Henry Setiawan Profile picture
Jun 15 197 tweets 25 min read Twitter logo Read on Twitter
Sebelum mulai jangan lupa RT dulu biar rame. Yang belum follow bisa di follow dulu supaya tidak tertinggal update cerita terbaru. Terima kasih
Part 4
Mandaka Birawa

Semenjak kejadian menghilangnya istri dan anak Karso tanpa petunjuk apapun, juga pembantaian di tengah alas kidul yang merenggut beberapa nyawa warga, kini suasana mencekam semakin terasa di dalam desa pinggir alas kidul itu.
Ki Wongso sendiri akhirnya berhasil selamat setelah seharian pingsan usai menggunakan ilmunya untuk melawan gerombolan lelembut yang meneror mereka. Ketika tersadar, Ki Wongso memandang nanar jasad warganya yang tergeletak di sekitarnya yang sebagian sudah tidak utuh lagi.
Beberapa orang mengalami luka bacokan serius, bahkan ada yang tangan dan kakinya sampai terputus. Aroma anyir darah menguar memenuhi tempat itu. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Ki Wongso. Untuk menguburkan mereka pun rasanya tidak mungkin.
Sebab tinggal dia sendiri yang masih hidup. Sedangkan tenaganya sudah habis terkuras akibat melawan bangsa lelembut yang menerornya sebelumnya. Akhirnya terpaksa Ki Wongso meninggalkan jasad warganya setelah menatanya alakadarnya.
Sesampainya di desa, beberapa warga yang masih menunggu pun terkejut melihat Ki Wongso keluar dari hutan sendirian dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Mereka segera menolong Ki wongso yang berjalan sempoyongan dan hampir pingsan lagi. Mereka langsung membawa Ki Wongso menuju rumahnya.
“Sanesipun pundi, Ki? (Yang lainnya mana Ki?)” Tanya salah satunya.

“Ora ono sing selamet. Mati kabeh. (Tidak ada yang selamat. Mati semua)” Jawab Ki Wongso lirih.
Setelah Ki Wongso mendapatkan perawatan dan sedikit pulih, dia memanggil beberapa warga dan menjelaskan kejadian yang menimpanya di tengah alas kidul. Warga yang mendengar cerita Ki Wongso langsung ternganga.
Begitu pula dengan sanak keluarga warga yang menjadi korban pembantaian itu. Mereka histeris ketika mendengar berita duka tersebut. Terlebih lagi mereka tidak bisa membawa jasad mereka yang ditinggalkan di dalam hutan.
Beberapa orang berniat masuk ke hutan untuk mengambil jasad keluarganya, namun Ki Wongso melarangnya. Karena alas kidul sangat berbahaya. Tidak menutup kemungkinan mereka yang menyusul masuk ke dalam hutan pun akan menjadi korban berikutnya.
“Wis pirang-pirang mongso urip ning kene ora tau ono kejadian koyo ngene. Iki mestine ono jaglarane. (Sudah beberapa musim hidup di sini tidak pernah ada kejadian seperti ini. Ini pasti ada penyebabnya)” Ucap salah satu warga mulai berkasak-kusuk.
“Bener kang. Kawit jaman bopo biyung, simbah, buyut ora tau ono crita ngene iki. Yen alas kidul wingit, kabeh uwis ninga. Nanging lelembut kono ora nganti nyilakani. Palingan digawe ilang terus dibalikke meneh, yen ora yo digawe edan.
(Betul kang. Sejak jaman Bapak Ibu, Kakek/nenek, Buyut tidak pernah ada cerita seperti ini. Jika alas kidul angker,semua juga sudah paham. Tapi lelembut sana tidak sampai mencelakai. Paling dibuat hilang kemudian dikembalikan lagi, kalau tidak ya dibikin gila)” Sahut yang lainnya
“Opo iki ono kaitane karo ceritane Marsinah wingi? (Apa ini ada kaitannya dengan cerita dari Marsinah kemarin?)”
“Huss... ojo sembarangan, kang. Aku isih durung percaya omongane Marsinah yen durung ono buktine. (Huss... Jangan sembarangan, kang. Aku masih belum percaya omongan Marsinah sebelum ada buktinya)”
“Aku ugo gamam. Nanging kejadian iki yo ora baen-baen lho. Amarga uwis gowo nyawa. (Aku juga ragu. Tapi kejadian ini juga tidak main-main. Karena sudah membawa nyawa)”
“Wis kang, sing penting jaga awake dewe lan batihe dewe. Yen pancen ono musabab seko desa iki, mestine mengko kaubal. (Sudah kang, yang penting jaga diri kita sendiri dan keluarga kita. Jika memang ada sebab dari desa ini, pasti nanti akan terkuak dengan sendirinya)”

***
Beberapa hari berlalu sejak kejadian itu. Bulan hujan kini mulai memasuki puncaknya. Hampir setiap malam desa ini selalu basah oleh butiran air yang menghujam dari langit. Menambah suasana mencekam di dalam desa yang belum lama ada kejadian mengerikan itu.
Ditambah lagi beberapa rumah warga setiap malam juga mendapatkan teror misterius. Entah itu suara orang mengetuk pintu, suara ranting yang digesekkan di dinding rumah atau pun suara-suara misterius lainnya.
Namun setiap kali warga yang kedatangan tamu misterius itu memeriksa keluar, mereka hanya menemui kesunyian tanpa ada siapapun di luar. Hal itu otomatis membuat mereka semakin ketakutan.
“Ndari lihat akhir-akhir ini ibu sering murung. Ada apa, bu?” Ucap Sundari yang mendapati ibunya sedang duduk merenung sendirian di depan tungku pawon.
Suprapti sedikit tersentak dari lamunannya ketika mendengar ucapan Sundari.

“Duduk sini nduk. Ibu mau bicara” Ucap Suprapti.

Sundari pun menghampiri ibunya dan duduk di dingklik kayu persis di samping Suprapti.
“Ibu mau tanya, tapi tolong kamu jawab dengan jujur” Ucap Suprapti mengawali pembicaraan.

