Wallensky Profile picture
May 17, 2023 145 tweets 14 min read Read on X
Berita tentang kematian bayi itu langsung membuat geger. Bagaimana tidak? Seorang bayi yang baru lahir tiba-tiba saja mati akibat digigit ular. Sungguh tragis.
Dan yang lebih mengherankan lagi, sang bayi rupanya tewas bukan karena racun dari sang ular, melainkan karena kehabisan darah!

Ya Tuhan, sungguh di luar nalar!
Segera posting bersambung di Twitter! Silahkan like, rt, atau tinggalkan jejak supaya nggak ketinggalan updatenya!

Yang mau nyimak di @karyakarsa_id bisa langsung klik link berikut ini:
karyakarsa.com/Wallensky/suam…
SUAMI

(Bagian 3)

---------------
"Halo Ning? Apa kabar?" Tanya Marlina dalam pembicaraan melalui ponsel.
"Baik Lin. Kamu sendiri apa kabar?" Jawab Ningsih di sebrang sana.
"Aku baik-baik aja Ning. Tapi asal kamu tau, semalam aku sudah melahirkan.. eh, maksudku, bertelur."
"Serius? Kok cepet banget? Aku dulu hampir sebulan baru keluar. Makanya waktu itu aku jadi tergesa-gesa cari tumbal karena waktunya mepet. Untung cepet dapet."
"Iya. Tapi semalam Sinta sempat melihat ular-ular itu. Aku malah kena digigit."
"Oh ya? Aduh maaf Lin. Aku lupa kasih tau kamu kalau ular-ular itu memang akan menggigit dan menghisap darah kita. Tapi nggak apa-apa kok, kamu nggak perlu khawatir. Ular-ular itu anak-anak kamu."
"Iya. Tadinya aku sempat takut kalau gigitannya beracun. Tapi sekarang bekasnya aja malah nggak ada." Jawab Marlina sambil mengusap-usap kedua kakinya.
"Lalu tumbalnya gimana? Kamu sudah dapet calonnya? Jangan kelamaan lho Lin, bisa celaka kamu nanti." Ujar Ningsih coba mengingatkan.
"Aku sih sudah dapet calonnya. Tapi aku deg-degan Ning, takut ketahuan." Sahut Marlina.
"Wajar kok. Aku dulu juga begitu. Awalnya takut sama seperti kamu. Tapi lama-lama jadi terbiasa. Malah sekarang sudah mati rasa. Jadi kamu nggak perlu khawatir. Jalani saja." Balas Ningsih.
Marlina mengangguk-angguk bagai murid mendengarkan wejangan dari sang guru. Ucapan Ningsih sedikit banyak telah membesarkan nyalinya. Ningsih benar. Kenapa harus takut? Bukankah caranya tergolong mudah?

*******
Hari itu juga, Marlina memulai perburuannya. Dia sengaja mengintai dan memata-matai gerak-gerik salah satu tetangganya yang dia ketahui sedang hamil tua.
Rumah calon korbannya itu tak terlalu jauh. Letaknya masih di sekitar lingkungan situ. Namun Marlina tak begitu mengenalnya karena wanita hamil itu rupanya belum lama tinggal di situ.
Dari hasil pengintaiannya, Marlina jadi tau situasi dan kondisi rumah calon korbannya itu. Dia pun telah menemukan tempat yang ideal untuk meletakkan penanda bila tiba waktunya nanti.
Setelah menunggu beberapa hari, datanglah berita yang dia tunggu-tunggu. Menurut kabar yang dia serap, kemarin malam wanita itu baru saja melahirkan.

