Restu Wiraatmadja Profile picture
May 17, 2023 184 tweets 21 min read Read on X
LUWANG MAYIT - BISIKAN KEMATIAN
(Dimana suara bisikan itu berbunyi, di situ dia berada)

#malamjumat #ceritaseram #pesugihan #ngunduhjiwo #luwangmayit
@bacahorror #bacahorror Image
Yang mau baca duluan, klik link di bawah ini, ya. Update Jam 8 malam.

karyakarsa.com/Restuwiraatmad…
Cerita ini adalah kelanjutan dari cerita Ngunduh Jiwo
Part-1
HARAPAN ATAU KEBUNTUAN?

Seorang wanita muda dengan penampilan yang ala sangat sederhana buru-buru menghadap tuannya yang sedang menunggu kabar isterinya di depan kamar. Rupanya, sang isteri akan melahirkan anak pertamanya.
‘’Nyuwun sewu, mas jagat. Saya sudah siapkan semuanya. Tapi, darah ayam cemani yang diminta tidak tersedia.’’ Ucap wanita itu yang bernama Mbak Rumi
Pria itu tampak kesal. Ia kemudian menampar keras pipi halus dari Mbak Rumi hingga bekas tamparannya begitu nyata untuk dilihat dari dekat.
‘’Bodoh! Bagaimana kamu bisa lupa kalau malam ini adalah malam kelahiran anakku yang pertama?’’
Mbak Rumi menahan tangis dan rasa sakit. Ia memegangi pipinya yang ditampar dengan kencang oleh tuannya yang bernama Mas Jagat.
Tidak berselang lama, datanglah seorang wanita tua dengan membawa sebuah mangkuk berisi darah ayam cemani yang diminta oleh Mas Jagat.
‘’Ibu?’’ Ucap Mas Jagat
‘’Kau tidak perlu melakukan hal itu kepada saudarimu sendiri, jagat. Walau bagaimana pun juga, rumi adalah saudarimu sekaligus orang yang bekerja demi keluarga ini.’’
Wanita tua itu adalah Mertua dari Mas Jagat. Dia bernama Mbah Asih. Pakaian yang digunakan sehari-hari adalah kain kemben. Warnanya indah bercorak emas. Kharisma dari seorang Mbah Asih sungguh terasa. Sampai-sampai, semua orang tertunduk ketika berhadapan dengan Mbah Asih.
‘’Rumi … ‘’ Ucap Mbah Asih
‘’Dalem, mbah.’’
‘’Sebentar lagi jabang bayi akan dilahirkan. Sekarang, lakukan ritualnya.’’
‘’Siap, mbah.’’
‘’Tapi, rumi. Kamu masih ingat kan? Apa yang akan nantinya dilakukan sebelum masuk ke dalam ruangan itu?’’
‘’Inget, mbah. Aku harus lakukan apa yang aku dengarkan lewat bisikan.’’
‘’Benar. Itu yang harus kamu lakukan. Jika sudah kamu lakukan dengan baik, maka, seluruh hutang piutang keluargamu akan keluarga kami lunaskan semuanya.’’
Mbak Rumi pun senang mendengar jawaban resmi dari Mbah Asih. Janji manis yang diberikan oleh Mbah Asih benar-benar membuat Mbak Rumi segera ingin melakukan ritual tersebut.
Mbak Rumi pun langsung ijin pamit. Ia segera buru-buru menuju ke ruangan yang memang dipergunakan untuk melakukan sebuah ritual turun temurun dari keluarga Mas Jagat.
Ritual ini harus dijalankan oleh orang-orang yang masih sedarah atau saudara asli. Karena itulah, untuk bisa melakukannya, dibutuhkan seorang wanita yang nantinya akan menjadi jembatan dalam melakukan ritual ini.
Dengan langkah yang sedikit dipercepat, mbak rumi memaksa dirinya untuk menuju ke sebuah ruangan bagian belakang yang digunakan sebagai tempat ritual.
Tangannya bergetar hebat tatkala hawa merinding menyapa. Lorong ruangan yang gelap membuat Mbak Rumi sering kali menatap ke arah kanan dan kiri sekitarnya. Terkadang, dia juga seperti ada sesuatu yang membisikinya dari arah bagian kiri telinganya.
Mbak Rumi terhenti sejenak. Ia seperti mengingat kembali kata-kata yang baru saja dibisiki oleh sesuatu yang tidak terlihat.
‘’Ta—tadi opo yo kalimate?’’
(Ta—tadi apa ya kalimatnya?)
Mbak Rumi berkosentrasi sejenak. Ia memejamkkan kedua telinganya sembari mencari tahu apa yang akan didengarnya lewat bisikan tersebut.
Tidak berselang lama, terdengar bisikan yang nantinya akan menjadi petunjuk dari Mbak Rumi untuk melakukan sebuah ritual tersebut.
‘’OMBE GETIHE!’’
(MINUM DARAHNYA!)
Mbak Rumi terkejut. Ia segera menengok ke arah bisikan tersebut. Suaranya jelas-jelas terdengar di telinganya akan suruhan untuk meminum darah yang dia gunakan untuk melakukan sebuah ritual.
‘’OMBE GETIHE? Aku harus minum darah ayam cemani ini?’’
Tatapan Mbak Rumi berubah menjadi penuh ketakutan. Dia tidak yakin untuk meminum darah ayam cemani pemberian dari Mbah Asih tersebut.
Dia jadi teringat sesuatu sebelum dirinya memasuki pekerjaan aneh ini. Dia sering mendengar rumor akan keluarga Mbah Asih yang katanya pemuja ‘’pocong ireng’’ atau pocong hitam dari beberapa anggota keluarganya.
Bukan tanpa pengecualian Mbak Rumi melakukan hal ini. Dia sengaja masuk ke dalam keluarga Mbah Asih karena disinyalir keluarganya telah memiliki banyak hutang piutang dengan keluarga kaya raya ini.
Namun, walau pun kaya raya, seorang Mas Jagat yang tampan rupawan belum memiliki anak.
‘’Mas Jagat kok mau ya kawin sama perempuan yang mandul kaya gitu? Mending kawin sama aku, mau anak 10 pun aku siap ladeni.’’ Canda Mbak Rumi
Walau bagaimana pun juga, ruangan yang nantinya akan dijadikan tempat ritual itu sangatlah jauh dari ruangan utama.

