Henry Setiawan Profile picture
Feb 9 48 tweets 8 min read
-- GUNUNG SUMBING --

Part 2
Pendakian horror dua sahabat di Gunung Sumbing Tahun 1998

Ijin tag yaa...
@bacahorror_id @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca @diosetta

#bacahorror #ceritahorror #horror #threadhorror #ceritahorrorpendaki
Terror dimulai dari sini. Mulai dari dinding bedeng yang dihantam potongan dahan pohon, sampai dihadang makhluk besar menyeramkan. Kira-kira apa penyebabnya?
Part sebelumnya bisa di baca di sini :
Part 1 :
GUNUNG SUMBING 1998
(Ketika Batas Hidup dan Mati Tinggal Seujung Jari)

Part. 2

Seketika kami pun berlari tunggang langgang mencari tempat berlindung dari sambaran petir yang kami yakini akan kembali terjadi.
Tanpa banyak pertimbangan, kami pun berhenti di pos 2 yang terdapat shelter berupa bedeng dari kayu dengan dinding dan atap dari seng. Tak bisa dipungkiri, rasa takut dan panik kini mulai merayapi jiwa kami.
Mas Wahid yang memang paling tua sekaligus lebih banyak pengalaman di antara kami berusaha menenangkanku dan Anton. Dia berusaha membangun suasana supaya tidak terjadi kepanikan berlebihan sehingga bisa membuat kondisi semakin berbahaya.
Sedangkan di luar sana hujan masih turun sangat deras disertai petir menyambar yang intensitasnya terbilang cukup tinggi. Dekat sekali, aku yakin petir itu menyambar sangat dekat dengan posisi kami, terlihat dari hampir tidak adanya jeda antara cahaya kilat dan suaranya.
"Kita stop aja dulu di sini. Bahaya kalau kita maksain jalan" ucap Mas Wahid.

"Iya mas" jawabku singkat menyetujui usulan Mas Wahid.

"Bikin api aja, itu di pojokan ada tumpukan kayu kering. Ga usah bikin tenda, kita istirahat di sini aja" sambung Mas Wahid.
Kami pun berbagi tugas, aku dan Anton mengumpulkan kayu-kayu kering itu dan menyusunnya di tengah-tengah bedeng yang memang sudah ada bekas perapian. Sedangkan Mas Wahid mempersiapkan perlengkapan masaknya.
Usai menyusun kayu-kayu itu, kami mulai berusaha menyalakannya. Tak berapa lama aku tiba-tiba terpaku, seluruh tubuhku terasa beku tak dapat kugerakkan. 

Rasa takut yang teramat kuat merayapiku. Mataku kini seolah kaku memandang sesuatu yang berada di depanku.
Tepat di depan bedeng di bawah sebuah pohon besar. Aku melihat sepasang mata berwarna merah bersinar tajam menatap kami bertiga menembus pekatnya malam yang lebih tersamarkan oleh air hujan.
Aku tak bisa melihat bagian tubuh lainnya dari sosok itu. Hanya sepasang mata bersinar seperti dua buah lampu LED mini yang diletakkan bersebelahan.
Beberapa waktu aku benar-benar tak bisa menggerakkan badanku. Seluruh badanku merinding hebat. Mulutku tercekat tak mampu berkata apapun.
Ingin kuteriak sekedar meminta pertolongan kawan-kawanku yang ada di sini, tapi hanya kebisuan yang bisa keluar dari mulutku. Hingga pada akhirnya Anton yang menyadarkanku dengan tepukannya di pundakku.
"Kenapa, Hen?" Ucap Anton

"I itu ada......"

"Stop. Udah diem aja ga perlu diucapkan" sahut Mas Wahid memotong ucapanku.

Kembali kuarahkan pandanganku ke tempat sepasang mata tadi, tapi hanya kegelapan yang kulihat di sana. Sepasang mata itu telah lenyap entah kemana.
Aku berusaha mengabaikan apa yang kulihat tadi. Kulanjutkan aktifitasku menyalakan perapian bersama Anton. Tapi justru yang kurasakan saat ini adalah kengerian yang terus menerus menggelayutiku. Entah hanya diriku atau Anton dan Mas Wahid juga merasakannya.
Aku seolah merasakan ada banyak, sangat banyak makhluk tak kasat mata hadir di sini. Mengelilingi bedeng yang kami gunakan untuk berlindung dari hujan dan petir.

