Henry Setiawan Profile picture
May 18 โ€ข 186 tweets โ€ข 24 min read Twitter logo Read on Twitter
๐—•๐—จ๐—Ÿ๐—”๐—ก ๐—›๐—จ๐—๐—”๐—ก ๐——๐—”๐—ก ๐—ฃ๐—˜๐—ฅ๐—˜๐— ๐—ฃ๐—จ๐—”๐—ก ๐——๐—œ ๐—ฆ๐—จ๐——๐—จ๐—ง ๐—ง๐—”๐— ๐—”๐—ก

Part 1

Ijin tag & tolong bantu RT ya kakak @bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca @autojerit @diosetta @rabumisteri @mwv_mystic @Long77785509

#bacahorror #ceritahorror #horror #threadhorror #IDNH Image
Sebelum mulai jangan lupa RT, like dan komen biar rame.. Jangan lupa juga follow supaya tidak tertinggal update cerita terbaru
Cerita ini sudah ada 2 part di @karyakarsa_id kalau mau baca duluan sekalian beri dukungan bisa buka link di bawah
karyakarsa.com/Henrysetiawan8โ€ฆ
Di Sudut Sebuah Taman Kota, Di Penghujung Tahun 2004

Dia masih di sana. Masih menari. Entah sejak kapan dan sampai kapan dia akan menari tak ada yang pernah tahu. Sesekali dia berdendang, juga bersajak.
Tapi semua itu bukanlah jawaban untuk apa yang sedang dilakukannya. Dia memang cantik. Tapi dia tak pernah tersentuh. Oleh apapun juga siapapun.
๐˜‰๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฉ๐˜ถ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฏ, ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ด๐˜ช๐˜ฉ...
๐˜ˆ๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ฎ ๐˜ซ๐˜ถ๐˜จ๐˜ข ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ญ๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฑ
๐˜’๐˜ฆ๐˜ต๐˜ข๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ซ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ฃ๐˜ข๐˜ฏ
๐˜š๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ช๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ต๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜ญ๐˜ฐ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ณ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข
๐˜’๐˜ข๐˜ถ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ด๐˜ช๐˜ฉ ๐˜ซ๐˜ถ๐˜จ๐˜ข ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ด๐˜ช๐˜ถ๐˜ญ
๐˜š๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ณ๐˜ข ๐˜ฑ๐˜ช๐˜ด๐˜ข๐˜ถ-๐˜ฑ๐˜ช๐˜ด๐˜ข๐˜ถ ๐˜ต๐˜ข๐˜ซ๐˜ข๐˜ฎ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ฉ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ถ๐˜ด ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ต๐˜ข
๐˜‰๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฉ๐˜ถ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฏ, ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ด๐˜ช๐˜ฉ...
๐˜ˆ๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ฅ๐˜ช ๐˜ด๐˜ช๐˜ฏ๐˜ช ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ด๐˜ช๐˜ฉ ๐˜ด๐˜ข๐˜ซ๐˜ข ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฏ
๐˜‰๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ-๐˜ฃ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ถ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ฌ๐˜ถ
๐˜›๐˜ข๐˜ฑ๐˜ช ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ต๐˜ข๐˜ฑ ๐˜ฅ๐˜ช ๐˜ด๐˜ช๐˜ฏ๐˜ช
๐˜š๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ข๐˜ญ๐˜ถ ๐˜ฅ๐˜ช ๐˜ด๐˜ช๐˜ฏ๐˜ช
๐˜œ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ข๐˜ณ๐˜ช...
Lalu dia kembali menari meliukkan seluruh persendiannya, meloncat, berputar, semakin cepat lalu melambat, kembali cepat, melupakan komposisi, dia terus bergerak, terus meliuk, sesekali di iringi dengan erangannya yang mampu menyayat mata langit,
sesekali terjatuh juga, lalu kembali menari, hingga fajar tiba dan dia berlari ke sudut taman di antara belukar dan lenyap di telan bumi.

***
๐—ฃ๐—ฎ๐—ฟ๐˜ ๐Ÿญ
๐— ๐—ถ๐—บ๐—ฝ๐—ถ ๐—•๐˜‚๐—ฟ๐˜‚๐—ธ

Di Sebuah Desa di Pinggir Alas Kidul, Zaman Kerajaan Hindu

โ€œKamu mau ke sungai sekarang, nduk?โ€ Ucap perempuan paruh baya kepada gadis muda cantik yang merupakan anaknya.
โ€œNggih, Bu. Biar tidak kesiangan nantiโ€ Jawab gadis muda itu.

โ€œYa sudah hati-hati. Segera pulang kalau sudah selesai nyuciโ€ Ucap Ibunya.

โ€œNggih, Buโ€ Jawab gadis cantik itu.
Gadis cantik itu pun berjalan menyusuri jalan desanya menuju ke sebuah sungai besar di pinggiran desa. Sudah menjadi kebiasaan setiap pagi warga desa ini, terutama perempuan mencuci baju di sungai.
โ€œSelamat pagi, mbokโ€ Sapa gadis itu pada seorang perempuan tua yang sedang sibuk merawat tanaman sayur di ladang yang dilewatinya.

โ€œEalah Ndari to jebule, tak kiro sopo (Ealah Ndari to ternyata, kukira siapa)โ€ Sahut perempuan tua itu.
โ€œAmeh ning lepen, nduk? (Mau ke sungai, nduk?)โ€ Sambungnya.

โ€œNggih , Mbok Nartiโ€ Jawab Sundari atau biasa dipanggil Ndari oleh penduduk desa ini.

โ€œYowis kono, sing ngati-ati (Ya sudah sana, hati-hati)โ€ Ucap Mbok Narti.
Sundari pun tersenyum lalu kembali melanjutkan perjalanannya yang masih cukup jauh untuk menuju ke sungai. Sundari memang dikenal sebagai seorang gadis yang sangat ramah. Selain itu juga dia sangat cantik. Penduduk desa ini begitu menyukainya.
Dia tak segan membantu siapa saja yang sedang dalam kesulitan sesuai kemampuannya. Selain dikenal sebagai gadis yang sangat baik, Sundari juga dikenal sebagai seorang penari handal. Dia mengikuti sanggar tari yang ada di desanya.
Sejak kecil dia begitu menyukai seni tari tradisional ini. Hampir setiap sore dia selalu berlatih di sanggar dan juga melatih anak-anak kecil yang baru belajar seni tari.
Wajahnya yang cantik, tutur katanya yang lembut dan ramah, serta kebaikannya membuat beberapa pemuda desa ini menginginkannya menjadi pendampingnya. Namun tidak satupun yang mendapatkan respon oleh Sundari.
Meski usianya sudah memasuki usia yang pantas untuk mengakhiri masa lajang. Entah apa alasannya hanya Sundari seorang yang mengetahuinya.
Sesampainya di sungai, Sundari langsung melakukan kegiatannya mencuci baju. Nampak di antaranya ada beberapa perempuan lain yang juga warga desanya melakukan kegiatan yang sama. Sambil diwarnai senda gurau mereka tampak asyik mencuci baju tanpa ada beban sedikitpun.
Namun tanpa ada yang menyadari, ternyata ada sepasang mata yang mengamati mereka semua dari balik semak tak jauh dari seberang sungai itu. tatapan mata itu nyalang penuh nafsu menatap tajam serombongan perempuan desa yang sedang mencuci baju dan juga mandi, terutama pada Sundari.
Sebelum matahari bersinar terik, nampak beberapa orang telah meninggalkan sungai untuk kembali ke rumah mereka masing-masing. Menyisakan Sundari dan tiga orang perempuan lainnya yang belum menyelesaikan kegiatan mereka.
โ€œAku pulang dulu, Ndari. Kamu masih lama?โ€ Ucap Yati, salah satu perempuan yang ikut mencuci baju yang juga sebaya dengan Sundari.

