setiap ia melangkah, terdengar bunyi ketukan pada lantai papan ulin yang lapuk. Para pengikutnya segera bersujud, menempelkan wajah pada lantai dengan kondisi dipaksakan karena tubuh yang tak sempurna.
"Nini Tuha…" desis ustad Gani lirih.
Ustad Gani dan letnan Johar geleng-geleng kepala, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Entah kenapa, orang-orang aneh itu tampak begitu hormat kepada seorang wanita tua yang juga tak kalah anehnya.
Tepat di depan tangga, Nini Tuha menatap dengan seksama kepada dua orang tamu yang tak diundang itu. Ustad Gani bahkan menelan ludah berkali-kali, karena Nini Tuha memiliki mata yang juling ke kiri dan ke kanan.
"Masuklah, bila itu mau kalian," kata Nini Tuha dengan suara serak.
Ia lantas berbalik, kembali ke dalam rumah diiringi para pengikutnya yang merangkak dengan wajah tetap menunduk. Orang-orang itu bergerak seperti anjing mengekor majikan. Sungguh janggal.
Letnan Johar dan ustad Gani saling lirik, belum pernah mereka melihat perilaku seaneh itu. Meski sedikit ragu, mereka akhirnya masuk ke dalam Bubungan Tinggi dengan sikap penuh waspada.
Tatkala memasuki ruang tamu, bulu kuduk letnan Johar dan ustad Gani seketika merinding. Pemandangan di sekeliling ruangan tampak sangat mengerikan, karena penuh hiasan yang terbuat dari potongan tubuh manusia yang telah mengering.
..Berkentang..
Sampai jumpa Malam Senin 😇
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ustad Gani tidak berani membantah, ia terus melangkah dengan wajah pucat. Berkali-kali ia mengipaskan wajah menggunakan peci hitam, berharap tubuhnya menjadi sejuk. Sedangkan letnan Johar, telah siap meletuskan pistolnya kapan saja.
Kreek… kreek…
Pistol di genggaman letnan Johar mengeluar bunyi bergemeretak, dicengkram sangat erat oleh jari-jari keriputnya yang gemetaran. Sesekali ia melirik ke arah barisan pohon di sebelah kanan, mencari kesempatan untuk melepaskan timah panas.
Suara julak terdengar berat, serak dan penuh ancaman. Utuh Buwak kembali merangsek, merangkul erat kaki julak Sarkani. Tak tahu malu, ia merengek bagai anak kecil.
"Pengampunanmu, julak. Apa pun yang keluar dari tanganmu, akan menyambung nyawaku. Itulah pesan Nini Tuha untuk disampaikan."
Utuh Buwak menengadah, menatap wajah julak dengan sorot mata memelas dan berkaca-kaca.
Jangan lupa Reply, RT dan Qrt yak.
Selamat membaca 😇
saat Jaya dan amang Husni menjemput ajal, rumah pambakal Sarip terjadi keributan. Mariatual, istrinya Jaya, mencak-mencak kepada sang Ayah. Saking hebatnya bertengkar, mereka telah lupa bahwa mereka adalah ayah dan anak.
Pertengkaran pagi itu ibarat musuh lama yang penuh amarah. Seisi rumah heboh, riuh, penuh caci maki dan sumpah serapah.
"Nggak, abah ai. Sudah cukup! Cukup kak Misnah! Cukup Apri! Aku tidak mau terkena karma!" sentak Atul berapi-api seraya menggendong sang bayi yang menangis.
Di tempat lain, Jaya dan amang Husni melangkah buru-buru melewati hutan serta menembus padang ilalang yang luas. Cuaca pagi itu masih dingin dan matahari belum terlalu tinggi, tujuan mereka adalah huma julak Sarkani.
Sebenarnya pagi-pagi sekali mereka sudah ke rumah julak, tapi kata istrinya, Julak sudah ke ladang setelah sholat subuh.
Dari jalan desa, perjalanan ke huma julak memerlukan waktu sekitar 40 menit, jarak yang cukup dekat bagi orang-orang kampung untuk berjalan kaki.
Lagi iseng buka tiktok, ketemu berita mencengangkan.
"Seorang pendeta Tibet yang bertapa selama 201 tahun, ditemukan masih hidup."
Pendeta tersebut awalnya ditemukan secara tak sengaja oleh warga setempat di dalam sebuah goa.
Ia dikira telah menjadi mumi karena bermeditasi dalam kurun waktu yang lama. Tubuhnya saat itu berbalut jubah lusuh yang gampak sobek apabila disentuh.
Sekelompok ilmuwan lantas membawa tubuhnya ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Dari hasil penelusuran, diketahui si pendeta telah bermeditasi selama 201 tahun, menjalani kondisi deep trance yang dikenal "takatet".