Mau baca cerita lainnya? Silahkan ke index yg sy pinned di profil saya
(Bercengkrama dengan "mereka" para penghuni asli Gunung Ungaran)
Suatu hari di awal tahun 2006.
Pagi ini aku terbangun dengan kepala sangat pusing akibat baru tidur 2 jam saja. Semalam aku tak bisa tidur dikarenakan sedang dirundung kegalauan mendalam akibat seseorang yang aku cintai harus meninggalkanku untuk menikah dengan orang lain.
Untung saja aku masih kuat iman sehingga tidak melampiaskan kegalauanku dengan hal-hal yang negatif.
Merasa masih galau tingkat kecamatan, aku pun berfikir mencari cara untuk melepaskan segala beban ini, menjernihkan pikiran dan hati serta bertekat untuk move on.
Terlintas akan mendaki gunung saja. Karena mendaki gunung adalah hobiku sejak lama. Tetapi hari ini adalah hari selasa, teman-temanku yang biasa mendaki bersamaku pasti semuanya sibuk dengan aktifitasnya masing-masing.
Ada yang bekerja ada juga yang masih kuliah. Apakah aku akan berangkat sendirian saja? Meski sebelumnya aku juga sudah terbiasa mendaki sendiri, tetapi biasanya aku mendaki di akhir pekan,
sehingga masih banyak bertemu pendaki lainnya, baik di basecamp maupun di jalur. Sedangkan hari ini adalah hari kerja, pasti di gunung akan sangat sepi.
Ingat, pendakian gunung waktu itu belum seramai sekarang. Dulu kalau bukan akhir pekan gunung pasti sangat sepi.
Setelah beberapa waktu berfikir, aku pun bertekat berangkat mendaki gunung sendiri.
Hanya berbekal tas daypack kecil berisi thermal blanket, sarung, beberapa roti, jaket, survival kit dan rokok, tanpa tenda, tanpa kompor dan tanpa perlengkapan lain aku nekat berangkat menuju ke basecamp Gunung Ungaran.
Membutuhkan waktu sekitar 3 jam dari tempat tinggalku untuk menuju ke Gunung Ungaran.
Aku memilih gunung ini bukan tanpa alasan. Aku sudah terbiasa mendaki Ungaran. Bahkan dulu bisa tiap minggu ke sana. Sudah tak terhitung lagi berapa kali mendaki ungaran. Dan baru 2 minggu yang lalu juga aku kesana. Jadi sedikit banyak aku sudah paham mengenai gunung ini.
Dengan menggunakan moda transportasi bus aku meluncur menuju ke Pasar Jimbaran, titik awal pendakian Gunung Ungaran.
Dulu masih jarang transportasi untuk ke Basecamp Mawar dari Pasar Jimbaran. Kalaupun ada itu hanya ojek yang tarifnya aku pikir lebih baik untuk beli rokok ketimbang sekedar untuk naik ojek.
Saat di dalam bus, ada seseorang yang duduk di sebelahku. Seorang pria paruh baya dengan pakaian serba hitam. Merasa tak ada urusan, dan pikiranku pun sedang agak kacau, akupun tak menggubrisnya. Hingga dia mengatakan sesuatu padaku.
"Jika ada hal tidak menyenangkan yang nantinya menemuimu, biarkan saja" kata orang itu.
"Maksudnya gimana, pak?" Tanyaku padanya.
"Kamu pergi dengan hati dan pikiran yang sedang tidak sehat. Berhati-hatilah. Semua hanya bisa kamu lalui jika tekat, iman dan semangatmu tidak goyah" sambungnya.
"Iya pak" jawabku singkat karena aku memang sedang tidak berminat memperpanjang percakapan.
Sebetulnya aku paham apa yang dimaksud orang itu, tetapi karena memang kondisi pikiran dan hatiku saat ini sedang tak karuan, maka aku tak berminat melanjutkan percakapan.
Tak lama, orang itu turun dari bus ini. Sebelum turun dia sempat melihatku lalu mengangguk dan tersenyum, aku pun membalasnya.