โ€œSebentar lagi selesai kok, Yati. Yasudah kamu duluan sajaโ€ Jawab Ndari.
Sepeninggal Yati, dua orang lainnya juga ikut meninggalkan sungai karena pekerjaan mereka sudah selesai. Tersisa Sundari sendirian yang masih mengucek beberapa baju yang tersisa. Sembari mencuci baju, Ndari bersenandung beberapa lagu jawa dengan suaranya yang merdu.
Selain pandai menari, Sundari juga memiliki suara yang merdu. Beberapa saat ketika dia sedang asyik menikmati kegiatannya, tiba-tiba perasaannya berubah menjadi tidak nyaman. Dia merasa diawasi oleh seseorang.
Beberapa kali dia memandang kesana kemari, namun tidak menemukan seorangpun. Sundari pun bergegas menyelesaikan cuciannya dan segera beranjak dari sungai. Ketika dia hendak melangkah, sudut matanya melihat sekelebat bayangan melintas menjauh dari seberang sungai.
Seketika tubuh Sundari merinding. Tak mau menduga lebih jauh, Sundari memilih untuk segera meninggalkan tempat itu. Dia teringat cerita yang selama ini berhembus bahwa sekitaran sungai itu merupakan tempat wingit dimana banyak bersemayam bangsa jin.
Sundari mengayun langkahnya cepat meninggalkan sungai itu. Perasaannya kian tidak menentu sebab sepanjang perjalanan dia merasa ada yang mengikuti. Beberapa kali dia menoleh untuk memastikannya, namun lagi-lagi dia tidak mendapati siapapun.
Jantungnya semakin berdebar karena takut diikuti orang jahat atau rampok yang memang masih banyak berkeliaran dan bersembunyi di hutan dekat sungai tadi. Atau bisa juga diikuti bangsa jin penghuni sungai besar yang mengalir di pinggiran desanya itu.
Sesampainya di pemukiman, Sundari sedikit bisa bernafas lega. Sebab dia mulai menemui penduduk lain yang beraktifitas di sekitar rumah mereka masing-masing. Setidaknya jika memang ada orang yang berniat jahat, akan ada orang yang bisa dimintai tolong.
โ€œSeko ngendi, Ndari? Kok ketok pucet ngono (Dari mana, Ndari? Kok terlihat pucat seperti itu)โ€ Sapa seorang pria paruh baya yang melihat Sundari sedikit tergesa-gesa ketika memasuki desa.
โ€œSaking lepen, Pakde Ranto (Dari sungai, Pakde Ranto)โ€ Jawab Sundari sambil mengatur nafasnya.

โ€œLho kok dewe? Koncone ngendi? (Lho kok sendirian? Temannya mana?)โ€ Tanya Ranto.
โ€œSampun wangsul riyin, Pakde. Ndari keri piyambakan (Sudah pulang duluan, Pakde. Ndari tertinggal sendirian)โ€ Jawab Sundari.
โ€œWah lha kok kewanen awakmu. Wis kene mampir sek ngombe wantah sek (Wah terlalu berani kamu. Sudah sini mampir dulu minum air putih dulu)โ€ Ucap Ranto mengajak Sundari mampir ke rumahnya yang terletak paling ujung desa itu.
โ€œNggih, matur suwun, Pakde (Iya terima kasih, Pakde)โ€ Jawab Sundari mengiyakan tawaran Ranto.
Sundari pun duduk di lincak yang ada di teras rumah Ranto. Tak berapa lama seorang wanita paruh baya yang merupakan istri Ranto keluar dengan membawa sebuah kendi dan gelas dari bambu.
Dia menuang isi kendi tersebut dan memberikannya kepada Sundari. Sundari pun menerima dan segera menenggak isinya sampai tandas.
โ€œOno opo, nduk? Kok ketoke kowe keweden ngono (Ada apa, nduk? Kok sepertinya kamu ketakutan begitu)โ€ Ucap Mbok Sri, istri Ranto.

Sundari pun mencceritakan apa yang dialami dan dirasakannya tadi. Mbok Sri dan Pakde Ranto mendengarkannya dengan seksama.
โ€œSesuk meneh ojo dewean ning kali yo nduk. Yen koncone mulih, awakmu yo kudu melu mulih,senajan gaweanmu durung rampung (Lain kali jangan sendirian disungai ya nduk. Kalau temanmu pulang,kamu juga harus ikut pulang,meskipun pekerjaanmu belum selesai)โ€ Ucap Pakde Ranto menasehati.
โ€œNggih, Pakde. Ndari nggih mboten ngiro, soale tasih siang (Iya, Pakde. Ndari juga tidak mengira, karena masih siang)โ€ Ucap Sundari.
โ€œDemit kono kui ora mandang awan utowo wengi nduk. Yen ngerti ono menungso dewean ning panggone, yo bakal tetep diganggu. Durung meneh yen sing moro rampok. Iso tambah ciloko awakmu
(Demit situ tidak peduli siang atau malam, nduk. Kalau tahu ada manusia sendirian di wilayahnya, ya bakal tetap diganggu. Belum lagi kalau yang datang rampok. Bisa semakin celaka kamu).โ€ Ucap Pakde Ranto lagi.
โ€œNggih Pakde (Iya Pakde)โ€ Jawab Sundari.

โ€œWes wes. Sing penting awakmu selamet. Saiki muliho(Sudah sudah. Yang penting kamu selamat. Sekarang pulanglah)โ€ Ucap Pakde Ranto.

โ€œNggih pakde, matur suwun (Iya pakde, terima kasih)โ€ Ucap Sundari.
Sundari pun segera meninggalkan rumah Pakde Ranto untuk pulang. Meski sudah merasa lega, namun perasaannya masih tetap mengganjal. Dia masih merasa ada yang mengawasinya dari kejauhan.
Sundari pun berusaha menenangkan dirinya dengan berpikir positif dan membuang perasaan ragu serta takutnya. Hingga sesampainya di rumah dia sudah merasa jauh lebih tenang. Dia tidak menceritakan apa yang dialaminya kepada ibunya karena tidak mau membuat ibunya khawatir.

