Untuk yang mau baca part sebelumnya bisa ke akun karya karsa saja, tenang ini saya buka kok. karyakarsa.com/simpledandism1…
Bukannya kami sudah pernah berbincang seperti ini kemarin. Aku segera menatap lawan bicara di depanku. Takut menghilang lagi tapi detik itu juga aku berharap sebaliknya.
Saat ini Mbak Ayu membeku seperti patung. Sunggingan di sudut bibirnya penuh makna, matanya dingin dan tajam membuat kudukku meremang. Seperti predator yang bertemu dengan mangsanya. Mbak Ayu berubah, tak ada lagi wajah centilnya. Suasana jadi hening, sungguh hening.
Waktu berhenti, tak ada sedikit pun suara yang terdengar, hanya ada deru napasku dan Mbak Ayu yang menatap nanar, seringainya tambah menyeramkan. Tatap matanya bukan milik manusia. Aku tahu karena perlahan bola matanya menghitam seperti malam.
Saat suara radio satu arah berteriak memanggil namaku kebekuan terpecah, mataku hanya berkedip sepersekian mili detik dan Mbak Ayu ... lagi-lagi menghilang. Aku gelagapan dan merinding tak karuan.
Apa ini?
jika kemarin hanya suara sekarang bahkan mereka menyerupai orang-orang disekitarku.
"Pak Andra - Pak Andra? ...." Suara radio bergemerek memanggil berulang kali.
"Iy-iya! Andra di sini!"
"Pak barangnya sudah di depan." Suara Mbak Ayu di seberang, mengingatkan jika pesanan user sudah tiba dan harus segera diperiksa.
Kalau Mbak Ayu ada di luar, jadi dari tadi aku bicara sama siapa? Bahkan bilang kalau aku ganteng.
Meski dipuji begitu aku sama sekali tak menyukainya. Bahkan kudukku merinding luar biasa.
"Pak Andra?"
"I-iya Mbak, siapa receiving-nya?"
"Pak Mamat."
"Oke Mbak."
Badanku rasanya panas dingin waktu keluar ruangan. Di depan kantor beberapa orang sibuk mondar-mandir melayani beberapa user dari pabrik.
Masih ramai bergemuruh seperti lebah, tapi bisa-bisanya aku bicara sendiri. Bahkan hari masih terang. Apa aku berhalusinasi lagi?
Di depan pintu gudang sebuah mobil truk fuso hijau sudah menungguku bersama seorang pria yang berusia sekitar 40-an. Tatapan matanya penuh kebencian. Ya! Benar dia Pak Mamat. Logat palembangnya meluncur, terdengar semakin menyebalkan.
Aku masih gamang, tapi sudah bertemu Pak Mamat yang menguras emosi.
"Oi dah, lamo nian kau Ndra." Bahkan dia tak memanggil namaku dengan benar. Sabar-sabar.
"Iya Pak, masih ngecek mris."
"Ai ... Ngecek itu bae lamo. Cak mano lah! Katanyo kau bos?" Ejeknya. (Ah ... Ngecek itu saja lama. Gimana lah! Katanya kamu bos?)
Rasanya aku ingin menonjok wajahnya. Tapi Adis sudah berpesan, alon-alon asal kelakon. Sabar-sabar. "Ya sudah Pak, mana yang mau di cek?"
"Ikak ni nah! Ado elbow samo gasket. Kalau gasket pacaklah aku nurunin dewek. Aman elbow ikak berat, nah Pak Andra bae lah yang nurunin!"
(Ini kan ada elbow dan gasket. Kalau gasket saya bisa turunin sendiri, tapi kalau elbow ini berat, nah Pak Andra saja yang nurunin!)
Hah? Gak salah dengar? Aku memang lebih paham bahasa Palembang dari pada bahasa Jawa, karena aku lulusan Universitas Negeri di sana.
Dan pria ini menyuruhku? Akhirnya demi terciptanya kedamaian dan keadilan sosial bagi seluruh karyawan di sini, aku mengalah. Gak lucu kalau hari kedua sudah bertengkar, dengan bawahan lagi!.
Gasket memang ringan hanya berbentuk lembaran seperti tripleks dengan ukiran-ukiran mesin piston, meski lebar dan besar, barang ini ringan. Berbeda dengan elbow, bentuknya seperti makaroni raksasa yang terbuat dari besi dengan diameter hampir 30 cm.