Dibutuhkan penerangan khusus seperti damar untuk bisa menerangi seluruh ruangan yang nantinya akan memberikan pencahayaan selama dalam perjalanan.
‘’Rumah segede ini kok gak pake listrik? Haduh, mbah asih. Kaya doang, tapi gak modal untuk beli listrik.’’
Ia kembali melangkah menuju ke ruangan yang dimaksud. Sembari menengok ke arah kanan dan kiri sekitarannya, mbak rumi terus menerus merasakan hawa merinding yang dia rasakan.
Sampai akhirnya, apa yang benar-benar tidak ingin dia lihat, benar-benar terjadi dan menjadikannya mati kutu dalam beberapa detik.
Entah mengapa pikirannya menjadi buyar, akan tetapi, pandangannya kini tertuju kepada sosok hitam yang sedang berdiri di dekat ruangan yang konon katanya sebagai tempat ritual.
Sosok hitam itu sejenak memiringkan kepalanya. Dia pastikan, jika sosok hitam itu adalah sosok pocong ireng yang sering dirumorkan oleh orang-orang terkait dengan kunci utama kekayaan dari Mbah Asih.
Tidak berselang lama, terdengar suara benda jatuh dari arah belakang hingga mengagetkan Mbak Rumi.
‘’Duh, gusti! Nopo kerjaanku berat banget.’’
Berkali-kali Mbak Rumi menenangkan hati dan pikirannya. Ia segera melakukan pekerjaan ini agar anak pertama dilahirkan.

Tatapannya kembali mengarah ke arah depan. Kini, sosok hitam yang diyakini sebagai pocong ireng tersebut sudah menghilang dengan sendirinya.
Ia kembali melangkahkan kakinya menuju ruangan yang di bagian ruangan yang disebut-sebut sebagai ‘’LUWANG MAYIT.’’ oleh keluarga besar dari Mbah Asih.

Tepat di hadapan pintunya sudah tertulis sebuah kalimat dengan menggunakan bahasa jawa.
Sejenak, mbak rumi meletakkan mangkuk yang berisi darah ayam cemani itu di bawah lantai. Ia kemudian membaca kalimat yang sudah terpampang di bagian pintu.
Kalimat aneh tersebut berbunyi,
‘’JANJI SING KUDU DITEPATI, KUDU NAMPA AKIBATE.’’
Kalimat itu seperti memberikan penggambaran dalam otak Mbak Rumi. Dia menyadari, ada makna besar dalam kalimat yang sangat sederhana tersebut.
‘’Kenapa kalimat ini seperti mengarahkan kepada sesuatu dari keluarga Mbah Asih ya?’’
Bingung. Itulah yang ada di dalam pikiran Mbak Rumi tatkala membaca kalimat aneh yang mungkin saja merupakan ada hubungannya dengan apa yang sudah dilalui oleh keluarga Mbah Asih.
Ia tak lupa untuk mengambil kunci yang memang sudah dia pegang sebelum anak pertama dari Mas Jagat itu melahirkan.
Ruangan yang disinyalir sebagai tempat ritual tersebut sudah lama terkunci. Terakhir kali ruangan itu terbuka saat isteri dari Mas Jagat akan melahirkan namun sayang, setiap kali ingin melahirkan, bayinya mati tanpa ada penyebab pastinya.
‘’Krek’’
Pintu sudah terbuka. Ruangan yang sangat sempit tersebut benar-benar menggambarkan sebuah ruangan yang disebut-sebut sebagai ruangan aneh.
Di dalam ruangan tersebut sudah ada 3 batu nisan tanpa nama. Lagi-lagi, hawa merinding benar-benar dirasakan oleh Mbak Rumi tatkala mengetahui isi dari ruangan tersebut.
‘’Luwang Mayit.’’
Dari namanya saja, ruangan ini memiliki bentukan yang sempit. Entah mengapa keluarga Mbah Asih memiliki ruangan aneh yang di dalamnya terdapat sebuah makam lengkap dengan 3 batu nisan.
Mbak Rumi tidak ingin memikirkan apapun. Dia harus tetap menjalankan tugasnya dengan melakukan ritual yang selama ini telah dilakukan secara turun temurun oleh orang-orang yang telah bekerja di rumah Mbah Asih.
Mula-mula, ia kembali menutup pintu tersebut. Lalu, dia meletakkan darah ayam cemani di dekat sesajen.
Akan tetapi, mbak rumi merasa ada keanehan di sini. Sesajen yang ada di ruangan tersebut ternyata sudah lama tidak diganti.
Sampai-sampai, tempat untuk meletakkan sesajen yang berasal dari nampa (alat yang digunakan untuk membersihkan beras) sudah sedikit berwarna hitam di bagian pinggirnya.
Di nampa tersebut sudah terdapat segelas kopi hitam, kembang-kembangan, makanan pasar dan korek api kayu.

Belum lagi, semua bentukan dari sesajen yang dimakan oleh usia sudah benar-benar seperti benda-benda yang diletakkan begitu saja di dalam gudang penyimpanan.
Dimulai dari segelas kopi yang tinggal ampasnya hingga di dekat gelas tersebut hingga di dalamnya terdapat banyak serangga kecil.
Lalu, batok kelapa yang digunakan untuk meletakkan kembang-kembangan sudah mengeluarkan bau yang kurang sedap hingga makanan-makanan pasar yang sudah membusuk dimakan oleh waktu.
‘’Sudah berapa lama tempat ini tidak dibuka-buka lagi, ya? Aku kok ndak pernah tahu tentang ini?” Tanya Mbak Rumi