***
Sore harinya, Sundari kembali berlatih menari seperti biasa di sanggar seni yang dipimpin seorang dalang di desanya. Sanggar seni ini tidak hanya menampilkan kesenian wayang kulit saja, tetapi berbagai kesenian lainnya, seperti wayang orang, ketoprak, karawitan, dan seni tari.
Sanggar seni ini cukup terkenal di wilayah ini. Mereka sering disewa oleh istana kerajaan dan beberapa pejabat penting lainnya untuk tampil dalm perayaan tertentu. Dan Sundari tentu saja termasuk salah satu personil yang kerap ikut tampil jika mereka meminta ada pertunjukan tari.
Ketika Sundari sedang berlatih, tampak seorang pemuda menunggunya di salah satu sudut pendopo. Pemuda itu memang sangat sering melihat sundari berlatih. Tampak jelas di raut wajahnya bahwa pemuda itu sangat mengagumi Sundari.
Sundari bukannya tidak mengetahui kehadiran pemuda itu. Dia tahu jika sedang ditonton oleh seseorang dengan rasa kagum. Namun hal itu tidak membuat Sundari risih, sebab mereka memang sudah saling mengenal.
Pemuda itu merupakan anak dari Ki Wongso, pemimpin sanggar seni ini. Sesekali Sundari melemparkan senyum manisnya ketika tanpa sengaja tatapan mata mereka beradu. Begitu pula dengan pemuda itu. Setelah menyelesaikan satu tarian, Sundari segera menghampiri tempat pemuda itu duduk.
โ€œNgapain lihat aku sampai begitunya, Mas Damar? Nanti terpesona lho. Hihihiโ€ Ucap Sundari sedikit menggoda pemuda bernama Damar itu.

โ€œAku memang sudah terpesona kok, Ndari. Kamunya saja yang tidak mau menanggapiโ€ Jawab damar sembari sedikit memonyongkan bibirnya.
โ€œBukannya begitu, Mas Damar. Kamu pasti sudah paham alasanku kan?โ€ Ucap Sundari sambil sedikit tertunduk.

โ€œAku paham kok. Sudah tidak perlu dipikirkan. Bisa terus melihatmu menari saja aku sudah sangat bersyukurโ€ Ucap Damar sambil tersenyum.
Sundari hanya menghela nafas panjang usai mendengar ucapan Damar tadi. Hatinya bergemuruh dengan perasaan yang bercampur aduk. Jika boleh mengakui, sesunggguhnya Sundari memiliki perasaan yang sama dengan perasaan Damar kepadanya.
Namun ada satu hal yang menjadi penghalangnya untuk mengakui bahkan menerima perasaan Damar. Satu hal yang tidak mungkin diungkapkannya kepada orang lain. Satu hal yang akan membawa bencana bagi siapapun yang nantinya menjadi pasangannya.
โ€œKamu mau lanjut latihan atau mau pulang, Ndari?โ€ Ucap Damar lagi memecah lamunan Sundari.

โ€œEeeh.. Aku mau ngelatih anak-anak dulu, Mas Damarโ€ Jawab Sundari.

โ€œBaiklah, aku tinggal dulu yaโ€ Ucap Damar lalu beranjak memasuki ruangan khusus untuk berlatih mendalang.

***
๐˜‹๐˜ช ๐˜š๐˜ถ๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ต ๐˜š๐˜ฆ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜›๐˜ข๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜’๐˜ฐ๐˜ต๐˜ข, ๐˜‹๐˜ช ๐˜—๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ฉ๐˜ถ๐˜ซ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜›๐˜ข๐˜ฉ๐˜ถ๐˜ฏ 2004

Terik matahari ini semakin lama semakin menyengat di kepala. Aku yang sejak pagi duduk di pinggir taman ini masih malas untuk beranjak.
Menyendiri di taman setiap pagi memang sudah menjadi kebiasaanku sejak lama, tepatnya kapan aku sendiri sudah lupa dan enggan untuk mengingatnya. Yang pasti aku selalu dapat menikmati kesendirianku di pinggir taman ini, dengan segelas kopi dan sebuah surat kabar pagi.
Tapi pagi ini aku benar-benar enggan untuk beranjak. Padahal hari benar-benar sudah terik dan aku harus segera berangkat ke kantor. Tapi aku tak peduli, anganku sudah terlanjur berlari, entah kemana, aku sendiri tak mengerti.
Aku bertemu dengan seorang perempuan,aku seperti mengenalnya, tapi aku benar-benar tak bisa mengingatnya. Entah bagaimana aku bisa begitu akrab dengannya,bercanda, tertawa, bersajak bersama. Aku dan dia, benar-benar seperti sepasang kekasih, tapi aku tak tahu siapa perempuan itu.
Dia memanggilku dengan sebutan yang aneh. Damar... Damar... dia memanggilku Damar... Padahal yang aku tahu dan yang pernah ku baca di KTP, akta kelahiran, ijasahi-jasahku, dan surat-surat yang lain namaku adalah Burhan, bukan Damar.
Tapi entah mengapa panggilan itu benar-benar akrab di telingaku.
๐˜‰๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฉ๐˜ถ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฏ, ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ด๐˜ช๐˜ฉโ€ฆ
๐˜‹๐˜ข๐˜ฏ ๐˜จ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฑ ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ถ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ช๐˜ถ๐˜ด ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ต๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข๐˜ช๐˜ข๐˜ฏ
๐˜ˆ๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ข๐˜ญ๐˜ถ ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ
๐˜”๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ซ๐˜ถ๐˜ต ๐˜ฃ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ-๐˜ฃ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ
๐˜‰๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฉ๐˜ถ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฏ, ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ด๐˜ช๐˜ฉโ€ฆ
๐˜‘๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ต๐˜ข๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ต ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ต๐˜ข๐˜ฉ๐˜ข๐˜ณ๐˜ช
๐˜”๐˜ฆ๐˜ด๐˜ฌ๐˜ช ๐˜ด๐˜ช๐˜ฏ๐˜ข๐˜ณ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ต๐˜ข๐˜ซ๐˜ข๐˜ฎ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ฉ๐˜ถ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฎ
๐˜’๐˜ช๐˜ต๐˜ข ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฑ๐˜ข๐˜บ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ข๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข๐˜ฎ-๐˜ข๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข๐˜ฎ ๐˜ค๐˜ช๐˜ณ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ด
๐˜‰๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฉ๐˜ถ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฏ, ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ด๐˜ช๐˜ฉโ€ฆ
๐˜‰๐˜ข๐˜ฉ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ค๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ค๐˜ช๐˜ต ๐˜ค๐˜ข๐˜ฎ๐˜ข๐˜ณ ๐˜ช๐˜ณ๐˜ช ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฌ๐˜ช๐˜ด๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ชโ€ฆ
Seperti itu, aku benar-benar mengucapkan sajak itu. Padahal aku belum pernah menulis atau pun membaca sajak yang seperti itu. Aku semakin tak bisa mengerti tentang apa yang ku alami. Hingga tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara ponselku dan membuyarkan anganku.
Ternyata bos menelponku dan menyuruhku agar segera ke kantor karena banyak sekali pekerjaan menumpuk yang belum ku selesaikan. Aku melangkah meninggalkan taman itu, meninggalkan sesuatu yang benar-benar tak kumengerti di taman itu.