Tapi baru saja aku hendak mengangkatnya Mbak Ayu datang dan menegur Pak Mamat.
Jelas sekali aku lihat, wajah pria itu berubah menjadi lebih waspada dan segan sekaligus. Mbak Ayu segera mencari beberapa tenaga harian lepas dan menyuruh mereka untuk melakukannya.
Namun kepalang tanggung, tanganku sudah kotor. Ya sekalian saja kami memindahkannya bersama-sama. Aku juga tak keberatan kok.
"Pak Mamat, tolong perhatikan ya! Pak Andra ini walaupun baru, dia atasan sampeyan. Ngerti!"
Pria Palembang itu hanya terdiam sambil melirikku seram. Takut? Menurutku Masih lebih seram lirikan Adis. Aku menenangkan Mbak Ayu yang mencak-mencak. Kataku, "Sudahlah."
Akhirnya keributan itu selesai dengan ucapan maaf dan saat Pak Mamat mendekat, aku yakin dia berbisik, "Pak Andra, kau hati-hatilah dengan Ayu. Dio dak sebaik yang kau lihat," dan berlalu begitu saja.
Meninggalkanku yang tergagap kebingungan. Pak Mamat sesekali masih menoleh padaku. Dia memang aneh sih, tapi sampai bilang hati-hati? Apa maksudnya?
Aku pulang telat bahkan harus sholat maghrib di kantor. Bumi sudah berselimut malam saat aku keluar gudang, beberapa pekerja masih sibuk mengelas dan menyelesaikan maintanance beberapa bagian mesin di dalam pabrik.
Cahaya berkilat-kilat dari alat las berpendar seperti bintang, bunyi palu menghantam besi bergema bersahutan. Padahal sudah malam, mereka masih sibuk bekerja, memeras peluh dan tenaga menjadi budak koorporat demi sebingkai mimpi, sepertiku.
Aku bersenandung ringan menuju parkiran di dekat cane yard. Mas Bambang tak menjemputku di depan gudang, mungkin saja dia ketiduran di mobil. Aku maklum sih, mungkin dia bosan menunggu.
Di tikungan terakhir aku sudah hampir sampai saat menyadari Mbak Ayu berdiri di sisi lain dan hendak memanggilnya, namun perempuan itu seperti bicara dengan orang lain. Saat aku mendekat, rupanya dia bersama Mas Bambang.
Pantas saja ia tak menjemputku. Semakin mendekat aku menyadari jika Mas Bambang sungkan dan menunduk sambil bicara 'sampun-sampun.'
Kedua orang itu menyadari kehadiranku. Mbak Ayu langsung salah tingkah dan segera berlalu masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan Mas Bambang segera menyambutku.
Aku baru saja turun dari mobil, Adis sudah berlari menyambutku dan menangis. Terang saja aku kaget setengah mati, siapa yang berani menyakitinya?
"Adis kenapa?"
Wanita itu hanya sesenggukan dan menggeleng berulang kali. Aku menatap Mas Bambang bingung, mungkin karena sungkan, pria itu ijin meninggalkanku.
Aku menuntun Adis masuk ke rumah. Tangisannya membuat bajuku basah, apa karena aku pulang telat?
"Adis kenapa? Marah ya karena Mamas pulang telat?"
Adis hanya membisu, aku sampai tak bisa buka sepatu karena dia terus menempel. "Maaf ya Mamas pulang telat, sudah jangan sedih lagi."
Wanita itu mengangkat wajahnya, matanya sudah bengkak, artinya dia sudah menangis sedari tadi sebelum aku pulang.
"Mamas, Adis nangis bukan karena Mamas balik telat, tapi kui loh."
Tangannya menunjuk arah kamar, jangan-jangan?
Aku hanya pasrah saat melihat patung pengantin itu berdiri tegak dan angkuh di atas meja. Padahal semalam aku sudah menyimpannya di dalam kardus. Sekarang terang-terangan dia ada di sini. Mengejekku dan berkata jika aku takkan pernah bisa menyingkirkannya.
Aku bahkan masih ingat bagaimana kuku tajam itu mencakar punggungku.
Adis masih terisak di ruang tamu, aku yakin wanita itu pasti marah karena aku telah berbohong. Tapi saat aku menyentuh kepalanya jangankan marah, satu patah kata pun tak terucap membuatku semakin serba salah.
