"Tak perlu heran, potongan tubuh itu adalah hadiah dari mendiang suamiku. Potongan tubuh para pengkhianat yang menjual jiwanya kepada penjajah," ungkap Nini Tuha pelan.
Penjelasan Nini Tuha tidak membuat Letnan Johar dan ustad Gani menjadi tenang.
Keduanya justru semakin resah, melihat tengkorak serta daun telinga digantung tepat di tengah ruang tamu. Tengkorak kepala manusia itu tersusun bertumpuk di dalam keranjang rotan, tergantung di beberapa titik.
"Duduklah, aku tahu apa yang kalian cari," lanjut Nini Tuha.
Meskipun kikuk, kedua tamu tak diundang itu duduk di atas tikar rotan. Keadaan semakin mencurigakan, lantaran pengikut Nini Tuha duduk mengelilingi letnan Johar dan ustad Gani.
Sejurus kemudian, seorang wanita mengesot, membawakan dua mangkuk bubur hintalu karuang yang masih hangat.
"Makanlah, kalian pasti lapar. Setelah itu, baru kita bicara panjang lebar," perintah Nini Tuha.
Ustad Gani menarik napas panjang, sementara letnan Johar diam-diam mengedarkan pandang ke sekeliling.
"Kenapa, pak ustad?" sambung Nini Tuha, melihat keraguan di wajah ustad Gani, "untuk apa aku meracuni kalian. Jika mau, sudah sedari tadi kalian mati."
Setelah mengucap basmallah, ustad Gani lantas menyantap bubur itu sebelum dingin. Letnan Johar tidak mau ketinggalan, karena bubur itu tampak menggiurkan.
*****
"Ni, apa yang kau lakukan di makam Misnah di malam setelah ia dikuburkan. Ada saksi yang melihatmu di situ, dan saksi itu telah meninggal dunia," cecar letnan Johar seraya menyalakan rokok.
Nini Tuha tersenyum sinis, "aku mendengar kabar kalau jasad Misnah tidak mau menghadap ke arah kiblat. Karena itulah aku mampir ke makamnya, untuk tahu apa yang terjadi."
"Jangan sembarangan bicara, pak Ustad!" sentak Nini Tuha sedikit tersinggung, "kau tahu aku sudah tua. Tak mungkin aku mampu menggotong jasad orang mati yang sangat berat. Para pesuruhku, mreka hanyalah orang-orang cacat. Dan yg penting, untuk apa mayat tak berguna itu bagiku."
Ustad Gani tertunduk dan nyalinya ciut.
"Ni, siapa yang pian lihat? Ada dua jejak kaki di situ. Di belakang, pastilah jejakmu. Di depan, pastilah si pencuri mayat. Aku yakin, kau mengetahui siapa yang mencuri mayat itu," potong letnan Johar, menenangkan keadaan.
Bak disambar petir, ustad Gani tersentak di tempat duduknya. Apa yang disampaikan Nini Tuha sungguh sulit ia percaya.
"Ju-julak? Untuk apa? Tak mungkin. Ia adalah tetua yang taat beribadah. Bahkan, kadang ia menjadi khatib saat sholat jumat. Nini, kau jangan mengada-ada!"
"Kenapa, ustad? Kau tak percaya seorang yang terlihat alim ternyata berhati busuk, heh!?"
Ustad Gani kembali terdiam. Kenyataan yang ia dengar benar-benar meruntuhkan kepercayaannya.
"Untuk apa? Untuk apa julak mencuri mayat Misnah?"
Nini Tuha menggeleng, "entahlah. Hati manusia siapa yang tahu. Bukan hal aneh jika manusia bisa berubah dalam sekejap."
"Baiklah, Ni. Perkara julak Sarkani biar jadi urusanku. Sekarang, bisakah kau membantu? Misnah telah bergentayangan menjadi sandah.
Bahkan, hantu penasaran itu hampir mencelakaiku tadi malam," kata letnan Johar berapi-api.
Nini Tuha menarik napas dalam-dalam. Ia menerawang, seolah memikirkan sesuatu.
