Puncak dari tentetan teror yang mereka alami di pos 2 Gunung Sumbing ini. Dan ujungnya, meski semuanya selamat pada akhirnya mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan pendakian dan kembali turun. Di part akhir ini juga nantinya terungkap penyebab mereka mengalami terror ini.
GUNUNG SUMBING 1998
(Ketika Batas Hidup dan Mati Tinggal Seujung Jari)
Part. 4 (tamat)
Tidak banyak hal yang bisa kami lakukan malam ini. Suasana tidak banyak berubah. Hanya hujan yang semakin mereda, namun masih menyisakan rinai yang membuat suasana mencekam semakin kental.
Kami bertiga masih duduk mengelilingi perapian yang terus kami jaga supaya tidak padam. Beruntung persediaan kayu kering masih cukup banyak, sehingga kami tak perlu khawatir perapian ini padam karena kehabisan bahan bakar.
Di luar sana masih banyak aktifitas penghuni gunung yang tak jarang menunjukkan eksistensinya.
Terkadang terdengar suara langkah kaki di samping bedeng, suara benda yang dilempar ke atap bedeng yang menghasilkan suara cukup gaduh dan berhasil mengagetkan kami, serta kelebatan bayangan-bayangan melintas di depan bedeng.
Tetapi tak satupun dari mereka yang menampakkan wujudnya di depan kami seperti mereka menampakkan diri di depan Anton sebelumnya.
Tak satupun dari kami yang bisa tidur. Rasa takut yang menyelimuti kami saat ini memaksa kami untuk terus terjaga.
Hingga malam semakin larut, entah sudah jam berapa, Mas Wahid terlihat beringsut merebah di depan perapian. Mungkin dia sudah telalu lelah.
Aku dan Anton masih tetap terjaga mengobrol tentang apa saja. Kami berdua memang tidak berniat untuk tidur, karena kami khawatir mendapatkan gangguan ketika kami terlelap.
Hingga saat kami sedang asyik menikmati kopi, tiba-tiba Mas Wahid berdiri lalu melihat keluar bedeng. Cukup lama dia berdiri tanpa melakukan apapun. Aku dan Anton pun hanya melihatnya. Kami hanya penasaran apa yang hendak dilakukannya.
Tiba-tiba Mas Wahid berbicara sendiri. Atau lebih tepatnya meracau karena tidak jelas apa yang diucapkannya. Dan tak lama tiba-tiba dia berlari keluar menembus kegelapan dan rinai hujan yang masih turun dengan lembut namun menakutkan.
Aku dan Anton hanya saling pandang setelah melihat kelakuan Mas Wahid.
Menyadari ada yang tidak beres, kami berdua mengambil senter lalu keluar mencari keberadaan Mas Wahid. Kami khawatir atas keselamatannya.
Meskipun kami baru kenal, tetapi sebagai sesama pendaki gunung, apalagi kami mendaki bersama dalam satu tim, kami pun merasa bahwa kami semua adalah saudara.
Aku dan Anton menyusuri area sekitar pos untuk mencari Mas Wahid. Namun kami tak dapat menemukannya. Tak jarang kami juga berteriak memanggil namanya.
Tak satupun jawaban yang kami dengar. Justru kami malah mendengar suara-suara aneh dari penghuni gunung ini. Seperti suara tertawa, suara orang ngobrol bahkan suara eraman harimau yang kami dengar samar terbias suara hujan.
Merasa nihil hasil pencarian kami, kami pun memutuskan kembali ke bedeng. Siapa tau Mas Wahid sudah kembali. Sesampainya di bedeng kami merasa lega karena ternyata benar Mas Wahid sudah berada di dalam bedeng sedang duduk menghadap ke perapian.
"Dari mana tadi mas?" Tanyaku ketika aku telah sampai di hadapannya.
Tak ada jawaban dari Mas Wahid. Bahkan dia sama sekali tak menghiraukan kedatangan kami. Dia masih tetap diam memandang ke arah api.