"Adis, maafin Mamas ya?" Ucapku dan membenamkan kepalanya dalam pelukanku, wanita ini hanya terisak membisu.
"Adis ... Kalau mau marah sama Mamas, gak apa-apa. Mamas yang salah. Tapi jangan diem aja. Mamas kan jadi bingung."
Adis perlahan mengangkat wajahnya dan menatapku, aduh matanya yang bengkak buatku semakin sedih. Bodohnya aku!
"Adis ndak marah sama Mamas, Adis ki keweden Mas, dewe'an nang omah, ndak ono kancane, trus ono patung serem koyo ngunu. Sopo seng bakalan betah."
"Coba pelan-pelan, biar Mamas ngerti," hiburku.
"Adis gak marah, tapi takut, patung itu balik sendiri. Padahal Mamas juga baru pulang kan?"
"Ya ... Tadi Adis pergi keluar gak? Siapa tahu ada yang iseng masuk ke dalam rumah."
"Adis memang ke tempat Bu Wiro, tapi ndak lama."
"Rumahnya di kunci gak?"
"Adis lali Mas."
"Nah mungkin ada yang masuk, sekarang kamar itu kita kunci saja. Biar ndak usah di buka-buka lagi kalau Adis takut."
"Trus kalau kotor, sopo seng nyapu?"
"Mamas yang nyapu. Sudah jangan nangis lagi. Suaminya pulang kok di sambut tangisan. Mamas kaget setengah mati tadi," mulutku manyun pura-pura ngambek.
"Heleh, ngapusi." (Ah, Bohong)
"Bener kok, nih jantung Mamas kaitannya lepas satu. Cek lah!" Aku menuntun tangan Adis menyentuh dadaku sambil merem.
"Ish kumat genjennya" seloroh Adis, akhirnya dia tertawa. Untunglah! Aku pasti bingung kalau sampai dia kenapa-napa. Hanya wanita ini yang aku miliki.
Tapi pertanyaanku belum terjawab, tak mungkin jika patung ini pindah sendiri. Artinya ada seseorang yang masuk ke rumah ini. Meskipun Adis sudah menguncinya, bisa saja penyusup itu punya kunci cadangan, siapa yang tahu?
Apa lagi ini rumah dinas dan aku baru beberapa hari tinggal di sini.
Sebaiknya aku memasang gembok untuk kunci tambahan. Tapi logikaku buntu, menerangkan bagaimana bisa luka cakaran ini mampir di punggungku. Bisa ku pastikan ini bukan perbuatan Adis, dia tak seliar itu.
"Mamas sudah makan?"
Aku hanya menggeleng. Sebenarnya tadi di mobil perutku sudah keroncongan, tapi laparku langsung hilang karena mendengar tangisan Adis.
"Maaf ya Mas, mestine Adis ndak cingeng gini," wanita itu mengusap air mata dan ingusnya mirip bocah. Membuatku gemas.
"Adis ... Tugas Mamas sebagai suamimu itu untuk dengerin tangisanmu ini, buat kamu bahagia dan juga membuatmu tertawa. Jadi jangan ngomong gitu lagi ya?" Ucapku sambil memencet hidungnya yang bangir.
"Matur suwun yo Mas."
"Iyo ...."
Adis kembali memelukku erat. Ya Tuhan moment ini benar-benar manis. Tapi waktu romantisku terpaksa bubar karena tersela suara perutku yang lapar. Ah, cacing sialan gak tahu apa lagi mesra begini. lagi-lagi Adis tertawa.
"Ayok Mas maem."
Malu-malu tapi mau, aku manggut saja sambil tertawa. Adis bangun dan menuntunku ke dapur. Tapi di tengah lorong, aku kembali ke kamar dan menatap loro estri yang menakutkan lalu menutupnya dengan selimut.
Kalau kamu memang gak mau di pindah ke kardus setidaknya jangan melirik-lirik buat istriku takut. Batinku sambil menutup pintunya.
Kamar sudah gelap dan pintu kamar terbuka seperti biasa. Di atas pembaringan Adis memelukku sambil bercerita jika Ari, anak pak Bowo sedikit aneh, berkali-kali mengatakan jika Adis berbau harum seperti bunga kantil.
"Ojok ah," Adis kekeh dengan keputusannya.