Sundari sedikit tersentak “Sekalipun Sundari tidak pernah berani berbohong pada ibu”
Suprapti sedikit tersenyum terpaksa lalu kembali berucap “beberapa hari ini warga desa ini banyak membicarakan kamu, Ndari. Mereka menuduh kamu sebagai titisan iblis. Semua kejadian aneh dan mengerikan yang terjadi sebelumnya juga dihubungkan dengan kamu, nak”
“Apa beberapa waktu terakhir ini kamu juga mengalami kejadian aneh?” Tanya Suprapti.

Sundari terdiam dan menunduk usai mendengar ucapan ibunya.
Satu sisi dia ingin sekali menceritakan semua yang dialaminya, mulai dari mimpi buruk sampai penampakan-penampakan yang selalu menghantuinya setiap malam. Namun di sisi lain dia khawatir hal itu akan mempengaruhi kesehatan ibunya.
“Katakan saja nduk. Jangan sampai kamu menyimpan semua beban ini sendirian.” Ucap Suprapti lagi.
Sundari perlahan mengangkat wajahnya. Nampak buliran bening meleleh dari sudut kedua matanya. Isakan lirih pun terdengar mengiringi kesedihan yang mendalam. Suprapti yang melihat putrinya seperti itu pun langsung memeluknya.
Tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari keduanya. Suprapti masih menunggu Sundari sedikit lebih tenang sebelum menceritakan semua yang dialaminya.

“Rasanya Ndari sudah tidak saggup lagi menjalani semua ini, bu.”
Sundari kembali terisak. Pelan-pelan dia menata hatinya supaya bisa mengungkapkan semua yang dirasakannya. Sementara Suprapti masih terdiam. Dia bisa memahami apa yang dirasakan oleh putri semata wayangnya itu.
“Mungkin sebaiknya Ndari pergi dari desa ini saja, bu. Ndari khawatir dengan keselamatan Ibu” Sundari kembali tercekat.

“Tidak, nak. Kamu harus tetap di sini. Ibu akan menjagamu apapun yang terjadi” Ucap Suprapti.
“Tapi warga sini sepertinya sudah tidak bisa menerima Ndari lagi, bu. Bahkan Ndari sempat mendengar mereka akan mengusir kita. Jadi sebaiknya Ndari saja yang pergi. Ibu tetap di sini” Ungkap Sundari.
“Jangan dengarkan mereka, nak. Ibu yakin ada yang menghasut. Ibu akui memang sejak kecil kamu sering bersinggungan dengan bangsa lelembut,
tapi itu bukanlah alasan mereka menghubungkan semua kejadian tempo hari dengan dirimu. Ibu tidak percaya kamulah sumber semua malapetaka ini” Sergah Suprapti.
“Kita akan mencari cara untuk membuktikan bahwa kamu tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi saat ini” Sambungnya.
“Tapi Ndari juga sering mengalami kejadian aneh, Bu. Selain melalui mimpi, mereka juga sekarang mendatangi Ndari. Dan semua itu berkaitan dengan malapetaka di desa kita” Ucap Ndari.
“Sudah, tidak perlu kamu lanjutkan. Sebaiknya kamu tenang dulu, nak. Ibu akan mencari cara untuk menolongmu” Ucap Suprapti.
“Tapi bagaimana caranya, bu? Apalagi tanda lahir di punggung Ndari sekarang mulai berubah sedikit memerah. Apa benar Ndari terkena kutukan Toh Jiwo bu?”
Suprapti sedikit terperangah mendengar ucapan terakhir Sundari. Firasat buruk yang selama ini dirasakannya mulai menunjukkan kenyataannya.
“Cukup, nak! Tidak ada yang namanya kutukan toh jiwo. Itu hanyalah dongeng karangan leluhur kita supaya kita berhati-hati dalam bertindak dalam hidup ini.” Ucap Suprapti.
Sundari menunduk lesu. Ingin hatinya mempercayai ucapan ibunya. Namun kenyataan yang ada selalu menunjukkan bahwa dia adalah orang yang dikutuk dan akan membawa malapetaka bagi semua orang.
Malam jatuh semakin legam. Rintik butiran air yang menghujam dari langit belum sedikitpun menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Suasana kelam dan mencekam terasa semakin pekat menyelubungi seluruh desa pinggir alas kidul. Sebagian besar warga telah lelap dalam peraduannya.
Meski berselimut rasa takut dan khawatir akan kembali datangnya teror, namun mereka tetap berusaha untuk mengistirahatkan raga yang telah letih seharian beraktifitas.
Sementara itu di sela kegelapan alas kidul, dua sosok berjalan pelan keluar dari dalam hutan menuju ke desa. Aura kengerian terpancar dari kedua sosok itu yang tidak berhenti menyeringai memperlihatkan deretan giginya yang hitam kemerahan.
Tidak jauh di belakangnya mengikuti berbagai makhluk berwujud mengerikan. Diantaranya makhluk tinggi besar berbulu lebat dengan taring panjang dan mata merah menyala yang biasa disebut gandarwo (genderuwo),
makhluk mirip gandarwo berambut panjang yang biasa disebut jejengklek suka sekali mengurai rambutnya membuatnya terlihat semakin mengerikan,
setan perempuan dengan payudara menggantung panjang hampir menyentuh tanah yang biasa disebut wewe yang sambil menggendong bayi setan berjuluk anak bajang,
bayi setan itu gemar menghisap darah manusia maupun binatang, bola api melayang atau disebut banaspati, makhluk tinggi besar menakutkan yang mengeluarkan suara aneh dan menakutkan mirip suara burung hantu yang disebut buto dhengen,
tendhas buntik yang berwujud kepala tanpa badan yang suka sekali menghisap darah manusia, setan laweyan yang memiliki lubang di punggungnya penuh dengan belatung mirip sundel bolong di masa sekarang namun tanpa kepala,
serta berbagai jenis makhluk lainnya seperti kamangmang, bandalungan, tengis, pepe’an, tongtongsot, popoting komara, hencok, kuku bawil, huci-huci yang wujudnya tak kalah mengerikan. Mereka perlahan memasuki desa untuk kembali mencari tumbal.
“Nalika netra sampun erem. Kawula teka dhem nidira atma ira. Khi khi khi... (Ketika mata sudah terpejam. Kami datang hendak menculik jiwa kalian. Khi khi khi...)” Ucap salah satu sosok yang berwujud perempuan tua.
“Upetya wadal kagem sinuhun prabu kolosetro kedah angsal saben wengi. Konjuk gelak ngeda-eda ipun (Persembahan tumbal untuk paduka prabu kolosetro harus didapatkan setiap malam. Untuk mempercepat kebangkitannya)” Sahut sosok berwujud kakek-kakek dengan wajah menyeramkan.
“Ugi kangge kasekten lan himawanipun ira, Ki Sentani. (Juga untuk kesaktian dan kegagahanmu, Ki Sentani)” Ucap sosok perempuan tua lagi.
“Ugi kangge anindya lan lalitaning ira, Nyai Robloh. Khe khe khe khe... (Juga untuk kecantikan dan kemolekan tubuhmu, Nyai Robloh)” Sahut sosok kakek-kakek bernama Ki Sentani itu.
Sejatinya kedua sosok bernama Ki Santani dan Nyi Robloh tersebut adalah manusia, namun mereka berdua telah lama bersekutu dan memuja iblis bernama kolosetro untuk mendapatkan berbagai kesaktian, kegagahan dan kecantikan.
Mereka telah hidup sangat lama menunggu saat kebangkitan kolosetro dengan mempersembahkan tumbal kepada junjungan mereka itu. Sebagai imbalannya, mereka akan hidup abadi meski raga mereka semakin renta dan rusak.
Namun ketika saatnya kolosetro bangkit, mereka akan kembali menjadi muda, gagah dan cantik seolah baru berusia kurang dari tiga puluh tahun.
Sundari yang masih terjaga di kamarnya merasakan hawa kengerian yang luar biasa. Dia seolah mengetahui adanya teror yang akan memasuki desanya. Perlahan dia beringsut di atas amben dan merapatkan selimutnya. Dia berusaha untuk terlelap namun ternyata sia-sia.
Rasa takut yang menyergap tak juga bisa menenangkan jiwanya untuk bisa menyelami alam mimpi.
“Ampun sumelang ndoro ayu. Dereng wancinipun panjenengan neba sinuhun. Khi khi khi... (Jangan khawatir, ndoro ayu. Belum waktunya kamu menghadap paduka. Khi khi khi...) Sayup telinga Sundari mendengar ucapan dengan nada mengerikan dari luar sana.
Getih anget katresnan lelembut
Sukmo wangi penganten gusti baginda prabu
Rogo elok kunjoroning jiwo
Ora ono menungso kang biso nyanding
Kejobo iro kang gadhah manunggaling pusoko kembang maya