Wajar saja jika Mbak Rumi tidak mengetahui secara pasti akan tempat rahasia yang memang hanya Keluarga dari Mbah Asih saja yang mengetahui hal tersebut.
Mbak Rumi mulai membereskan barang-barang yang tidak digunakan kembali. Ia kemudian meletakkannya di dekat pintu agar nantinya bisa dia bawa lagi setelah selesai melakukan ritual.
Akan tetapi, begitu Mbak Rumi membalikkan badan untuk meletakkan barang-barang, tiba-tiba, damar yang dia sudah letakkan di dekat mangkuk darah ayam cemani, tiba-tiba mati dengan sendirinya.
‘’Loh? Kok mati?’’
Tidak berselang lama, mbak rumi mendengar suara bisikan aneh yang menerobos masuk ke dalam telinganya. Suaranya sedikit samar-samar akan tetapi sangat jelas untuk bisa diketahui pelafalannya.
‘’OMBE GETIHE, NDUK!’’
(MINUM DARAHNYA, NAK!)
Mbak Rumi langsung menghadap ke arah suara bisikan tersebut. Dia berharap bisa melihat sosok yang memberikan bisikan tersebut, namun lagi-lagi, dia sendiri tidak bisa mengetahuinya dengan jelas.
Mata Mbak Rumi tiba-tiba berkaca-kaca. Ia menahan rasa takut sekaligus tak bisa mengungkapkan keanehan tersebut dengan kata-kata.
Kalau saja bukan karena keluarganya, tidak mungkin Mbak Rumi ingin bekerja dengan cara melakukan ritual aneh tersebut kepada Keluarga Mbah Asih.
Sesekali, pandangan Mbah Asih menatap ke sekitaran ruangan. Sembari memandangi ruangan, tangan kanan Mbak Rumi meraba-raba ke arah belakang.
Ia masih ingat akan peletakan wadah yang digunakan untuk mewadahi sesajen tersebut. Mbak Rumi sempat mengingat, bahwa di tempat tersebut ada korek api kayu.
Karena itulah, dia sebisa mungkin untuk menemukan korek api yang nantinya akan menjadi solusi dari kegelapan yang menyiksanya saat ini.
‘’Korek-e pundi! Aku ra iso ndelok!”
(Koreknya mana? Aku tidak bisa melihat!)
Di saat Mbak Rumi sedang meraba-raba sekitaran, tiba-tiba, dia memegang sebuah kain yang dia sadari bahwa di tempat tersebut tidak ada kain sama sekali.
‘’O—opo maneh, iki?”
(A—apa lagi, ini?) Ucap Mbak Rumi sembari meneteskan air matanya.
Ia benar-benar menyadari bahwa dia tidak meletakkan kain apapun atau bahkan di bagian belakangnya tidak ada kain yang memang diletakkan begitu saja di sana.
Tidak lama kemudian, tangannya mendapati cairan aneh yang menetes tepat di tangan kanannya.
Awalnya, hanya sebatas satu tetes hingga dua tetes. Namun, lama kelamaan, tetesannya seperti air hujan yang terus menetesi tangannya.
Dan saat dimana dirinya menarik tangannya kembali, tiba-tiba, tangannya sudah melepuh hingga dirinya bisa melihat daging tangannya yang terlihat dengan jelas.
Mbak Rumi menahan rasa sakit. Entah cairan apa yang baru saja mengenai tangannya, dia hanya bisa menangis sembari menutupi tangannya dengan agar pendarahannya berhenti.
Mbak Rumi mencoba untuk tenang. Dia ingin menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke rumah dalam keadaan damai.
Lalu, terdengar suara bisikan yang sama. Kali ini, bisikan tersebut terdengar bersamaan di kedua telinganya. Kalimatnya masih sama dan kali ini pelafalannya sangat jelas.
‘’OMBE GETIHE, NDUK!’’
(MINUM DARAHNYA, NAK!)
‘’OMBE GETIHE, NDUK!’’
(MINUM DARAHNYA, NAK!)
Ia memberanikan diri untuk melihat ke arah belakang. Tentunya, mbak rumi tidak bisa tenang jika dirinya tidak bisa mendapati cahaya dalam ruangan yang gelap dan pengap tersebut.
Pelan-pelan, mbak rumi membalikkan tubuhnya. Ia sangat yakin, sosok tersebut sudah menghilang.
Dan benar saja, dia tidak melihat apapun di bagian belakangnya. Mbak Rumi segera mengambil korek api tersebut lalu menyalakan lagi damarnya untuk menerangi seluruh ruangan.
Kini, ruangan kembali terang dan Mbak Rumi bisa melihat sekelilingnya dengan baik. Ia kemudian melihat luka tangannya.
‘’Ish … kok makin mlembung tanganku.’’
(Ish … kok makin melepuh tanganku)
Perlahan-lahan, luka lepuhan tersebut seperti menyebar ke sisi lain. Mbak Rumi tahu, ini adalah akibat keterlambatannya dia sendiri dalam menjalankan ritual.
Mungkin saja, dengan segera menyelesaikan ritual tersebut dan mengikuti bisikan yang disinyalir sebagai kunci utama ritual, semuanya akan selesai tanpa ada satu pun keanehan yang bakal terjadi.
‘’Tadi, aku denger bisikan itu kalo aku harus minum darah ayam cemani ini. Kalo mungkin ini adalah penyelesainya, maka, aku akan meminum darah ini.’’
Dengan cepat, mbak rumi pun meminum darah ayam cemani itu dengan seperti layaknya meminum air kesukaannya.
Dia mengesampingkan bau amis dan hal-hal yang menjadikan dirinya menjadi mual. Mbak Rumi meyakinkan dalam dirinya bahwa dia akan segera menyelesaikan semuanya tanpa ada lagi kejadian aneh.
Namun ternyata, apa yang dilakukan oleh Mbak Rumi ternyata kesalahan besar. Setelah Mbak Rumi meminum darah tersebut dengan habis, tiba-tiba, tenggorokannya menjadi gatal.
Mbak Rumi menyadari, ada keanehan di bagian tenggorokannya. Seperti ada hewan-hewan kecil yang terus menerus menggerogoti lehernya hingga menyebabkan kegatalan yang begitu dahsyat.
‘’Guluku nang opo iki?’’
(Leherku kenapa ini?)
Mbak Rumi terus menerus menggaruk lehernya hingga terluka. Dia tidak peduli mau sampai kapan dirinya menggaruk lehernya tersebut asalkan rasa gatal yang dia rasakan menghilang.
Mbak Rumi pun semakin panik. Ia kemudian mencoba untuk melarikan diri, akan tetapi, tubuhnya tiba-tiba langsung terdiam tatkala di dekat pintu tersebut sudah berdiri dengan tegak sosok hitam dengan kepala yang sedang memiringkan ke sebelah kiri.
‘’PO—POCONG IRENG!”
(PO—POCONG HITAM!)
Dari mulut pocong tersebut keluar tetesan demi tetesan yang mana ternyata, itu adalah penyebab dari melepuhnya tangan kanan dari Mbak Rumi.
‘’Nyuwun ampun. Aku ra melok-melok soko Keluarga Mbah Asih. Aku mung melu keluarga iki kangge nyambut gawe mawon.’’
(Mohon ampun. Aku tidak ikut-ikut Keluarga Mbah Asih. Aku hanya ikut keluarga ini untuk bekerja saja) Ucap Mbak Rumi sembari meletakkan kepalanya ke lantai sebagai bentuk permintaan maaf terhadap ingonan (Peliharaan) dari Mbah Asih
Kalimat itu adalah kalimat perlindungan dari Mbak Rumi yang mana dia tidak sendiri sudah tidak yakin untuk bisa selamat dari maut yang sudah ada di hadapannya.
Perlahan, sunyi menghinggapi ruangan yang sempit dan pengap itu. Udara kembali normal. Gemuruh suara aneh yang awalnya mengganggu pikirannya, kini menghilang dengan sendirinya.
Ia tidak percaya, bahwa keadaan membaik lebih cepat dari perkiraannya. Mungkin, ini adalah berkat rasa kasihan dari Ingonan Mbah Rumi terhadap dirinya.
Tidak berselang lama, pintu terbuka dengan sendirinya. Mbak Rumi dengan jelas mendengar suara pintu yang menjadi akhir dari ritualnya.
‘’Maturnuwun, maturnuwun.’’
Hanya itu ucapan yang bisa disampaikan oleh Mbak Rumi. Ia kemudian mengambil damar guna menerangi luaran ruangan yang begitu gelap.