"Gak enak sama atasan Mamas, rekan kerja di sana gak ada yang gondrong." Rasanya tak mungkin jika aku menerangkan yang sebenarnya.
"Yo tapi eman-eman loh ..." rengek Adis.
"Jadi gimana?"
Adis sedikit merengut tapi akhirnya dia menyerah.
"Yo uwes, besok potong aja gak apa-apa. Mamas mau cukur di mana?"
"Adis bisa kan bantuin Mamas?"
"Kalo nyukur biasa yo iso sih, tapi Mamas yakin mau di potong?"
Adis hanya terdiam, kendati aku terus mendesaknya. "Kenapa sih?" tanyaku sekali lagi.
"Mamas nanti tambah ganteng, banyak yang naksir." Akhirnya dengan sedikit judes Adis bicara jujur disambut gelak tawaku dan bunyi decit ranjang. Senang juga sih di cemburuin begini.
"Oalah ... Jadi itu alasannya," ucapku sambil mengusap ujung mataku yang berair.
"Ish malah guyu ae ... Ndak usah di potong ya?" Rengeknya lagi.
"Gimana sih, tadi katanya boleh?"
"Yo uwes lah, besok beli gunting. Adis yang potong."
"Sip! Besok Mamas minta tolong Mas Bambang buat beli guntingnya."
Malam itu Adis terus bercerita tentang bu Wiro dan Ari juga beberapa tetangga yang sudah di kenalnya, sampai dia tertidur di dekapanku. Sumpah! Aku tak menduga jika bisa jatuh cinta segila ini padanya.
Padahal wanita ini, boro-boro mau menggodaku seperti Mbak Ayu. Berdandan menor saja tak pernah. Aku mengusap wajah lelap Adis dan rambutnya yang panjang.
Aduh pegel! Tanganku mulai kesemutan karena Adis cukup lama tidur diatasnya. Selembut mungkin aku menggesernya ke samping, menjaganya tetap tertidur. Cahaya kamar yang redup membiaskan wajah Adis yang mungil sampai ...
Ekor mataku menangkap siluet seseorang duduk di atas lemari dengan kaki yang menjuntai, saat aku menoleh, tak ada apa pun. Tak sampai di situ, samar-samar seseorang seperti menggaruk-garuk dengan kukunya.
Semakin aku berusaha untuk mendengarnya lebih jelas, suara itu semakin lirih dan menghilang. Dan sunyi ...
Ah salah dengar. Tidur saja, hiburku yang mulai merinding tak karuan. Aku berbalik memunggungi pintu kamar yang terbuka dan memeluk Adis, hampir terlelap.
Dalam batas kesadaranku, sayup-sayup seseorang menangis. Tangisannya begitu sendu dan sedih, melukiskan betapa besar rasa sakit dan kecewanya. Suaranya mengayun, lirih, berpindah-pindah. Timbul tenggelam.
Terkadang dia di dalam rumah ....
Lalu ke luar tepat di sebelah dinding kamar ... Terisak-isak ... Cukup lama.
Kali ini dia menangis di dapur ... Sedih ....
Semakin lirih ....
Lirih ... Mengayun ... Hampir menghilang ...
Kembali terisak ....
Dia berpindah lagi, kali ini ...
DI DALAM KAMAR!
Aku berusaha membuka mata, tapi nihil tubuhku membeku. Dan kali ini tangisan itu tepat di belakang punggungku, dia semakin mendekat. Kali ini ditambah semerbak harum kantil dan ... Melati.
Jeritan wanita itu memekakkan telinga, aku bergegas bangun bersama decit ranjang yang berbunyi nyaring. Telingaku berdenging seperti di hantam sesuatu dan lampu kamar menyala terang. Saat kesadaranku pulih, Adis sudah tak ada padahal baru saja aku memeluknya.
Aku cemas juga ketakutan. Bergegas mencari Adis, namun tak butuh waktu lama. Dia di kamar sebelah, berdiri di depan loro estri yang sudah tak tertutup kain. Saat aku melihat lebih dekat, matanya tertutup. Sleep Walking?
Adis tak pernah begini, bergegas aku memapahnya kembali ke kasur dan merebahkannya perlahan. Herannya dia masih tertidur. Ada apa ini?
lagi-lagi suara garukan yang sama terdengar dari kamar sebelah. Berirama dengan tempo yang lambat. Meski takut tapi rasa penasaranku lebih besar. Membuatku nekat kembali ke dalam kamar sebelah, seketika suara itu menghilang.