Waktunya untuk beraksi.
Marlina sengaja menunggu hingga malam. Padahal dia tak sabar ingin segera melakukannya agar semuanya cepat selesai. Tapi dia tak mungkin melaksanakannya siang hari. Cari masalah itu namanya.
Dan akhirnya malam pun datang. Hujan gerimis yang turun sejak sore membuat situasi jadi lengang. Hanya ada serombongan jama'ah yang lewat seusai menunaikan sholat Isya di mesjid.
Marlina bergegas menuju rumah calon korbannya. Kepalanya celingak-celinguk sepanjang langkahnya di antara rintik gerimis. Dia pun mengulum senyum karena merasa keadaan yang sepi seolah berpihak padanya.
Kini Marlina telah berdiri tak jauh dari rumah korbannya. Dia sengaja bersembunyi di balik tembok sambil jelalatan memantau situasi.
Di halaman rumah itu, tak jauh dari pintu rumah, Marlina melihat ada gundukan kecil yang ditutupi ember plastik terbalik diterangi cahaya lampu. Tak salah lagi. Itu pasti ari-ari si jabang bayi.
Dengan langkah hati-hati, Marlina mengendap-endap mendekat. Dadanya berdegup keras. Dia begitu gugup hingga tangannya jadi gemetar. Ini pengalaman pertamanya. Nyalinya benar-benar diuji.
Bagaimana kalau ada yang memergoki?
Bagaimana kalau sampai gagal?
Bagaimana..

Ah.. Begitu banyak pertanyaan dalam benaknya. Namun sudah kepalang tanggung. Mau tak mau semua ini harus dia lakukan.
Halaman rumah itu dikelilingi pagar besi. Marlina tak berani masuk. Dia cuma bisa berdiri di luar persis di depan jeruji pagar. Kemudian dia mengambil bungkusan yang sejak tadi dia sembunyikan di balik bajunya.
Sebentar dia buka bungkusan itu untuk memastikan kalau isinya tak pecah. Dipandanginya telur abu-abu berbintik hitam itu lalu kembali mamasukkannya dalam bungkusan.
"Ini ditaruh saja atau dikubur?" Batin Marlina bertanya pada diri sendiri. Ningsih memang berpesan kalau tak ada aturan khusus untuk meletakkan telur itu. Yang penting jangan sampai benda itu ditemukan orang sebelum niatnya terlaksana.
Akhirnya Marlina berjongkok lalu menjulurkan satu tangannya menerobos sela-sela pagar besi kemudian sebisanya menggali sebuah lubang dengan tangan kosong. Tanah yang becek membuat usahanya jadi sedikit mudah.
Sebentar saja, sebuah lubang dangkal telah siap. Marlina segera menaruh telur itu ke dalam lubang lalu cepat-cepat menguburnya sambil kepalanya tak henti tengak-tengok.
"Selesai."

Marlina bergumam sambil menepuk-nepuk gundukan tanah lembek agar bentuknya tak menarik perhatian. Lalu dia mengusap-usap tangannya yang belepotan pada ujung roknya demi membersihkan tanah yang menempel.

"Lagi ngapain mbak?"
Astaga!

