Henry Setiawan Profile picture
Jun 8 150 tweets 20 min read Twitter logo Read on Twitter
BULAN HUJAN DAN PEREMPUAN DI SUDUT TAMAN

Part 3

Ijin tag & tolong bantu RT ya kakak
@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca @autojerit @diosetta @rabumisteri @mwv_mystic @Long77785509

#bacahorror #ceritahorror #horror #threadhorror #IDNH Image
Sebelum mulai jangan lupa RT dulu biar rame. Buat yang belum follow, segera follow dulu supaya tidak tertinggal update cerita terbaru. Terima kasih.
Part 3
Perburuan Tumbal

Di Sebuah Desa di Pinggir Alas Kidul, Zaman Kerajaan Hindu

Hujan deras yang mengguyur sejak sore tadi membuat suasana desa semakin sunyi. semua warga memilih berdiam diri di rumah masing-masing.
Selain udara dingin bulan hujan yang menusuk, mereka juga merasakan hawa berbeda dibandingkan malam-malam sebelumnya.
“Bengi iki kok rasane ono sing beda yo, pakne (Malam ini kok rasanya ada yang beda ya, Pak)” Ucap Martini, salah satu warga yang tinggal tidak jauh dari rumah Sundari.

“Beda piye to Bune?(Beda gimana to Bu?” Jawab Karso.
“Sampeyan opo ora ngrasake to, Pakne? Sepine wingi iki ora koyo wengi-wengi liyane. Hawa atis iki yo ora koyo biasane. Ditambah udan kawit sore ora terang-terang agawe ndhedhep giris.
(Sampeyan apa tidak merasakan to, pakne? Sepinya malam ini tidak seperti malam-malam yang lain. Hawa dingin ini juga tidak seperti biasanya. Ditambah hujan sejak sore tidak kunjung reda membuat suasanya sunyi semakin mengerikan)” Sungut Martini.
“Iyo aku ugo ngrasake, Bune. Wis gegenen ngene yo rasane isih prindang-prinding wae. (Iya aku juga merasakan, Bune. Sudah ada perapian begini rasanya masih terus merinding saja)”. Karso menimpali.
“Sampeyan opo uwis mireng biwara babagan Sundari, Pakne? (Sampeyan apa sudah dengar berita tentang Sundari, Pakne?)” Tanya Martini dengan suara lirih.

“Sundari anake Yu Prapti?” Karso bertanya balik.

“Iyo”

“Sundari kenopo, Bune?”
“Jare wong-wong, Sundari iku duwe toh jiwo (Kata orang-orang, Sundari itu mempunyai toh jiwo)” Ucap Martini seketika membuat Karso terperanjat bahkan hampir terjengkang dari dingklik yang di dudukinya.
“Sing ngati-ati nek ngucap, bune. iso-sio lambemu dikampleng demit mengko. (Hati-hati kalau bicara, bune. bisa-bisa mulutmu ditampar demit nanti)” Ucap Karso usai memperbaiki posisi duduknya supaya lebih nyaman.
“Aku iki mung nyampeke biwara lha kok malah disumpahi dikampleng demit to pakne (Aku ini cuma menyampaikan berita lha kok malah disumpahi ditampar demit to pakne)” Sungut Martini sambil memonyongkan mulutnya.
“Ora ngono maksudku, Bune. lha sampeyan iki nek ngomong kok yo sembarangan. Sampeyan opo ora ngerti opo iku toh jiwo? Opo meneh kok ngomongke wong liyo duwe kui. Iso dadi geger gedhen iki ngko desane dewe.
(Bukan begitu maksudku, Bune. Lha sampeyan kalau bicara kok ya sembarangan. Sampeyan apa tidak tahu apa itu toh jiwo? Apa lagi kok membicarakan seseorang punya itu. bisa-bisa jadi rusuh ini nanti desa kita)” Ucap Karso.
“Aku mung nyampeke opo sing wis dadi omongane warga, pakne. (Aku cuma menyampaikan apa yang sudah jadi bahan omongan warga, pakne)” Jawab Martini.

“Opo wis ono buktine? (Apa sudah ada buktinya)” Tanya Karso.

“Yoo aku ora ngerti, pakne. (Yaa aku tidak tahu, pakne)” Jawab Martini
“Opo meneh durung ono buktine. Ojo sampe mengko dadi maekani. Wis ora usah melu-melu! (Apa lagi belum ada buktinya. Jangan sampai nanti jadi fitnah. Sudah tidak usah ikut-ikutan!)” Tegas Karso.

“Tapi pak...”

“Wis ora usah diteruske! (Sudah tidak usah diteruskan!)” Potong Karso.
Martini pun terdiam usai karso mengucapkan kalimat terakhirnya setengah membentak diiringi dengan tatapan matanya yang tajam.

“Mbok... aku kebelet” Ucap seorang gadis kecil yang tiba-tiba sudah berdiri di pintu yang menghubungkan dapur dan ruangan utama rumahnya.
“Yo kono ning mburi to Sih. (Ya sana ke belakang to Sih)” Ucap Martini.

“Darsih wedi mbok. Terke. (Darsih takut mbok. Antarkan)” Rengek gadis berusia sepuluh tahun itu.
“Wis kono anake diterke sik ning larik. Ndak ngising ning kene malah mambu kabeh. (Sudah sana anaknya diantar dulu di sungai kecil/parit. Nanti kalau buang air besar di sini malah bau semua)” Ucap Karso.