Menyusul kemudian terdengar lantunan kidung yang akhir-akhir ini sering didengarnya.
Nalikaning wayah lingsir wengi
Tyasing rasa katresnan mukti
Santika bawana sewu warsa
Hametag sira kelawan hyang paduka
Sengkala teka kalabendu nyata
Aja wani ginulah rasa marang manungsa
Kejaba rasaning ati ketaman tineluh
Mring kemanjing japa mantra
Tubuh Sundari bergetar semakin hebat. Rasa takut yang semakin tak terkira menyergap jiwanya. Lelehan air mata tak lagi dapat terbendung. Namun tangisan yang keluar hanyalah isakan tercekat yang tak dapat terucap.
“Ampun ajrih, ndoro ayu. Atma ira sampun kasunting. Samita wancining niku rektaning toh jiwo. Khe khe khe. (Jangan takut, ndoro ayu. Sukmamu sudah terpilih. Tanda waktunya adalah memerahnya toh jiwo. Khe khe khe.) Kali ini suara kakek-kakek yang menggema menembus pendengarannya.
Sundari seketika tersentak. Tak dapat dibantah lagi, ternyata kutukan toh jiwo adalah sebuah kenyataan, bukan sekedar dongeng turun temurun semata. Dan dia adalah orang yang mendapatkan kutukan itu.
Tubuh Sundari seketika lunglai usai mengetahui kenyataan ini. Tak ada jalan lain yang dapat dipikirkannya selain harus pergi meninggalkan desa tempat dia lahir dan tumbuh demi keselamatan ibunya dan warga lainnya.
Keheningan kini merambati sisa malam di desa tempat Sundari tinggal. Tidak terdengar lagi suara-suara mencekam yang hampir setiap malam menerornya. Netranya kini semakin berat mengiringi keletihan yang mendera tubuhnya.
Namun belum juga lelap menyambangi, sayup pendengarannya mendengar teriakan warga dari kejauhan. Desis suara rinai yang masih menghujam atap rumahnya sedikit menyamarkan suara teriakan itu. Namun perlahan suara itu terdengar semakin jelas.
Tak hanya satu, kini diikuti teriakan lainnya yang saling bersahutan. Nampaknya terjadi kegemparan di desanya. Entah apa yang sedang terjadi.
Perlahan Sundari turun dari amben dan berjalan menuju pintu kamarnya. Ketika dia keluar dari kamar, ternyata ibunya sudah lebih dulu terjaga dan berdiri di ruang tengah rumahnya.
“Apa yang sedang terjadi, bu? Ndari mendengar suara teriakan warga”

“Ibu juga terbangun gara-gara mendengar suara teriakan itu, Ndari” Ucap Suprapti.
Tak berapa lama, suara teriakan itu terdengar semakin jelas dan riuh mendekati rumah Suprapti. Suara kecipak langkah yang menerjang beceknya jalanan pun semakin jelas terdengar.
Suprapti sedikit mengintip dari sela tirai untuk melihat apa yang sedang terjadi. Namun ketika pandangannya semakin jelas melihat keluar, Suprapti seketika tersentak dan kembali menutup tirai jendela rumahnya.
“Banyak warga berkumpul di depan rumah kita, Ndari” Ucap Suprapti dengan nada bergetar.

“Apa yang akan mereka lalukan, bu?” Ucap Sundari khawatir.

“Ibu juga tidak tahu. Sebaiknya kamu masuk ke kamar, biar ibu yang menemui mereka”
“Tidak bu! Ndari tidak mau terjadi apa-apa dengan ibu” Tolak Sundari.