Marlina tersentak! Jantungnya seperti mau loncat! Dia pun segera berdiri demi menghadap ke arah sumber suara.
Ada seorang lelaki yang sedang berdiri di depan pintu rumah. Sepertinya dia suami dari si wanita alias bapak dari bayi calon tumbalnya.
"Eh.. Itu pak.. Saya lagi cari dompet saya yang jatuh. Mungkin di sekitar sini." Jawab Marlina sekenanya sambil menyembunyikan tangannya yang kotor.
"Ya ampun.. malam-malam begini. Hujan-hujanan lagi. Ketemu nggak dompetnya?" Tanya lelaki itu lagi. Sepertinya dia termakan oleh bualan Marlina.
"Belum pak. Ini lagi saya cari-cari." Sahut Marlina sambil coba pasang muka bingung agar sandiwaranya lebih meyakinkan.
Namun Marlina jadi sedikit gelagapan ketika lelaki itu membuka payung lalu hendak menghampirinya. Dia takut kalau lelaki itu melihat gundukan tanah yang baru saja dia buat.
Marlina pun segera melangkah ke arah lain sambil celingukan melihat ke bawah seolah sedang mencari-cari. Dia berharap lelaki itu mengikuti arah langkahnya demi menjauhkannya dari gundukan itu. Cerdas.
Dan sesuai harapan Marlina, lelaki itu berbelok arah menghampiri dirinya. Marlina pun lega. Hampir saja.
"Lho? Ini kan mamanya Sinta ya?" Tanya lelaki itu setelah jarak mereka cukup dekat.
Marlina kaget sambil memperhatikan wajah lelaki itu. Dia sama sekali tak menyangka kalau si pemilik rumah mengenalinya.
"I-iya pak. Kok bapak bisa tau?" Sahut Marlina sedikit gugup sambil coba mengingat-ingat apa dia mengenal lelaki ini.
"Lho, Sinta itu kan teman sekelasnya Dewi, anak saya. Sinta juga sering main ke sini. Saya sering kok lihat mbak sama Sinta lewat di depan rumah." Jawab lelaki itu sambil tersenyum.
Ya Tuhan! Temannya Sinta? Bagaimana ini? Tapi sudah terlanjur. Marlina jadi sedikit menyesal mengapa dia sampai tak tahu akan hal ini.
Tapi Marlina coba memaklumi diri. Kesibukannya selama ini dalam mencari nafkah membuat dia jadi jarang bergaul. Sampai-sampai anak tetangga yang jadi teman putrinya saja dia tak tau.
Tapi Marlina tak mau berlama-lama ada di situ. Dia pun segera pamit pergi. "Maaf pak. Saya mau pulang aja. Mungkin dompet saya bukan jatuh di sini."
"Hmm.. Ya sudah. Mudah-mudahan dompetnya cepet ketemu ya mbak."
Marlina cepat mengangguk lalu bergegas pergi. Sebentar dia tengok ke belakang demi memastikan kalau lelaki itu kembali masuk ke dalam rumahnya.

Hufffth... Hampir saja.

-----bersambung-----
"Ma! Ada bayi yang mati digigit ular!" Pekik Sinta esok harinya.
"Bayi? Mati digigit ular? Dimana?" Marlina menyahut kaget.
"Itu ma, adiknya si Dewi, teman sekelas Sinta. Ibunya Dewi kan baru melahirkan. Tapi tadi malam katanya bayinya mati digigit ular." Ucap Sinta coba menjelaskan.
"Hah? Kok bisa?" Jawab Marlina berlagak terperangah demi membuat responnya terlihat natural. Kemampuannya bersandiwara sepertinya kian terasah.
"Nggak tau ma. Tadi di sekolah ramai jadi omongan. Hari ini Dewi nggak masuk sekolah. Kasihan dia. Padahal sudah lama dia ingin punya adik."
Marlina cuma mengangguk. Dia sebenarnya merinding mendengar berita itu meskipun semua sudah dia perkirakan.
Dan berita tentang kematian bayi itu langsung membuat geger. Bagaimana tidak? Seorang bayi yang baru lahir tiba-tiba saja mati akibat digigit ular. Sungguh tragis.
Dan yang lebih mengherankan lagi, sang bayi rupanya tewas bukan karena racun dari sang ular, melainkan karena kehabisan darah! Ya Tuhan, sungguh di luar nalar!
Sang bapak langsung mencari dimana keberadaan ular itu. Dia takut kalau ular itu masih ada di sekitar rumahnya dan jadi ancaman bagi keselamatan jiwa keluarganya.
Namun dia tak mampu menemukannya. Dia hanya menemukan bekas cangkang telur yang pecah di sebuah lubang yang ada di halaman rumahnya.
Mengetahui semua itu, Marlina jadi sedikit khawatir. Kejadian malam itu saat sang bapak memergokinya, jelas membuat hatinya gundah. Dia takut kalau-kalau lelaki itu jadi curiga.
Tapi Marlina coba untuk menyikapinya dengan tenang. Dia pun telah menyiapkan berbagai macam alasan dan alibi sekedar untuk berjaga-jaga bilamana tuduhan itu benar-benar jatuh padanya.
Namun setelah lewat beberapa hari, segala ketakutan Marlina tak terbukti. Tak ada kabar kalau dirinya dicurigai. Marlina pun jadi bisa bernapas lega. Meskipun semua ini membuatnya jadi tak nyenyak tidur, namun segalanya telah berhasil dia lalui.