“Karo sampeyan wae, Pakne. (Sama sampeyan saja, Pakne)” Ucap Martini.
“Kesel aku, bune. Pegel kabeh sikilku iki mau sedino bar macul. Sampeyan wae kono. (capek aku, bune. Pegel semua kakiku ini tadi seharian habis mencangkul. Sampeyan saja sana)” Ucap karso.

“Ayo mbok selak metu iki. (Ayo mbok keburu keluar ini)” Rengek Darsih lagi.
“Wis ayo. Bapakmu iki pancen keset. (Sudah ayo. Bapakmu ini memang pemalas)” Ucap Martini sembari menyambar obor yang terselip di dinding dapur lalu menyalakannya.
Ketika pintu dapur dibuka, seketika angin dingin menusuk menyeruak masuk menerpa tubuh mereka dan membuat bulu tubuh mereka meremang seketika.
“Ngising kok yo wengi-wengi ngene to nduk. Opo ora iso sesuk wae. (Buang air besar kok ya malam-malam begini to nduk. Apa tidak bisa besok saja)” gerutu Martini sembari menggandeng tangan anaknya itu. Tidak ada jawaban dari Darsih maupun Karso.
Beberapa waktu berlalu sepeninggal Martini dan anaknya, Darsih yang ingin membuang hajat di sungai kecil belakang rumahnya. Mayoritas warga memang masih menggunakan sungai untuk keperluan buang hajat. Hanya beberapa rumah yang sudah memiliki bilik kamar kecil sendiri.
Sudah cukup lama kedua Ibu dan anak itu pergi, Karso mulai merasakan gelisah sebab istri dan anaknya belum juga kunjung kembali. Seharusnya mereka sudah selesai, kenapa belum juga kembali? Ucapnya dalam hati.
Membarengi perasaan gelisah, suasana mencekam kini mulai menyergap dirinya. Karso yang merasa semakin tidak tenang berniat menyusul mereka. Namun belum sempat dia membuka pintu, suara teriakan tiba-tiba terdengar olehnya.

“Aaaaaaaaaaaaa..... Toloooooong”
Karso yang meyakini pemilik suara itu adalah istrinya bergegas keluar untuk menyusul mereka. Dia lari tergopoh-gopoh menembus kegelapan menuju tempat biasanya mereka membuang hajat.
Suasana gulita akibat tidak adanya penerangan tidak menyurutkan semangatnya, dia cukup hafal jalan setapak menuju ke sungai kecil itu, meski sesekali kakinya tersandung akar ataupun batu karena jarak pandang yang sangat terbatas.
Hujan ringan masih mengiringi suasana malam yang mulai mencekam ini ketika Karso sampai di sungai kecil itu.
Dia menoleh kesana kemari sambil berteriak memanggil istri dan anaknya karena dia tidak mendapati keberadaan mereka di tempat itu. dia hanya menemukan sebatang bambu pendek yang tadi digunakan sebagai obor oleh istrinya yang kini telah padam nyala apinya.
“Buuuuuu.... Buuuuuneeeee... Darsiiiiiihhh...” Teriaknya memanggil kedua orang yang disayanginya itu.

“Buuuneeeeeee.... do ning endi to iki... Darsiiiiihhh... Nduuukkkk... (Buuuneeeeee... Pada dimana to ini... Darsiiiiiihhh... Nduuukkkk...)” Teriaknya lagi.
Teriakannya kembali tidak terbalas. Karso yang mulai dilanda kekalutan berlari kembali ke rumah untuk mengambil golok. Dia berniat menyusuri sekitaran sungai kecil itu yang berupa kebun tak terurus dan hutan kecil.
Berbekal sebilah golok dan sebuah obor Karso kembali mencari keberadaan istri dan anaknya di sekitar tempat mereka membuang hajat.
Timbul penyesalan didalam hatinya, kenapa dia tadi menolak ketika diminta mengantarkan Darsih. Setidaknya jika dia yang mengantar, dia lebih bisa menjaga anaknya itu.
Karso masih berusaha mencari istri dan anaknya di setiap sisi kebun yang berukuran cukup luas itu. Namun sebesar apapun usahanya, nampaknya keberhasilan belum berpihak kepadanya.
Hingga tanpa dia sadari, dia sudah berjalan cukup jauh sampai ke pinggiran alas kidul. Karso yang sudah menyadari dimana dia berada mulai merasakan takut. Namun hal itu tidak menyurutkan usahanya untuk terus mencari istri dan anaknya yang kini entah berada dimana.
Di sela usaha pencariannya, sekilas Karso melihat sosok seseorang berdiri di kejauhan. Gelapnya malam dan guyuran hujan ringan yang masih setia menemaninya membiaskan penampakan sosok itu. Namun Karso tetap yakin bahwa ada seseorang yang sedang berdiri di depan sana.
Belum terlintas kecurigaan terhadap sosok tersebut. Karso meyakini itu adalah salah satu warga desanya. Terkadang memang ada warga yang keluar malam-malam untuk mencari ikan di sungai besar. Dan lokasi sosok itu berdiri juga tidak jauh dari sungai tersebut.
“Kaaaang... kaaaaanggg” Panggilnya kepada sosok yang masih terlihat berdiri mematung itu.
Merasa tidak ada jawaban dan menganggap suaranya terbias hujan dan gemericik air sungai, Karso pun mendekati sosok yang masih tetap berdiri mematung di kejauhan itu. langkah demi langkah dia ayun menuju ke tempat sosok itu.
Tapi ketika dia semakin dekat, tiba-tiba sosok itu menghilang entah kemana. Karso yang masih diliputi rasa heran berusaha mencari sosok itu. Dia celingukan mencari kesana kemari.
“Kok ilang...” Ucapnya sendiri.