“Tenanglah. Tidak akan terjadi apapun dengan ibu. Lagi pula kita tidak tahu apa yang sedang terjadi. Biar ibu bicara dengan mereka” Ucap Suprapti menenangkan putrinya.
Dengan terpaksa Sundari mengikuti perintah ibunya. Dia memasuki kamarnya lalu mengunci pintunya dari dalam. Namun di dalam kamar Sundari tetap berusaha mendengar dan mencari tahu apa yang sedang terjadi di luar.
“Wonten nopo niki, kon sami kempal wonten mriki? (Ada apa ini kok pada berkumpul di sini?)” Tanya Suprapti kepada warga yang telah memenuhi halaman rumahnya.

“Endi Sundari? (Mana Sundari?)” Ucap salah satu warga setengah berteriak.
“Sundari wonten griya nembe tilem, kang. Wonten nopo to niki? (Sundari ada di rumah sedang tidur, kang. Ada apa to ini?)” Jawab Suprapti sedikit gusar sebab warga yang sedang berkumpul terlihat emosi.
“Anake Kang Pardi digondol jejengklek, pas dioyak arahe mrene, yu. Warga curiga jejengklek itu kongkonane Sundari. Sebab wis akeh sing curiga yen Sundari iku titisan iblis.
(Anaknya Kang Pardi diculik jejengklek, ketika dikejar arahnya kesini, yu. Warga curiga jejengklek itu utusannya Sundari. Sebab sudah banyak yang curiga kalau sundari itu titisan iblis)” ucapnya penuh amarah.
“Gusti pangeran... Aku wani sumpah yen Sundari ora ono kaitane karo setan kui, kang. Wong kawit sore Sundari ning omah karo aku.
(Gusti pangeran... Aku berani sumpah jika Sundari tidak ada kaitannya dengan setan itu, kang. Wong sejak sore Sundari ada di rumah bersamaku)” Ucap Suprapti sedikit terisak.
“Bocahe kon metu sek. Ben buktike dewe!! (Anaknya suruh keluar dulu. Biar membuktikan sendiri!!) Teriak warga lainnya.
“Yen ora gelem metu, langsung mlebu wae goleki ning omah!!! (Jika tidak mau keluar, langsung masuk saja kita cari di dalam rumah!!!) Sahut warga lainnya.
“Wes-wes. Tenang sek. Ojo gegabah!! (Sudah-sudah. Tenang dulu. jangan gegabah!!) Ucap seseorang dengan nada penuh wibawa dari belakang kerumunan warga.

“Ono opo iki? (Ada apa ini?) Sambungnya.
“Larene Kang Pardi ilang digondol jejengklek, Ki Wongso. Nalika dioyak mlayune arahe mriki, Ki (Anaknya Kang Pardi hilang diculik jejengklek, Ki Wongso. Ketika dikejar larinya arahnya kesini, Ki)” Salah seorang warga menceritakan kejadian sebelumnya.
“Terus kenopo geger ning omahe Prapti? (terus kenapa ribut di rumahnya Prapti?)”
“Warga sampun curiga kalihan Sundari, Ki. Wonten ingkang sanjang yen Sundari gadhah tanda toh jiwo wonten gegere. (Warga sudah curiga dengan Sundari, Ki. Ada yang bilang kalau Sundari memiliki tanda toh jiwo di punggungnya)”
“Terus karepanmu pengen buktike langsung ngono? (Terus maksud kalian ingin membuktikan langsung begitu?)” Tanya Ki wongso lagi dengan sorot mata tajam.

“Nggih, Ki (Iya, Ki)” Sahut mereka serempak.
“Kui jenenge kowe kabeh nglecehke Sundari. Jajal yen kowe duwe anak wedok terus dikon buka klambine ning ngarepe wong akeh ngene opo kowe lilo?
(Itu namanya kalian melecehkan Sundari. Coba jika kalian punya anak perempuan terus disuruh buka bajunya di depan orang banyak seperti ini apa kalian rela?)” Ucap Ki Wongso seketika membungkam para warga, sedangkan Suprapti semakin tersedu.
“Wes ngene wae, aku sing mlebu karo perwakilan salah siji warga sing wadon wae sing arep buktike. Kowe kabeh nunggu ning kene. Ayo Sumi melu aku!
(Sudah begini saja, aku yang akan masuk bersama perwakilan salah satu warga perempuan saja yang akan membuktikan. Kalian tunggu di sini. Ayo Sumi ikut aku!)"
Ucap Ki Wongso memberi solusi sekaligus mengajak salah satu warga perempuan yang ikut di kerumunan itu untuk membuktikan ada atau tidaknya tanda yang mereka curigai di punggung Sundari.
Sebelum masuk ke dalam rumah, terlebih dahulu Ki Wongso menghampiri Suprapti dan berbicara dengannya.
“Prapti, aku jaluk idimu kanggo buktike omongan warga. Tulung kowe melu mlebu lan ngomong karo Sundari (Prapti, aku minta ijinmu untuk membuktikan omongan warga. Tolong kamu ikut masuk dan bicara dengan Sundari)” Ucap Ki Wongso.
Dengan berat hati terpaksa Suprapti memberikan ijin kepada Ki Wongso dan Sumi untuk melihat punggung Sundari. Semoga apapun yang mereka lihat, mereka bisa memberikan sikap bijaksana kepada Sundari.
Semoga mereka bisa menahan warga supaya tidak mencelakai anak kesayangannya itu. Sedangkan Sundari yang sejak tadi ikut mendengarkan dari dalam kamar pun ikut gelisah.
Jika mereka melihat punggungnya benar-benar ada tanda itu, maka nasib buruk pasti akan menimpanya dan ibunya. Sempat dia berpikir untuk kabur melalui jendela kamarnya, namun dia urung melakukannya, sebab dia khawatir warga akan mencelakai ibunya jika dia melarikan diri.
Tok tok tok

Terdengar pintu kamarnya diketuk pelan dari luar. Sundari semakin merasa gelisah dan takut. Sejenak dia menenangkan diri sebelum membuka pintu kamarnya. Dia sudah pasrah dengan apapun yang terjadi nantinya. Yang terpenting tidak terjadi hal buruk apapun kepada ibunya
Setelah pintu kamar terbuka, Suprapti terlebih dahulu masuk ke dalam kamar sundari, sedangkan Ki Wongso dan Sumi masih menunggu di depan kamar.
“Ndari sudah dengar semuanya, bu. Suruh saja Ki Wongso dan Yu Sumi masuk.” Ucap Sundari sebelum ibunya mengutarakan niat Ki Wongso mewakili warga.
Sejenak Suprapti memeluk Sundari erat dan kembali tersedu. “Sing sabar ya, nduk. Ibu bakal tetep nglindungi awakmu senajan nyawane ibu sing dari ajone. Mugi gusti hyang widhi paring dalan nodheg.
(Yang sabar ya, nduk. Ibu akan tetap melindungimu meskipun nyawa ibu yang jadi taruhannya. Semoga gusti hyang widhi memberi jalan yang terbaik)”
“Nggih, bu. (Iya, bu) Jawab Sundari lirih.