***
๐˜‹๐˜ช ๐˜š๐˜ฆ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜‹๐˜ฆ๐˜ด๐˜ข ๐˜ฅ๐˜ช ๐˜—๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ๐˜จ๐˜ช๐˜ณ ๐˜ˆ๐˜ญ๐˜ข๐˜ด ๐˜’๐˜ช๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ญ, ๐˜ก๐˜ข๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜’๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ซ๐˜ข๐˜ข๐˜ฏ ๐˜๐˜ช๐˜ฏ๐˜ฅ๐˜ถ

Malam sunyi, seperti malam-malam sebelumnya di desa ini. Suasana yang sangat wajar di masa itu, apalagi di daerah pedesaan yang jauh dari keramaian kota kerajaan.
Aktifitas penduduk kebanyakan hanya ketika siang hari. Sedangkan pada malam hari mereka memilih untuk berdiam di rumah. Begitu pula dengan Sundari yang saat ini masih duduk di sebuah kursi di sudut kamarnya.
Remang cahaya lampu teplok menemaninya menggores lontar dengan untaian sajak yang menunjukkan isi hatinya.
๐˜‰๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฉ๐˜ถ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฏ, ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ด๐˜ช๐˜ฉโ€ฆ
๐˜‹๐˜ข๐˜ฏ ๐˜จ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฑ ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ถ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ช๐˜ถ๐˜ด ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ต๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข๐˜ช๐˜ข๐˜ฏ
๐˜ˆ๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ข๐˜ญ๐˜ถ ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ
๐˜”๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ซ๐˜ถ๐˜ต ๐˜ฃ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ-๐˜ฃ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ
๐˜‰๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฉ๐˜ถ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฏ, ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ด๐˜ช๐˜ฉโ€ฆ
๐˜‘๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ต๐˜ข๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ต ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ต๐˜ข๐˜ฉ๐˜ข๐˜ณ๐˜ช
๐˜”๐˜ฆ๐˜ด๐˜ฌ๐˜ช ๐˜ด๐˜ช๐˜ฏ๐˜ข๐˜ณ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ต๐˜ข๐˜ซ๐˜ข๐˜ฎ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ฉ๐˜ถ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฎ
๐˜’๐˜ช๐˜ต๐˜ข ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฑ๐˜ข๐˜บ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ข๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข๐˜ฎ-๐˜ข๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข๐˜ฎ ๐˜ค๐˜ช๐˜ณ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ด
๐˜‰๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฉ๐˜ถ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฏ, ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ด๐˜ช๐˜ฉโ€ฆ
๐˜‰๐˜ข๐˜ฉ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ค๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ค๐˜ช๐˜ต ๐˜ค๐˜ข๐˜ฎ๐˜ข๐˜ณ ๐˜ช๐˜ณ๐˜ช ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฌ๐˜ช๐˜ด๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ชโ€ฆ
Usai menulis sebait sajak untuk menggambarkan kegelisahannya sekaligus sebagai penyemangat diri untuk menerima apapun nasib dan takdir yang diberikan Tuhan kepadanya, Sundari mulai merebahkan tubuhnya di sebuah ranjang kecil dengan beralaskan tikar pandan.
Matanya menerawang menatap langit-langit kamarnya dan angannya menembus batas dimensi melukiskan kebahagiaan ciptaan angannya untuk menenangkan sukmanya sebelum memasuki alam mimpi yang tidak selalu indah menghiasi tidurnya setiap malam.
Sundari sudah sangat terbiasa akan hal itu. hampir setiap malam dia mengalami mimpi yang buruk dan selalu terbangun dengan deru nafas memburu dan keringat bercucuran sebelum pagi menjelang.
Getih anget katresnan lelembut
Sukmo wangi penganten gusti baginda prabu
Rogo elok kunjoroning jiwo
Ora ono menungso kang biso nyanding
Kejobo iro kang gadhah manunggaling pusaka kembang maya
Kalimat itu selalu terngiang dalam mimpi Sundari. Terkadang terlihat sosok makhluk menyeramkan berwujud buto dengan ukuran sangat besar yang mengucapkannya, terkadang tanpa terlihat wujud sama sekali.
Namun untaian kalimat itu selalu didengarnya berulang-ulang bersamaan dengan penglihatan sebuah bencana mengerikan berupa kematian mengenaskan orang-orang yang dikenalnya dengan cara yang aneh dan misterius. Dan semua itu terjadi setelah Sundari menjalani sebuah pernikahan.
Seperti juga malam ini, Sundari mengalami sebuah mimpi sedang duduk di kursi pelaminan bersanding dengan Damar. Raut kebahagiaan terlihat dari wajah kedua pasangan itu. pun dari sanak saudara serta semua tamu undangan yang menghadiri acara itu.
Namun rasa bahagia itu tidak berlangsung lama, tanpa terlihat sosok yang mengucapkannya, terdengar kalimat yang sama diucapkan berulang-ulang yang hanya di dengar oleh Sundari. Seketika Sundari panik menyadari akan datangnya bencana seperti pada mimpi-mimpi sebelumnya.
Tepat seperti yang diperkirakannya, Damar yang sebelumnya duduk tenang dan tersenyum ramah kepada semua tamu undangannya tiba-tiba jatuh menggelepar di hadapan Sundari. Matanya melotot dan kedua tangannya menekan bagian dada menandakan merasakan sakit yang tak terkira.
Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, hanya erangan kesakitan yang mengiringi muntahan darah kental dari mulutnya. Tak berapa lama semua orang yang berada di tempat itu pun mengalami hal yang sama.
Satu persatu mereka jatuh menggelepar, bahkan sebagian telah meregang nyawa dengan sangat mengenaskan. Tak ada yang bisa Sundari lakukan. Dalam mimpinya dia sepenuhnya sadar jika sedang berada di alam mimpi, namun dia tidak memiliki kuasa untuk mengendalikannya.
Sundari hanya bisa memandang nanar. Sudah tidak terhitung berapa kali dia mengalami mimpi serupa seperti ini.
Adegan itu terus berlangsung hingga terlihat sesosok pria di kejauhan berdiri memandang ke arah Sundari. Jarak yang cukup jauh membuat Sundari tidak bisa melihat dengan jelas wajah dari sosok tersebut.
Sundari mengabaikannya lalu kembali memandang orang-orang yang sedang menggelepar menunggu ajal mendatangi mereka. Hingga tiba-tiba Sundari merasakan ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Kepala seseorang itu mendekat ke arah telinga Sundari lalu membisikkan sesuatu.
โ€œTidak akan ada satu pun manusia yang bisa memilikimu. Kau hanya milikku. Aku akan menunggu kedatanganmu di Alas Kidul saat tanda di punggungmu berubah memerah. Jika kau tidak datang, maka aku yang akan menjemputmu sekaligus meminta tumbal dari orang-orang yang kau sayangiโ€
Seketika Sundari langsung terbangun dari mimpinya dengan tubuh basah kuyup oleh keringat dan nafas yang memburu. Masih dalam perasaan kalut dan panik, hawa dingin dan lembab tiba-tiba datang menyelimuti dirinya.
Sundari masih berusaha menahan suaranya supaya tidak berteriak dan membangunkan Ibunya. Sebab terakhir kali hal itu terjadi, keesokan harinya Ibunya jatuh sakit hingga beberapa hari. Sundari tidak mau membuat Ibunya takut dan khawatir hingga mempengaruhi kesehatannya.
Sundari menahan perasaan mencekam ini seorang diri, perlahan air matanya meleleh membasahi pipinya. Rasa takut kali ini melebihi malam-malam sebelumnya. Dia merasa ada makhluk yang mendatanginya dan menunggu di luar rumahnya.
Perlahan terdengar suara langkah kaki dari sisi luar dinding kamarnya. Langkah kaki itu berjalan mondar mandir lalu berhenti tepat di depan jendela. Tok... tok... tok... Terdengar daun jendela kamarnya diketuk pelan.
Ada sedikit rasa penasaran untuk mengetahui siapa yang sedang berada di luar kamarnya. Namun ketika Sundari mengingat kejadian mengerikan dalam mimpinya, dia mengurungkan niatnya untuk memeriksa keluar.
Rasa takut semakin besar menjalari jiwanya. Sundari hanya bisa menarik selimut dari kain jarik lusuh dan menutupi seluruh tubuhnya untuk memberikan sugesti rasa aman dari terror yang mendatanginya malam ini.
Meski hal itu sia-sia belaka,sebab sosok di luar sana masih terus berjalan mondar mandir dan sesekali mengetuk daun jendela kamar Sundari. Hingga di penghujung malam menjelang fajar,sosok itu tiba-tiba mengucapkan kalimat yang selama ini hanya di dengar Sundari di dalam mimpinya.
Getih anget katresnan lelembut
Sukmo wangi penganten gusti baginda prabu
Rogo elok kunjoroning jiwo
Ora ono menungso kang biso nyanding
Kejobo iro kang gadhah manunggaling pusaka kembang maya
Sundari semakin ketakutan dibuatnya. Selama ini terkadang dia masih menganggap mimpinya hanyalah bunga tidur semata. Namun ternyata dia malam ini mendengar secara langsung kalimat itu di alam nyata yang entah diucapkan oleh siapa di luar sana.
Tepat ketika sosok di luar usai mengucapkan kalimat itu, suasana berubah menjadi sunyi. Tidak lagi terdengar suara langkah kaki, pun ketukan di daun jendela.
Namun Sundari masih tak bergeming dan tetap berlindung di balik selimut kain jarik lusuh pemberian Ibunya itu hingga pagi menjelang dan pintu kamarnya diketuk berbarengan dengan suara Ibunya yang membangunkannya.
โ€œKamu mimpi buruk lagi, nduk?โ€ Ucap Suprapti ketika melihat wajah pucat Sundari usai membukakan pintu kamarnya.
โ€œNdak kok, Bu. Ndari hanya kurang tidur saja semalam karena memikirkan gerakan baru tari yang akan Ndari latih nantiโ€ Ucap Sundari tiak mau membuat Ibunya khawatir.
โ€œYa sudah kamu mandi saja biar segar. Sudah Ibu siapkan air hangatโ€ Ucap Suprapti lagi masih dengan nada khawatir.