*******
"Gimana Lin? Sukses?" Tanya Ningsih di sebrang sana dalam pembicaraan melalui ponsel dengan Marlina.
"Sukses Ning. Tapi aku sempat khawatir, soalnya bapak dari bayi itu sempat memergoki aku. Untung dia nggak curiga." Jawab Marlina.
"Bagus lah. Lain kali lebih hati-hati Lin. Takutnya kamu apes. Wah, nggak kebayang kalau sampai ketahuan. Bisa habis kamu."
"Iya. Tapi aku jadi nggak enak. Ternyata bayi itu adik dari temannya Sinta. Aku juga baru tau waktu itu. Salah aku juga sih, kenapa aku nggak tanya-tanya dulu."
"Alah.. Nggak usah dipikirin. Yang penting kamu sudah berhasil. Sekarang tinggal tunggu malam selanjutnya. Aku sendiri baru tadi malam kedatangan dia. Ini baru selesai hitung uangnya."
"Oh ya? Lagi banyak duit dong kamu? Tapi aku bener-bener nggak nyangka Ning. Sebagai sahabat, dulu kita sering berbagi. Siapa sangka kalau sekarang kita juga berbagi suami? Hihihihi.."
"Iya ya? Bisa aja kamu! Tapi kamu tenang aja, aku nggak bakal cemburu kok! Hahahaha..."
Marlina pun ikut tertawa. Dia bahagia. Segala ketegangan telah berakhir. Dia pun tak sabar untuk menantikan malam berikutnya...

*******
Malam harinya, sepulangnya bekerja, Marlina dikejutkan oleh satu pemandangan yang membuatnya seketika terperangah.
Dari kejauhan, nampaklah Sinta di teras rumah sedang duduk di hadapan dua ekor ular kecil!

Astaga!
Marlina berlari tergopoh-gopoh mendekat. Sinta dalam bahaya! Dia tak mau kalau sampai putrinya itu celaka.
Namun larinya langsung terhenti saat Sinta melihat kedatangannya dan langsung menyambut girang.

"Ma, sini ma! Ada anak kecil lucu-lucu!" Ujar Sinta dengan mata berbinar-binar.
"Hah? Anak kecil? Apa aku tak salah dengar?" Batin Marlina bertanya heran.
"Sinta! Kamu sedang apa?"

"Ini ma, tadi ada Om yang datang membawa dua anaknya ini. Dia minta tolong titip anak-anak ini sebentar. Katanya dia sudah bilang sama mama."
"Om? Om Siapa?"

"Nggak tau. Dia nggak sebut nama. Tapi dia bilang kalau dia temannya mama dan tante Ningsih. Dia baik deh ma. Sinta dikasih uang. Mungkin sebentar lagi dia datang untuk jemput anak-anaknya ini. Mereka lucu ya ma?"
Marlina langsung lemas. Lututnya serasa copot hingga dia terduduk di kursi teras. Rupanya siluman itu datang membawa anak-anak mereka!
Tapi kenapa Sinta melihat mereka berwujud manusia? Padahal jelas-jelas dalam pandangan Marlina keduanya adalah ular-ular kecil bersisik kehijauan!
"Ma, Sinta jadi kepengen punya adik." Ucap Sinta entah serius atau bercanda.
Marlina tak sanggup menjawab. Lidahnya kelu. Lehernya tercekat. Hanya benaknya yang bisa berkata-kata.

"Andai kamu tau Sin, mereka itu adik-adikmu. Mereka juga keluar dari rahim mama."
Marlina cuma bisa duduk sambil memandangi wajah Sinta yang nampak bahagia sambil sesekali tertawa.
Tapi Marlina tak mau membiarkan Sinta berlama-lama di dekat ular-ular itu. Dia lantas meminta putrinya untuk segera masuk ke dalam kamar.
"Sudah malam Sin. Lebih baik kamu masuk kamar trus tidur. Biar mereka mama yang jaga."
Sinta pun patuh mengangguk lalu mengusap-usap kepala kedua ular itu.
"Dada dedek.. Kakak Sinta tidur dulu ya? Sekarang kalian main sama tante Marlina." Ujar Sinta lalu masuk ke dalam kamarnya.
Sepeninggalan Sinta, ular-ular itu merayap lalu melingkar di kaki Marlina. Dia langsung merinding. Tapi mau bagaimana lagi? Dia tak kuasa menolaknya.
"Marlina."