Suprapti mengendurkan pelukannya lalu beranjak keluar kamar untuk menyuruh masuk Ki Wongso dan Sumi. Perlahan mereka berdua pun memasuki kamar. Sundari yang sudah pasrah hanya duduk di bibir amben sambil termenung.
“Nduk, aku karo Sumi sing makili warga arep delok gegermu kanggo buktike omongane warga bener utowo ora yen awakmu duwe tanda toh jiwo iku. Opo awakmu lilo?
(Nduk, aku dan Sumi yang mewakili warga mau melihat punggungmu untuk membuktikan omongan warga bnar atau tidak jika dirimu memiliki tanda toh jiwo itu. apa kamu rela?) Ucap Ki Wongso.

“Kulo lilo, Ki. (Saya rela, Ki)” Jawab sundari lirih.
“Awakmu madhep gedhek, nduk. Prapti, kowe sing buka klambine. Ora usah kabeh, cukup nggon geger wae. Sumi, delok sing cetho!
(Kamu menghadap dinding, nduk. Prapti, kamu yang buka bajunya. Tidak perlu semuanya, cukup bagian punggung saja. Sumi, dilihat dengan jelas!) Ucap Ki Wongso memberi perintah.
Tak menunggu lama, Sundari langsung menggeser tubuhnya dan memposisikan diri menghadap dinding. Suprapti perlahan menyibak baju Sundari di bagian punggung, sedangkan Sumi memperhatikan dengan seksama.
Seluruh bagian punggung Sundari telah terlihat. Sumi melihat dengan sangat teliti tanpa melewatkan sejangkalpun. Usai memperhatikan beberapa menit, Sumi sedikit tertegun lalu menghela nafas panjang.
“Kepiye, Sum? (Bagaimana, Sum?) Tanya Ki Wongso.

“Mboten wonten, Ki. (Tidak ada, Ki)” Jawabnya lirih.

“Piye? Sing cetho nek ngomong! (Bagaimana? Yang jelas kalau bicara!) Tegas Ki Wongso.

Sumi tersentak lalu kembali menjawab dengan gelagapan. “Mboten wonten Ki (Tidak ada, Ki)”
Sundari dan Suprapti yang mendengar jawaban Sumi pun kaget dan heran. Sebab mereka yakin Sundari memang memiliki tanda di punggungnya sejak lahir. Apa mungkin Sumi salah lihat?
Tapi apapun itu, mereka kini merasa lega. Bergegas Suprapti menutup kembali punggung Sundari dengan bajunya, jangan sampai Sumi mengulang melihat lagi dan menemukan tanda itu.
“Kowe wes delok dewe kan? Wes buktike dewe yen ning gegere Sundari ora ono tanda toh jiwo. Saiki awakmu sing ngomong karo warga ning jobo kono!
(Kamu sudah melihat sendiri kan? Sudah membuktikan sendiri kalau di punggung Sundari tidak ada tanda toh jiwo. Sekarang kamu yang menyampaikan kepada warga di luar sana!) Ucap Ki Wongso.

“Nggih, Ki. (Iya, Ki) Ucap Sumi lalu bergegas meninggalkan kamar Sundari.
Ki Wongso juga ikut meninggalkan kamar Sundari. Namun sebelum dirinya berlalu, Ki Wongso terlihat tersenyum kecil dan sempat ditangkap oleh penglihatan Sundari.
“Piye Sum? (bagaimana, Sum?)”

“Ono ora Sum? (Ada tidak, Sum?)”

Riuh suara warga bersahut-sahutan ketika Sumi keluar dari rumah Suprapti.
Mereka begitu penasaran dengan apa yang dilihat Sumi dari punggung Sundari. Bahkan beberapa yang sejak tadi geram sudah mulai mempersiapkan gamannya jika jawaban Sumi memang sesuai dengan yang mereka kira.
“Wes meneng sek! Ben Sumi jelaske opo sing deweke delok! (Sudah diam dulu! Biarkan Sumi menjelaskan apa yang dia lihat sendiri!)” Ucap Ki Wongso tegas yang seketika membuat seluruh warga terdiam.
“Ning gegere Sundari ora ono tanda toh jiwo koyo sing diomongke wong-wong. (Di punggungnya Sundari tidak ada tanda toh jiwo seperti yang dibicarakan orang-orang)” Ucap Sumi.
“Sing bener Sum? (Yang betul Sum?)”

“Opo wis mbok delok tenanan? (Apa sudah kamu lihat betul-betul?)”

“Wah berarti selama iki awake dewek diapusi (Wah berarti selama ini kita dibohongi)”