โ€œBaik, Buโ€ Jawab Sundari lalu segera bergegas menuju bilik kamar mandi di belakang rumahnya.

***
โ€œNduk, ibu semakin khawatir dengan kondisimu. Ibu tahu kamu masih sering mimpi buruk kan?โ€ Ucap Suprapti ketika menemani Sundariย sarapan seusai mandi.

โ€œIbu tidak perlu khawatir atau sedih. Ndari tidak apa-apa kok, Buโ€ Jawab Sundari.
โ€œTanda lahir di punggungmu itu membawa malapetaka, nduk. Sejak kamu lahir, Mbah Sumi dukun bayi yang membantu kelahiranmu sudah memperingatkan Ibu.
Dan sejak kamu kecil, kamu sering sekali mengalami kejadian aneh dan janggal. Seolah-olah kamu itu sangat disukai bangsa lelembutโ€ Ucap Suprapti lagi.
โ€œIbu jangan mudah percaya dengan hal seperti itu.Ndari sudah jarang sekali mimpi buruk kok Bu.Kalau kejadian sewaktu Ndari kecil,Ndari anggap itu hanya kebetulan saja karena kecerobohan Ndari sendiri yang suka main di tempat-tempat sepiโ€ Sundari masih berusaha menenangkan Ibunya.
โ€œApa tidak sebaiknya kamu coba tanya ke Ki Wongso, nduk? Selain dalang, beliau kan juga mengerti soal klenikโ€ Ucap Suprapti.
โ€œSebaiknya jangan, Bu. Ndari khawatir nanti banyak orang yang tahu soal Ndari. Sementara Ibu sendiri terus berusaha merahasiakannya. Selain Ibu, Bapak dan Ndari sendiri, hanya Mbah Sumi dan Mas damar yang tahu soal ini.
Mbah Sumi dan Bapak sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, sedangkan Mas Damar bisa kupercaya tidak akan menceritakan kepada siapapunโ€ Ucap Sundari.
โ€œIbu paham kan, pertanda-pertanda seperti yang dimiliki Ndari ini dianggap aib oleh orang-orang. Ndari tidak mau terjadi apa-apaย sama Ibu kalau orang-orang mengetahui kondisi Ndari yang pasti dianggap pembawa sial dan malapetakaโ€ Sambungnya.
Suprapti menunduk lalu terisak usai mendengar ucapan Sundari. Dia tak sanggup lagi menahan kesedihannya. Dia kembali teringat kejadian dua puluh tahun silam ketika Sundari dilahirkan.
Mbah Sumi yang membantu kelahiran Sundari terperanjat ketika melihat bayi yang dilahirkan Suprapti masih terbungkus selaput rahim. Ketika bayi itu dikeluarkan dari bungkusnya, Mbah Sumi semakin terperanjat ketika melihat tanda lahir berupa titik hitam di punggung bayi itu.
โ€œAnakmu ini akan membawa malapetaka, Ndukโ€ Ucap Mbah Sumi.