Sesaat, langkahnya begitu sangat dingin. Dia tidak menyadari, bahwa dilepaskannya begitu saja hanyala dalam waktu singkat.
Tepat saat dirinya baru keluar beberapa langkah, tiba-tiba, kedua mata Mbak Rumi langsung memutih dengan sendirinya.

Damar yang berada di tangannya terjatuh dan menyebabkan kobaran kecil di sekitaran tempat dimana dirinya berdiri.
Lalu, tidak berselang lama, kepalanya perlahan dipaksa memutar ke arah belakang. Dan saat kepalanya sudah sempurna memutar ke arah belakang, mbak rumi kembali disadarkan.
Ia melihat ada satu sosok pocong hitam sedang berdiri di dekat seorang wanita yang memiliki badan sedikit membungkuk.
‘’M—mbah asih … Tulungi aku … ‘’
(M—mbah asih … Tolongi aku … )
Bruk! Tubuh Mbak Rumi terjatuh ke lantai dengan kondisi kepala yang sudah berada di bagian belakang. Ia baru saja menyebut seorang nama yang diyakini akan menolongnya sebelum maut merenggutnya dengan cepat.
Akan tetapi, kalimat itu adalah kalimat terakhir yang dia ucapkan di dekat sebuah ruangan yang menjadi saksi akan bisikan kematian yang seharusnya tidak ia ikuti.
Namun ….
Semua belum usai …
Akan ada lagi malapetaka …
Tempat yang sangat diyakini sebagai sumber dari segala marabahaya bagi orang-orang yang menyalahgunakan ambisi dan keinginannya. Tempat itu bernama ‘’LUWANG MAYIT!’’
Sementara itu …
Mas Jagat mendengar suara tangisan bayinya dari dalam kamar. Kali ini, air matanya benar-benar menetes sebagai tanda kebahagiaan dari apa yang sudah dianugerahkan kepadanya.
‘’Akhirnya … Setelah menunggu 15 tahun lamanya. Aku bisa menjadi Ayah.’’
Terlepas dari itu, seorang wanita tua yang diyakini sebagai Mbah Asih mendatangi Mas Jagat.
‘’Ibu … ‘’
‘’Semua sudah selesai.’’
‘’Mbak Rumi?’’
‘’Dia gagal menjalani Ritual. Kubur jasadnya di dalam ruangan itu.‘’
‘’Tapi, ruangan itu sangat sempit. Apa mungkin bisa?’’
‘’Tumpuk menjadi satu ke jasad yang lain.’’
‘’Tumpuk menjadi satu?’’
‘’Iya. Tumpuk menjadi satu dengan satu jasad di pemakaman yang lain.’’
Tanpa disadari, tangan Mbah Asih menggenggam sesuatu. Dia ternyata mengambil beberapa helai rambut dari Mbak Rumi. Entah apa tujuan dari Mbah Asih sendiri mengambil rambut milik Mbak Rumi, namun, dia berencana untuk melakukan sesuatu lagi di masa yang akan datang.
‘’Baik, ibu. Aku akan lakukan.’’
‘’Ingat, jagat. Wanita dari Tejo Kromo itu (Melati) sudah hancur. Keluarga mereka terkena serangan boomerang dari demit manten.’’
‘’Bagaimana bisa?’’
‘’Ada orang yang membawa dendam seluas lautan. Orang itu meluapkan segala amarahnya hanya untuk menggagalkan semua rencana yang nantinya akan tercipta Ngunduh Jiwo. Berhati-hatilah terhadap orang terdekatmu … ‘’
Mas Jagat memahami maksud dari perkataan Mbah Asih. Ia kemudian meminta izin pamit kepada Mbah Asih untuk menguburkan jasad Mbak Rumi dalam satu liang lahat di sebuah ruangan yang disebut Luwang Mayit!
Tanpa disadari, mbah asih juga memahami segala rencana yang nantinya akan dia lakukan untuk menjaga apa yang dia miliki.
Dia sendiri tidak ingin ceroboh seperti halnya Bunda Melati yang mempekerjakan banyak orang namun ternyata itu hanyalah akan menjadi boomerang serta maut yang akan mendatanginya dalam waktu dekat.
‘’Melati … Mengapa kau begitu ceroboh?’’
Mbah Asih meninggalkan tempat tersebut. Di belakangnya, sudah ada sosok pocong hitam yang mengikutinya sedari tadi. Sebagai orang yang memiliki pegangan dan peliharaan, mbah asih akan selalu membawa sosok tersebut kemana pun dia berada.
Desa Wongso
(1 tahun Setelah kejadian Ngunduh Jiwo)
‘’Dok! Dok! Dok!’’
Suara ketukan pintu begitu jelas. Kali ini, suaranya benar-benar membuat Dini sedikit terganggu. Dia juga menutupi telinganya dengan bantal.
Entah mengapa, dia baru saja mendapati sebuah mimpi aneh terkait sebuah ruangan sempit yang belum sama sekali dia ketahui lokasinya.
‘’Nduk, ayo bangun! Kamu gak mau ikut Bapak sama Ibumu ke sawah lagi?’’
Dini hanya membisu. Ia tidak mau menjawab pertanyaan Ibunya. Menurutnya, ada yang aneh lewat mimpinya semalam. Mengapa tiba-tiba dia bisa mendapati mimpi seburuk itu?
‘’Dok! Dok! Dok!’’
‘’Nduk, bangun! Kamu mau ibu usir dari rumah karena gak bantu orang tuamu ke sawah?’’
Apakah memang ada sesuatu yang sudah membekas dalam ingatannya sehingga dalam mimpinya, ia merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan lewat mimpi tersebut?
Semenjak hari dimana dirinya mengetahui kematian dari orang-orang yang selama ini membuatnya hancur, dini benar-benar tidak habis pikir akan ada lagi masalah yang masih mengintai.
‘’Dok! Dok! Dok!”
‘’Iya, bu! Sebentar. Ini baru bangun.’’
‘’Cepet! Udah kelihatan mataharinya.’’
‘’Iya, bu. Sebentar … Duh! Cerewet banget!’’
Dini semakin kesal dengan suara ketukan pintu itu. Ia pun kemudian memberanikan diri untuk terbangun, akan tetapi, entah mengapa, dia mencium bau busuk dari sekitaran kamarnya.