Marlina kaget dan langsung menoleh. Astaga! Dia datang! Namun kini siluman itu hadir dengan mengenakan pakaian parlente yang membuat ketampanannya makin mempesona.
"Apa kabar istriku?" Ucap siluman itu. Marlina cuma bisa melongo tak tau harus menjawab apa.
Sang siluman tersenyum. Dia pun melangkah mendekati Marlina. Aroma wangi tubuhnya seketika membuat Marlina bagai tersadar.

"Kamu?"
"Iya. Ini aku. Aku sengaja datang membawa anak-anak kita. Mereka ingin bertemu dengan ibunya."
Marlina langsung melirik ke arah ular-ular itu. Hewan-hewan melata itu masih melingkar di kedua pergelangan kakinya sambil sesekali menjulur-julurkan lidah.
Demi melihat hal itu, entah mengapa rasa jijik Marlina perlahan pudar. Dia malah terenyuh. Kedua ular itu bagai anak kecil yang sedang bermanja pada ibunya.

-----bersambung-----
"Mereka ingin berterima kasih padamu. Asal kamu tau, bayi yang sudah kamu persembahkan itu yang menjadi makanan mereka selain darahmu." Ucap sang siluman.
"Astaga! Jadi mereka yang...

Marlina tak sanggup lanjutkan kalimatnya. Dia benar-benar kaget.
Jujur saja, Ningsih tak pernah cerita akan hal ini. Tapi mungkin Ningsih sengaja. Mungkin ada beberapa hal yang Marlina harus mengalaminya sendiri tanpa harus diberi tau.
"Sekarang kami harus pergi. Apa kamu tak ingin memberikan ciuman pada kedua anakmu ini?"
Marlina terhenyak. Mencium ular? Menyentuhnya saja dia tak berani. Tapi sepertinya sang siluman tau apa yang ada dalam benaknya.

"Pejamkan matamu." Ucapnya memberi perintah.
Marlina pun menurut. Dia langsung memejamkan matanya beberapa saat, hingga sang siluman memintanya untuk kembali membuka mata.

"Ya Tuhan!"
Marlina terkejut! Kini di dekat kakinya ada dua anak kecil yang lucu dan menggemaskan! Apakah ini nyata?
"Sekarang apa kamu masih takut?" Tanya siluman itu lagi.
Marlina menggeleng. Dia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mungkin dua anak ini yang sejak tadi dilihat Sinta. Pantas saja putrinya itu begitu senang. Dia pun kini juga punya perasaan yang sama.
Tanpa sadar Marlina menyentuh kepala kedua anak itu. Mereka pun langsung tertawa. Lalu Marlina menunduk dan langsung mencium kening kedua anak itu.
"Ayo anak-anak. Biarkan ibu kalian istirahat. Marlina, kami pergi dulu." Ucap siluman itu lalu tiba-tiba menghilang bersama kedua anak kecil itu.
Kini Marlina cuma bisa duduk terdiam. Kejadian yang baru saja dia alami begitu kaya akan rasa. Rasa takut, heran, dan takjub bercampur jadi satu.
Entah bagaimana harus menyikapinya. Dia juga tak tau apakah harus senang atau sedih. Dua rasa itu kini begitu mendominasi.
Di satu sisi dia senang karena pesugihannya ini tak seburuk yang dia bayangkan. Dia malah merasakan kebahagiaan yang tak pernah dia dapatkan dari suaminya dulu.
Namun di sisi lain, dia merasa sedih. Tak terbayangkan kehidupan macam apa yang kelak dijalaninya nanti.