“Sakjane sopo sing ngawali ujar? (Sebetulnya siapa yang mengawali menyebar berita?”
Riuh warga kembali terdengar. Sebagian masih belum mempercayai ucapan Sumi dan mempertanyakan kembali, sebagian lainnya mulai sadar jika telah termakan berita bohong.
“Wes wes ora usah geger. Sumi wis ngomongke opo sing di delok dewe. Aku saksine sing melu delok gegere Sundari. Pancen ora ono tanda koyo sing kowe kabeh omongke.
Toh jiwo iku ora ono! Kui amung cerita dongeng sing ora kanti kedaden tenan. Ojo gampang kepangan biwara ngayuwara. Saiki podo mulih kabeh kono!
(Sudah-sudah tidak perlu ribut. Sumi sudah menyampaikan apa yang dilihatnya sendiri. Aku saksinya yang ikut melihat punggung Sundari. Memang tidak ada tanda seperti yang kalian maksud.
Toh jiwo itu tidak ada! Itu hanya cerita dongeng yang tidak akan pernah terjadi. Jangan mudah termakan isu yang tidak jelas. Sekarang semuanya pulang sana!)” Ucap Ki Wongso sekaligus membubarkan kerumunan warga.
Perlahan warga pun membubarkan diri dan kembali ke rumah mereka masing-masing. Meski masih menyisakan ganjalan yang berkecamuk di dalam diri mereka. Pasalnya kejadian mengerikan sekaligus menggemparkan akhir-akhir ini masih belum ada petunjuk apapun mengenai penyebabnya.
Hilangnya warga hampir setiap malam, kejadian pembantaian di tengah hutan, teror yang menyambangi rumah warga dan yang terakhir yang baru saja terjadi salah satu warga diculik sosok lelembut menakutkan yang mereka kenal dengan sebutan jejengklek.
Kesunyian seketika menyergap sisa malam ini sepeninggal warga yang telah kembali ke rumahnya masing-masing. Menyisakan desis hujaman air langit disertai suara-suara makhluk yang tidak begitu jelas entah berada di mana.
Suprapti sedikit merasa lega meski rasa heran tak juga luruh dari benaknya. Sebab sebelumnya sangat jelas sekali ada tanda titik hitam yang sekarang mulai memerah di punggung Sundari. Namun ketika tadi Ki Wongso dan Sumi memeriksanya, tanda itu tiba-tiba sirna tanpa bekas.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Sundari. Bahkan sebelumnya dia sudah pasrah dengan perlakuan apapun oleh warga usai mereka mengetahui akan adanya tanda itu. Entah bagaimana semua itu urung terjadi.
“Aku oleh ngomong karo kowe lan Sundari, Ti? (Aku boleh bicara denganmu dan Sundari, Ti)” Ucap Ki Wongso yang tidak ikut pulang sedikit membuyarkan lamunan Suprapti.
“Nggih, Ki. Monggo mlebet mawon. (Iya, Ki. Mari masuk saja)” Jawab Suprapti sembari mengajak masuk Ki Wongso ke dalam rumahnya.
“Monggo pinarak rumiyin, Ki. Kulo celuk Sundari riyin. (Silahkan duduk dulu, Ki. Saya panggil Sundari dulu)” Suprapti mempersilahkan Ki Wongso untuk duduk lalu bergegas menuju kamar Sundari.
“Lungguh kene, nduk. (Duduk sini, nduk)” Ucap Ki Wongso ketika melihat Sundari dan Suprapti keluar dari kamar.