"Sandah hanyalah arwah gentayangan biasa. Ia dikutuk menjadi kuntilanak berwajah lebar, sebagai peringatan karena berbuat durhaka pada suami. Ia akan kembali kepada sang Pencipta setelah 40 malam bergentayangan."
"Kutukan? Bukankah Jaya yang kawin lagi, menduakan cinta dengan gadis muda. Kenapa Misnah yang dikutuk?" bantah Johar tak setuju.
"Dosa tetaplah dosa. Apapun alasannya, membuat perjanjian dengan iblis, pasti ada harganya.
Tidak peduli alasanmu benar atau salah, sekali kau menyekutukan Tuhan, dosamu takkan terampuni."
"Lalu, kenapa nini berikan minyak perunduk itu, bila kau tahu itu perbuatan terlarang."
"Sewaktu hajah Diana datang kemari, ia menangis tersedu. Tidak kuasa aku melihat air matanya. Belum pernah kulihat ada mertua menyayangi menantubegitu rupa."
"Hajah Diana?" potong Johar tak percaya.
Nini Tuha mengangguk.
"Jadi, yang minta minyak perunduk itu hajah Diana, bukan Misnah?"
Nini Tuha lagi-lagi mengangguk, "Karena rasa iba, juga sebagai sesama wanita, kubantu dia. Meski kuberitahu akibatnya, hajah Diana tetap bersikeras. Katanya, tidak kuat melihat Misnah menjadi gila.
"Jadi, yang minta minyak perunduk itu hajah Diana, bukan Misnah?"
Nini Tuha lagi-lagi mengangguk, "Karena rasa iba, juga sebagai sesama wanita, kubantu dia. Meski kuberitahu akibatnya, hajah Diana tetap bersikeras.
Katanya, tidak kuat melihat Misnah menjadi gila. Namun, sungguh sial, Misnah keburu mati sebelum Jaya kembali ke panggkuannya. Malang benar nasib si Misnah, suami tidak kembali, justru ia bangkit menjadi sandah."
"Sebenarnya kau ini siapa, ni? mulutmu bicara manis tentang Tuhan, tapi kau jerumuskan manusia kepada syirik."
Nini Tuha tersenyum.
"Duhai Johar, aku hanyalah perantara. Di luar sana, banyak manusia yang putus asa. Ada orang miskin yang tanahnya dirampas orang kaya.
Ada bawahan yang diculasi majikan. Dan, ada istri yang disakiti suami. Aku hanya membantu mereka memberikan jalan. Kalau kau berada di kondisi tenggelam, apapun akan kau pegang agar bisa bertahan, tak peduli itu ranting kecil yang rapuh, bahkan kotoran sekalipun.
Aku hanya membantu mereka menemukan pelita harapan."
"Harapan yang menyesatkan!" timpal ustad Gani.
"Aku hanya membantu mereka mendapatkan pembalasan. Tidak ada tempat yang lebih baik dari dunia ini."
"Akhirat…" potong ustad Gani.
Nini tuha tersenyun sinis, "salah satu kejahatan besar adalah kita memberitahu orang-orang bahwa ada tempat yang lebih baik dari dunia ini."
Ustad Gani menyudahi perdebatan itu. Sia-sia baginya berdebat dengan orang yang menutup hati tentang kebenaran Tuhan.
Nini Tuha menatap ustad Gani penuh selidik. Matanya yang juling bergerak-gerak, seakan melihat ke bagian dalam tubuh ustad muda itu.
"Sudah berapa lama?" tanya Nini Tuha seketika.
Ustad Gani mengernyitkan dahi. Ia tidak mengerti arah pembicaraan Nini Tuha. Melihat si ustad kebingunan, Nini Tuha kembali bersuara.
"Cidera organ dalam akibat sering dipukul. Abahmu kah?"
Ustad Gani lagi-lagi terkejut. Setelah diam beberapa saat, ia akhirnya bicara.
"Sejak kecil."
"Kenapa ia memukulmu?"
Gani hening sejenak, terlihat ragu. Selang beberapa detik ia akhirnya berucap, "Pemabuk dan suka berjudi."
"Apa kau menyesal karena telah membunuhnya?" desak Nini Tuha.