Beberapa waktu berlalu, aku telah sampai di tujuan yaitu Pasar Jimbaran. Aku turun dari bus lalu mampir ke warung untuk makan sebelum memulai pendakian.
Usai makan dan beristirahat sejenak di emperan salah satu kios pasar, aku pun mulai berjalan menuju ke basecamp mawar. Sepanjang perjalanan dari pasar jimbaran hingga basecamp mawar tak ada hal istimewa yang perlu diceritakan.
Aku hanya menyusuri jalan desa beraspal dengan deretan rumah-rumah penduduk dan lahan pertanian di sepanjang pinggirannya.
Setelah beberapa jam berjalan kaki, akhirnya aku sampai di basecamp mawar. Sangat sepi suasana camp mawar siang ini. Tak ada satupun petugas yang berjaga, warung-warung juga tak satupun yang buka.
Wajar, karena hari ini bukan hari musim pendakian. Merasa sedikit penat, aku pun merebahkan diri di sebuah kursi panjang di depan salah satu warung yang tutup. Tak terasa hingga akhirnya aku tertidur di sini.
Entah karena kelelahan atau karena memang semalam kurang tidur, siang ini aku terlelap sangat nyenyak. Hingga samar kurasakan ada yang menggoyang-goyang tubuhku sembari memanggil namaku membangunkanku.
Perlahan aku membuka mata, mungkin salah satu petugas basecamp membangunkanku, begitu pikirku. Tetapi ketika kesadaranku telah kembali sepenuhnya, aku sama sekali tak mendapati satu orang pun di sekitarku.
Padahal tadi jelas sekali aku merasa ada yang membangunkanku. Tetapi aku tak memikirkannya lagi. Apalagi sekarang waktu sudah hampir maghrib dan aku belum menjalankan sholat ashar.
Nampaknya tadi aku benar-benar nyenyak hingga tak menyadari hari sudah hampir gelap. Bergegas aku menjalankan kewajibanku. Usai sholat ashar, tak lama adzan maghrib berkumandang.
Usai menjalankan sholat maghrib aku mulai memikirkan perjalananku ini. Hari sudah gelap, sedangkan aku di sini sendirian. Apakah aku harus membatalkan pendakianku saja? Karena memang sangat beresiko mendaki sendiri apalagi malam hari begini.
Tetapi memang kegalauanku ini sangat mempengaruhi pengambilan keputusanku, akhirnya aku memutuskan tetap melanjutkan pendakian apapun resikonya. Aku berencana memulai pendakian nanti usai sholat isya'.
Saat menunggu datang waktu isya', aku menghabiskan waktu duduk merenung di depan salah satu warung camp mawar. Tak lama aku merasakan kedatangan seseorang dari dalam hutan pinus.
Samar aku mendengar percapakan dari beberapa orang di sana, tetapi aku tak bisa mendengar secara jelas kata-kata yang diucapkan.
Dalam hati aku berfikir, mungkin ini sisa pendaki yang naik akhir pekan kemarin. Terkadang ada beberapa orang yang betah berlama-lama hingga beberpa hari tinggal dulu di camp promasan usai mendaki dari puncak ungaran, termasuk aku.
Jadi aku menganggap wajar, tak sedikitpun berfikir aneh-aneh apalagi itu makhluk gaib.
Tetapi hingga beberapa lama orang-orang itu tak muncul juga. Sepertinya tak mungkin jika posisi mereka terlalu jauh, karena tadi aku sempat mendengar suara mereka.
Sampai adzan isya' berkumandang pun mereka tetap tidak muncul juga. Aku tak memikirkannya, aku segera menjalankan kewajibanku karena aku ingin segera memulai perjalanan pendakianku.
Usai sholat isya' aku segera bersiap untuk memulai perjalanan pendakian. Lepas dari camp mawar aku memasuki wilayah hutan pinus. Aku berjalan santai namun stabil.
Tak banyak berhenti karena medan pendakian belum terlalu berat dan aku juga sendirian jadi bisa sesuka hati mengatur ritme perjalanan.
Aku tak lagi memikirkan suara orang yang kusangka pendaki tadi. Kalaupun mereka bukan manusia, aku juga tak peduli. Aku datang kesini bukan dengan tujuan tidak baik, meski suasana hati sedang kurang baik.
