Henry Setiawan Profile picture
May 25 145 tweets 20 min read Twitter logo Read on Twitter
BULAN HUJAN DAN PEREMPUAN DI SUDUT TAMAN

Part 2

Ijin tag & tolong bantu RT ya kakak
@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca @autojerit @diosetta @rabumisteri @mwv_mystic @Long77785509

#bacahorror #ceritahorror #horror #threadhorror #IDNH Image
Jangan lupa RT dulu biar rame yaa.. Buat yang belum follow silahkan follow dulu supaya tidak tertinggal update cerita terbaru. Terima kasih.. 🙏
Cerita ini sudah sampai part 3 di @karyakarsa_id kalau mau baca duluan sekalian kasih dukungan linknya ada di bawah yaa...
⬇️⬇️⬇️⬇️
karyakarsa.com/Henrysetiawan8…
Part 2

Misteri Toh Jiwo

“Wingi pas umbah-umbah ning kali ora sengaja aku weruh gegere Sundari, Yu (kemarin sewaktu sedang mencuci baju di sungai tidak sengaja aku lihat punggungnya Sundari, Yu)” Ucap Marsinah di sela kegiatan sekelompok perempuan di pinggir sungai.
“Terus kenopo gegere Sundari, Nah? (Terus kenapa punggungnya Sundari, Nah?)” Sahut Surti.

 “Koyo ono titik ireng, nanging samar, wong aku mung weruh sekilas (Seperti ada titik hitam, tapi samar, orang aku cuma lihat sekilas)” Jawab Marsinah
“Halah paling mung regetan nempel kui. Iso suwekan godhong utowo regetan liyane (Halah paling cuma kotoran nempel kui. Bisa sobekan daun kering atau kotoran lainnya)” Ucap Sumarni.
“Tapi opo kowe-kowe ora eling Sundari kui piye? Awit cilikane wis disenengi demit. Aku wis tau krungu mbok Suli pernah weruh cilikane Sundari pas diadusi ning gegere ono tanda titik ireng kui.
(Tapi apa kalian tidak ingat Sundari itu bagaimana? Sejak masih kecil sudah disukai demit. Aku sudah pernah dengar Mbok Suli pernah lihat bayinya Sundari ketika dimandikan di punggungnya ada tanda titik hitam itu)” Marsinah masih berusaha meyakinkan.
“Opo meneh ning omahe saben wengi sering ono demit ngetok (Apa lagi di rumahnya setiap malam sering ada demit muncul)” Sambungnya.
Beberapa perempuan lainnya manggut-manggut mulai percaya ucapan Marsinah tersebut, sedangkan yang lainnya tidak peduli. Mereka masih asyik dengan kegiatannya mencuci baju.
“Wis ojo mikir sing ora-ora. Sundari kui bocahe apik. Sopan, sumeh. Ora ijir nulung liyan, senajan deweke yo podo kesusahan.
(Sudah jangan mikir yang tidak-tidak. Sundari itu anaknya baik. Sopan, ramah. Tidak sungkan menolong orang lain, meskipun dia sendiri juga kesusahan)” Kali ini Mbok Tini, yang terlihat paling tua di antara mereka mencoba menengahi.
“Tapi, mbok. Akhir-akhir iki desane dewek iki soyo kerep diganggu demit. Opo meneh winginane Mas Damar putrane Ki Dalang Wongso ilang ning alas kidul telung dino. Iso mulih nanging pikirane koyo bingung. Semono ugo Wiryo lan Darno sing ilang bareng Mas Damar. (Tapi, mbok.
Akhir-akhir ini desa kita semakin sering diganggu demit. Apa lg tempo hari mas Damar anaknya Ki Dalang Wongso hilang di alas kidul 3 hari. Bisa kembali pulang tp pikirannya linglung. Begitu jg dengan Wiryo dan Darno yang hilang bersama Mas Damar)” Marsinah masih terus bergunjing.
“Opo koyo ngono kui mergo Sundari? (Apa seperti itu disebabkan Sundari?)” Sahut Mbok Tini.

“Mbok, sampeyan mestine ngerti opo kui toh jiwo kan? (Mbok, sampeyan pasti mengerti apa itu toh jiwo kan?)” Marsinah meletakkan baju yang dikuceknya lalu menghadap ke arah Mbok Tini.
Mbok Tini seketika memandang wajah Marsinah usai mendengar kalimatnya yang terakhir. Begitu juga beberapa perempuan lainnya yang sedari tadi hanya menyimak obrolan mereka.
“Ati-ati karo lathimu, Nah. Ojo sembarangan ngucap yen durung ngerti tenan. Toh Jiwo iku kutukan sing ora baen-baen bahayane. Selama iki cerita toh jiwo mung sekedar cerita sing durung pernah kedaden.
Ojo nganti mung mergo ucapanmu gawe gegerane warga lan ngerugike wong sing ora salah. (Hati-hati dengan lidahmu, Nah. Jangan sembarangan berucap jika belum tahu betul. Toh Jiwo itu kutukan yang tidak terkira bahayanya.
Selama ini cerita toh jiwo hanya sekedar cerita yang belum pernah terjadi. Jangan sampai hanya karena ucapanmu membuat ributnya warga dan merugikan orang yang tidak bersalah)” Ucap Mbok Tini dengan nada sangat serius dan tatapan tajam ke arah Marsinah.
“Pokoke arep tak selidiki dewe, mbok. Aku kudu ngerti dewe Sundari pancen duwe tanda kui utowo ora! (Pokoknya akan kuselidiki sendiri, mbok. Aku harus tahu sendiri Sundari memang punya tanda itu atau tidak!)” Tegas Marsinah dengan tatapannya yang tak kalah tajam.
Mbok Tini hanya bisa menghela nafas lalu berucap “Sak karepmu, Nah (Terserah kamu, Nah)”