***
Malam semakin larut, entah jam berapa saat ini aku tak bisa memastikannya karena di antara kami tak satupun yang membawa penunjuk waktu.
Tak ada pendaki lain yang datang kesini ataupun sekedar melintas. Mungkin di bawah sana cuacanya tak jauh beda, sehingga beberapa pendaki lain mengurungkan niatnya untuk mendaki malam ini.
Suasana mencekam semakin kental menyelimuti tempat ini. Beruntung perapian yang kami buat tadi sudah menyala sempurna. Setidaknya sedikit bisa memberikan rasa tenang melalui cahaya yang terpendar serta kehangatan yang dihasilkannya.
Makanan yang dimasak Mas Wahid juga telah siap. Meski hanya mie instan dengan lauk ikan kalengan, sudah cukup untuk menjadi asupan energi untuk mengarungi malam ini.
Saat kami sedang menikmati makan malam sederhana namun terasa mewah ini, tiba-tiba kami dikagetkan suara keras dari salah satu dinding bedeng.

"Duuuuaaaaaaarrr......"
Kami semua berjingkat, bahkan panci nesting yang tadi kupegang pun seketika terlempar saking kagetnya aku.

Kami mendengar salah satu dinding bedeng seperti dipukul atau dilempar dengan sesuatu.
Beberapa saat kami saling berpandangan satu sama lain. Tak ada kata terucap di antara kami. Tapi apa yang kami rasakan sepertinya sama. Kaget, takut, ngeri sekaligus penasaran.
Mas Wahid perlahan bangkit. Aku pun mengikutinya. Rasa penasaran atas apa yang terjadi ternyata sanggup membuatku mengesampingkan rasa takut.
Aku mengikuti Mas Wahid yang berjalan keluar lalu memutar ke samping bedeng melalui pinggiran bedeng yang tidak terkena guyuran hujan.
Ketika sampai di bagian dinding yang kami yakini dipukul atau dilempar suatu benda tadi kami menemukan potongan batang pohon tergeletak begitu saja. Batang pohon itu terlihat basah dan kotor oleh lumpur tanah merah khas tanah gunung.
Di bagian dinding juga terlihat ada bekas tanah lumpur yang menempel. Nampaknya batang kayu ini yang dilempar mengenai dinding bedeng ini. Lantas yang jadi pertanyaan adalah, siapa yang melemparnya?
"Kira-kira siapa yang lempar ya mas? Kayaknya dari tadi ga ada orang kesini" ucapku.

Belum sempat Mas Wahid menjawab, tiba-tiba terdengar suara dari balik semak-semak di depan kami. Suara seperti langkah kaki yang diseret melalui rerimbun semak.
"Kresek kresek kresek"

Kira-kira seperti itu.

Spontan Mas Wahid mengeluarkan sebilah golok dari pinggangnya.

"Kamu masuk aja, biar aku coba cek. Takutnya binatang liar" ucap Mas Wahid.
"Aku ikut aja mas" jawabku karena penasaran ingin mengetahui binatang apa yang mencoba mengganggu kami. Atau mungkin justru kedatangan kami yang mengganggu ketenangannya.
"Kamu bawa senjata apa gitu. Kayu atau apa buat jaga-jaga" ucap Mas Wahid yang tidak melarangku mengikutinya.
Mas Wahid mulai berjalan menyusuri sela-sela semak yang rimbun namun tidak terlalu rapat. Aku mengikutinya dari belakang sambil tetap waspada, takutnya tiba-tiba ada serangan dari binatang liar.
Di balik semak itu kami tidak menemukan apapun. Bahkan bekas jejak binatang pun tidak ada. Saat aku sedang memeriksa tempat di sekitarku tiba-tiba Mas Wahid berjingkat lalu berlari ke arah yang lebih menjauh.
Aku pun juga berlari mengikutinya meskipun aku tak paham dia sedang mengejar siapa atau apa.
Saat aku semakin mendekatinya, sepintas aku melihat di depan Mas Wahid adalah sebuah lembah yang cukup dalam atau tepatnya jurang. Meski samar, tapi aku tetap bisa mengenali konturnya. Dan sialnya, Mas Wahid tetap berlari menuju ke arah jurang itu.
Aku berusaha memanggil Mas Wahid tetapi dia sama sekali tidak menggubris panggilanku. Hingga ketika kami semakin dekat dengan bibir jurang kembali aku melihat sepasang mata yang menyorot bercahaya melihat ke arah kami.
Menyadari adanya sesuatu yang tidak beres, aku mempercepat langkahku lalu melompat menerjang tubuh Mas Wahid. Kami berdua pun terjatuh lalu berguling hingga hampir jatuh ke dalam jurang.
Beruntung kami masih selamat. Nafas kami berdua memburu tak beraturan. Setelah mencoba menenangkan diri, akhirnya Mas Wahid pun juga tersadar.