‘’Loh? Bau busuk apa ini?’’
Dini mencari-cari sumber dari busuk tersebut. Ia mencarinya sampai ke bagian bawah kasur. Saking penasarannya, ia kemudian menyogrok bagian dalam lorong di bawah ambennya dengan sapu untuk mengetahui sesuatu yang berada di sana.
‘’Opo iki?’’
(Apa ini?)
Dini melihat ada sesuatu yang sedang tertidur di bagian bawah ranjang tidurnya. Semuanya berwarna hitam dan hampir tidak Dini kenali benda apa tersebut.
Namun, selagi Dini sedang menyogrok benda itu, tiba-tiba, tubuhnya merasa merinding. Tidak berselang lama, dini melihat sesuatu yang kurang mengenakkan tepat di saat benda yang disogroknya itu adalah sebuah tubuh yang dikemas dengan menggunakan kain serba hitam.
Sosok tersebut kemudian menghadapakan wajahnya ke arah Dini secara perlahan sembari mengucapkan sesuatu,
‘’OMBE GETIHE, NDUK!’’
(MINUM DARAHNYA, NAK!)
Dini terkejut saat yang dia dapati saat ini adalah sosok pocong ireng yang menjadi sebuah mimpi buruk baginya sendiri.
‘’PO—POCONG!!!’’
Dini berlari ke arah pintu dan membukanya dengan penuh ketakutan. Hal ini membuat Pak Terjo dan Ibu Sri yang sedang menunggu Dini terduduk di ruang tengah sempat kebingungan.
Mereka berdua tidak paham mengapa Dini berteriak ketakutan dan berulang kali menyebut kata ‘’POCONG’’ dari bawah tempat tidurnya.
‘’Kenapa kamu, nak? Ada apa?’’ Tanya Ibu Sri
‘’Bu. Di bawah temapt tidurku ada pocong!’’
‘’Pocong? Ndak, mungkin! Mana ada pocong pagi-pagi begini. Gak ada kerjaan aja munculnya jam segini.’’
Ibu Sri tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh Dini. Begitu juga dengan Pak Terjo, keduanya justru menanggapi ocehan dari Dini hanya lanturan setelah terbangun dari tidurnya.
‘’Bapak sama Ibu gak percaya? Aku barusan lihat pocong! Mukanya gosong.’’ Jelas Dini
‘’Pocong muka gosong itu gak ada, nak. Lagian, munculnya pas matahari baru keluar. Jadinya gosong kan mukanya.’’
Dini semakin kesal dengan apa yang sudah terjadi di keluarganya saat ini. Bahkan, rasa takutnya selalu dipermainkan oleh orang-orang terdekatnya sendiri.
Dini pun beranjak pergi untuk bersiap-siap pergi ke sawahdan meninggalkan mereka berdua yang masih asyik dengan membicarakan hal aneh yang baru saja terjadi kepada Dini.
Selepas mempersiapkan semuanya, mereka kemudian berangkat ke sawah untuk kembali melanjutkan kegiatan kesehariannya.
Keluarga Pak Terjo sendiri adalah sebuah keluarga sederhana yang tinggal di salah satu desa yang bernama Desa Wongso.
Ibu Sri sendiri bukanlah orang asli dari Desa Wongso. Ia menikah bersama dengan Pak Terjo dan akhirnya menetap di desa tersebut.
Pernikahannya sangat sederhana dan tidak mengundang banyak orang. Akan tetapi, di balik semua itu, ternyata ada sebuah kisah kelam yang mengarah kepada Pak Terjo juga kepada Ibu Sri.
15 Tahun Sebelumnya …
Pak Terjo terbangun dari tidurnya. Di sampingnya, sudah ada anak dan juga isterinya yang tampaknya masih kelaparan setelah seharian tidak makan.
Pak Terjo menatap kedua orang yang disayanginya tersebut dengan penuh kesedihan. Ia merasa gagal menjadi seorang Ayah tatkala tidak bisa memberikan kehidupan yang lebih baik.
‘’Haruskah aku meminta tolong padanya?’’
Pak Terjo merasa gengsinya sangat tinggi dan besar. Dia tidak tahu harus bagaimana. Namun, tidak ada cara lain baginya untuk bisa menafkahi keluarganya kecuali dirinya meminta bantuan kepada orang yang diyakininya akan menyanggupi kehidupannya.
Pak Terjo bergegas untuk bersiap-siap meninggalkan kamar. Namun, baru saja dirinya terbangun, tiba-tiba, Ibu Sri sudah memanggilnya,
‘’Pak? Mau kemana?’’
Pak Terjo meneteskan air matanya. Ia tidak bisa terus menerus menyesali kehidupannya. Dia harus mencari cara agar isteri dan anaknya bisa memiliki kehidupan yang sangat layak.
‘’Bu … Maafkan aku … ‘’
‘’Jangan bilang kalau Bapak mau ke sana.’’
‘’Gak ada cara lain, bu. Ini cara satu-satunya.’’
‘’Tapi, pak. Kita bisa mencari pekerjaan lain.’’
Pak Terjo memukuli tembok. Dia tahu, keadaan kurang berada di pihaknya. Karena itulah, dia sangat menyesali perbuatannya yang dirasa sangat buruk itu.
Ibu Sri beranjak bangkit dari tempat tidurnya. Ia terlebih dahulu menyelimuti tubuh Dini yang masih berusia 7 tahun itu.
‘’Ayo, pak. Kita ngobrol di luar saja. Aku takut anak kita terbangun.’’
Mereka berdua kemudian pergi meninggalkan kamar dan memilih untuk membahasnya di luaran kamar agar anak perempuan kesayangannya tidak terbangun dari mimpi indahnya.
Sebelum membahas lebih lanjut, ibu sri menyiapkan air putih yang memang hanya itu yang dimiliki oleh mereka berdua.
Tidak ada beras dan bahan pangan lainnya. Mereka tidak tega tatkala rintihan tangis keluar dan terdengar dari anaknya.
‘’Kita tidak bisa hidup seperti ini terus, bu. Kalo semisal kita hidup seperti ini terus, kita semua bisa mati karena kelaparan.’’