โ€œAda apa dengan anak saya, Mbah?โ€ Tanya Suprapti sambil meringis masih menahan rasa sakit akibat melahirkan.
โ€œDia lahir bungkus dan di punggungnya ada tanda setan. Dia juga memiliki getih anget. Dia akan disukai bangsa lelembut untuk dijadikan tumbal.
Kalau dia berhasil tumbuh dewasa, dia akan kesulitan mendapatkan jodoh, karena sudah diincar raja iblis untuk dijadikan istrinya. Kalau dia menikah dengan manusia, suaminya akan mati sebelum menyentuh tubuhnyaโ€ Ucap Mbah Sumi.
Suprapti langsung menangis mendengar ucapan Mbah Sumi. โ€œLantas apa yang harus saya lakukan, Mbah? Saya sangat menyayangi anak sayaโ€
โ€œDia bisa saja diselamatkan. Jika ada yang memiliki pusaka sakti untuk mengalahkan raja iblis itu. Tapi aku tidak tahu pusaka apa dan siapa yang memilikinya. Semoga saja ada keajaiban yang bisa menolong anakmu sebelum malapetaka itu terjadiโ€ Jawab Mbah Sumi.
โ€œSaya minta tolong rahasiakan soal anak saya ini, Mbah. Jangan sampai orang-orang tahu dan mencelakai anak sayaโ€ Ucap Suprapti memelas.
โ€œBaiklah, aku akan merahasiakannya. Aku janji akan kubawa rahasia ini sampai datang ajalku. Tapi aku tidak mau ikut bertanggung jawab jika malapetaka itu nantinya benar-benar terjadiโ€ Ucap Mbah Sumi.
Mbah Sumi pun menepati janjinya hingga ajal menjemputnya, tak satupun orang lain yang mendengar mengenai kondisi Sundari ketika dilahirkan. Suprapti pun membesarkan Sundari dengan sangat hati-hati dan penuh kasih sayang.
Tak pernah sekalipun dia memperlihatkan tubuh Sundari kecil kepada orang lain, terutama bagian punggungnya. Sebab dia tahu, jika sampai ada orang lain yang tahu, mereka pasti akan membunuh Sundari supaya tidak menimbulkan malapetaka kepada penduduk desa, nantinya.
Atau minimal mengusir keluarga Sundari untuk meninggalkan desa ini.
โ€œIbu jangan bersedih yaa. Ndari percaya pasti nantinya akan ada yang bisa menolong Ndariโ€ Ucap Sundari yang sudah beranjak dari tempatnya duduk untuk memeluk Ibunya.

***
Pagi itu matahari bersinar sangat cerah. Kicau burung liar di pinggiran hutan terdengar sangat merdu menyambut sesosok pemuda yang berjalan pelan memasuki hutan untuk berburu. Di tangan kirinya menggenggam erat sebuah busur yang terlihat kokoh.
Di punggungnya tersemat beberapa anak panah dengan ujung sangat tajam siap menghujam jantung hewan buruan untuk dijadikan santapan serta persediaan makanan nantinya.
Sedang di pinggangnya menggantung sebilah golok yang cukup besar lengkap dengan warangkanya. Tubuhnya tegap dan kekar terlihat sangat gagah. Tangannya yang berotot bergerak menyibak semak-semak untuk melacak pergerakan hewan yang akan menjadi target buruannya.
โ€œTumben tidak ada kancil atau kijang terlihat di sekitar sini. Padahal biasanya mereka berkeliaran sampai di kebun pendudukโ€ Gumamnya pelan.

โ€œMungkin aku harus masuk lebih dalam ke hutanโ€ Sambungnya bermonolog.
Dia terus berjalan ke dalam hutan. Sama sekali tidak ada rasa takut dalam benaknya, meski hutan ini dipercaya sangat wingit oleh penduduk desa. Hal itu karena dia sudah sangat terbiasa berburu hingga masuk ke dalam hutan bernama alas kidul ini.
Tentu saja dia tidak sendirian. Dia bersama kedua temannya, namun mereka sepakat mengambil jalur terpisah dan akan bertemu di satu titik yang mereka sepakati yaitu sebuah pohon besar di dalam hutan yang masih berjarak beberapa ratus meter dari tempatnya saat ini.
Beberapa waktu dia berjalan, akhirnya pohon besar yang akan dijadikan sebagai titik pertemuan sudah terlihat. Nampak kepulan asap tipis menyeruak dari balik batang pohon berdiameter lima depa orang dewasa.
Nampaknya salah satu atau bahkan mungkin kedua temannya telah sampai di titik pertemuan tersebut.
โ€œApa yang kalian dapatkan?โ€ Ucapnya setelah benar memastikan bahwa kedua temannya telah sampai di titik pertemuan dan sedang membakar ayam hutan hasil tangkapan mereka.
โ€œCuma dua ekor ayam, Mar. Entah kenapa kijang dan kancil sama sekali tidak terlihat di sekitar siniโ€ Jawab salah satunya yang bernama Wiryo.

โ€œAku malah ga dapat apa-apa. Bahkan ayam pun sama sekali tidak terlihat di jalurkuโ€ Ucap Damar.

โ€œSama, Marโ€ Sahut Darno.
โ€œSepertinya ada yang aneh. Tidak biasanya hewan-hewan itu tidak terlihat di pinggiran hutan. Apa sebaiknya kita coba periksa lebih ke dalam?โ€ Ucap Damar.
โ€œBoleh. Tapi sebaiknya kita jalan bersama-sama. Karena setelah dari sini hutan ini jauh lebih wingitโ€ Ucap Darno.

โ€œAku setuju. Kita jalan bersama sajaโ€ Wiryo menambahkan.
Usai menikmati ayam panggang hasil buruan, mereka bertiga pun segera beranjak masuk lebih dalam ke alas kidul yang dikenal sangat wingit.
Mereka memutuskan tidak mengambil jalur terpisah karena untuk menghindari resiko jika ada gangguan dari lelembut penghuni alas kidul. Dengan berjalan bersama, setidaknya mereka bisa saling menjaga satu sama lain.
Beberapa jam berjalan, Damar yang memimpin rombongan tiba-tiba memberikan kode untuk berhenti dan tidak membuat suara gaduh.
โ€œAku melihat seekor kijangโ€ Bisiknya sambil menunjuk ke salah satu arah.

Darno dan Wiryo pun melihat ke arah yang ditunjuk Damar lalu mengangguk menyetujui apa yang dilihatnya.
Sesuai arahan dari Damar, mereka mengendap-endap mendekati tempat kijang itu berdiri. Nampaknya hewan itu belum menyadari kehadiran ketiga pemburu itu karena sedang asyik menikmati pucuk dedaunan untuk dijadikan santapan.
Ketika jarak mereka semakin dekat, mereka memutuskan berpencar untuk menyergap kijang itu dari tiga arah yang berbeda. Setelah mendapatkan tempat yang cocok, mereka pun membidik kijang itu dengan busur dan panah mereka masing-masing.
Namun sesaat sebelum anak panah mereka melesat, tiba-tiba kabut tebal datang menyelimuti tempat ini dan mengganggu pandangan mereka. Merasa kesulitan membidik karena jarak pandang yang terbatas, mereka memutuskan kembali bergerak mendekati kijang itu.
Tapi ketika siluet kijang itu mulai samar terlihat, mereka dikejutkan dengan datangnya sosok mirip manusia namun dengan postur lebih besar melesat ke arah kijang itu. Terdengar suara ringikan hewan lalu tercekat dan kembali sunyi diikuti kembali melesatnya sosok itu menjauh.
Perlahan kabut yang mengganggu pandangan mereka memudar. Mereka bertiga kembali bergerak mendekati tempat kijang tadi berada. Ketika mereka sampai, mereka sangat terkejut dengan pemandangan yang ada di hadapan mereka.
Kijang yang hendak mereka buru tadi kini sudah tergeletak di tanah bersimbah darah dengan kepala telah lenyap dari badannya.