Dan aku merasa wajar jika "mereka" menunjukkan eksistensi mereka padaku, karena saat ini akulah satu-satunya manusia di sini. Hal ini sudah aku pikirkan sejak sebelum aku memulai perjalanan tadi.
~intermezzo~
Buat yang baca di situs unroll seperti @bacautas dan @threadreaderapp tolong sempatkan mampir ke akun twitter saya buat meninggalkan jejak berupa RT, Like, Komen dan Follow yaa.. terima kasih
Jangan bertanya apakah aku tidak mendapatkan "gangguan" selama perjalanan ini. Sudah kubilang saat ini aku adalah satu-satunya manusia di sini. Jadi aku saat ini ibarat sasaran empuk bagi "mereka". Tinggal seberapa kuat nantinya mental dan iman ini menghadapi godaan mereka.
Jaman dulu di jalur pendakian gunung ungaran terdapat sungai kecil (sekarang sungai ini sudah ditutup dengan timbunan tanah dan air dialirkan dengan pipa besar) di sepanjang jalur mulai hutan pinus hingga di sungai yang agak besar sebelum pos pertama. Aku lupa nama sungainya.
Sungai yang terdapat banyak batu-batu besar ini dulu dikenal sebagai istana peri. Peri merupakan salah satu bangsa jin dengan wujud wanita sangat cantik yang suka menggoda manusia terutama laki-laki untuk dibawa ke dunia mereka dijadikan suami ataupun budak.
Mendekati sungai ini bulu kudukku meremang hebat. Sempat terpikir untuk kembali saja, tetapi lagi-lagi egoku bekerja lebih kuat dari nalarku. Aku terus berjalan menyusuri jalan setapak dengan aliran sungai kecil di sampingku.
Hingga pada akhirnya aku sampai di sungai yang lebih besar yang merupakan percabangan aliran sungai. Terdapat air terjun kecil di sini.
Debit air waktu itu lumayan besar, maklum sedang musim penghujan, hingga air yang mengalir membelah jalur pendakian cukup membuat sepatuku basah karena minim pijakan batu yang belum terendam.
Ketika berada di sungai ini perasaanku sedikit terganggu, seolah menyuruhku melihat ke arah hulu sungai. Tekatku sebelumnya yang meyakinkan diri untuk tidak melihat ke arah hulu kini runtuh sudah akibat rasa penasaran aneh saat ini.
Perlahan kuhentikan langkahku sebelum menyeberang aliran sungai ini. Ketika mataku memandang arah hulu sungai, samar aku melihat seperti ada sosok perempuan berdiri di atas batu besar di ujung lembah hulu sungai.
Jaraknya dari tempatku berdiri memang cukup jauh, tapi remang cahaya rembulan yang sedang bulat sempurna saat ini cukup membantu pencahayaan malam ini.
Aku seperti terkesima dengan kehadiran sosok tersebut. Meski remang dan tidak jelas, (dalam seluruh perjalanan ini memang aku tak pernah bisa melihat secara sangat jelas setiap penampakan yang menemuiku),
tapi aku seperti mengetahui bahwa sosok tersebut adalah sosok wanita yang sangat cantik.
Perlahan seperti ada kekuatan yang menarikku untuk melangkah mendekatinya. Beberapa langkah telah kubuat untuk menuju ke sosok wanita cantik tersebut.
Hingga pada akhirnya tiba-tiba kakiku seperti membatu tak dapat digerakkan. Sekuat apapun aku berusaha bergerak, kaki ini menjadi semakin kaku.
Sosok itu kulihat masih tetap berdiri di tempatnya tak bergerak sedikitpun, begitu pula aku. Beberapa saat kemudian aku merasa pandanganku semuanya gelap,
tapi aku masih sadar sepenuhnya, aku tidak pingsan, karena badanku masih bisa merasakan udara dingin di sekitarku, juga air yang membasahi kakiku.