*******
Hingga beberapa hari berikutnya tak ada lagi kejadian aneh. Meski peristiwa tewasnya bayi itu masih jadi bahan pergunjingan, namun Marlina sama sekali tak perduli.
Kini Marlina menjalani hidupnya dengan antusias sambil memanjakan dirinya dan Sinta dengan uang yang kini dia punya.
Selama itu pula dia masih tetap bekerja meskipun dia sering bolos. Tapi masa bodoh. Lagipula sebenarnya dia sudah tak butuh pekerjaan itu. Dia sengaja bertahan hanya agar kehidupannya terlihat normal.
Dia tak ingin orang-orang jadi curiga bila dia hidup berfoya-foya sedangkan dia hanya berdiam diri di rumah.
Semua itu berlangsung selama tiga bulan hingga datang malam yang dia nantikan.
Sama seperti sebelumnya, dia kembali menyewa kamar hotel. Namun kini dia pilih hotel bintang lima yang jelas lebih bagus dan layak untuk dirinya. Uang kini bukan jadi masalah.
Kali ini, tak ada lagi rasa gugup, tak ada lagi rasa takut. Yang ada rasa rindu yang menggebu-gebu menantikan kedatangan suaminya yang akan memberikannya malam yang tak terlupakan.
Dia pun telah siap membekali diri dengan sejumlah jurus bercinta. Dia seolah ingin memanjakan suaminya itu dengan harapan akan mendapatkan hasil yang jauh lebih banyak dari sebelumnya.
Lalu bagaimana dengan kejantanan siluman itu yang berupa ular? Mudah saja. Tinggal pejamkan mata dan nikmati semuanya hingga selesai.
Dan akhirnya sang siluman pun hadir. Dengan sosoknya yang sempurna berikut aroma wangi tubuhnya yang sungguh memabukkan.
Malam itu, kembali terjadi perbuatan terlarang di luar nalar. Namun kini Marlina tak hanya diam. Dia bagai singa betina dengan gairah yang meledak-ledak.
Hingga akhirnya malam pun usai. Sang siluman pun telah pergi. Tinggal Marlina yang terkapar di tempat tidur dengan perasaan yang sulit untuk diungkapkan.
Dia pun kembali melonjak kegirangan begitu melihat banyaknya uang yang berserakan di lantai kamar. Jumlahnya? Luar biasa! Hampir dua kali lipat dari sebelumnya.
Esok harinya Marlina pulang dengan senyum terkembang. Dua tas penuh berisi uang ada dalam pelukannya. Tak henti-hentinya dia tertawa di dalam taksi yang mengantarkannya pulang ke rumah.
Kini dia menatap masa depan dengan lebih optimis. Hidup jadi begitu remeh di matanya. Kenapa tidak? Dengan uangnya, segalanya bisa dia miliki.

*******
Setelah merasa uangnya cukup, Marlina berniat untuk membeli sebuah rumah.
Tak perlu mewah, yang penting dia bisa memiliki sebuah kamar pribadi hingga tak perlu lagi menyewa kamar hotel bila hendak melayani suami gaibnya.
Tak butuh waktu lama, Marlina pun mendapatkan apa yang dia cari. Sebuah rumah berlantai dua yang memiliki beberapa kamar di dalamnya. Dapurnya bersih. Kamar mandinya bagus. Halamannya pun cukup memadai.
Letaknya tak terlalu jauh, hanya beberapa kilometer dari rumah kontrakannya. Namun dia sengaja membeli rumah itu diam-diam karena tak ingin mengundang perhatian sekaligus ingin memberi Sinta kejutan.
"Sin, Bulan depan kita pindah." Ucap Marlina yang membuat Sinta langsung terkejut sesuai dugaannya.

"Hah? Pindah? Pindah kemana?"
"Masih dekat-dekat sini kok. Semuanya sudah mama siapkan. Kita tinggal bawa barang seperlunya saja." Jawab Marlina dengan bangganya.
"Kenapa harus pindah kontrakan sih ma? Sinta sudah betah di sini."