Menjelang siang, sekelompok perempuan desa itu pun beranjak meninggalkan sungai untuk kembali ke rumah mereka masing-masing.

***
Beberapa hari berlalu begitu saja. Kasak-kusuk warga mengenai Sundari kini semakin santer terdengar. Meski belum mendapatkan bukti secara jelas,
namun mulut pedas Marsinah yang suka bergunjing tak pernah berhenti mempengaruhi warga mengenai Sundari yang diduga memiliki tanda iblis di tubuhnya.
Warga yang sebelumnya tidak percaya atau pun tidak peduli kini mulai berpikir sebaliknya. Sebab apa yang dikatakan Marsinah begitu meyakinkan. Apalagi mereka pun tahu sejak kecil Sundari memang diketahui sering sekali bersinggungan dengan bangsa lelembut.
Di sisi lain, Damar yang sebelumnya sempat linglung akibat kejadian tersesat di alas kidul dan mendapatkan teror dari penghuninya kini berangsur pulih. Bahkan dia mulai mempersiapkan diri untuk segera berangkat ke kotaraja kerajaan untuk mengabdi menjadi prajurit.
Hal itu terpaksa dilakukannya karena permintaan ayahnya. Kerajaan yang menguasai wilayah ini saat ini sedang berperang. Paduka Raja memberikan titah kepada desa-desa di wilayahnya untuk mengirimkan pemudanya untuk menjadi prajurit dan berjuang di medan perang.
Damar sebetulnya merasa keberatan karena dia tidak berminat menjadi prajurit. Selain itu dia juga merasa keberatan meninggalkan Sundari. Namun karena desakan dari ayahnya akhirnya dia pun tak bisa berbuat apa-apa selain menurut.
“Mas Damar kapan akan berangkat?” Tanya Sundari seusai berlatih menari.

“Mungkin dua atau tiga hari lagi, Ndari” Jawabnya dengan nada lesu.

“Aku yakin Mas Damar pasti sangat gagah jika sudah menjadi prajurit nanti” Ucap Sundari sembari tersenyum.
Damar lalu menoleh kepada Sundari dan ikut tersenyum. “Tapi aku tidak menginginkannya, Ndari. Aku ingin tetap di sini”

“Bukankah dulu cita-cita Mas Damar ingin menjadi prajurit, bahkan menjadi panglima?”
“Itu dulu, sebelum perasaanku begitu kuat tertancap di sini. Di desa ini, di hatimu, Ndari”

Sundari seketika tertunduk mendengar kalimat yang terucap dari mulut Damar.

“Maafkan aku, Mas Damar. Tapi aku tidak bisa. Mas Damar tahu kan alasanku?” Ucap Sundari dengan nada bergetar.
“Aku tidak peduli, Ndari. Aku akan mencari cara menyelamatkanmu dari kutukan itu. Lalu menikahimu” Damar kini tak lagi menahan perasaannya, membuat Sundari semakin bersedih.
“Tidak perlu, Mas Damar. Aku tidak mau kamu menjadi korban atas takdir burukku ini. Biarkan aku menjalani apa yang harus kujalani tanpa membuat orang lain menjadi celaka” Sundari tak mampu lagi menahan tangisnya.
“Tidak ada takdir yang buruk di dunia ini, Ndari. Setiap orang berhak atas hidupnya sendiri. Jika kita tidak bisa meraih kebahagian kita dengan usaha kita sendiri, maka kita membutuhkan orang lain untuk mewujudkannya.
Dan aku ada di sini untuk memberikan kebahagiaan itu padamu” Ucap Damar sambil memegang kedua pundak Sundari.
“Tunggu aku di sini. Jangan pernah pergi dari desa ini. Aku berjanji akan tetap hidup dan kembali padamu untuk membebaskanmu dari kutukan itu” Lanjutnya.
Sundari hanya bisa menunduk mendengar ucapan Damar. Tubuhnya bergetar hebat menahan batinnya yang bergemuruh. Seketika tangisnya pecah tak mampu lagi menahan perasaannya. Antara bahagia, sedih, takut dan haru bercampur menjadi satu.
“Berjanjilah kau akan kembali, Mas Damar” Ucap sundari ketika sudah sedikit tenang.