“Kaaaanggg... Sampeyan ning endi... (Kaaaaang... Sampeyan dimana...)” Teriaknya lagi memanggil sosok tadi. Namun hanya keheningan yang menjawabnya.
Sinuhun ingkang ngiwasani tlatah
Dhela malih nangi nagih panamaya
Panamaya saking kamanungsan
Ingkang sampun nrungku atma
Jroning ngalam yamani
Bebendhu pinesthi sengkala pinesthi
Ira sedaya ora bisa lindhung dhelik
Ira sedaya bakal tinemu yamadipati
Sukma ira bakal dadi begondal sinuhun
Di sela keheningan, sayup terdengar lantunan syair mirip mantera menelusup ke dalam pendengaran Karso. Meski sangat pelan, namun kata demi kata terekam sangat jelas di pendengaran Karso. Seketika tubuhnya bergetar akibat rasa takut yang tak terkira.
Tak hanya sekali, bekali-kali syair itu terus diperdengarkan kepada Karso. Berulang-ulang hingga membuat pikirannya terganggu. Karso yang telah disergap ketakutan dan kepanikan bergegas lari tak tentu arah. Dia melupakan niatnya semula yang hendak mencari istri dan anaknya.
Karso masih terus berlari hingga tanpa dia sadari dia telah sampai di bibir alas kidul. Karso menghentikan langkahnya. Dia menelisik keadaan sekitarnya.
Sayup-sayup lantunan syair tadi masih terus didengarnya. Meski dia berusaha menahan dengan menutup telinganya dengan kedua tangannya, tapi suara itu seolah berasal dari dalam kepalanya.
Masih dalam kepanikannya, perlahan obor yang dibawanya mulai padam akibat kehabisan bahan bakar. Kegelapan kini semakin sempurna menyergap pandangannya. Karso semakin bingung harus pergi kemana.

"Sinuhun sampun angsal wadal"
Kembali terdengar kalimat lain di sela lantunan syair tadi. Karso yang semakin panik tak tahu lagi harus berbuat apa. Hingga tiba-tiba aroma wangi melati bercampur kenanga menguar menelusup indera penciumannya.
Perlahan aroma itu memudar lalu berganti bau busuk bangkai yang menusuk bercampur anyir darah.
Lalu seketika muncul seraut wajah menyeramkan di hadapannya berjarak hanya sejengkal saja. Wajah mirip wanita tua yang sangat keriput dengan beberapa bercak darah dan kulitnya yang mengelupas di beberapa bagiannya. Karso masih termangu dengan penampakan di hadapannya itu.
Hingga perlahan mulut penampakan wanita tua menyeramkan itu bergerak menyunggingkan senyum menyeringai memperlihatkan giginya yang hitam kemerahan. Karso langsung tersentak dan seketika pandangannya gelap. Dia kehilangan kesadaran.

***
Keesokan harinya warga digemparkan dengan penemuan Karso di pinggir alas kidul dalam kondisi pingsan. Beberapa orang warga yang hendak berburu tidak sengaja menemukan Karso yang tergeletak di sela semak-semak.
Mereka langsung membawanya ke desa dan segera memanggil tetua desa yaitu Ki Wongso. Warga lain yang melihatnya pun langsung gempar dan memenuhi rumah Karso karena penasaran dengan cerita di balik penemuan Karso tersebut.
“Karso iki mung semaput. Wis ora usah ribut lan nyimpulke dewe. Enteni Karso tangi ben crita dewe. (karso ini cuma pingsan. Sudah tidak perlu ribut dan menyimpulkan sendiri. Tunggu Karso sadar dan cerita sendiri)” Ucap Ki Wongso menenangkan warga.
“Bojone Karso ngendi? (Istrinya Karso mana?)” Tanya Ki Wongso lagi.

“Mboten ketingal saking wau, Ki. (Tidak terlihat dari tadi, Ki)” Jawab salah seorang warga.

“Anake? (Anaknya?)”

“Nggih mboten ketingal, Ki. (Juga tidak terlihat, Ki)” Sahut warga lainnya.
“Niku wau griyane Karso kuncinan, Ki. Namung lawang wingking ikang kebuka. (Itu tadi rumahnya Karso terkunci, Ki. Hanya pintu belakang yang terbuka)” Ucap warga lainnya.