"Mas... Mas Wahid..." Panggilku lagi
Dia tetap masih diam membatu tak memperdulikan kami. Hingga ketika aku hendak memegang pundaknya tiba-tiba dia menepis tanganku lalu menatapku tajam.
Aku yang terkaget seketika mundur beberapa langkah. Tak berbeda dengan Anton, dia juga melakukan hal yang sama.
Mas Wahid lalu berdiri dan menatap kami berdua bergantian. Masih dengan tatapannya yang tajam. Namun kali ini diiringi dengan senyumnya yang menyeringai. Kami berdua sungguh ketakutan dibuatnya.
"Gggrrrrr... Kalian semua penggangu... Gggrrrrr..." Ucap Mas Wahid diselingi dengan geraman seperti geraman harimau.
Mungkin ini yang disebut kesurupan, batinku. Mirip seperti yang pernah diceritakan orang-orang. Aku memang tak tau pasti bagaimana orang kesurupan. Mungkin ini pertama kalinya aku melihat langsung. Dan jujur saja aku bingung bagaimana menghadapinya.
"Ggggrrrrr... Dia harus ikut denganku... Gggrrrrr" ucap Mas Wahid lagi.
Karena sudah merasa sangat tersudut, akhirnya aku berusaha mengumpulkan keberanianku. Bagaimanapun juga kami harus selamat. Begitu yang kupikirkan.
"Siapa kamu dan apa maumu?" Ucapku tegas kepada Mas Wahid, atau tepatnya kepada sosok yang merasukinya.
"Gggrrrr... Aku penguasa wilayah ini... Ggghrrrrr... Kalian lancang memasuki wilayahku dan membawa sesuatu yang mengotorinya.. Gghrrrrrr..." Ucapnya lagi
Apa maksud makhluk itu? Seingatku kami datang dengan cara yang baik. Bahkan semua sampah yang kami hasilkan pun kami kumpulkan untuk besok dibawa turun lagi. Jadi sebetulnya kami mengotori apa? Pikirku sedikit kebingungan.
"Apa maksudmu? Kami tidak mengotori apapun. Cepatlah pergi dari tubuh temanku!" Ucapku lagi.
"Gghgrrrrrrr.. dia harus ikut denganku... Gggrrrr... Hahahahaha"
Usai mengucapkan itu, Mas Wahid tiba-tiba melompat melewati perapian langsung menuju ke depan bedeng yang berupa dataran agak lebar. Di depan bedeng itu Mas Wahid merangkak kesana kemari mirip seperti harimau sambil terus menggeram.
Sesekali dia berguling. Dia juga mencakar-cakar tanah sambil sesekali memakannya. Ya benar, dia memakan tanah merah basah di depan bedeng ini.
Aku dan Anton segera mendekati Mas Wahid. Aku berusaha menangkapnya. Tapi setiap kali aku menangkap tubuhnya, dia langsung berontak bahkan melemparkanku.
Tenaganya sungguh luar biasa. Aku dan Anton sangat kuwalahan menghadapi Mas Wahid yang sedang kerasukan. Beberapa waktu kami saling berjibaku hingga seluruh badan dan baju kami kini telah basah dan kotor terkena lumpur.
Mungkin merasa ada perlawanan, sosok yang merasuki Mas Wahid kini mengamuk. Dengan menggunakan tubuh Mas Wahid, dia mulai berusaha menyerang kami.
Beruntung aku dulu sempat mengikuti perguruan silat, jadi sedikit banyak aku bisa menggunakan tehnik silat untuk menghindari serangan Mas Wahid.
Hingga suatu ketika aku mendapatkan sedikit kesempatan saat Mas Wahid sedang menyerang Anton, sehingga pertahanannya sedikit terbuka.
Tak mau buang kesempatan, aku segera melayangkan tinju kananku ke arah pipi kiri Mas Wahid. Entah ada kekuatan dari mana, ketika tinjuku tepat mengenainya dengan telak, Mas Wahid langsung tersungkur tidak bergerak.
Aku jatuh terduduk. Kurasakan seluruh badanku sakit dan sangat kelelahan. Nafasku memburu. Kulihat Anton kondisinya juga tak berbeda denganku. Kucoba atur nafas dulu.