Damar lalu kembali menatap Sundari dan tersenyum. “Pegang janjiku. Aku pasti kembali”
Kali ini Damar memberanikan diri menggenggam tangan Sundari. Sesuatu yang belum pernah dilakukannya. Sundari sedikit tersentak, namun tidak menolak perlakuan Damar. Angin dingin sedikit berhembus membelai tengkuk Sundari. Lalu sebuah suara terdengar berbisik di telinga Sundari.
“Wis wancine, nduk. Ojo wani-wani ngelawan garise pinesthi. Yen ora pengen agawe patining bocah lanang iki (Sudah waktunya, nduk. Jangan berani melawan garis takdir. Jika tidak ingin pemuda ini mati)”
Seketika Sundari tersentak dan langsung menepis genggaman tangan Damar.

“Ada apa, Ndari?” Damar pun ikut terkejut dengan sikap Sundari.
“Ti- tidak, Mas. Maaf, aku harus pulang sekarang” Ucap Sundari tergagap lalu segera pergi meninggalkan pendopo. Damar pun hanya bisa tertegun melihat kepergian Sundari.
Getih anget katresnan lelembut
Sukmo wangi penganten gusti baginda prabu
Rogo elok kunjoroning jiwo
Ora ono menungso kang biso nyanding
Kejobo ira kang gadhah manunggaling pusoko kembang maya
Sepanjang perjalanan pulang, Sundari terus menerus mendengar sayup seseorang mengucapkan bait kalimat mirip mantera itu. Perasaan Sundari semakin tidak menentu. Dia mempercepat langkahnya supaya bisa segera sampai di rumahnya.
Suara itu masih terus terdengar olehnya. Sundari semakin panik hingga menutup kedua telinganya menggunakan tangan. Langkahnya kini semakin cepat, lebih tepatnya berlari. Dia berharap suara itu segera hilang ditinggalkannya.
Namun harapannya tak juga menjadi nyata. Meski sudah berusaha berlari sambil menutup telinga, namun suara itu masih tetap didengarnya. Seolah mengikuti setiap ayunan langkahnya.
Marsinah yang tidak sengaja melihat tingkah Sundari itu pun terheran-heran. Dia semakin curiga dengan keanehan yang ada pada diri Sundari.
Sesampainya di rumah, Sundari langsung berhambur menuju kamarnya dan menutup rapat pintu serta jendelanya.
Dia meringkuk di kasurnya dengan tetap menutup kedua telinganya. Air matanya meleleh mengiringi rasa takutnya yang tak terhingga. Hingga sebuah suara ketukan pada pintu kamarnya membuatnya terkejut seketika.
Tok tok tok

Tok tok tok

Sundari berusaha tidak memperdulikan suara ketukan itu. Dia tetap meringkuk ketakutan karena mengira itu ketukan dari bangsa lelembut yang akan mengganggunya.

Tok tok tok

Tok tok tok

Suara ketukan kembali terdengar semakin keras dan cepat.
“Ndari... Nduk... ini Ibu, nduk. Tolong buka pintunya” Terdengar suara ibunya mengiringi suara ketukan pada pintu kamarnya itu.
Sundari sedikit merasa lega, sebab ternyata Ibunya yang mengetuk pintu kamarnya. Dia pun segera beranjak dari tempat tidurnya untuk membukakan pintu kamarnya. Namun ketika pintu telah terbuka, Sundari tidak mendapati siapapun berada di sana.
Hanya hembusan angin sedikit kencang menerpa wajahnya membawa aroma wangi melati yang menguar begitu kuat lalu berganti dengan anyir darah. Sundari tersentak lalu seketika pandangannya berkunang-kunang. Tubuhnya lunglai dan roboh tepat di depan pintu kamarnya.
Setitik cahaya mulai membangkitkan kesadaran Sundari. Perlahan dia membuka matanya. Pandangannya sedikit kabur tak mampu melihat dengan jelas di sekitarnya. Beberapa kali dia mengerjap untuk mengfokuskan penglihatannya.
Ketika mulai bisa melihat dengan normal, dia tertegun melihat apa yang ada di sekitarnya. Dia kini berada di tempat yg asing. Kakinya berpijak pd tanah basah sedikit becek. Di sekitarnya terdapat banyak sekali pohon berukuran sangat besar berdiri menjulang seolah menggapai langit
Sundari celingukan kesana kemari berusaha mengenali tempatnya berdiri saat ini. Namun sekuat dia mengingat, dia tetap tidak mampu mengenali tempatnya berada.

“Dimana ini?” gumamnya bermonolog.

“Bagaimana aku bisa sampai di sini?” Kebingungan semakin melanda batinnya.
“Ibuuuuuuuu!!!!” Teriaknya memanggil Ibunya.