'’Pak … Istighfar … Banyak cara untuk bisa makan. Kita bisa bekerja di serabutan atau pasar. Kita cuman harus nurunin gengsi untuk bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.’’
Pak Terjo hanya memegangi kepalanya. Dia tahu, kali ini, tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali menunggu keajaiban untuk bisa mendapatkan apa yang dia inginkan.
‘’Ya sudah … Hari ini aku akan mencari pekerjaan.’’
‘’Kerja dimana?”
‘’Aku akan cari pekerjaan dimana pun. Aku tidak mau kelaparan terus, bu.’’
‘’Syukurlah kalau begitu. Setidaknya, kita tidak harus menerima penawaran dari orang itu.’’
Pak Terjo paham apa yang dimaksudkan oleh Isterinya. Dia sama sekali harus bisa memilih dan memilah kesempatan yang memang tidak datang untuk kedua kalinya.
Namun, di sisi lain, dia sendiri masih sangat takut akan resiko yang akan di hadapinya yang mungkin saja akan menimpanya kapan saja.
Pak Terjo bergegas untuk berangkat. Dia sendiri harus dengan kuat meyakini keinginan hatinya akan kehidupan yang akan dijalankannya untuk di masa yang akan datang.
‘’Aku tahu aku salah. Tapi, aku tidak mau kalian semua mati terlalu cepat. Maafkan aku … ‘’
Pak Terjo melangkahkan kakinya untuk keluar dari rumah. Ia perlahan menatap rumahnya yang masih kecil dan hanya cukup untuk dihuni oleh mereka bertiga.
Kakinya melangkah ke sebuah tempat yang cukup jauh dari Desa Wongso. Dia melewati berbagai pasar, tempat serabutan dan tempat pekerjaan yang seharusnya dia tuju ketika dirinya berjanji kepada Ibu Sri.
Hatinya semakin yakin jika yang dia pilih adalah sebuah keinginan hati dan keputusan diri yang melingkari keadaan yang kurang membaik ini.
Kini, dia menunggu sebuah angkutan umum yang mengarah ke sebuah tempat yang diyakini sebagai tempat peruntungan untuk kehidupannya di masa yang akan datang.
Sembari menunggu angkutan umum tersebut, pak terjo berusaha untuk menghilangkan ketakutannya saat nantinya dia menghadap orang yang selama ini dia kagumi.
‘’Aku harus siap menjawab banyak pertanyaan agar keinginanku semuanya terkabulkan.’’
Tidak berselang lama, suara klakson dari angkutan umum yang dicarinya tiba. Bus dengan model lama dan suara berisiknya benar-benar terhenti tepat di dekat Pak Terjo.
Akan tetapi, tatkala bus itu terhenti tepat di hadapannya, muncul keraguan dalam diri Pak Terjo. Entah mengapa, dirinya sangat tidak yakin untuk melanjutkan keinginannya tersebut.
‘’Hei! Mau naik gak?’’ Tanya Kondektur Bus tersebut kepada Pak Terjo
‘’Eh, i—iya. Saya mau naik.’’
‘’Kalo mau naik cepet masuk!’’
‘’Tapi, saya gak punya uang.’’
Kondektur itu melihat jam tangan yang dimiliki oleh Pak Terjo. Sepertinya, perhatian tertuju kepada jam tangan mewah yang dimiliki oleh Pak Terjo.
‘’Bagaimana kau bisa menyebut dirimu tidak memiliki uang namun jam tanganmu sangat bermerk.’’
‘’I—ini jam tangan milik keluarga.’’
Kondektur itu menghela nafas panjangnya. Suara panggilan dari sopir sudah memberikan tanda bahwa bus sebentar lagi akan diberangkatkan.
‘’Sebentar lagi, kepala monyet.’’ Teriak Kondektur sembari mengarahkan umpatan kepada sopir yang disinyalir memiliki kepala berbentuk seperti monyet.
Kondektur bus itu akhirnya memberikan penawaran yang special. Penawaran itu sepertinya sangat menarik.
‘’Kau mau aku antarkan kemana?’’
‘’De—desa Witari.’’
‘’Desa Witari?’’
‘’Pernah mendengar sebelumnya akan desa itu?’’
‘’Untuk apa datang ke sana?’’
‘’Kebetulan, ada keluarga yang harus aku jenguk. Jadi, aku ingin menuju ke sana.’’
‘’Baiklah. Cepat naik.’’
‘’Tapi, aku tidak punya uang untuk membayarnya.’’
‘’Tukarkan dengan jam itu. Aku akan tambahkan 50 ribu untuk ongkos pulangnya.’’
Pak Terjo sangat bahagia akan penawaran tersebut. Dia akhirnya menerima tawaran yang sangat menguntungkan baginya.
‘’Cepat naik! Bus mau berangkat.’’
Pak Terjo mengangguk paham. Bus pun akhirnya diberangkatkan tatkala Pak Terjo dan juga Si Kondektur Bus tersebut sudah berada di dalam mobil.
‘’Lama banget. Lagi nego sama janda kembang?” Tanya Si Sopir
‘’Bukan janda kembang, tapi duda pengkolan!” Jawab Si Kondektur sembari menunjukkan jam tangan milik Pak Terjo
Pak Terjo mencari tempat duduk. Dia sadar, tidak banyak penumpang yang berada di bus tersebut. Mungkin, tidak banyak orang-orang yang tertarik untuk berpergian jauh dan lebih memilih untuk melanjutkan pekerjaannya di rumah
Akan tetapi, bagaimana dengan Pak Terjo? Dia yang tidak memiliki pekerjaan harus bertahan dan menukarkan nasibnya dengan mendatangi ke sebuah desa yang bernama ‘’Desa Witari’’
2 Jam setelah perjalanan …
Bus terhenti di sebuah desa yang memiliki Gapura bertuliskan ‘’Desa Witari’’. Pak Terjo langsung menuruni Bus dan berusaha untuk mencari tahu terkait lokasi yang akan ia tuju.
Pak Terjo hanya memiliki prasangka yang kuat. Dia yakin, pasti, orang yang nantinya akan dituju adalah orang yang memiliki rumah sangat besar.