Ki Wongso pun manggut-manggut mencoba mencerna keterangan dari warganya.
Tak berapa lama terlihat gerakan dari tangan Karso. Menyusul matanya yang terbuka perlahan. Karso mulai sadar dari pingsannya. Ketika kesadarannya mulai pulih, Karso langsung tersentak dan berdiri.
“Buneeeee... buneeeee... kowe ning ngendi? Darsiiih... Nduuuukkkk... (Buneeeee... buneeee... kamu dimana? Darsiiiiih... Nduuuukkkk....)” Teriak Karso seketika yang belum menyadari situasi di sekitarnya.
“Lungguh sek, Le... Iki ngombe disik. Cerita alon-alon ono opo sebenere. (Duduk dulu, Le... Ini diminum dulu. Cerita pelan-pelan apa yang sebenarnya terjadi)” Ucap Ki Wongso berusaha menenangkan Karso.
Karso menuruti perintah Ki Wongso. Perlahan dia meminum air yang diberikan oleh orang yang paling dihormati di desanya itu. Usai menenggak air minum itu hingga tandas, Karso mulai bercerita kejadian yang menimpanya.
Berawal dari hilangnya istri dan anaknya hingga bertemu sosok mengerikan di pinggir alas kidul. Semua diceritakannya tanpa ditutupi sama sekali. Meskipun mulutnya terasa berat dan sesekali dia terisak ketika memikirkan nasib istri dan anaknya.
“Iki mesti lelakune lelembut ingkang ngiwasani alas kidul, Ki. Lelembut iku golek wadal saking desa iki, Ki (Ini pasti perbuatan lelembut yang menguasai alas kidul, Ki. Lelembut itu mencari tumbal dari desa ini, Ki)” Seloroh salah satu warga.
“Ojo sembarangan yen ngucap. Durung ono buktine yen iki lelakune lelembut alas kidul. Ojo sembarangan nyimpulke babagan sing kowe durung ngerti.
(Jangan sembarangan kalau bicara. Belum ada buktinya kalau ini perbuatan lelembut alas kidul. Jangan sembarangan menyimpulkan sesuatu yang kamu belum memahami)” Ucap ki Wongso Tegas. Dan semua warga yang berada di situ pun terdiam.
“Mengko bojo lan anakmu digoleki bareng-bareng, So. Saiki apike awakmu leren sik. Nanging opo wae hasile, awakmu kudu ikhlas. (Nanti istri dan anakmu dicari bersama-sama, So. Sekarang sebaiknya kamu istirahat dulu. Tapi apapun hasilnya, kamu harus ikhlas)” Ucap Ki Wongso.
Karso hanya bisa menuruti ucapan Ki Wongso. Meski di dalam hatinya masih belum bisa tenang sebelum mendapatkan kejelasan mengenai nasib istri dan anaknya. Ki Wongso pun membubarkan warga yang masih berkerumun.
Mereka meninggalkan rumah Karso diiringi kasak-kusuk mengenai kejadian yang menimpa Karso beserta istri dan anaknya. Tak sedikit pula yang menghubung-hubungkan kejadian ini dengan Sundari.
Sebab desas-desus mengenai Sundari sebagai titisan iblis sudah semakin merebak di kalangan warga. Beberapa warga masih tetap bertahan di rumah Karso, terutama yang masih memiliki hubungan keluarga. Selain rasa prihatin, mereka juga berniat merawat dan menemani Karso.
Menjelang sore, beberapa warga yang semuanya laki-laki berkumpul di halaman rumah Karso. Mereka akan memulai pencarian istri dan anak Karso dengan dipimpin oleh Ki Wongso.
Mereka memulai pencarian dari belakang rumah Karso, menyusuri kebun sampai di sungai kecil yang biasa digunakan membuang hajat. Sampai di sungai kecil itu pencarian mereka belum membuahkan hasil. Bahkan sedikit petunjuk pun tidak mereka dapatkan.
Tidak mau menyerah, mereka pun melanjutkan menyusuri sekitar area itu hingga sampai di pinggiran alas kidul tempat Karso ditemukan pingsan pagi tadi. Namun lagi-lagi pencarian mereka tidak mendapatkan petunjuk apapun.
“Pripun niki, Ki? Sampun dugi mriki tapi mboten wonten tanda-tanda bojo lan anake Karso. (Bagaimana ini, Ki? Sudah sampai sini tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan istri dan anak Karso)” Ucap salah satu warga.

“Digoleki mlebu alas. (dicari masuk ke hutan)” Ucap Ki Wongso.
Beberapa warga saling berpandangan usai mendengar ucapan Ki Wongso. Bukan tanpa alasan mereka ragu untuk mencari keberadaan istri dan anak Karso hingga masuk ke dalam hutan.
Saat ini sudah memasuki waktu sandikala atau menjelang malam. Tentunya mereka merasa takut jika harus masuk ke dalam hutan yang terkenal sangat wingit itu.
“Ora usah wedi. Mlebu alas karo aku. Nanging aku ora mekso. Yen ono sing ora wani, ngenteni kene wae utowo mulih ora po-po. Yen ora ono sing wani, aku mlebu dewe.
(Tidak udah takut. Masuk hutan bersamaku. Tapi aku tidak memaksa. Jika ada yang tidak berani, menunggu di sini atau pulang tidak apa-apa. Jika tidak ada yang berani, aku masuk sendiri)” Ucap Ki Wongso.
“Kulo nderek, Ki. (Saya ikut, Ki)” Ucap Dirman.