Namun hanya hembusan angin dingin yang memberinya jawaban. Sebuah hembusan yang tidak biasa. Seolah membawa hawa mencekam di dalamnya. Seketika bulu kuduknya meremang hebat.
Gemerisik dedaunan mulai mengusik pendengarannya. Seolah disibak oleh seseorang di kejauhan sana. Tak ada suara binatang apapun di sini. Tempat ini sunyi. Sangat sunyi. Bahkan terlalu sunyi.

“Aku harus pergi dari sini” Ucapnya dalam hati.
Meski tak tahu arah mana yang harus diambil, Sundari tetap bergerak mengikuti nalurinya. Dia merasa harus segera pergi karena merasakan ada bahaya yang mengincarnya di tempat ini.
Entah sudah berapa lama dia berjalan, Sundari belum juga menemukan jalan keluar dari hutan lebat yang mengurungnya. Bahkan petunjuk adanya jalan atau orang lain pun tidak didapatkannya. Sekujur tubuhnya sudah merasakan keletihan yang luar biasa.
Sundari kini jatuh bersimpuh karena merasa sudah tidak kuat lagi berjalan.

“Sliramu sampun ditunggu Gusti Prabu, Nduk (Dirimu sudah ditunggu Gusti Prabu, Nduk)”
Tiba-tiba Sundari mendengar suara perempuan tua di telinganya. Suara itu pelan namun terasa begitu dekat seolah persis berada di samping telinganya. Seketika dia tersentak lalu menoleh ke arah suara tadi. Namun dia tak menemukan siapapun di sekitarnya.
Sundari berlari tak tentu arah. Dia tak tahu kemana tujuan yang harus ditempuhnya. Yang dia tahu dia harus segera meninggalkan tempat ini sejauh mungkin.
“Mboten usah mlayu. Sliramu mboten saget medal saking panggonan iki (Tidak perlu lari. Dirimu tidak akan bisa keluar dari tempat ini)”
Suara perempuan tua itu kembali terdengar ketika Sundari masih terus berlari berusaha lepas dari teror menakutkan ini.
Sundari semakin panik dibuatnya. Namun dia tak menghentikan usahanya untuk terus berlari meninggalkan tempat menakutkan ini. Hingga langkah kakinya membawanya sampai di sebuah tempat luas terbuka namun tandus.
Sundari menghentikan langkahnya. Nafasnya memburu tidak beraturan. Peluhnya bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.
Dalam kondisinya yang serba kacau, tiba-tiba Sundari merasakan hembusan angin pelan menerpa tubuhnya. Perlahan hembusan angin itu semakin kencang hingga tak lama berubah menjadi angin ribut membawa debu tebal yang menyesakkan nafas dan mengganggu penglihatan.
Dalam segala keterbatasan, Sundari berusaha melihat apa yang ada di depannya. Dalam pekatnya debu yang terbawa angin kencang ini terlihat setitik cahaya merah di kejauhan. Perlahan setitik cahaya merah itu membesar dan terus membesar hingga seukuran depa orang dewasa.
Cahaya itu bergerak pelan ke kanan dan kiri. Lalu ke atas dan kembali ke bawah, lalu berhenti. Gumpalan debu yang bergulung-gulung lalu mengelilingi bola cahaya itu. debu itu terus bergulung-gulung lalu membentuk tubuh makhluk besar, sebesar tiga kali ukuran orang dewasa.
Seiring dengan terbentuknya sosok itu, perlahan bola cahaya tadi meredup hingga benar-benar padam seolah tertelan tubuh sosok yang baru terbentuk dari gumpalan debu tadi.
Sundari berusaha berbalik arah meninggalkan fenomena menakutkan di hadapannya. Namun tubuhnya seolah kaku tak bisa digerakkan. Bahkan matanya pun tak mampu berkedip hingga terasa perih akibat banyaknya debu yang memasuki indera penglihatannya.
Sundari seolah dipaksa untuk terus melihat makhluk yang baru muncul di hadapannya itu.
Sosok makhluk itu tidak terlihat jelas. Makhluk itu hanya terbentuk dari gumpalan debu dan kabut hitam serta masih disamarkan oleh debu yang berterbangan dibawa angin kencang. Namun Siluet itu jelas memperlihatkan ukurannya yang besar dan adanya tanduk di kepalanya.
“Grrroooooooaaaaaagggghhrrr”