Ketika sudah sedikit tenang, aku beranjak mendekati Mas Wahid. Tubuhnya masih tergeletak di tanah. Aku memeriksanya, dan ternyata dia masih bernafas. Berarti dia hanya pingsan.
Aku takut terjadi sesuatu padanya. Tapi jika dipikir pun tak mungkin aku sampai mencelakainya jika hanya memberi satu pukulan saja.
Bersama Anton, aku membawa Mas Wahid ke dalam bedeng. Anton melepas pakaian Mas Wahid sedangkan aku membongkar ranselnya untuk mencari baju yang masih kering. Beruntung aku mendapatkannya.
Dengan segera kami mengganti pakaiannya yang basah dengan pakaian kering. Karena memakai pakaian basah dalam kondisi seperti ini sangat beresiko terserang hipotermia. Usai mengganti pakaian Mas Wahid, aku dan Anton juga bergiliran mengganti baju kami.
Usai berganti pakaian, kami semua kembali duduk di dekat perapian untuk menghangatkan badan. Kami juga memasak air untuk keperluan nanti. Setelah beberapa waktu, Mas Wahid mulai bergerak. Nampaknya dia mulai siuman.
"Aduh ini pipiku kenapa sakit banget ya" ucapnya ketika kesadarannya sudah pulih.
"Tadi ga tau kenapa Mas Wahid tiba-tiba ga sadar lalu lari keluar dan nabrak pohon di depan itu, mas" ucapku berbohong.
Kupikir memang sebaiknya tidak kuceritakan dulu kejadian yang sebenarnya. Setidaknya sampai kami turun besok. Anton pun sependapat denganku.
"Kalian yang ganti pakaianku?" Tanyanya lagi.
"Iya mas. Tadi basah dan kotor karena Mas Wahid hujan-hujanan" jawab Anton.
"Aneh.. padahal seingatku aku tadi tidur. Kenapa tiba-tiba bangun badanku sakit semua. Pipiku juga sakit banget kayak habis kena pukul. Dan bajuku juga sudah kalian ganti. Sebenarnya apa yang terjadi?" Tanya Mas Wahid lagi.
"Besok aja pas udah turun kita ceritain mas. Sekalian ada yang mau aku tanyain" jawabku.
"Baiklah. Sekarang kalian mendingan istirahat aja. Biar gantian aku yang jaga" sambungnya
"Udah terlanjur ga ngantuk mas. Lagian kayaknya bentar lagi juga udah pagi. Nanti sekalian tidur di basecamp aja. Sekarang mendingan ngopi.. hehe" jawab Anton sedikit mencairkan suasana.
Pada akhirnya kami bertiga bergadang sampai pagi di sini. Ditemani kopi, rokok, dan cerita-cerita pengalaman kami masing-masing.
Hingga tak terasa hari mulai terang. Pagi kini telah menjelang. Hujan telah sepenuhnya reda, berganti suasana cerah dengan semburat mentari pagi yang menghangatkan.
Usai sarapan dan berbenah, kami memutuskan tidak melanjutkan pendakian ini. Kami sepakat turun ke basecamp bersama-sama. Selain badan sudah terlalu lelah, ingatan teror semalam juga masih lekat dalam ingatan kami.
Jadi keputusan untuk turun adalah yang terbaik. Sepanjang perjalanan turun tidak ada hal menarik yang perlu diceritakan. Perjalanan kami lancar hingga sampai di basecamp di siang hari.
Sesampainya di basecamp kami membahas kejadian semalam. Aku dan Anton bercerita tentang kejadian yang dialami Mas Wahid. Termasuk ketika aku terpaksa harus melayangkan bogem padanya.
Dia tidak marah, apalagi dendam. Justru dia berterima kasih karena dia merasa bahwa kami berdua telah menyelamatkannya.
"Oh iya semalam katanya kamu mau tanya sesuatu, Hen?" Tanya Mas Wahid.