"Siapa bilang itu rumah kontrakan? Itu rumah kita sendiri."
"Hah? Kok bisa? Memangnya mama dapat uang darimana sampai bisa beli rumah segala?"
Marlina langsung gelagapan. Apa yang harus dia katakan? Dia benar-benar tak menyangka kalau Sinta akan memberondongnya dengan pertanyaan seperti itu. Dia pun jadi menyesal karena sudah bersikap sembrono.
Sinta memang pernah bertanya dari mana uangnya berasal saat dia dibelikan sejumlah barang yang jadi idamannya selama ini.
Tapi waktu itu Marlina bilang kalau dia dapat bonus dari kantor. Dan Sinta pun percaya karena alasannya terdengar masuk akal.
Tapi untuk membeli sebuah rumah? Marlina butuh alasan yang lain. Dan itu sama sekali belum terpikirkan olehnya.
Tapi akhirnya Marlina menemukan jawabannya. Sebuah kebohongan demi menutupi kebohongan yang lain. Tapi mau bagaimana lagi?
"Mmm.. Mama nggak beli. Rumah itu warisan Opa kamu." Jawab Marlina spontan. Hanya itu jawaban paling logis yang bisa dia berikan.
"Warisan Opa? Kok mama nggak pernah cerita? Lalu kenapa nggak dari dulu aja kita tinggal di situ?" Tanya Sinta lagi.
Marlina kembali bingung sambil membatin. "Ya Tuhan.. Rewel banget sih anak ini. Bikin repot saja."
"Mama juga baru tau dari Opa kamu waktu mama menjenguknya di penjara tempo hari. Rupanya selama ini Opa sengaja sembunyikan keberadaan rumah itu karena takut disita."
"Ya ampun.. Sinta bener-bener nggak nyangka. Ya sudah, kapan kita kesana? Sinta jadi penasaran mau lihat rumahnya." Sahut Sinta antusias. Rupanya dia percaya dengan bualan mamanya.
"Besok juga boleh." Jawab Marlina singkat. Dia jadi lega. Rentetan pertanyaan Sinta akhirnya terhenti.

--Bersambung ke bagian 4--

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Wallensky

Wallensky Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @wallensky10

Aug 28
SEKAR GEDANG

Bab 8

@Penikmathorror @IDN_Horor @ceritaht @bacahorror Image
SEKAR GEDANG - Bab 8

***

Samsuri melirik Sri yang duduk manis bersanding dengannya di pelaminan. Hari ini, mereka resmi menjadi pasangan suami istri.
Read 86 tweets
Aug 9
SEKAR GEDANG

Bab 7

@Penikmathorror @IDN_Horor @ceritaht @bacahorror Image
SEKAR GEDANG - Bab 7

***

Samsuri termenung di ruang tamu. Sudah dua minggu Ninik dan bu Sopiah tak ada kabarnya. Kemana mereka? Samsuri benar-benar bingung dibuatnya.
Read 97 tweets
Jul 27
SEKAR GEDANG

Bab 6

@Penikmathorror @IDN_Horor @ceritaht @bacahorror Image
SEKAR GEDANG - Bab 6

***

Ninik terbangun saat mendengar adzan Subuh berkumandang. Dia kaget mendapati dirinya tidur di ranjang berhiaskan bunga-bunga bersama seorang lelaki yang berbaring di sampingnya.
Read 88 tweets
Jul 12
SEKAR GEDANG

Bab 5

@Penikmathorror @IDN_Horor @ceritaht @bacahorror Image
SEKAR GEDANG - Bab 5

***

Samsuri termenung, kepalanya tertunduk dalam-dalam. Lantunan ayat suci dari para jamaah pengajian di sekitarnya seolah terdengar sayup dan jauh. Dia memang membaur, tapi seperti ada di tempat lain.
Read 89 tweets
Jun 29
SEKAR GEDANG

Bab 4

@Penikmathorror @IDN_Horor @ceritaht @bacahorror Image
SEKAR GEDANG - Bab 4

***

Malam sudah larut, tapi Samsuri masih merenung. Pikirannya ruwet, kepalanya mumet. Bukan masalah hutang, apalagi kekurangan uang, tapi masalah Harso yang sudah berkali-kali merongrong dengan berbagai macam alasan.
Read 85 tweets
Jun 22
SEKAR GEDANG

Bab 3

@Penikmathorror @IDN_Horor @ceritaht @bacahorror Image
WARNING ⚠️

Thread ini berisi konten utk usia 21+. Bijaklah dalam memilih bahan bacaan.
Read 99 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(