Makhluk itu mengeluarkan suara seperti menggeram. Membuat sundari tak mampu lagi menahan lelehan air matanya karena sangat ketakutan.
Sundari yang masih terpaku dan dipaksa melihat kemunculan makhluk itu merasakan tubuhnya semakin lemas. Kesadarannya sedikit demi sedikit memudar. Dia sudah pasrah jika harus mati dimangsa makhluk di hadapannya itu.
Dalam sisa kesadarannya, Sundari melihat mulut makhluk itu terbuka lebar lalu memuntahkan sesuatu. Beberapa benda terlempar dan tergeletak di sekitar kaki Sundari.
Tanpa kontrol dari pikirannya, kepala Sundari dengan sendirinya menoleh ke arah benda-benda yang dimuntahkan makhluk itu. Jasad. Ya, makhluk itu memuntahkan jasad manusia yang telah rusak dan membusuk. Perlahan bau anyir bercampur busuk menguar menusuk penciumannya.
Sundari yang semakin takut disertai mual akibat melihat banyak jasad membusuk itu semakin kehilangan kesadarannya. Dan ketika ujung kesadarannya telah tiba, dia mendengar seseorang dengan suara berat dan serak mengucapkan kalimat.
“Wis wancine aku bangkit. Golekno tumbal sing akeh. Pengantenku wis ngenteni aku teko. Hahahahaha (Sudah waktunya aku bangkit. Carikan tumbal yang banyak. Pengantinku sudah menunggu kedatanganku. Hahahahaha)”
Seketika gelap menguasai penglihatan Sundari dan kesadaran sepenuhnya meninggalkan dirinya.

“Ndari.... Nduk bangun nduk”

“Bangun Nduk... hik hik hik”
Terdengar suara wanita memanggil-manggil Sundari diiringi tangisnya yang memilukan.

“Nduk bangun nduk... kamu kenapa nduk... hik hik hik”
Sundari yang mulai sadar perlahan membuka kedua matanya. Dia mengerjap beberapa kali hingga sedikit demi sedikit mampu melihat dengan jelas.

“I-Ibu....” Ucap Sundari lemas ketika menyadari dia telah terbaring di pangkuan ibunya.
“Ka kamu sudah sadar Nduk? Ibu takut sekali” Ucap Suprapti ketika melihat anaknya mulai sadar.

“Apa yang terjadi, Bu” Ucap Sundari sambil berusaha bangkit.
“Jangan bergerak dulu, Nduk. Kamu tadi pingsan” Suprapti lalu meraih gelas bambu berisi air putih untuk diminumkan kepada Sundari.

“Minumlah dulu perlahan supaya badanmu cepat pulih” Sambungnya.
Usai meminum air pemberian ibunya hingga tandas, Sundari perlahan bangkit lalu duduk bersandar pada dinding kamarnya.

“Ibu menemukanmu pingsan di pintu kamarmu, nduk. Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Apa kamu Sakit?” Tanya Suprapti.
“Ndari juga tidak tahu, Bu. Tadi Ndari mau keluar kamar untuk ambil minum. Tiba-tiba kepala Ndari pusing lalu jatuh dan tidak ingat apa-apa lagi sampai Ibu membangunkan Ndari” Jawab Sundari usai berpikir sejenak.
Sundari sengaja tidak meceritakan apa yang sebenarnya dialaminya karena tidak mau membuat ibunya khawatir.

“Tapi ibu melihatmu gelisah saat pingsan tadi, nduk. Kamu bahkan sempat meronta sampai ibu kuwalahan menahan tubuhmu. Apa kamu bermimpi sesuatu” Tanya suprapti lagi.
“Ndari tidak mimpi apa-apa, bu. Mungkin Ndari hanya kecapekan karena terlalu banyak berlatih menari” Sundari masih berusaha meyakinkan ibunya.
“Ya sudah kamu istirahat saja kalau begitu. Ini sudah larut malam. Panggil saja ibu kalau ada apa-apa” Ucap Suprapti lalu membimbing Sundari kembali merebah di tempat tidurnya.
Sundari hanya berusaha tersenyum untuk mengiringi kepergian ibunya meninggalkan kamarnya. Dia tetap berusaha untuk tidak membuat ibunya khawatir, meski harus berbohong kepada wanita yang sangat disayanginya itu.
Sepeninggal ibunya dari kamarnya, Sundari yang masih merasa sangat letih kembali berusaha tidur untuk mengistirahatkan tubuh dan jiwanya. Meski bayangan mimpi buruk yang bisa saja kembali datang tetap menghantuinya.
Di ujung kesadarannya sebelum terlelap, sayup dia kembali mendengar syair yang akhir-akhir ini sering didengarnya dan membuatnya ketakutan.
Nalikaning wayah lingsir wengi
Tyasing rasa katresnan mukti
Santika bawana sewu warsa
Hametag sira kelawan hyang paduka
Sengkala teka kalabendu nyata
Aja wani ginulah rasa marang manungsa
Kejaba rasaning ati ketaman tineluh
Mring kemanjing japa mantra
Sundari sedikit tersentak, namun rasa kantuk yang tak terkira tetap memupus kesadarannya untuk membawanya ke alam mimpi yang entah kali ini datang indah atau buruk.