"Gimana kita bisa sampai sini, Hen?" Ucap Mas Wahid.
"Kamu tiba-tiba lari ga jelas, mas. Makanya aku ikutin aja. Ga taunya kok malah lari ke arah jurang. Aku teriak-teriak manggil kamu juga kamu ga respon. Ya udah aku lompat aja nangkap kamu. Takut kamu jatuh ke jurang, mas" jelasku padanya.
"Loh.. padahal aku ngerasa dari tadi jalan biasa aja, Hen. Aku ngikuti burung tadi. Jadi tadi pas di balik semak aku ketemu burung kecil warna hitam ada corak kuning dan merah. Karena menurutku bagus,
aku coba mau nangkap dia karena burung itu kayaknya kelihatan jinak. Aku ikutin aja sampe tiba-tiba aku jatuh di sini sama kamu" jelas Mas Wahid padaku.
"Wah udah ga bener ini, mas. Mana ada burung malam-malam gini. Apalagi hujan kayak gini. Kita juga udah terlalu jauh kayaknya ini mas. Kita harus kembali ke bedeng. Tapi aku ga yakin ingat jalannya yang tadi" ucapku menyadari adanya sesuatu yang tidak beres.
Beberapa saat Mas Wahid mengamati area sekitar. Mungkin dia sedang berusaha mengenali tempat ini. Karena dia sudah beberapa kali mendaki Gunung Sumbing, jadi mungkin sedikit banyak sudah mengenali area Gunung ini.
"Aku ga yakin hafal, tapi sedikit aku mengenali tempat ini, Hen. Ayok balik aja ke bedeng. Ikuti aku" ucap Mas Wahid lalu mulai beranjak. Aku pun mengikutinya.
Belum jauh kami berjalan, tiba-tiba aku melihat suatu sosok makhluk berukuran sangat besar, mungkin tingginya sekitar 4-5 meter. Sosok itu terlihat samar, seperti gumpalan asap hitam menggumpal membentuk siluet badan. Dan matanya terlihat jelas berwarna merah bercahaya.
Sontak aku menghentikan langkahku lalu memegang pundak Mas Wahid untuk menghentikan langkahnya karena sosok itu berdiri tepat menghadang di depan kami.

Bersambung...
Part 2 selesai yaa... Tunggu part 3 minggu depan.. atau kalau mau baca duluan bisa ke karyakarsa
karyakarsa.com/Henrysetiawan8…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Henry Setiawan

Henry Setiawan Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @loopdreamer

Feb 2
-- GUNUNG SUMBING --

Pendakian horror dua sahabat di Gunung Sumbing Tahun 1998

Ijin tag yaa...
@bacahorror_id @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca @Penikmathorror @diosetta

#bacahorror #ceritahorror #horror #threadhorror #ceritahorrorpendaki
GUNUNG SUMBING 1998
(Ketika Batas Hidup dan Mati Tinggal Seujung Jari)

Part. 1

Bulan Desember tahun 1998
Saat itu usiaku belumlah genap 17 tahun dan aku masih duduk di kelas 2 SMA.
Di suatu siang saat jam istirahat kedua, salah satu temanku mendatangiku yang sedang asyik merokok di pojok belakang toilet sekolah. Ya.. salah satu kelakuan nakalku saat sekolah dulu adalah merokok, kuharap tidak ada yang menirunya.
Read 54 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(