Ustad Gani hanya bisa menunduk tanpa bisa mengucapkan sepatah kata. Bibirnya bergetar dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Letnan Johar yang duduk di samping kaget bukan main, tidak menyangka bahwa tuan guru yang dihormati penduduk kampung adalah seorang pembunuh. Apalagi, yang dibunuh adalah ayahnya sendiri.
*****
Di sebuah kamar sempit, pambakal Sarip terhenyak mendengar kisah yang keluar dari mulut Enor.
Malam itu, si biduan baru saja pulang manggung dari kampung sebelah yang jauh di hulu sungai. Ia ditemani Apri, pemuda pemabuk yang menjadi kekasihnya.
Sewaktu melewati komplek pemakaman, mereka melihat sesuatu yang janggal. Seketika mereka mematikan senter lantas mencari tempat sembunyi, berlindung di balik deretan pohon dan rumput belukar.
Pandangan mereka tertuju pada sosok mencurigakan di tengah makam, berjalan agak membungkuk menggotong beban di pundak. Cahaya bulan yang temaram ditambah kabut tipis membuat sosok yang mereka lihat hanya tampak samar-samar.
Ketika kabut tipis mulai menghilang, keduanya langsung tersentak. Enor hampir saja menjerit andaikan Apri tak sigap membekap mulutnya. Di antara jejeran nisan, mereka melihat salah seorang tetua kampung yang sangat mereka kenal.
Lelaki paruh baya itu melangkah ringkih di antara barisan nisan, menggotong mayat menuju hutan di balik pagar makam. Setiap ia melangkah, suara-suara binatang malam terdengar lantang. Gemerisik dedaunan yang ditiup angin membuat keadaan malam itu semakin mencekam.
"Julak Sarkani?" desis Apri.
Pria muda itu hampir saja beranjak dari persembunyian lalu mengejar julak, jika saja Enor tidak bergegas mencengkeram tangannya. Benar saja, selang beberapa saat seorang nenek tiba-tiba muncul dari balik kegelapan.
Hampir saja mereka kira hantu karena pakaian nenek itu serba putih. Bertopang pada tongkat, nenek tanpa alas kaki itu berjalan pelan mengikuti arah kemana julak Sarkani menghilang.
"Nini Tuha!?" bisik Enor terheran-heran.
Seumur hidup, baru kali inilah ia melihat sosok Nini Tuha. Menurut orang kampung, nenek aneh itu sudah berpuluh tahun tidak menginjakan kaki di desa.
Beberapa meter sebelum pagar pembatas makam, Nini Tuha seketika menghentikan langkah. Matanya nyalang, menatap hutan tempat julak Sarkani menghilang. Sepertinya ia mengetahui kemana julak Sarkani membawa mayat Misnah.
Tatkala kabut tipis kembali muncul, si nenek seketika menghilang seolah ikut lenyap terbawa kabut yang bergerak pelan.
Enor dan Apri terkesiap, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Sungguh mustahil ada manusia bisa menghilang dalam sekejap.
Kini mereka dihinggapi kecemasan, mungkinkah mereka telah melihat sesuatu yang terlarang.
Merasa keadaan sudah aman, mereka berdua bergegas keluar dari persembunyian. Baru saja balik badan, sepasang kekasih itu gemetaran setengah mati.
Di hadapan mereka, kini berdiri Nini Tuha dengan wajah keriput lagi pucat. Dalam seketika, hal-hal aneh mulai terjadi. Hewan-hewan malam semakin berisik sementara angin malam kian dingin menusuk tulang.
Mata Nini Tuha yang juling bergerak kesana kemari, membuat Enor dan Apri langsung terdiam, mematung bagai terkena hipnotis.
"A-a-a…" Apri mencoba buka suara, tapi entah kenapa mulutnya terkunci rapat.
Nini Tuha melotot dengan gigi bergemelutuk. Jelas sekali ia telah diselimuti amarah.
"Pulanglah…jika tidak, nyawa kalian akan terancam," ujar Nini Tuha dengan suara serak.