Loro estri menatap dingin padaku, karena tatapannya yang semakin seram, aku kembali memasukkannya ke dalam kardus.
Belum juga aku bangkit, seseorang berlari di lorong tengah rumah menuju ruang tamu.
Jangan-jangan bukan setan tapi maling? Aku segera menyusulnya. Dengan bantuan lampu dari teras, siluet perabotan samar-samar masih terlihat jelas tapi ruangan ini kosong! Tak ada siapapun.
Dari bayangan horden jendela ruang tamu, seseorang kembali berlari di teras ke arah samping rumah. Dari siluetnya itu seorang laki-laki.
Aku segera membuka pintu depan. Lagi-lagi di luar tak ada siapapun, sepi. Hanya ada lampu jalan menerangi sekitar dan rumah tetangga depan yang kosong. Pandanganku beralih ke pepohonan yang gelap, gerakan daunnya membuatku merinding. Aku hendak berbalik masuk ke dalam rumah ...
Sampai ....
Secepat kilat dia kembali berlari dari belakangku menuju halaman samping. Wah ini pasti maling. Kalau sampai ketangkap, aku bakal kasih hadiah mata lebam. SUMPAH!
Berhati-hati aku menutup pintu rumah dan berjingkat-jingkat menyusulnya, lagi-lagi dia hilang! Berganti suara tangisan ... Perempuan?
Aku celingak-celinguk mencarinya. Ternyata isak tangis itu berasal dari rumah pak Wiro.
Di sana, tepat di depan teras seorang wanita berdaster berbicara dengan udara kosong sambil menangis sesenggukan. Aku sudah ingin mendekat namun Pak Wiro muncul dan menyeretnya ke dalam dengan kasar. Pria gempal itu bicara seperti mengusir seseorang atau sesuatu.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Pak Wiro yang aku kenal adalah pria setengah baya yang buncit dan suka tertawa dengan bahasa campur-campurnya. Namun kali ini pria itu berubah bengis. Di bawah temaram lampu teras, Rahang gempalnya mengeras, kata-kata pria itu sungguh kasar pada istrinya yang bersimpuh.
Pria itu masih marah-marah sambil menunjuk ke arah udara kosong, entah pada siapa. Jangan-jangan Pak Wiro sudah sinting? Aku menunduk di balik rimbunan semak pagar saat pria gempal itu meluaskan pandangannya. Pintu di banting, suara tangisan bu Wiro menjadi lirih.
Di dapur kepalaku penuh dengan berbagai tanya. Sembari membantu Adis memasak aku menduga-duga sebenarnya apa yang terjadi semalam? Kenapa patung itu selalu kembali ke tempatnya? Suara wanita menangis? Adis yang tidur sambil berjalan? Terakhir sikap Pak Wiro.
Aku terus menerus menghela nafas.
"... Mas ... Mamas, denger ndak toh?"
"MAMAS!"
Wanita itu menggeplak bahuku sekencangnya, untung saja pisau yang ku pakai mengiris bawang tak ikut memotong jariku. Adis! Suamimu ini hampir kehilangan telunjuk.
"Apa sih Dis?" Sedikit kesal aku menjawab. Tapi ucapan Adis malah lebih ketus.
"Ket mau di takoni meneng ae, ngelamun opo toh?" (Dari tadi di tanya diam saja, ngelamunin apa sih?).
"Gak ngelamun kok," tukasku cepat.
"Ish ... Ngapusi, wes itu loh ono Mas Bambang, nganterin pesenan Mamas jarene." (Ish ... Bohong, udah itu loh ada Mas Bambang, nganterin pesenan Mamas katanya)
Haduh judesnya istriku. Aku bergegas ke depan sebelum omelan Adis semakin panjang, benar saja pria itu sudah di teras dan membungkuk-bungkuk saat aku datang.
"Pagi Pak Andra. Maaf menganggu, mau nganterin gunting karo gembok pesanan sampeyan."
Hampir saja aku lupa. "Tapi gembok ki buat opo yo Pak?" Pria itu bertanya lagi.
"Buat kunci tambahan Mas, takut ada maling."
"Maling?" Pria itu sedikit bingung.
"Iya, tolong bantuin masang ya?"