***
Dua hari berlalu semenjak kejadian Sundari pingsan itu. Selama dua hari ini pula Sundari tidak mengalami mimpi buruk. Sedikit kelegaan dirasakannya, meski dia tahu hal itu hanyalah sementara saja.
Rintik hujan mulai membasahi desa di sisi alas kidul ini. Bulan hujan tahun ini kembali datang memenuhi janjinya memenuhi takdir musim. Di antara guyuran ringan rinai pagi ini Sundari berlari kecil menuju ke rumah Ki Wongso.
Bukan tanpa alasan dia rela menembus hujan untuk menuju kesana. Hari ini Damar akan berangkat menuju kotaraja untuk memenuhi kewajibannya mengabdi di kerajaan sebagai prajurit.
Sundari berniat ikut melepas kepergian Damar bersama beberapa warga lain yang anggota keluarganya juga ikut berangkat bersama Damar. Memang sudah disepakati bahwa rumah Ki Wongso dijadikan tempat berkumpul sebelum para calon prajurit itu berangkat.
Alasannya selain rumah Ki Wongso memiliki halaman paling luas, dia juga dianggap sebagai sesepuh desa yang disegani oleh warga.
Sesampainya di depan rumah Ki Wongso, Sundari mengibaskan rambutnya yang sedikit basah sebelum memasuki pendopo dan menemui Damar.
Nampak beberapa warga sudah terlebih dahulu datang dan saling bercengkrama sebelum melepas anggota keluarga mereka yang akan berangkat menuju ke kotaraja.
“Kamu mau tetap berdiri di sini atau mau menemui pria gagah ini sebelum dia benar-benar pergi dari sini?” ucap seseorang dari belakang Sundari yang sukses membuatnya terkejut.
Sundari yang mengenali suara itu langsung menoleh dan tersenyum manis. Pemilik suara itu tidak lain adalah Damar, pemuda tampan dan gagah yang banyak menjadi primadona gadis desa ini.
“Aku tadi mencarimu, mas. Ternyata ramai sekali di sini sampai aku tidak bisa melihatmu” Ucap Sundari.

“Ayo ke belakang saja. Biar bisa lebih enak ngobrolnya” Ajak Damar.
Sundari pun mengikuti langkah Damar menuju ke belakang pendopo yang terdapat bangunan yang merupakan rumah utama keluarga Ki Wongso.

“Eh Sundari wis teko. Kene mlebu nduk (Eh Sundari sudah datang. Sini masuk nduk)” Sapa seseorang ketika sampai di rumah itu.
“Njih Nyi Harti. Matur suwun (Iya Nyi harti. Terima kasih)” Jawab Sundari sopan kepada orang yang menyapanya yang merupakan Ibu dari Damar.
Sundari pun duduk di atas tikar pandan yang telah di gelar di ruang tamu rumah itu bersisian dengan Nyi Harti. Tak lama Ki Wongso pun keluar dan ikut duduk di situ.
“Wis lilo ngeculke Damar, nduk? (Sudah ikhlas melepas Damar, nduk?)” Ucap Nyi Harti mengawali pembicaraan, sedangkan Ki Wongso hanya tersenyum tipis.
Sundari yang mendengar kalimat itu pun kaget. Dia tidak menyangka Nyi Harti mengetahui hubungan antara Sundari dan anaknya, Damar.
“Wis ora usah kaget. Katresnan iku nugraha saking hyang widhi. Manjing ing jero ati senajan netra ora bisa pirsa. Nanging kowe uga kudu siap kelangan. Amarga pinesthi hyang widhi ora ono sing bisa ngerteni
(Sudah tidak perlu kaget. Rasa cinta itu anugerah dari hyang widhi. Merasuk ke dalam hati meski mata tidak bisa melihat. Tapi kamu juga harus siap kehilangan. Karena takdir hyang widhi tidak ada yang bisa mengetahui)” Ucap Nyi Harti.
Sundari hanya bisa menunduk mendengar ucapan nasehat dari Nyi Harti tersebut. Memang benar apa yang diucapkan wanita yang melahirkan Damar itu. kita sebagai manusia tidak akan bisa menolak datangnya rasa cinta kepada seseorang.
Namun kita juga harus bisa mengendalikan diri jika rasa cinta kita saat ini tidak bisa memberikan kebahagiaan seperti yang kita inginkan jika memang takdir sang pencipta tidak menggariskan untuk itu.
Sundari benar-benar kagum wanita ini memiliki hati yang begitu tangguh hingga mampu setegar ini hendak melepas anak lelakinya untuk berjuang di medan perang tanpa jaminan akan bisa kembali dalam keadaan hidup.
“Kono nek meh ngobrol wong loro. Tak tinggal mlebu sek. Ayo pak (Sana kalau mau ngobrol berdua. Ibu tinggal masuk dulu. Ayo pak)” Ucap Nyi Harti lagi lalu mengajak Ki Wongso meninggalkan Damar dan Sundari berdua supaya mereka bisa lebih leluasa mengobrol.
“Jangan terlalu dipikirkan ucapan Ibu tadi” Ucap Damar memecah keheningan.
“Aku sendiri bingung apa yang sedang kupikirkan saat ini, mas. Aku sudah berusaha menyangkal dan mengabaikan perasaanku padamu. Tapi rasa cinta ini justru berkembang semakin besar tanpa bisa kukendalikan” Ucap Sundari.
“Di satu sisi aku harus berhadapan dengan takdir mengerikan di hidupku yang kapanpun bisa merenggut nyawamu dan semua orang.Sedangkan di sisi lain kau harus bertaruh nyawa di medan perang nanti” Sambungnya