Tak lama, aku merasa seperti ditampar di pipi sebelah kiri. Seketika pandanganku kembali normal dan aku jadi tersadar atas apa yang kulakukan saat ini. "Astaghfirullah haladzim" ucapku seketika. Aku pun memanjatkan doa, lantas berbalik arah kembali ke jalur pendakian.
Aku masih belum tau siapa atau apa sosok perempuan tersebut, banyak yang bilang bahwa itu adalah penampakan peri penghuni aliran sungai Gunung Ungaran itu,
tapi aku sendiri tak dapat memastikannya karena aku sendiri juga masih awam perihal jenis dan golongan bangsa jin, terutama penghuni gunung.
Sambil terus berdoa dalam hati, aku melanjutkan perjalanan pendakianku ini. Masih dengan suasana dan nuansa yang sama di sepanjang perjalananku.
Banyak makhluk tak kasat mata yang berusaha menunjukkan eksistensinya di hadapanku. Aku tak memperdulikannya sepanjang aku tak melihat bentuk mereka secara jelas, dan aku yakin aku tak akan bisa melihat bentuk mereka.
Jika sekedar bayangan, kepulan asap, suara-suara samar dan lainnya aku masih memaklumi dan tak akan memperdulikan. Aku anggap saja mereka sedang menemani dan menghiburku yang sedang patah hati ini.
Sampai di pos pertama, aku sempatkan istirahat dulu sebentar. Menikmati air segar yang kubawa serta membakar sebatang rokok untuk mengusir udara dingin yang semakin malam menjadi semakin menusuk.
Sekitar 15 menit kemudian aku mematikan rokokku yang kini tinggal filternya. Usai mengantongi sisa batang rokok tersebut (ingat jangan meninggalkan sampah di gunung, meski hanya sisa batang rokok),
aku berdiri untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan sunyi menembus gelapnya hutan Gunung Ungaran menuju peraduanku untuk menghapus segala beban pikiranku saat ini, yaitu Puncak Gunung Ungaran.
Tak ada hal istimewa yang bisa kuceritakan sepanjang perjalanan dari pos pertama hingga sampai di kawasan kebun teh promasan. Karena hampir semua kejadian sama saja seperti sepanjang perjalanan sebelumnya.
Yaitu sepi, sunyi, sendiri dan "mereka" yang menemaniku juga sekedar menyapa dengan cara mereka yaitu memperlihatkan bayangan atau suara-suara aneh saja.
Semakin lama aku menjadi semakin terbiasa, untuk takut pun aku rasa sudah sangat terlambat, karena jarak untuk bertemu manusia lainnya sama-sama jauh baik di depan (promasan) maupun di belakang (desa bawahnya camp mawar).
Sesampainya di perbatasan kebun kopi dan kebun teh aku berhenti sebentar untuk berpikir apakah aku akan langsung melanjutkan perjalanan ke puncak atau mampir dulu istirahat di promasan.
Kulirik jam tangan murahanku, dan waktu menunjukkan sudah jam 22.30. sudah lumayan larut malam jika aku melanjutkan perjalanan menuju ke puncak.
Aku tak tahu apa yang akan kuhadapi nanti jika aku nekat melanjutkan perjalanan menuju ke puncak. Meski jarak dari sini sampai ke puncak sudah tidak terlalu jauh lagi, hanya 1,5 jam hingga 2 jam jika aku menempuh sendiri dengan kecepatan sedang.
Tetapi tantangannya jelas lebih berat. Bukan hal mistis atau gaib yang kupikirkan, tetapi resiko fisik lainnya. Mengingat aku saat ini sendiri dan tak ada satupun pendaki lainnya.
Jika terjadi sesuatu padaku, pasti tak akan ada yang bisa menolong. Mempertimbangkan hal itu, aku memutuskan melangkahkan kakiku menuju ke promasan. Malam ini aku akan beristirahat di sana dan akan melanjutkan perjalanan ke puncak besok pagi.
Di promasan aku beristirahat di salah satu rumah warga yang biasa juga digunakan pendaki lainnya untuk singgah. Ada beberapa rumah penduduk di sini. Kita bebas memilih mau singgah di mana.