"Eh? Eng-enggih ... Pak."
Mas Bambang sedikit sungkan, tapi mungkin karena ini permintaanku sebagai atasannya, dia tak bisa menolak. Waktu memasang kunci tambahan di kamar sebelah, pria itu melirik kiri dan kanan seperti mencari sesuatu.
Aku sih biasa saja. Mungkin dia penasaran dengan rumah bos-nya ini.
Adis sesekali mondar-mandir dari dapur ke depan mengantar kopi pagiku juga segelas teh untuk Mas Bambang di temani bakwan hangat. Sambil leyeh-leyeh di teras kami ngobrol ngalor ngidul.
"Amit yo Pak, memang ada maling masuk rumah sampeyan?" Ucap Mas Bambang yang sesekali meniup teh dalam cangkir yang mengepul.
"Ya gak ada. Jaga-jaga saja," aku menyesap cangkir. Kopi hitam buatan Adis memang yang paling enak.
Mas Bambang hanya mangut-manggut. Suasana sedikit ramai karena ini hari minggu. Beberapa pekerja hilir mudik membersihkan halaman dan juga bagian dalam rumah depan yang kosong.
Di jalan paving blok beberapa bocah berlarian di jalan sambil saling berteriak satu sama lain. Jadi anak-anak itu memang menyenangkan.
"Sepertinya rumah depan mau di tempati orang baru ya Mas?"
"Koyone Pak. Kebetulan Pak jadi bisa nambah tetangga." Mas Bambang mulai makan bakwan yang sedikit panas, sesekali pria berkumis ini meniupnya.
“Iyo Pak, tetanggaku cuma Pak Wiro. Itu juga jarang ketemu.”
“Engih Pak. Rumah belakang sampeyan juga mau di tempatin orang baru. Kemarn ada yang beres-beres” terang pria di sebelahku sambil kembali menyesap tehnya.
Dari arah jalan sebuah bola melambung dan menggelinding di depan kami, tak lama Ari mendekat dan memungut bolanya sambil bilang permisi. Anak yang sopan dan mengingatkanku tentang celoteh Adis tentang Ari yang mengatakan jika Istriku itu bau kantil.
"Anaknya Mas Bambang gak di ajak sekalian ke sini?"
"Ndak Pak, dia lebih seneng di rumah main sama temennya."
"Oh, di rumah sama istri sampeyan?"
Sepertinya aku salah bicara, karena raut wajah Mas Bambang langsung berubah sedih. "Ndak Pak, Istri saya minggat tujuh tahun lalu."
"Waduh maaf Mas," sesalku karena bersikap sok tahu.
"Ndak apa Pak. Kulo wes ikhlas." Meskipun Mas Bambang bicara begitu, aku melihat jelas kesedihan di matanya.
Untuk menghilangkan rasa canggung akhirnya kami bicara hal yang lain, sampai aku ingat jika harus minta tolong satu hal pada pria di depanku ini.
"Mas, malem ini kan kita masuk jam sembilan malam. Nanti saya tinggalin handy talkie di rumah. Saya pakai cadangan yang di kantor saja. Kalau ada apa-apa sama Adis. Tolong anterin ke rumah ya?"
"Enggih Pak Andra, Memangnya Bu Adis sakit ngih?"
"Ngak Mas. Siap-siap saja kalo rewel, soalnya dia penakut."
"Wah Pak Andra ini sayang betul ngih sama Bu Adis?"
"Ya gimana lagi Pak. Saya yatim piatu dari kecil. Keluarga saya cuma dia"
"Ealah ... Maaf yo Pak."
Dan sekarang gantian Mas Bambang yang serba salah. Gak apa-apa Mas, kita satu sama.
"Mamas jadi ndak potong rambutnya?" tanya Adis saat melihatku yang menyampirkan handuk di bahu.
"Oh iya lali," mulai bisa bahasa jawa meski logatnya kaku.
Wajah Adis yang lembut dan mungil terkadang berjarak sangat dekat, membuatku tersipu. Padahal kami sudah cukup lama menikah tapi perasaanku pada Adis, masih sama seperti saat pertama kali bertemu.
"Wes beres, gek endang mandi."
"Inggih matur nuwun nyonya," jawabku di sambut tawa gemas Adis.
"Ndak pantes," katanya sambil mencubit pinggangku gemas. Secepat kilat aku menghindari sambil berlari menuju kamar mandi.