Damar hanya bisa terdiam mendengar kalimat yang keluar dari bibir Sundari
“Tapi aku merasa senang, Mas. Setidaknya aku sudah pernah merasakan apa itu mencintai dengan tulus. Jika nantinya kau kembali dan aku sudah tidak di sini lagi tolong relakan, Mas” Ucap Sundari lagi.
“Tidak Sundari! Kau harus berjanji akan tetap di sini menungguku kembali. Aku juga berjanji akan tetap hidup untuk menemuimu lagi” Sergah Damar.
Sundari hanya bisa tertunduk sedih usai mendengar ucapan Damar. Perlahan air matanya mengalir membasahi pipinya tanpa diiringi isak tangis.

“Tolong berjanjilah, Sundari” Ucap Damar lagi.
Sundari masih tertunduk tanpa mengucapkan apapun. Damar pun terdiam beberapa saat. Kedua insan itu membiarkan pikiran mereka masing-masing melayang liar tak tentu arah.
“Sudah waktunya aku berangkat. Aku berharap kau tetap menungguku di sini, meski kau tidak mengucapkannya.
Percayalah, dengan mempercayai bahwa kau masih menungguku di sini, akan membuat semangat hidupku terus bangkit, Sundari” Damar mengakhiri pembicaraan itu lalu beranjak untuk bersiap berangkat ke kotaraja.
Mendengar ucapan Damar yang terakhir, Sundari pun mengangkat wajahnya. Dia berusaha kuat menahan kesedihan mendalam yang dirasakannya.

“Aku berjanji akan menunggumu, Mas Damar” ucap Sundari lirih.

Damar pun hanya tersenyum mendengar ucapan Sundari tadi.
Seluruh pemuda yang hendak berangkat menuju kerajaan pun telah bersiap di depan pendopo rumah Ki Wongso. Usai Ki Wongso memberikan beberapa patah kata untuk menyemangati dan melepas kepergian mereka, mereka pun segera berangkat menuju ke kotaraja dengan berjalan kaki.
Terdengar isak tangis dari keluarga mereka masing-masing. Meski memiliki kebanggaan, namun rasa sedih tak urung mereka rasakan juga. Sebab tidak akan ada jaminan mereka bisa kembali dalam keadaan hidup.

***
Di Sudut Sebuah Taman Kota, Di Penghujung Tahun 2004

Senja kembali merayapi langit. Menghapus jejak-jejak matahari yang seharian tadi benar-benar menyengat sekian juta kepala yang sibuk dengan pikiran-pikirannya masing-masing.
Baik pikiran cerdas, cerdik, bodoh, licik, aneh, dan segala macam pikiran yang dimiliki manusia.
Langit semakin kelam, sebab bulan hujan mulai mendaki hari-harinya. Dan membuat suasana di taman itu menjadi semakin lengang dan suram. Taman itu memang sudah lama di tinggalkan oleh orang-orang.
Mereka sudah tak pernah lagi kesana. Mungkin karena pengelolaan dari pemerintah yang kurang bagus. Hal ini terlihat dari kebersihannya yang kurang terjaga.
Di sana sini banyak tercecer rontok-rontok daun kering, kotoran binatang, ceceran sisa alat kontrasepsi bekas di pakai oleh para muda-mudi yang di mabuk asmara tapi tak punya uang untuk menyewa kamar hotel, hingga mereka memanfaatkan taman itu yang memang gelap dan sepi.
Penghuni taman itu hanyalah pepohonan yang entah sudah berapa ratus tahun usianya, terlihat dari batang-batangnya yang benar-benar besar, bagaikan tubuh raksasa yang siap menerkam siapa saja,
beberapa jenis satwa seperti bajing, burung, dan juga seorang perempuan berkebaya hitam dengan bawahan jarik serta selendang merah di pundaknya yang setiap malam selalu menari di taman itu.
Malam semakin menyelubungi tirai langit. Malam ini benar-benar gelap dan sunyi, sebab awan bulan hujan yang sedari senja menggumpal di langit enggan untuk beranjak.
Seperti malam-malam sebelumnya, perempuan itu kembali menari, meruntut jejak-jejak, dengan beriring gemerisik dedaun dibelai angin, juga siulan hewan-hewan malam.
Dia menari, sambil bersajak. Sesekali menjerit, mengerang, merintih, menangis, lalu tertawa, bercanda, sesekali dia duduk di kursi taman, berbicara seakan ada seseorang di sampingnya, bercerita seakan ada seseorang yang memeluknya,
lalu tiba-tiba menjerit, tertawa lagi, menangis, kembali bercerita, tak pernah peduli entah ada yang mendengar atau pun tidak. Tapi dia benar-benar seperti berbincang dengan seseorang.
Part 2 selesai sampai di sini yaa..
Part 3 kita upload minggu depan. Atau kalau mau baca duluan sekalian beri dukungan sudah tersedia di @Kar
Bulan hujan, kekasih…
Benarkah kau akan datang
Seperti janji malam kepada siang
Purnama ini seperti saat itu
Kau pasti akan datang
Saat cumulus menyergap butiran bintang-bintang
Aku akan menunggu engkau menyalami purnama
Meniup sisa-sisa rindu
Bulan hujan, kekasih…
Aku akan terus menari menjejaki takdir…
Aku akan terus menari untuk menunggumu…
Lalu dia kembali menari. Kali ini tariannya berbeda, dia menari sambil terus berlari-lari mengelilingi taman, menggambarkan kegetiran dan kesedihan yang begitu mendalam. Disertai dengan tangis dan sajak, dia terus menari menembus batas ruang, waktu, takdir, mimpi, kenyataan.
Dia masih saja menari meski rinai mencoba menghentikannya dengan menghujamkan butir-butir kesedihan di seluruh tubuhnya.
Tapi dia tetap menari, menari untuk sebuah penantian, membelai puncak-puncak angan, memapas sudut-sudut malam. Dia masih menari membungkam tawa rembulan, terus menari hingga fajar tiba dan dia kembali berlari ke sudut taman diantara belukar dan lenyap di telan sunyi.