‘’Mungkin, itu rumahnya.’’
Tatapannya mengarah kepada sebuah rumah besar dan memanjang hingga ke belakang. Pak Terjo segera menuju ke rumah tersebut untuk mempersingkat waktu.
Setibanya di rumah tersebut, pak terjo segera mengetuki pintu depan rumah beberapa kali.
‘’Tok! Tok! Tok!”
Tidak ada jawaban. Tidak ada orang yang berinisiatif untuk membuka pintu rumah besar tersebut. Mungkin karena rumahnya sangat besar, jadi, tidak ada orang yang mau membukanya.
‘’Apa aku harus pulang, ya?” Tanya Pak Terjo
Dia kemudian mencoba lagi untuk ketukan terakhirnya. Kali ini, ketukannya sedikit diperbesar.
‘’TOK! TOK! TOK!”
Dan benar saja, ketukan pintu itu memuatkan hasil. Tidak berapa lama kemudian, pintu terbuka lebar. Keluarlah seorang wanita tua dengan mengenakan kain jawa yang menutupi tubuhnya.
‘’Cari siapa, ya?’’
‘’Saya mencari Jagat.’’
‘’Jagat? Kamu siapanya Jagat?’’
‘’Saya Kakak kandungnya.’’
‘’Kakak kandung Jagat?’’
‘’Benar.’’
‘’Dari Desa mana?’’
‘’Desa Wongso.’’
‘’Desa Wongso? Sangat jauh sekali.’’
Pak Terjo hanya mengangguk. Ia kemudian dipersilahkan masuk dan duduk terlebih dahulu. Wanita tua itu meminta kepada Pak Terjo untuk menunggu Jagat sembari menikmati hidangan yang telah dia berikan.
Tidak berselang lama, seorang pria yang diyakini sebagai Jagat mendatangi Pak Terjo. Kali ini, tatapan Jagat sedikit terkejut. Ia tidak menyangka, jika saudaranya akan tiba.
‘’Mas Terjo.’’
‘’Jagat. Ini aku, terjo.’’
‘’Mas sendirian? Mbak Sri sama Dini mana?”
‘’Ceritanya sangat panjang, gat. Aku minta tolong sesuatu sama kamu. Aku ingin mengambil penawaran itu.’’
‘’Penawaran yang mana?’’
‘’Dulu, kau menawarkanku untuk mempekerjakan isteriku. Tapi, karena isteriku tidak menerimanya, aku membuat penawaran lainnya.’’
‘’Penawaran lain?’’
Pak Terjo mengangguk paham. Ia kemudian berterus terang kepada Jagat akan maksud dan keinginannya.
‘’Aku ingin, di 15 tahun ke depan, biarkan anakku yang bekerja demi keluarga ini. Apapun pekerjaannya, aku akan mengikuti semua aturannya asalkan kami tidak mati kelaparan.’’
Mas Jagat menatap sang mertua, mbah asih. Dia mendengarkan obrolan kedua orang saudara yang memiliki nasib yang sangat jauh berbeda.
‘’15 Tahun ke depan?’’
‘’Benar. 15 tahun ke depan. Aku akan serahkan anakku untuk bekerja kepada keluarga ini.’’
Mas Jagat mempersilahkan kepada Pak Terjo untuk meminum teh hangat yang sudah disediakan oleh mertuanya itu.
‘’Kamu yakin dengan keputusanmu itu, mas? 15 tahun itu waktu yang sangat lama.’’
‘’Tapi, aku tidak memiliki uang sepeserpun.’’
‘’Tapi, jam tangan kamu laku, mas. Kau menjual jam tangan peninggalan Bapak?’'
Pak Terjo segera memegangi tangannya yang sudah tidak ada lagi jam tangan peninggalan mendiang orang tuanya itu.
‘’Ini aku paksa jual agar bisa bertemu dengan kau, gat. Aku sangat beruntung karena bisa bertemu denganmu dan mendapatkan uang untuk pulang kembali.’’
Jagat menatap mertuanya. Ia tidak bisa memutuskan apapun untuk keinginan yang diinginkan oleh saudaranya ini.
‘’Bu … Pripun kadose?”
(Bu … Bagaimana jadinya?)
Ibu Mertua itu hanya tersenyum. Ia kemudian pergi meninggalkan mereka berdua. Senyuman dari mertua Mas Jagat seperti memberikan angin segar untuk Pak Terjo.
‘’Baiklah … Asalkan da satu syarat … ‘’
‘’Apa itu? Akan aku lakukan.’’
‘’Kau tidak boleh mengkhianati janji ini dan kau tidak boleh menengoknya selama dia sedang bekerja bersama keluarga mertuaku.’’
‘’Baiklah. Akan aku lakukan.’’
‘’Baiklah. Akan aku lakukan.’’
‘’Pergilah, mas. Malam ini, kau akan makan dengan lauk pauk yang enak dan memiliki sawah yang nantinya akan menjadi harta kebanggaanmu.’’
Pak Terjo pun menyalami Mas Jagat. Ia kemudian mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada adiknya tersebut.
‘’Terima kasih, gat. Terima kasih.’’
‘’Sudahlah. Kasihan isteri dan anakmu. Cepat nikmati hasil perjanjianmu
‘’Baik, gat.’’
Pak Terjo pun akhirnya pulang meninggalkan rumah besar itu. Namun, tatkala dimana dirinya baru setengah jalan, pak terjo melihat seorang wanita tua yang diyakini sebagai mertua dari Mas Jagat sudah berdiri di dekat pintu.
‘’Wanita itu sangat aneh.’’
Akan tetapi, yang dilihat oleh Pak Terjo bukanlah hanya seorang wanita tua yang sedang berdiri di dekat pintu. Dia melihat sisi lain yang sedang berdiri di belakangnya dengan berpenampilan sangat mengerikan.
Sesosok pocong hitam sedang berdiri di balik tubuh wanita tua itu. Pak Terjo langsung membuang mukanya dan fokus untuk kembali melangkah meninggalkan rumah besar itu.
‘’Gak mungkin! Gak mungkin kalo wanita tua itu pemuja pocong ireng! Pasti aku salah lihat!”
Part-2 akan update pada tanggal 9 Juni 2023. Part ini akan menceritakan tentang penerus dari Ibu Sumi, isteri dari Pak Sumardi beserta dengan konflik permasalahannya