“Awas kepleset Mamas!” teriakan Adis mirip seorang ibu yang mengkhawatirkan anaknya.
Sehabis mandi, kepalaku rasanya enteng dan sejuk. Kalau Adis bilang ‘semriwing.’
"Mamas, ada untungnya juga ya sampeyan potong rambut."
"Untungnya?"
"Ho'oh, sampo Adis jadi awet"
Asem tenan,a ku kira dia bakal bilang kalau aku tambah ganteng seperti kemarin. Memang perempuan kalau masalah uang, njelimetnya melebihi anggaran belanja negara.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat, meskipun belum larut. Tapi karena ini perkebunan jadi suasana sudah sepi. Adis yang sudah terbiasa tak lagi protes dan sibuk menonton sinetron sambil tertawa-tawa meliat tingkah aktor di layar kaca.
Awalnya Adis manyun saat aku bilang kerja shift malam. Namun begitu tahu jika semua pintu telah terpasang kunci tambahan ngeyelnya hilang. Aku juga meninggalkan radio komunikasi di rumah, siap-siap kalau dia kenapa-napa. Jujur saja aku masih sedikit was-was.
Sorot lampu mobil memantul di jendela ruang tamu, Mas Bambang sudah datang.
"Adis, Mamas berangkat ya?"
"Ho'oh. Alon-alon yo Mas?"
"Beneran sudah bisa kan? Pakai HT nya?"
"Tinggal pencet ini aja toh, trus panggil Mamas?" Wanita itu melakukan tepat seperti yang telah ku ajarkan, tak lama suara radio dipinggangku bergemeresek memantulkan suara Adis.
"Iya, jangan pencet yang lain. Pencet yang tombol samping saja. Ini sudah Mamas atur jalurnya. Gak enak kalau kedengeran jalur lain."
"Ho'oh ... Wes ndak usah khawatir."
Dia bilang begitu tapi kenapa aku malah cemas ya? Meragukan!
"Mamas berangkat ya! Jangan lupa kunci pintunya. Dapur sama pintu kamar sebelah sudah Mamas kunci."
"Iyo Mas ...."
Ini pengalaman pertamaku masuk shift malam, suasana perumahan sama seperti saat pertama kali datang.
Pohon-pohon besar sepanjang jalan menjelma seperti siluet raksasa.
Saat keluar lingkungan perumahan, barisan pohon tebu terhampar seperti karpet hitam di bawah langit berbintang yang cerah, mungkin karena udara di sini bersih. Meskipun indah tapi tetap saja misterius.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika ada psikopat gila yang bersembunyi di sini. Membayangkannya saja aku sudah merinding. Mau lari kemana? Dan minta tolong siapa?
Pabrik dan barisan gudang gula berdiri kokoh menyambutku, sampai di depan gudang sparepart beberapa orang masih sibuk bekerja. Benar-benar karyawan teladan. Namun satu hal yang menggangguku - Mbak Ayu - perempuan itu masih di sini? Bukannya dia shift siang?
Wah malas aku meladeninya.
Padahal masing-masing pengawas sudah di bagikan jadwal bergantian. Di periode ini Pak Wiro masuk di shift pagi, Mbak Ayu shift siang dan Aku shift malam. Jadi seharusnya dia sudah pulang dari tadi.
Alamat gak beres, aku masih trauma dengan kejadian kemarin.
Wah ... Dia mendekat sambil senyum-senyum genit. Andra! kuatkan imanmu.
Seperti kemarin, wanita ini ikut kemanapun. Aku yang risih memilih duduk bersama rekan yang lain dan memeriksa berkas di luar ruangan.
Gak lucu kalau harus berduaan apalagi ini malam hari.
Kata Adis kalau laki-laki dan perempuan berduaan saja yang ketiganya itu setan. Tapi sepertinya itu tak berlaku di sini. Padahal jelas-jelas kemarin aku sendirian tetap saja yang keduanya ditemani setan.
Berwujud Mbak Ayu lagi. Bulu kudukku tiba-tiba meremang.
"Pak Andra, mau ngopi?" Tawaran Mbak Ayu mengingatkanku pada seringai seramnya.
"Ngak usah Mbak nanti saya buat sendiri kalau sudah ngantuk."
"Bener gak mau? Kopi buatan saya enak lho."