Stelah tubuh mrka bisa bergerak, Enor dan Apri brgegas meninggalkan tmpat itu dlm keadaan ketakutan.
"Pada malam berikutnya, tersiar kabar bahwa Apri tewas mengenaskan. Saat itulah aku tersadar, hanya menunggu waktu sebelum ajal menjemputku," tutup Enor sembari merapatkan tubuh di ketiak ibunya dalam keadaan cemas.
"Kurang Ajar!" pekik pambakal Sarip penuh amarah, "ternyata si tua bangka itu dalangnya. Aku harus membuat perhitungan. Karena ulahnya lah, kampung ini dirundung celaka."
Pambakal Sarip bergegas bangkit, mengumpulkan penduduk serta orang-orang kepercayaannya. Berbekal senjata tajam, mereka bergerak menuju ladang julak Sarkani di tengah hutan. Sedangkan Berto, ia langsung berlari menyusul letnan Johar dan ustad Gani.
Sejatinya, amarah pambakal Sarip bukanlah demi kemaslahatan kampung. Namun, karena ulah julak Sarkani lah segala rencananya berantakan.
…berkentang…
Sampai jumpa di malam senin. Terima kasih telah membac, semoga terhibur.
Tabe 😇🙏
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Selepas sholat Jumat, pencarian Enor kembali dilanjutkan. Setelah menggela doa bersama, kali ini pambakal Sarip mengajak lebih banyak warga. Ada lebih dari 50 warga yang memukul nyiru, membuat hutan menjadi gaduh. Area pencarian diperluas, kali ini lebih masuk ke dalam hutan.
Tiap celah pohon dan belukar, tak juga terlihat jejak si Enor. Semak belukar pun telah berantakan terkena tebasan parang dan serbuan kaki manusia.
Begitu menginjakkan kaki di rumah hajah Diana, sersan Budi dibuat terkagum-kagum dengan betapa mewahnya rumah itu. Meski berada di desa, rumah itu tidak kalah megah dengan rumah para saudagar intan di Martapura.
Polisi muda itu menimbang-nimbang, gajinya seumur hidup takkan sanggup punya rumah semewah itu.
Budi mengedarkan pandang, menatap barisan foto yang dipajang di ruang tamu. Ia terpaku sesaat, lalu bergidik sewaktu menatap foto Misnah yang sedang merangkul Jaya dengan mesra.
Ustad Gani tidak berani membantah, ia terus melangkah dengan wajah pucat. Berkali-kali ia mengipaskan wajah menggunakan peci hitam, berharap tubuhnya menjadi sejuk. Sedangkan letnan Johar, telah siap meletuskan pistolnya kapan saja.
Kreek… kreek…
Pistol di genggaman letnan Johar mengeluar bunyi bergemeretak, dicengkram sangat erat oleh jari-jari keriputnya yang gemetaran. Sesekali ia melirik ke arah barisan pohon di sebelah kanan, mencari kesempatan untuk melepaskan timah panas.
Suara julak terdengar berat, serak dan penuh ancaman. Utuh Buwak kembali merangsek, merangkul erat kaki julak Sarkani. Tak tahu malu, ia merengek bagai anak kecil.
"Pengampunanmu, julak. Apa pun yang keluar dari tanganmu, akan menyambung nyawaku. Itulah pesan Nini Tuha untuk disampaikan."
Utuh Buwak menengadah, menatap wajah julak dengan sorot mata memelas dan berkaca-kaca.
Jangan lupa Reply, RT dan Qrt yak.
Selamat membaca 😇
saat Jaya dan amang Husni menjemput ajal, rumah pambakal Sarip terjadi keributan. Mariatual, istrinya Jaya, mencak-mencak kepada sang Ayah. Saking hebatnya bertengkar, mereka telah lupa bahwa mereka adalah ayah dan anak.
Pertengkaran pagi itu ibarat musuh lama yang penuh amarah. Seisi rumah heboh, riuh, penuh caci maki dan sumpah serapah.
"Nggak, abah ai. Sudah cukup! Cukup kak Misnah! Cukup Apri! Aku tidak mau terkena karma!" sentak Atul berapi-api seraya menggendong sang bayi yang menangis.