Tanpa menjawab apapun kedua perempuan itu pun duduk di hadapan Ki Wongso.
“Sejatine aku wus ngerti kabeh opo kang iro alami. Semono ugo babagan tanda sing ono ning gegermu. Nanging aku njarag nutupi netrane Sumi supayane ora weruh nggunakake digdayaku supayane ora dadi kisruh lan geger.
(Sebetulnya aku sudah tahu semua apa yang kamu alami. Begitu juga tentang tanda yang ada di punggungmu. Tapi aku sengaja menutup penglihatan Sumi menggunakan kemampuanku supaya tidak terjadi ribut dan rusuh) Ucap Ki Wongso.
Suprapti dan Sundari seketika tersentak usai mendengar ucapan Ki Wongso itu. Mereka tidak menyangka bahwa ternyata Ki Wongso sudah mengetahui perihal keanehan Sundari.
Dan yang semakin mengejutkan, ternyata Ki Wongso-lah yang menolong Sundari tadi dengan cara menutup penglihatan Sumi supaya tidak bisa melihat adanya tanda di punggungnya. Namun merka bertanya-tanya apa tujuan Ki Wongso menolong Sundari.
Dan siapa pula yang memberi tahu Ki Wongso perihal keanehan Sundari. Apa mungkin Damar? Tapi rasanya tidak mungkin, sebab Sundari paham betul bagaimana Damar.
Dia tidak akan membocorkan rahasia apapun yang dia janji untuk menjaganya, meskipun kepada orang tuanya sendiri, dan Sundari mempercayai itu.
“Nyuwun pangapunten, Ki. Saking sinten Ki Wongso ngertos? (Mohon maaf, Ki. Dari mana Ki Wongso mengetahuinya)” Ucap Sundari lirih.
Ki Wongso tersenyum tipis lalu kembali berucap. “Aku wis ngerti suwe, kawit awakmu isih piyik. Bapakmu kang cerita karo aku. Aku sudah tahu sejak lama, Sejak kamu masih sangat kecil. Bapakmu yang cerita kepadaku)”
“Bapakmu kui sejatine ora wong sembarangan, nduk. Duwe digdaya kang murdha. Diwedeni bongso lelelmbut. Nanging kabeh digdayane kui diuwalake nalika ngrabeni ibumu lan milih urip prasaja.
(Bapakmu itu sebetulnya bukan orang sembarangan, nduk. Punya kekuatan yang sangat besar. Ditakuti bangsa lelembut. Tapi semua kekuatannya itu ditinggalkan ketika menikahi ibumu dan memilih hidup sederhana)” Sambungnya.
“Nanging jaman biyen bapakmu tau keno welak nalika ngalahake gegedhug lelembut. Deweke diwalak bakal duwe keturunan kang bakal dadi nganten narapati lelembut lumantar tenger toh jiwo.
(Akan tetapi jaman dulu bapakmu pernah terkena kutukan ketika mengalahkan pimpinan bangsa lelembut. Dia dikutuk akan memiliki keturunan yang akan menjadi pengantinnya raja lelembut melalui tanda toh jiwo)”
Sundari dan Suprapti kembali tersentak. Jadi cerita toh jiwo itu memang bukan bualan semata. Cerita itu nyata dan terjadi kepada Sundari sendiri. Perasaan campur aduk berkecamuk di dalam benak kedua perempuan itu.
“Nuwun sewu, Ki. Nanging menopo Kangmas Sarto mboten nate cerita babagan puniku kaliyan kulo? (Mohon maaf, Ki. Tapi kenapa Kangmas Sarto tidak pernah cerita perihal itu (masa lalunya) kepada saya?)” Ucap Suprapti.
“Iki yen tak critake kabeh yo dowo. Nanging ora ono salahe kowe kabeh ngerti. Tur eneh Sarto utowo Mandaka wes tau pesen karo aku yen wis wancine, kowe lan Sundari kudu ngerti mongso lawase deweke.
(Ini kalau diceritakan semua ya bakal panjang. Tapi tidak ada salahnya kalian semua tahu. Lagi pula Sarto atau Mandaka sudah pernah berpesan kepadaku kalau sudah waktunya, kamu dan Sundari harus tahu masa lalunya.) Ucap Ki Wongso.
“Wong sing mbok kenal jenenge Sarto kang dadi bojomu lan bapake Sundari iku biyene duwe jeneng Mandaka Birawa. Mandaka iku duwe trah Birawa, salah sawijine trah seko Dhatulaya Amandhika. Nanging kawit cilikane, Mandaka ora seneng urip ning antapura.
Mandaka milih meguru kaliyan Resi Wisesa nyinauni kanuragan lan kawasisthan ning tengah alas sak walike alas kidul. Aku ugi meguru kaliyan Resi Wisesa nanging isih sak adine mandaka.
(Orang yang kamu kenal sebagai Sarto yang menjadi suamimu dan bapaknya Sundari itu dulu memiliki nama Mandaka Birawa. Mandaka itu punya trah Birawa, salah satu trah dari Kerajaan Amandhika. Tetapi sejak kecil, Mandaka tidak menyukai hidup di istana.
Mandaka memilih berguru dengan Resi Wisesa mempelajari ilmu kanuragan dan kebijaksanaan hidup di tengah hutan di balik alas kidul. Aku juga berguru dengan Resi Wisesa tapi sebagai adik seperguruannya.)”
Ki Wongso menghentikan ceritanya sejenak lalu menyesap wedang rempah yang sudah mulai mendingin.
“Mandaka dadi murid sing paling pinter lan migunani. Kabeh ilmu kang diajarke iso dikuwasani kanthi sampurna. Nalika rampung meguru, Mandaka pamit nglelana kanggo nyebarake kawasisthan lan numpas angkara embuh iku seko menungsa utawa lelembut.
Aku melu ndherekake Mandaka senajan ilmuku durung sampurna.
(Mandaka menjadi murid yang paling pintar dan berguna. Semua ilmu yang diajarkan bisa dikuasai dengan sempurna. Ketika selesai berguru, Mandaka pamit untuk berkelana untuk menyebarkan kebijaksanaan dan menumpas kejahatan, entah itu dari manusia maupun lelembut.
Aku pun mengikuti Mandaka meskipun ilmuku belum sempurna.)”
“Ora perlu tak ceritake kepiye sepak terjange Mandaka. Sing cetho bongso lelembut keweden yen ketekan Mandaka. Sebab Mandaka iso nganguske lelembut kanthi gampang senajan iku gegedhuge.
(Tidak perlu kuceritakan bagaimana sepak terjang Mandaka. Yang jelas bangsa lelembut ketakutan jika kedatangan Mandaka. Sebab Mandaka bisa menghanguskan lelembut dengan mudah meskipun itu pimpinannya)”
“Cekak wicacarita, salah sijine gegedhug lelembut tau sumbar yen suk Mandaka bakal duwe turunan kang bakal dadi ngantene narapati lelembut. Deweke nyebut iku walak toh jiwo. Nanging Mandaka ora percaya lang nganggep sumbaring lelembut iku amung ucap kangge weweden bae.
(Singkat cerita, salah satu lelembut pernah sumbar bahwa suatu saat nanti Mandaka akan mempunyai keturunan yg akan jadi pengantinnya raja lelembut. Dia menyebut itu sebagai kutukan toh jiwo. Tetapi Mandaka tdk percaya dan menganggap ucapan lelembut itu hanya untuk menakuti saja)”
“Sawijining dino, nglelananing Mandaka nganti ing deso iki. Lan kapeneran aku ugo asli seko deso iki. Nalikaning aku ngajak Mandaka mampir ing griyane rama lan biyung, Mandaka weroh wong wadon ayu lan lalita yoiku awakmu, Prapti.
Mandaka nulya kesengsem karo kowe. Nulya nyengaja ngrabeni awakmu lan nuwalake kadigdayane anjur dadi wong kang prasaja.
(Suatu hari, pengembaraan Mandaka sampai di desa ini. Dan kebetulan aku juga asli berasal dari desa ini. Ketika aku ngajak Mandaka mampit ke rumah Ayah dan Ibuku, Mandaka melihat perempuan cantik dan molek yaitu dirimu, Prapti.
Mandaka kemudian jatuh cinta denganmu. Kemudian berniat menikahimu dan meninggalkan semua kekuatannya lalu menjadi orang sederhana)”
“Nemaha Mandaka lan awakmu dhaup lan urip bebrayan koyo sing diarep. Nanging nalika awakmu mbobot, Mandaka entuk ngelamat olo. Ngelamat iku nemaha kedaden tenan nalika Sundari lair. Yoiku anane tenger toh jiwo ning gegere.
Mandaka criyos arep golek cara kanggo ngruwat awakmu seko welak iku. Aku wis naring menggak sebab Mandaka wis ora duwe kadigdayan. Nanging deweke nekat, nemaha kepaten koyo sing awakmu ngerteni.
(Akhirnya Mandaka dan kamu menikah dan hidup berumah tangga seperti yang diharapkan. Tapi ketika kamu hamil, Mandaka mendapatkan firasat buruk. Firasat itu akhirnya benar-benar terjadi ketika Sundari lahir. Yaitu adanya tanda toh jiwo di punggungnya.
Mandaka cerita ingin mencari cara untuk membebaskanmu dari kutukan itu. Aku sudah berusaha mencegah sebab Mandaka sudah tidak memiliki kekuatan. Tapi dirinya nekat, akhirnya tewas seperti yang kalian ketahui)”
Sejenak Ki Wongso terdiam lalu menghela nafas. Nampak jelas terlihat raut kesedihan dari ekspresinya.
“Banjur sakniki kepripun, Ki? Nopo kulo kedah lungo saking deso niki? (Lantas sekarang bagaimana, Ki? Apa saya harus pergi dari desa ini?)” Ucap Sundari.
“Ora perlu. Aku wis ngerti carane ngaruwat awakmu seko welak iku. Yoiku nganggo pusoko keris kembang maya. Damar wis tak kei dedamel kanggo golek keris kui nggunake pitedha kang wis kaweruh.
(Tidak Perlu. Aku sudah tahu caranya membebaskanmu dari kutukan itu. yaitu menggunakan pusaka keris kembang maya. Damar sudah kutugaskan untuk mencari keris itu menggunakan petunjuk yang sudah diketahui)”
“Perkoro kepiye nasib warga deso iki, awakmu ora perlu narnaran. Aku sing bakal nglindungi seko anceman lelembut alas kidul sing lagi golek wadal kanggo ngedaake narapati lelembut iku.
(Tentang bagaimana nasib warga desa ini, kamu tidak perlu khawatir. Aku yang akan melindungi dari ancaman lelembut alas kidul yang sedang mencari tumbal untuk membangkitkan raja lelembut itu). Ucap Ki Wongso lagi menjawab kekhawatiran Sundari yang bahkan belum terucap.
Usai bercerita panjang lebar dan meyakinkan Suprapti serta Sundari, Ki Wongso pun berpamitan. Sedikit kelegaan mulai dirasakan oleh keduanya. Meski belum sepenuhnya menjamin mereka akan terbebas dari nasib buruk ini.
Setidaknya sedikit harapan mulai terbangun dan mereka juga berharap secepatnya Damar dapat menemukan keris pusaka kembang maya itu untuk membebaskan Sundari dari kutukan toh jiwo.
Di sisa malam yang tinggal seperempatnya ini Sundari merenung seorang diri di dalam kamarnya. Pikirannya melayang jauh ketempat Damar kini berada. Tanpa dia ketahui, ternyata Damar sedang berjuang untuk membebaskannya dari kutukan itu.
Dia berharap Damar akan baik-baik saja dan segera menemukan pusaka yang dimaksud itu. Rasa rindu yang tak terkira pun seketika membuncah dari dalam sanubarinya.