"Ngak Mbak, terima kasih."
"Ya sudah," Wanita itu berlalu menuju ruangan lain tepat disebelah pintu keluar.
Iya pergi sana! Seharusnya dari tadi, aku benar-benar risih!
Selesai! Tanganku pegal. Jam menunjukkan pukul 01.45 dini hari, wajar saja kalau mataku terasa berat.
Aku masuk ke dalam ruangan, istirahat sebentar sambil merebahkan punggungku di sandaran kursi. Mungkin karena lelah dan baru pertama kali kerja malam hari aku mulai terpejam, saat ...
Suara gamelan terdengar mengayun lirih ...
Lambat laun aku mengenali irama kenongnya. Seperti pernah mendengarnya di suatu tempat, tapi di mana? Lagian siapa malam-malam begini memutar kaset gending beginian ...
Eh! Gending ini? Gending pengantin ... Ya aku ingat saat menikah dengan Adis, waktu acara temon manten. Memangnya ada acara pernikahan?
Cukup ya, sampai segini dulu.
Untuk yang mau baca kelanjutannya bisa ke akun KK saya di BAB DELAPAN.
Terima kasih.
Selamat malam jum'at
yang sudah nikah monggo kalau mau sunah rosul. Ngih!
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Siapa?
Siapa yang berani menjemput ajalanya?
Keturunan mana yang suka rela mengantarkan nyawanya? Menyerahkan kekuasaannya!
Jarak kami semakin pendek, kini di hadapanku berdiri seorang pria berbeskap hitam dengan blangkon warna senada dan ucapannya membuatku yakin jika di dalam pria itu sudah menunggu, pemilik ritual gambuh.
Selepas kepergian Pak Ade dan Mas Agung, aku masih terpekur sendiri sambil sesekali menyesap kopi dingin yang hambar. Memikirkan tetang sebelas ritual ini sambil menghembuskan asap dalam ruangan yang mulai redup. Aku kembali mengulangnya, tentang janji Wijaya.
Sebelas ritual miliknya yang menggambarkan perjalanan hidup manusia.
Aku sudah tahu hakikat syair macapat ini adalah keberadaanku tapi ada satu lubang besar yang masih mengganjal dalam pikiranku. Kenapa dari sebelas ritual ini,
Assalamualaikum. Lanjut lagi ya cerita Mas Andra dan Mbak Adis.
Julung Kembang : Part 08
Ijin tag ya Bang.
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id #malamjumat #horror #horor
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id Selintas pengelihatan yang aku dapatkan setelah menelan simpul kinanthi menuntunku kemari. Sambil bersandar di pintu toko yang tutup aku duduk begitu saja di atas lantai yang kotor, memperhatikan keramaian di depanku.
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id Sudah lewat tengah malam, bukannya berkurang, bangunan di depanku ini justru semakin ramai oleh kerumunan pria hidung belang, penjudi dan wanita sundal yang keluar masuk.
Bismillah, lanjut lagi ya. biar cepat selesai dan ngak penasaran.
Julung Kembang : Part 07
Ijin tag Bang.
@IDN_Horor @SpesialHoror @chow_mas @threadhororr @C_P_Mistis @karyakarsa_id #horror
Pagi baru menjelang, cahaya mentari baru mulai menghangat. Di dalam ruang kerja, aku menuliskan semuanya pada halaman terakhir buku hitam peninggalan buyutku yang gila.
Menorehkan tinta dengan tangan gemetar, menggenggam pena itu sekuat mungkin.
Menggigit bibirku hingga berdarah, rasa asin dan anyir itu menyebar dalam rongga mulutku pun kesedihan yang semakin meluap. Pesan terakhirku untuk Adis.
Setelah belasan pemeriksaan lanjutan, Aji dipindahkan ke ruang perawatan kelas satu di lantai atas.
Kabel pendeteksi jantung menempel di dada kecilnya, tak ketinggalan selang oksigen dan selang makanan menjejali wajahnya yang kecil. Hatiku teriris-iris.
Jarum infus itu menancap di lengan Aji, menyakiti putraku yang malang.
Suara mesin denyut jantung berirama dengan tenang menggema keseluruh ruangan. Setiap detaknya seperti palu godam yang mengahantamku. Hasil ct-scan, lab, bahkan riwayat kesehatan Aji semuanya normal.