Umumnya mereka tidak memasang tarif untuk bermalam, seikhlasnya kita memberikan tanda jasa akan mereka terima, terlebih jika mereka membuka warung makan, maka sebaiknya kita membeli makan pada mereka yang rumahnya kita singgahi.
Aku memilih singgah di rumahnya "Biyung", salah satu warga promasan yang sudah sangat kenal dekat denganku. Bahkan aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri saking seringnya kesini dan beberapa kali membantunya dalam hal apapun.
Biyung cukup terkaget melihat kedatanganku, karena aku datang bukan di hari biasanya (akhir pekan) dan aku pun sendirian. Beliau bertanya-tanya mengenai perjalananku dari Mawar sampai Promasan. Apakah aku baik-baik saja, apakah tidak ada gangguan, dan lain-lain.
Karena Biyung termasuk warga sepuh di sini, jadi sedikit banyak beliau juga memiliki kepekaan terhadap sesuatu yang gaib dan mengetahui persis tempat-tempat yang penunggunya paling usil atau paling berbahaya, termasuk sungai yang tadi aku ceritakan.
Aku menceritakan kepada biyung perihal perjalananku tadi, tak kurang, tak lebih. Usai berbincang sebentar, aku pamit untuk istirahat karena besok pagi aku akan melanjutkan perjalanan menuju ke puncak. Awalnya Biyung sempat keberatan dan melarangku ke puncak sendirian.
Tetapi karena memang sudah niatku, maka beliau pun tak dapat melarangku. Beliau hanya berpesan untuk berhati-hati, jika keadaan tidak memungkinkan, sebaiknya kembali saja ke Promasan.
Aku mengangguk menandakan setuju dan berjanji bahwa aku akan menjaga diri supaya tidak terjadi hal buruk di perjalananku nantinya.
Bersambung...
Part 1 selesai.. part 2 kita up minggu depan. Kalau mau langsung baca lanjutannya sekaligus beri dukungan bisa langsung meluncur ke @karyakarsa_id yaa
Pengalaman pertama mendaki Gunung Lawu menjadi sebuah pengalaman yang tidak terlupakan. Kira-kira teror apa saja yang mereka alami? Dan bagaimana caranya mereka bisa selamat?
Cerita ini hanya 3 part dan sudah tamat di @karyakarsa_id
Kalau mau baca duluan atau download ebook sekaligus memberi dukungan bisa buka link di bawah ya
Mitosnya ketika kita tersesat di Lawu jika bertemu dengan burung jalak maka kita akan selamat.
Apakah benar begitu? Kita cari tahu sama-sama yaa..
Sambil berfikir untuk menentukan kemana lagi arah kami nanti berjalan, aku masih terus memperhatikan burung jalak yang sedari tadi masih bermain-main di pinggir telaga ini.
Dari sinilah kesalahan fatal terjadi. Aku yang biasanya memilih tidak melakukan pergerakan ketika kondisi tidak aman seperti ini memilih nekat melanjutkan perjalanan.
Padahal ini adalah pertama kalinya aku kesini. Sejujurnya ada rasa ragu, tetapi entah dorongan dari mana seolah menyuruhku untuk segera melanjutkan perjalanan. Mungkin itu egoku sendiri yang berambisi ingin segera sampai puncak.
Sebuah kelompok pencinta alam tingkat sekolah SMA baru saja dibentuk. Guna melengkapi keanggotaan, mereka mengadakan kegiatan pendidikan dasar atau diksar.
Lokasi yang dipilih ternyata berada di sebuah hutan pinus di lereng salah satu gunung di jawa tengah.
Hutan pinus itu memang terkenal sangat angker dengan penghuni yang usil.
Meski melakukan pendakian di malam satu suro, tapi kelompok ini tidak pernah punya tujuan untuk sesuatu hal yang bersifat mistis. Mereka hanya memanfaatkan hari libur saja. Tapi tanpa diduga, mereka mengalami banyak kejadian janggal dan tidak masuk akal.
Sebelum mulai, ada baiknya kita berdoa dulu supaya tidak mendapatkan gangguan dari mereka yang tak kasat mata.
Bismillahirrohmanirrohim..