โ€œApa-apaan iniโ€ ucap Damar masih terperangah.

โ€œIni benar-benar gila, Mar. Baru kali ini aku melihat yang seperti iniโ€ Ucap Wiryo.
โ€œMelihat dari bekasnya, kepala hewan ini sepertinya tidak dipotong menggunakan gaman. Tidak ada bekas potongan rapi seperti bekas tebasan golok atau pun parang.
Bekas luka di leher hewan ini berantakan lebih mirip dipelintir kepalanya lalu dicabutโ€ ucap Darno sambil memeriksa bangkai kijang itu.
โ€œSebaiknya kita pergi dari sini. Entah ini ulah siapa, yang jelas aku merasakan tempat ini berbahaya. Nampaknya lelembut di siniย suka memangsa makhluk hidup. Bisa jadi kita pun akan dijadikan mangsa juga kalau bertemu merekaโ€ Ucap Damar.
Mereka bertiga pun segera meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan bersama menuju arah pohon besar tempat mereka berkumpul tadi. Tapi setelah sekian lama berjalan, mereka tak juga menemukan pohon itu. padahal mereka yakin mereka sudah mengambil arah yang benar.
Rasa bingung dan takut mulai menjalari jiwa mereka. Mereka khawatir keberadaan mereka telah diketahui lelembut yang tinggal di alas kidul ini dan membuat mereka tersesat hingga tidak bisa keluar dari hutan.
Ketiga pemuda itu masih terus berjalan berusaha mencari jalan keluar dari hutan ini. Namun semakin jauh mereka berjalan, mereka merasa semakin asing dengan tempat yang mereka datangi. Mereka merasa belum pernah menjejakkan kaki di tempat saat ini mereka berada.
Alas kidul ini memang sangat luas. Selama ini mereka menjelajahi tidak lebih dari seperduabelasnya saja.

โ€œKita ke arah mana lagi, Mar?โ€ Ucap Darno yang semakin bingung dan takut.
โ€œAku juga tidak tahu. Tapi kalau kita tidak bergerak,kita juga tidak akan bisa keluar dari siniโ€ Jawab Damar.

โ€œSebentar lagi malam, aku belum pernah masuk ke hutan ini sampai malam hari. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana menakutkannyaย hutan ini ketika malam hariโ€ Ucap Wiryo.
โ€œSama, aku pun juga belum pernah. Jadi sebaiknya kita terus bergerak mencari jalan keluar. Kalian tetap perhatikan sekitar, pasti akan ada petunjuk, terutama dari bekas jejak yang kita tinggalkan tadiโ€ Ucap Damar mengajak kedua temannya kembali berjalan.
Mereka bertiga kembali berjalan menyusuri hutan ini untuk mencari jalan keluar.Tapi tanpa mereka sadari sesosok makhluk mengikuti mereka dari atas pohon.Makhluk itu melesat dari satu pohon ke pohon lainnya terus mengikuti ketiga pemuda yang sedang tersesat di dalam alas kidul itu
Ketika langit mulai memerah menandakan hari akan segera berakhir dan berganti malam, mereka bertiga menemukan sebuah rumah gubuk berdiri di tengah-tengah hutan. Rasa heran bercampur bingung memenuhi otak mereka.
Sebab baru kali ini mereka mengetahui ada bangunan berdiri di sini, tandanya ada seseorang yang tinggal di sini. Mereka belum memutuskan untuk mendatanginya. Mereka berniat mengamatinya lebih dulu dari kejauhan.
Terlihat asap putih keluar dari sela-sela atap rumbia rumah gubuk itu. Tandanya memang ada orang yang tinggal di situ. Perlahan pintu rumah itu terbuka lalu keluar seseorang dari sana.
Seorang wanita tua dengan tubuh bungkuk berjalan keluar lalu berdiri di halaman rumah itu menatap ke arah ketiga pemuda bersembunyi. Wajah wanita tua itu sangat menyeramkan dengan beberapa bagian kulit mengelupas.
Senyum seringai mulai terpampang di wajahnya menunjukkan deretan gigi yang semuanya menghitam.
Damar dan kedua temannya bergidik ngeri ketika melihat sosok wanita tua itu. apalagi kedua tangannya yang sejak tadi disembunyikan di balik tubuhnya kini telah bergerak memperlihatkan kepala seekor kijang lalu dilemparkan ke hadapannya.
โ€œAmbil makananmu, lalu tangkap tiga orang itu dan bawa kepadaku. Aku akan mempersembahkan mereka kepada paduka prabu kolosetro untuk mempercepat kebangkitannyaโ€ Ucapnya.
Damar,Darno dan Wiryo seketika tercekat ketika mendengar ucapan sosok wanita tua itu.Artinya keberadaan mereka bertiga memang sudah diketahuinya.Apalagi tak lama setelah kepala kijang itu dilempar muncul beberapa makhluk menyeramkan memakan kepala kijang itu dengan cara berebutan
Makhluk-makhluk itu berbentuk mirip manusia namun berjalan merangkak. Wajahnya sangat menyeramkan dengan kulit berwarna merah kehitaman.
Telinganya runcing ke atas dan ada sepasang tanduk kecil di kepalanya. Bentuk mulutnya memanjang mirip mulut anjing dengan deretan gigi tajam di dalamnya.
Merasa adanya bahaya yang semakin mengintai, ketiga pemuda itu tak mau membuang waktu menunggu makhluk-makhluk itu mengejar. Merasa masih punya sedikit kesempatan ketika makhluk-makhluk itu sedang menikmati santapannya, ketiga pemuda itu langsung berlari meninggalkan tempat itu.
Mereka terus berusaha menjauh dan berharap bisa segera keluar dari hutan ini, meski harapan itu masih tipis sebab mereka masih bisa mendengar tawa wanita tua tadi seolah mengejeknya.

***
Malam kini telah sempurna menyelimuti sisi bumi ini. Suara hewan malam bersahutan menyenandungkan kidung kesunyian menandakan telah benar-benar usai aktifitas manusia dengan berbagai kebutuhannya. Sebagaian besar telah terbuai dalam alam mimpi masing-masing.
Namun hal itu tidak terjadi pada Sundari. Dia masih merenung di atas dipan reot kamarnya. Pikirannya mengembara entah kemana.
Satu sisi dia akan bersiap menghadapi mimpi buruk yang hampir setiap malam selalu memberikan teror pada tidurnya, di sisi lain dia memikirkan Damar yang dia dengar belum juga kembali dari pergi berburu di hutan bersama kedua temannya.
Beberapa waktu sebelumnya memang terjadi sedikit kegemparan di desanya karena tiga orang pemuda yang diketahui pergi berburu di hutan belum kembali hingga malam hari. Padahal sebelumnya tidak pernah sekalipun mereka atau pun warga lainnya berani berada di hutan hingga malam tiba.
Apalagi dari beberapa kali kejadian sebelumnya, warga yang tidak keluar dari hutan hingga malam tiba, mereka selamanya tidak pernah kembali. Untuk menyusul dan mencari keberadaan mereka di dalam hutan pun tak ada seorang pun yang berani.
Ketika Sundari masih terlarut dalam lamunannya, tiba-tiba perasaannya berubah menjadi gelisah. Hawa dingin dan lembab tiba-tiba menelusup ke dalam ruangan sempit kamarnya ini. Tanpa dia sadari, suara-suara hewan malam yang sebelumnya bersahut-sahutan kini tidak lagi terdengar.
Hanya kesunyian yang benar-benar mencekam kini menemani kegelisahannya. Perlahan Sundari menarik selimut kain jarik lusuhnya menutupi tubuh hingga kepalanya. Sundari sadar, dalam suasana seperti ini biasanya akan datang bangsa lelembut menerornya.
Meski sudah sangat sering terjadi, tapi rasa takut masih selalu menjalarinya setiap kali gangguan bangsa lelembut ini datang menerornya.