Beberapa warga lainnya pun ikut memberanikan diri untuk ikut masuk hutan bersama Ki Wongso. Sedangkan sebagian lainnya menyatakan tidak berani dan menunggu di pinggir hutan itu.
Ki Wongso bersama beberapa warga itu segera memasuki alas kidul untuk mencari keberadaan Martini dan anaknya,Darsih. Dengan berbekal obor sebagai penerangan dan golok sebagai senjata,mereka menyusuri sejengkal demi sejengkal hamparan hutan yg sangat luas,gelap dan menyeramkan itu
Pohon-pohon besar menjulang dan tumbuh dengan rapat membuat suasana mencekam semakin terasa. Tanpa sedikitpun petunjuk, mereka hanya sekedar mencari sesuai dengan naluri mereka saja.
Hingga pencarian mereka semakin dalam memasuki alas kidul, mereka masih belum juga mendapatkan petunjuk keberadaan Martini dan anaknya.
“Pripun niki, Ki? Sampun dugi mriki tasih dereng wonten pitedhah. (Bagaimana ini, Ki. Sudah sampai sini masih belum ada petunjuk)” Ucap salah satu warga dengan nada cemas.
“Awake dewe uwis usaha nganti ngene. Yen pancen tetep ora ketemu, ora usah dipeksake. Mergane iso wae nyawane dewe sing kaincim.
(Kita sudah berusaha hingga seperti ini. Jika memang tetap tidak ketemu, tidak usah dipaksakan. Karena bisa jadi nyawa kita sendiri yang terancam)” Ucap Ki Wongso pelan sambil melihat di sekitar, seolah menyadari akan datangnya bahaya.
“Wis ayo metu seko kene. (Sudah ayo keluar dari sini)” Sambungnya.
Ki Wongso mengajak warga yang mengikutinya untuk keluar dari alas kidul. Namun belum lama mereka berjalan, salah seorang di antara mereka melihat kelebatan sosok melintas di depan mereka menembus kegelapan.
Tak hanya sekali, kelebatan bayangan itu beberapa kali melintas di sekitar mereka, seolah tak hanya satu sosok yang mulai menampakkan diri dan menebarkan teror kepada serombongan warga desa itu.
selain itu, tak hanya satu orang saja yang melihat, hampir semua orang yang sedang berada di tengah alas kidul itu melihat kelebatan sosok yang melintas itu.

“Opo kui?? (Apa itu??)” teriak salah satu warga dengan panik.

“Kene yo ono. (Di sini juga ada)” Sahut yang lainnya.
Kepanikan mulai menggerayangi jiwa mereka. Hanya Ki Wongso seorang yang masih terlihat tenang memperhatikan kemunculan sosok-sosok itu.
“khikhikhikhi... ono uwong gendheng ngeterno nyowo. (Khikhikhikhi... ada orang bodoh mengantarkan nyawa)” Tiba-tiba terdengar suara menggema seperti suara nenek-nenek dengan nada serak dan berat, namun tidak terlihat sosoknya.
“Khekhekhekhe... Sinuhun Gusti Prabu soyo bungah. (Khekhekhekhe... Sinuhun Gusti Prabu semakin senang)” Kali ini berganti suara kakek-kakek yang terdengar.
“Pripun niki, Ki? Kulo mboten purun pejah sakniki. (Bagaimana ini, Ki? Aku tidak mau mati sekarang)” Ucap salah seorang warga ketakutan.
“Atmo nira bakal dadi begondale Sinuhun. Khekhekhekhe... (Sukma kalian akan jadi budaknya Sinuhun. Khekhekhekhe...)” Suara menyeramkan itu terdengar lagi.
“Ojo dirungoke, wis ayo mlaku meneh. Ndang cepet metu seko kene. (Jangan didengarkan, sudah ayo jalan lagi. Segera keluar dari sini)” Ucap Ki Wongso tegas.
Mereka kembali bergerak menyusuri hutan itu untuk keluar dari sana. Namun belum jauh mereka melangkah, tiba-tiba salah satu warga berhenti dan menunjuk ke arah atas pohon.
“Opo kae?? (Apa itu??)” Teriaknya.

Ki Wongso dan warga lainnya pun melihat ke arah yang ditunjuk orang itu. Nampak di kejauhan seperti ada benda yang tergantung di dahan pohon besar itu.
Setelah diperhatikan dengan seksama, mereka meyakini bahwa benda yang tergantung itu adalah jasad manusia. Tak hanya satu, ternyata ada banyak jasad yang tergantung di sana dengan kondisi sangat mengenaskan.
Sebagian telah membusuk, sebagian lagi tinggal tulang belulang, dan ada pula jasad yang tidak lengkap, entah itu tanpa kepala maupun tanpa bagian tubuh lainnya.
Suasana semakin panik dan kacau, bahkan ada beberapa orang yang lari tak tentu arah karena merasa sangat takut dan ingin segera pergi dari tempat ini. Ki Wongso berusaha menenangkan warga yang bersamanya, namun mereka tetap tidak bisa menguasai kepanikan dan ketakutan itu.
“Matek iki aku. Matek tenan ning kene. (Mati ini aku. Mati beneran di sini)” Ucap mereka.

“Tenang-tenang ojo sembrono. Kumpul kabeh dadi siji ning kene. (Tenang-tenang jangan sembrono. Kumbul semua jadi satu di sini)” Ucap Ki Wongso menenangkan.
“Karjo, Sanip, kalih Dirman ilang, Ki. (Karjo, Sanip, sama Dirman hilang, Ki)” Ucap salah satunya.