Bersambung
Part 2 selesai sampai di sini yaa..
Part 3 kita upload minggu depan. Atau kalau mau baca duluan sekalian beri dukungan sudah tersedia di @karyakarsa_id
⬇️⬇️⬇️⬇️
karyakarsa.com/Henrysetiawan8…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Henry Setiawan

Henry Setiawan Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @loopdreamer

May 24
Kebangkitan iblis penguasa alas kidul semakin dekat. Oleh karenanya perburuan tumbal untuk meningkatkan kekuatannya dimulai. Diawali dengan menghilangnya warga desa secara misterius hingga terjadinya pembantaian di dalam hutan.
Ki Wongso sebagai orang yang paling berpengaruh di desa itu berusaha membantu mencari warga yang hilang tadi hingga masuk ke dalam alas kidul bersama beberapa warga. Namun nasib sial menimpa mereka bahkan sampai mengakibatkan korban jiwa.
Read 5 tweets
May 18
𝗕𝗨𝗟𝗔𝗡 𝗛𝗨𝗝𝗔𝗡 𝗗𝗔𝗡 𝗣𝗘𝗥𝗘𝗠𝗣𝗨𝗔𝗡 𝗗𝗜 𝗦𝗨𝗗𝗨𝗧 𝗧𝗔𝗠𝗔𝗡

Part 1

Ijin tag & tolong bantu RT ya kakak @bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca @autojerit @diosetta @rabumisteri @mwv_mystic @Long77785509

#bacahorror #ceritahorror #horror #threadhorror #IDNH Image
Sebelum mulai jangan lupa RT, like dan komen biar rame.. Jangan lupa juga follow supaya tidak tertinggal update cerita terbaru
Cerita ini sudah ada 2 part di @karyakarsa_id kalau mau baca duluan sekalian beri dukungan bisa buka link di bawah
karyakarsa.com/Henrysetiawan8…
Read 186 tweets
May 11
Sebelum mulai jangan lupa RT, komen dan like biar rame yaa.. jangan lupa follow juga biar tidak tertinggal update cerita terbaru. Terima kasih 🙏🙏
Buat yang mau support dengan dukungan karya atau sekedar tips bisa meluncur ke @karyakarsa_id yaa..
karyakarsa.com/Henrysetiawan82
Read 80 tweets
May 4
Sebelum mulai, jangan lupa bantu Like, Komen, RT dan follow biar rame yaa.. terima kasih..
Cerita ini hanya 2 part dan sudah tamat di @KaryaKarsa jika ingin langsung baca sampai selesai sekaligus beri dukungan bisa langsung meluncur

⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️
Part 2 : karyakarsa.com/Henrysetiawan8…

Dukungan kalian sangat berarti bagi saya
Read 87 tweets
Apr 13
TERSESAT DI GUNUNG LAWU
(Bertemu Pendaki Misterius)
-sebuah thread horror-
(Part 1)

Ijin tag & tolong bantu RT ya kakak @bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca @autojerit @diosetta @rabumisteri @mwv_mystic

#bacahorror #ceritahorror #horror #threadhorror #IDNH Image
Pengalaman pertama mendaki Gunung Lawu menjadi sebuah pengalaman yang tidak terlupakan. Kira-kira teror apa saja yang mereka alami? Dan bagaimana caranya mereka bisa selamat?
Cerita ini hanya 3 part dan sudah tamat di @karyakarsa_id
Kalau mau baca duluan atau download ebook sekaligus memberi dukungan bisa buka link di bawah ya

Part 2
⬇️⬇️
karyakarsa.com/Henrysetiawan8…
Read 320 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(