โ€œktutuk krutuk krutuk....โ€

Tiba-tiba terdengar suara seperti kerikil dilempar ke atas atap rumahnya.
Tak berapa lama disusul dengan suara dinding kamarnya yang terbuat dari kayu seperti digaruk-garuk dari luar. Sundari semakin ketakutan dan mulai menangis.
Tapi dia tetap menahan suaranya supaya tidak terdengar oleh ibunya. Masih dalam ketakutannya, sayup-sayup Sundari mendengar seseorang menyenandungkan kidung jawa dari luar kamarnya.
Nalikaning wayah lingsir wengi
Tyasing rasa katresnan mukti
Santika Bawana sewu warsa
Hametag sira kelawan hyang paduka
Sengkala teka kalabendu nyata
Aja wani ginulah rasa marang manungsa
Kejaba rasaning ati ketaman tineluh
Mring kemanjing japa mantra
Tubuh Sundari bergetar hebat karena ketakutan mendengar kidung yang mirip mantra itu berulang ulang. Namun pelahan tanpa sadar dia bergerak seolah ada yang mengendalikan tubuhnya.
Kontrol atas panca inderanya kini benar-benar telah terlepas darinya, namun kesadaran masih sepenuhnya ada padanya. Perlahan tangan Sundari meraih kunci jendela lalu membukanya.
Dia berusaha melawan untuk tidak melakukannya, namun semua sia-sia belaka. Bahkan untuk menutup mata saja dia tidak mampu melakukannya. Tatapannya mengarah keluar ke arah tanah kosong di luar kamarnya.
Di sana berdiri sesosok perempuan tua sedang menatapnya tajam sambil menyeringai memperlihatkan deretan giginya yang semuanya hitam. Sundari semakin ketakutan, namun tidak ada yang bisa dilakukannya.
Perlahan aroma wangi melati menguar lalu berganti dengan bau busuk bangkai menusuk penciumannya.
โ€œSedelok meneh wis wayahe sliramu sesandingan karo gusti prabu, nduk (Sebentar lagi sudah waktunya kamu bersanding dengan gusti prabu, nduk)โ€ ucap wanita tua itu pelan namun terdengar sangat menyeramkan.
Sundari hanya bisa menangis tercekat mendengar ucapan itu. berarti apa yang dikatakan Mbah Sumi dulu kepada Ibunya adalah sebuah kebenaran. Bahwa dirinya adalah pembawa malapetaka bagi semua orang.

Bersambung...
Part 1 selesai yaa..
Part 2 sudah tersedia di @karyakarsa_id kalau mau baca duluan sekalian beri dukungan atau tips silahkan buka link di bawah ini.. Dukungan kalian sangat berarti bagi saya.. Terima kasih...
karyakarsa.com/Henrysetiawan8โ€ฆ

โ€ข โ€ข โ€ข

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
ใ€€

Keep Current with Henry Setiawan

Henry Setiawan Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @loopdreamer

May 25
BULAN HUJAN DAN PEREMPUAN DI SUDUT TAMAN

Part 2

Ijin tag & tolong bantu RT ya kakak
@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca @autojerit @diosetta @rabumisteri @mwv_mystic @Long77785509

#bacahorror #ceritahorror #horror #threadhorror #IDNH Image
Jangan lupa RT dulu biar rame yaa.. Buat yang belum follow silahkan follow dulu supaya tidak tertinggal update cerita terbaru. Terima kasih.. ๐Ÿ™
Cerita ini sudah sampai part 3 di @karyakarsa_id kalau mau baca duluan sekalian kasih dukungan linknya ada di bawah yaa...
โฌ‡๏ธโฌ‡๏ธโฌ‡๏ธโฌ‡๏ธ
karyakarsa.com/Henrysetiawan8โ€ฆ
Read 145 tweets
May 24
Kebangkitan iblis penguasa alas kidul semakin dekat. Oleh karenanya perburuan tumbal untuk meningkatkan kekuatannya dimulai. Diawali dengan menghilangnya warga desa secara misterius hingga terjadinya pembantaian di dalam hutan.
Ki Wongso sebagai orang yang paling berpengaruh di desa itu berusaha membantu mencari warga yang hilang tadi hingga masuk ke dalam alas kidul bersama beberapa warga. Namun nasib sial menimpa mereka bahkan sampai mengakibatkan korban jiwa.
Read 5 tweets
May 11
Sebelum mulai jangan lupa RT, komen dan like biar rame yaa.. jangan lupa follow juga biar tidak tertinggal update cerita terbaru. Terima kasih ๐Ÿ™๐Ÿ™
Buat yang mau support dengan dukungan karya atau sekedar tips bisa meluncur ke @karyakarsa_id yaa..
karyakarsa.com/Henrysetiawan82
Read 80 tweets
May 4
Sebelum mulai, jangan lupa bantu Like, Komen, RT dan follow biar rame yaa.. terima kasih..
Cerita ini hanya 2 part dan sudah tamat di @KaryaKarsa jika ingin langsung baca sampai selesai sekaligus beri dukungan bisa langsung meluncur

โฌ‡๏ธโฌ‡๏ธโฌ‡๏ธโฌ‡๏ธโฌ‡๏ธ
Part 2 : karyakarsa.com/Henrysetiawan8โ€ฆ

Dukungan kalian sangat berarti bagi saya
Read 87 tweets
Apr 13
TERSESAT DI GUNUNG LAWU
(Bertemu Pendaki Misterius)
-sebuah thread horror-
(Part 1)

Ijin tag & tolong bantu RT ya kakak @bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca @autojerit @diosetta @rabumisteri @mwv_mystic

#bacahorror #ceritahorror #horror #threadhorror #IDNH Image
Pengalaman pertama mendaki Gunung Lawu menjadi sebuah pengalaman yang tidak terlupakan. Kira-kira teror apa saja yang mereka alami? Dan bagaimana caranya mereka bisa selamat?
Cerita ini hanya 3 part dan sudah tamat di @karyakarsa_id
Kalau mau baca duluan atau download ebook sekaligus memberi dukungan bisa buka link di bawah ya

Part 2
โฌ‡๏ธโฌ‡๏ธ
karyakarsa.com/Henrysetiawan8โ€ฆ
Read 320 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(