“Ning endi arahe mlayu? (Kemana arah mereka lari?)” Tanya Ki Wongso.
Salah satu warga yang sempat melihat Karjo, Sanip dan Dirman lari tadi menunjuk ke salah satu arah berupa rerimbun pohon-pohon besar disertai semak-semak di sekitarnya.
Namun tak lama terdengar teriakan dari arah yang di tunjuk tadi.

“Aaaaaaaaaaaaaaa......”

“Aaaaaaaaarrrrrrhhhh....”

“Aaaaaargrgggghhh....”
Terdengar beberapa kali teriakan dari orang yang berbeda. Teriakan itu terus terdengar bersahut-sahutan beberapa saat hingga diakhiri dengan erangan yang terdengar mengerikan bagi siapapun yang mendengarnya.
Tanpa mempertimbangkan lebih jauh lagi, Ki Wongso bergegas menuju ke arah suara tadi dan diikuti semua warga yang tersisa. Mereka berjalan cepat diselingi lari kecil mencari sumber suara yang diyakini milik Karjo, Sanip dan Dirman yang tadi berlari meninggalkan rombongan.
Hingga beberapa ratus meter mereka berjalan, mereka menemukan tanah sedikit lapang yang tidak terlalu luas. Di tempat itu mereka disambut dengan pemandangan yang sangat mengerikan.
Mereka menemukan tiga tubuh yang diyakini sebagai Karjo, Sanip dan Dirman tergeletak dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Tubuh ketiga orang itu bersimbah darah dengan kepala tak lagi berada di tempatnya.
Seketika mereka semua panik dan ketakutan. Sebagian masih sedikit waspada dengan menggenggam erat gagang golok siap memberikan perlawanan.
Setali tiga uang, Ki wongso pun mencabut keris yang dibawanya dari warangkanya dan bersiap menghunuskan kepada siapapun atau apapun yang mengancam.
Dalam kekalutan dan suasana mencekam itu, tiba-tiba gumpalan kabut datang bergulung-gulung memenuhi tempat itu membuat pandangan mereka menjadi buram. Perlahan obor yg mereka bawa pun padam semuanya. Suasana mencekam dan gelap gulita kini menguasai perasaan mereka dan tempat ini.
Chraaaaasssssshhhhh....

“Aaaaaaarrrhhhhhhhh”

Terdengar suara sabetan golok mengenai sesuatu diikuti teriakan dan erangan.

Chraaaaasssssshhhhh....

Chraaaaasssssshhhhh....

“Aaaaaaarrrhhhhhhhh”

“Aaaaaaarrrhhhhhhhh”
Lagi-lagi terdengar suara teriakan dan sabetan golok bersahut-sahutan. Hingga beberapa waktu berlalu dan seketika kini suasana menjadi hening. Kabut tebal yang sebelumnya memenuhi tempat ini perlahan menguar dan menipis hingga hilang sepenuhnya.
Dengan menghilangnya kabut tebal itu, penglihatan kini menjadi sedikit lebih baik. Terlihat banyak tubuh tergeletak tak beraturan di tempat ini. Semua tubuh itu tak lagi bergerak, kecuali satu tubuh yang tangan kanannya masih menggenggam erat sebilah keris, yaitu Ki Wongso.
Ki Wongso memandang nanar di sekitarnya. Semua warga yang ikut dengannya memasuki alas kidul ini telah meregang nyawa dengan kondisi yang sangat mengenaskan.
Luka akibat sabetan benda tajam menghiasi sekujur tubuh mereka, bahkan ada beberapa yang kepalanya pecah dan leher hampir terputus. Kondisi Ki Wongso sendiri pun tak beda jauh. Beberapa luka bacokan menghiasi lengan dan punggungnya.
Namun dia masih sedikit beruntung krn masih terbebas dari maut. Ki Wongso berusaha bangkit dgn sisa tenaganya. Dia sempatkan memeriksa satu persatu tubuh warganya utk memastikan kondisi mereka. Namun harapannya utk menemukan warga yang masih hidup ternyata tidak menuai kenyataan.
Sinuhun ingkang ngiwasani tlatah
Dhela malih nangi nagih panamaya
Panamaya saking kamanungsan
Ingkang sampun nrungku atma
Jroning ngalam yamani
Bebendhu pinesthi sengkala pinesthi
Ira sedaya ora bisa lindhung dhelik
Ira sedaya bakal tinemu yamadipati
Sukma ira bakal dadi begondal sinuhun
Sayup-sayup pendengaran Ki Wongso menangkap suara seseorang mendendangkan syair itu dengan nada yang sangat menyeramkan. Berulang-ulang semakin lama semakin terdengar sangat mengerikan.
Ki Wongso segera duduk bersila mengabaikan rasa sakit akibat luka yang dideritanya. Matanya mengatup rapat berusaha untuk fokus meski sangat sulit dilakukannya.
Nana yoni kang ngladuki Hyang Widhi
Jajah lelembut nedya winastha
Kawula nraya dinehi yoni
Konjuk ngingsahake agkara sengkala
Ngingge yoni keris niki
Muga Ngalam mangestuni
Komat-kamit mulut Ki Wongso membaca barisan mantera berulang-ulang sambil meletakkan bilah keris di keningnya. Hingga cahaya keemasan perlahan muncul dari ujung kerisnya lalu merambat ke seluruh permukaan bilah dan menyebar menyelimuti tubuhnya.
Perlahan dia membuka mata lalu mengarahkan kerisnya ke atas. Ledakan cahaya seketika memenuhi tempat ini, lalu perlahan memudar dan menghilang. Berbagai sosok lelembut yg sedari tadi mengelilingi tempat ini pun menghilang diikuti dengan Ki Wongso yg kehilangan kesadarannya.