"Iya mas. Sebenernya Mas Wahid bawa apaan? Kenapa penunggu gunung ini sampai marah pada kita?" Tanyaku.
Akhirnya Mas Wahid bercerita bahwa dia memiliki semacam "pegangan" untuk menjaga diri. Dan nampaknya penunggu gunung ini tidak menyukai apa yang dibawanya itu.
Atau ada semacam energi yang bertolak belakang sehingga membuat penunggu gunung ini ingin mencelakai kami, terutama Mas Wahid.
Mengenai aku yang tiba-tiba bisa merobohkan Mas Wahid hanya dengan sekali pukulan, sampai saat ini masih jadi misteri. Karena aku merasa tidak pernah memiliki "pegangan" apapun.
Aku juga bukan orang yang menyukai hal-hal yang bersifat gaib. Aku hanya bermodal keyakinan saja bahwa aku bisa merobohkannya ketika hendak memukulnya.
Mas Wahid berkali-kali meminta maaf kepada kami karena gara-gara dia kami berdua juga hampir celaka. Dan sebagai permintaan maaf, dia mentraktir kami makan sampai puas di basecamp ini.
Menjelang sore kami memutuskan pulang. Aku dan Anton akan ke Temanggung, mampir ke rumah saudara Anton di sana. Sedangkan Mas Wahid kembali ke kota asalnya.
Sebetulnya waktu itu kami sempat bertukar alamat, hanya alamat, karena waktu itu kami belum memiliki ponsel, tetapi alamat yang diberikan Mas Wahid kepada kami hilang entah kemana.
Demikian cerita pendakian "gagal" kami di Gunung Sumbing waktu itu. Semoga ada pelajaran yang bisa dipetik dari cerita ini.
Jika ada hal buruk, sebaiknya jadikan sebagai pengalaman untuk tidak ditiru. Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bisa menghagai dimanapun tempat yang kita datangi.
Jangan bersombong dengan apa yang kita miliki atau kita kuasai, karena hal itu justru bisa berbalik merugikan kita sendiri.
Cerita pendakian gunung Sumbing selesai sampai di sini. Minggu depan ada cerita pendakian malam satu suro di gunung sindoro. Pastinya akan lebih seru. Tapi kalau mau baca duluan sudah tersedia di @karyakarsa_id link ada di bawah karyakarsa.com/Henrysetiawan8…
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Mereka pantas sedikit khawatir. Bagaimanapun juga mereka menghakimi Suprapti dengan cara kejam. Tidak menutup kemungkinan Sundari akan membalas dendam dengan ikut bersekutu dengan iblis.
Apalagi sundari memiliki getih anget. Sangat mudah baginya jika ingin berhubungan dengan bangsa lelembut.
Pak Marto juga duduk bersila sambil berdoa. Sedangkan Paman Arya berdiri di belakang Arga sembari memegang dua buah keris dengan bentuk yang sama di tangan kanan dan kirinya.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling, hujan masih mengguyur ringan, di kejauhan nampak kursi taman dengan lampunya yang temaram. Samar kulihat seseorang duduk di sana menatap kami. Dia Sundari.
Lingga mengulas senyum tipis. Usahanya selama bertahun-tahun pada akhirnya akan selesai juga.
Tinggal beberapa tumbal lagi dari warga desa yang akan diambil sendiri oleh lelembut pengikut kolosetro dibawah perintah Ki Sentani dan Nyai Robloh serta tumbal terakhir yang lebih istimewa persembahan khusus darinya.
Sundari semakin gusar dan gelisah sebab teror yang terjadi di desanya semakin marak. Bahkan hampir setiap hari ada warga yang diculik lelembut alas kidul untuk ditumbalkan demi mempercepat kebangkitan raja iblis kolosetro. Dan dia merasa semua itu disebabkan oleh dirinya.
Sementara Damar masih terus berusaha mencari pusaka keris kembang maya yang diyakini disimpan oleh seorang Resi yang tinggal di salah satu gunung besar bernama wukir udarati. Apakah Damar akan mendapatkan petunjuk mengenai keberadaan Resi itu?