yang mau baca duluan, bisa klik link karyakarsa, ya. Maturnuwun ...

karyakarsa.com/Restuwiraatmad…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Restu Wiraatmadja

Restu Wiraatmadja Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @RestuPa71830152

Feb 24
Ganendra Ratri Part 2

“Kutukan 12 Ningrat”

@bacahorror #bacahorror Image
Read 151 tweets
Feb 16
MAQBAROH

“Tiap kali tangan menengadah ke atas, tetesan darah segar atau bahkan kepala pocong sudah berada di atas sela-sela jari.”

@bacahorror #ceritaserem #kuburan Image
“Wan! Jangan cepet-cepet jalannya!” Ujar Afif saat meminta kepada Ridwan, temannya, untuk tidak buru-buru dalam menjejaki tiap petak tanah kuburan yang di lewatinya
Malam itu, mereka berdua menyelinap ke sebuah pemakaman yang disebut-sebut sebagai makam terangker. Kabarnya, makam itu dijaga belasan pocong dan sosok-sosok lainnya.
Read 86 tweets
Dec 19, 2023
“Seorang wanita dengan rambut kusut dan kering ditemukan hampir
menggantung diri setelah
kedua orang tuanya menganggapnya gila. Padahal, wanita itu terkena… BUHUL RIKMO!”

Apa itu Buhul Rikmo?

@bacahorror #rambutpembawamaut Image
Kasusnya sama seperti yang ini, ya. Mari kita bahas… Image
Upload jam sabaraha nih gaes?
Read 76 tweets
Nov 29, 2023
GANENDRA RATRI (1)
(Babad Keluarga Ningrat)

''Perjalanan baru dimulai''
@bacahorror #bacahorror Image
Rules: PULAU INI MEMILIKI CIRI SIGNIFIKAN SEBAGAI PULAU TERPENCIL YANG DIHUNI BANYAK TAWANAN YANG BERHARGA.
Read 190 tweets
Nov 9, 2023
TUMBAL PERSEMBAHAN

Sebuah kisah tentang seorang anak yang menjadi tumbal persembahan
@bacahorror #bacahorror #malamjum’at
#sengkolo #malamsatusuro #satusuro #pemandimayat Image
Sengkolo diyakini merupakan sebuah energi negatif yang menyelimuti manusia, dan membuat manusia berada dalam kesialan. Orang-orang yang terlahir di weton Sengkolo sering terlibat dengan hal-hal yang tak masuk akal.
Kisah ini merupakan sebuah pengadaptasian sosial terkait dengan salah satu keluarga yang terkena tulah (musibah) akibat melanggar sebuah ketetapan yang sudah turun temurun dilakukan oleh leluhurnya.
Read 96 tweets
Nov 1, 2023
KARANG MAYANG

“Perjanjian yang terikat di saat jabang bayi masih di dalam kandungan.”

@bacahorror #bacahorror #malamjumat #ceritaserem #pesugihan Image
Jam brp nih?
Sebelum masuk ke dalam sebuah cerita, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada narasumber yang mau membagikan cerita ini.
Read 159 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(