***
Di Sudut Sebuah Taman Kota, Di Penghujung Tahun 2004

“Hari baru menggeliat kau sudah berangkat. Pagi benar? Ada lembur?” seseorang menyapaku saat aku baru keluar dari rumah kontrakanku.
“Sepertinya ada yang ketinggalan di taman kemarin” aku menjawab sekenanya, berharap dia tidak bertanya lagi.
Aku memang orangnya cenderung tertutup, jarang berbincang dengan orang lain jika hanya sekedar basa-basi. Malas membicarakan hal yang tidak ada gunanya. Aku lebih suka menyeendiri, membaca koran sambil mencari peluang bisnis, atau sekedar menulis puisi.
Aku memang dikenal seorang pekerja keras dan ulet, tapi kurang pandai dalam hal pergaulan. Tapi aku tak pernah memperdulikan hal itu.
Orang hidup kan untuk dirinya sendiri. Untuk kebutuhan perutnya sendiri. Apalagi di jaman yang serba bayar ini. Jika aku terlalu sibuk memikirkan orang lain, maka urusanku sendiri jadi terbengkalai. Setidaknya begitulah pemikiranku.
“Kau masih suka menyendiri di sana?” dia bertanya lagi.

“hati-hati lho kata orang di taman itu banyak hantunya. Dan katanya ada hantu seorang perempuan cantik yang suka menangis dan nembang jawa setiap malam. Hii… ngeri deh…” sambungnya.
Kali ini aku benar-benar muak dengan apa yang dikatakannya. Tanpa memperdulikannya aku terus saja keluar menyusuri ruas-ruas jalan.
Pikiranku hanya tertuju pada taman itu. Entah apa aku sendiri tidak mengerti. Seperti ada seseorang yang memanggilku dari sana. Seperti ada kekuatan yang menarikku untuk pergi kesana.
Aroma pertikor sisa rinai semalam masih menyergap penciumanku. Langkahku terhenti di sudut taman ini. Aku seperti teringat sesuatu. Sesuatu yang benar-benar pernah kualami.
Entah kapan aku sendiri masih bingung, sebab kenangan-kenangan yang bermunculan seperti rentetan peluru dari senapan mesin seorang serdadu. Begitu cepat, begitu tajam.
Aku masih saja terpaku di sudut taman ini, di depan sebuah kursi panjang di bawah temaram lampu. Hingga tiba-tiba kulihat seseorang duduk di sana. Seorang perempuan berkebaya hitam dan jarik coklat tua.
Dari guratan wajah yang benar-benar cantik terlihat pancaran kecemasan dan kesedihan yang begitu mendalam. Dia seperti menunggu seseorang. Mungkin kekasihnya. Bibirnya yang sedari tadi terkatup perlahan bergerak.
Bulan hujan. Kekasih…
Temaram rembulan kini enggan bercanda
Sebab dia lelah… sangat lelah…
Memacu bingkai-bingkai malam
Mendendang rindu pada garis-garis mimpi
Bulan hujan, kekasih…
Kutunggu kau mengoles jejak
Di sini…
Selalu di sini…
Aku begitu termangu mendengar sajak yang baru saja diucapkan perempuan itu. Aku seperti mengenal sajak itu. Aku seperti pernah mendengarnya bahkan mengucapkannya. Tapi kapan? Dimana? Sesaat kemudian seorang lelaki setengah berlari mendatangi perempuan itu.
Di sudut taman, di sebuah kursi dengan lampunya temaram. Aku terperangah tidak percaya… Lelaki itu… Aku… Wajahnya mirip sekali denganku, bahkan hampir tidak ada bedanya.
Hanya pakaiannya saja yang membedakan dia denganku. Baju mirip prajurit jaman dulu dengan sebilah golok tersemat di pinggang dan sebuh keris terselip di atas pinggulnya. Dia mendatangi perempuan itu lalu memeluknya.
“Mas Damar… Kenapa lama sekali…Bulan hujan ini sungguh membawa cemas yang menusuk. Aku tak sanggup menghadapinya, Mas Damar…
Tetaplah di sini untukku, sampai matahari bosan memberikan kepedihan. Peluklah hatiku, Mas Damar… Sukmaku luruh di pelataran jiwamu…” Perempuan itu menghamburkan tangisnya.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Sundari… ya… pasti namanya Sundari… Mereka kemudian duduk bersama di kursi taman itu.
“Bulan hujan ini aku harus pergi. Jangan kau cumakan tangismu. Sebab akan kutinggalkan sebagian jiwaku untuk selalu memelukmu, Sundari… Tunggulah aku di sini. Pada tujuh purnama, saat tebasan keris terbungkam kekalahan. Saat tombak prajurit patah berkalang.
Saat lesatan anak panah mampat oleh pengakhiran. Tetaplah di sini, sebab aku akan selalu mendatangimu pada malam-malam bulan hujan.” Sesaat mereka berpelukan dan lelaki itu pergi meninggalkan taman dengan lampunya temaram dan seorang perempuan di sudutnya.
Aku masih termangu menyaksikan kejadian itu. Sepertinya aku pernah mengalaminya. Sepertinya aku yang mengalaminya, tapi kapan… Aku benar-benar bingung dan tak mengerti. Taman – aku – perempuan - bulan hujan – purnama – Damar - Sundari.
Tapi aku bukan Damar, aku benar-benar bingung, hingga tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Sekilas aku hanya melihat sekelompok orang membawa tombak, pedang, keris. Mereka mengejarku, membacokku, menusuk, dan segalanya benar-benar gelap. Aku tak sadarkan diri.
Perlahan aku membuka mataku. Terang… benar-benar menyilaukan. Aku berada di ruangan yang berbalut kain putih. Aku masih mencoba mengumpulkan segala kesadaranku. Mencoba mengingat apa yang telah kualami.
Lagi-lagi ingatanku tertuju pada sosok perempuan berkebaya hitam di sudut taman dengan lampunya temaram. Aku hampir beranjak ketika tiba-tiba seseorang masuk ruangan ini.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Henry Setiawan

Henry Setiawan Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @loopdreamer

Jun 8
“Apa? Aku pingsan tiga hari?? Bagaimana bisa? Terus dimana ini? Siapa yang membawaku kesini dan bagaimana dengan perempuan itu? Apa dia masih menunggu kekasihnya?” Aku mencoba mencari tahu apa yang terjadi.
“Sudahlah pak, lebih baik bapak istirahat saja. Tidak perlu memikirkan hal-hal yang lain. Sekarang bapak di rumah sakit, seseorang menemukan bapak pingsan di taman tiga hari yang lalu.
Mungkin bapak mengalami shock atau depresi. Sekarang bapak istirahat saja dan jangan berfikir macam-macam. Nanti kalau kondisi tubuh bapak sudah pulih baru boleh pulang” Ucapnya.
Read 5 tweets
Jun 7
Update KaryaKarsa dulu.. Udah sampai part 4 ya. Part 3 besok kita release di sini.

Bulan Hujan Dan Perempuan di Sudut Taman
(Part 4)

Mandaka Birawa

@karyakarsa_id @diosetta @RestuPa71830152 @IDN_Horor @bacahorror @IDN_Horor @autojerit @HorrorBaca Image
Puluhan warga berkerumun di depan rumah Sundari. Mereka menuduh Sundari sebagai dalang diculiknya salah satu warga oleh lelembut berjuluk jejengklek.
Mereka menuntut Sundari untuk membuktikan ada atau tidaknya tanda toh jiwo di punggungnya. Beruntung Ki Wongso segera datang dan menenangkan warga.
Read 4 tweets
May 25
BULAN HUJAN DAN PEREMPUAN DI SUDUT TAMAN

Part 2

Ijin tag & tolong bantu RT ya kakak
@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca @autojerit @diosetta @rabumisteri @mwv_mystic @Long77785509

#bacahorror #ceritahorror #horror #threadhorror #IDNH Image
Jangan lupa RT dulu biar rame yaa.. Buat yang belum follow silahkan follow dulu supaya tidak tertinggal update cerita terbaru. Terima kasih.. 🙏
Cerita ini sudah sampai part 3 di @karyakarsa_id kalau mau baca duluan sekalian kasih dukungan linknya ada di bawah yaa...
⬇️⬇️⬇️⬇️
karyakarsa.com/Henrysetiawan8…
Read 145 tweets
May 24
Kebangkitan iblis penguasa alas kidul semakin dekat. Oleh karenanya perburuan tumbal untuk meningkatkan kekuatannya dimulai. Diawali dengan menghilangnya warga desa secara misterius hingga terjadinya pembantaian di dalam hutan.
Ki Wongso sebagai orang yang paling berpengaruh di desa itu berusaha membantu mencari warga yang hilang tadi hingga masuk ke dalam alas kidul bersama beberapa warga. Namun nasib sial menimpa mereka bahkan sampai mengakibatkan korban jiwa.
Read 5 tweets
May 18
𝗕𝗨𝗟𝗔𝗡 𝗛𝗨𝗝𝗔𝗡 𝗗𝗔𝗡 𝗣𝗘𝗥𝗘𝗠𝗣𝗨𝗔𝗡 𝗗𝗜 𝗦𝗨𝗗𝗨𝗧 𝗧𝗔𝗠𝗔𝗡

Part 1

Ijin tag & tolong bantu RT ya kakak @bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca @autojerit @diosetta @rabumisteri @mwv_mystic @Long77785509

#bacahorror #ceritahorror #horror #threadhorror #IDNH Image
Sebelum mulai jangan lupa RT, like dan komen biar rame.. Jangan lupa juga follow supaya tidak tertinggal update cerita terbaru
Cerita ini sudah ada 2 part di @karyakarsa_id kalau mau baca duluan sekalian beri dukungan bisa buka link di bawah
karyakarsa.com/Henrysetiawan8…
Read 186 tweets
May 11
Sebelum mulai jangan lupa RT, komen dan like biar rame yaa.. jangan lupa follow juga biar tidak tertinggal update cerita terbaru. Terima kasih 🙏🙏
Buat yang mau support dengan dukungan karya atau sekedar tips bisa meluncur ke @karyakarsa_id yaa..
karyakarsa.com/Henrysetiawan82
Read 80 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(