***
Di Sudut Sebuah Taman Kota, Di Penghujung Tahun 2004

Senja ini begitu layu. Kelabu langit bulan hujan enggan merangkak. Matahari pun malas teriak. Dan cakrawala masih terlelap.
Langkahku gontai meninggalkan kantor yang seharian menguras isi otakku. Segera kembali ke rumah dan merebahkan tubuh adalah impian terbesarku hari ini.
Tapi isi kepalaku telah jauh menerawang menembus batas mimpi. Tersesat entah kemana. Langkah masih kupacu, hingga tiba aku di mulut taman ini. Sesaat aku berhenti, memandang kursi di sudut taman yang membeku.
Seperti kebekuanku pada diriku sendiri. Aku masih termangu ketika langkahku kembali merayap menuju sudut taman ini. Aku masih malas untuk berfikir mengenai apa yang sedang kulakukan. Ku ikuti saja arah angan dan pandangku.
Bulan hujan, kekasih
Mengecap hari-hari
Semakin membawa inginku untuk membasuh wajahmu
Langkah-langkah ini membiru
Membawa titik akhir pada pertikaian
Apa kau masih di sini
Memeluk rembulan dalam redup kabut
Sayu wajah menghias kelam
Mendendang syair pada malam-malam bulan hujan
Bulan hujan, kekasih…
Kubunuh raguku untuk berdatang
Menjawab rindu dalam teriak serdadu
Selalu kubawa detik-detik dirimu
Untuk dihenti oleh satunya kita
Anganku masih saja berlari seusai aku mengucap sajak itu. Mendadak aku tergagap ketika kulihat sosok perempuan yang keluar dari balik semak.
Perempuan itu begitu anggun dengan balutan kebaya putih bersih, dengan tariannya yang melenggang mampu membius seisi taman untuk memandang dan mengaguminya.
Mungkinkah dia hantu yang selama ini dibicarakan orang? Aku rasa tidak mungkin. Di jaman yang serba komputer apa masih ada hantu? Jika dia memang hantu, apa mungkin bias secantik dan seanggun ini.
Dia masih saja menari di depanku hingga membuat aku tak mampu bergerak. Sesaat dia berhenti. Memandangku yang masih duduk di sini, lalu kembali menari. Aku jadi tak mengerti. Apa dia tak melihatku atau tak mau memperdulikan kehadiranku di sini.

Bersambung
Part 4 selesai di sini yaa...
Penasaran dengan lanjutannya?
Part 5 sudah tersedia di @karyakarsa_id

⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️

karyakarsa.com/Henrysetiawan8…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Henry Setiawan

Henry Setiawan Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @loopdreamer

Jun 14
[Update @karyakarsa_id ]
BULAN HUJAN DAN PEREMPUAN DI SUDUT TAMAN

Part 5
(Masa Lalu dan Masa Kini)

@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca @autojerit

karyakarsa.com/Henrysetiawan8…
Sundari semakin gusar dan gelisah sebab teror yang terjadi di desanya semakin marak. Bahkan hampir setiap hari ada warga yang diculik lelembut alas kidul untuk ditumbalkan demi mempercepat kebangkitan raja iblis kolosetro. Dan dia merasa semua itu disebabkan oleh dirinya.
Sementara Damar masih terus berusaha mencari pusaka keris kembang maya yang diyakini disimpan oleh seorang Resi yang tinggal di salah satu gunung besar bernama wukir udarati. Apakah Damar akan mendapatkan petunjuk mengenai keberadaan Resi itu?
Read 6 tweets
Jun 8
“Apa? Aku pingsan tiga hari?? Bagaimana bisa? Terus dimana ini? Siapa yang membawaku kesini dan bagaimana dengan perempuan itu? Apa dia masih menunggu kekasihnya?” Aku mencoba mencari tahu apa yang terjadi.
“Sudahlah pak, lebih baik bapak istirahat saja. Tidak perlu memikirkan hal-hal yang lain. Sekarang bapak di rumah sakit, seseorang menemukan bapak pingsan di taman tiga hari yang lalu.
Mungkin bapak mengalami shock atau depresi. Sekarang bapak istirahat saja dan jangan berfikir macam-macam. Nanti kalau kondisi tubuh bapak sudah pulih baru boleh pulang” Ucapnya.
Read 5 tweets
Jun 8
BULAN HUJAN DAN PEREMPUAN DI SUDUT TAMAN

Part 3

Ijin tag & tolong bantu RT ya kakak
@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca @autojerit @diosetta @rabumisteri @mwv_mystic @Long77785509

#bacahorror #ceritahorror #horror #threadhorror #IDNH Image
Sebelum mulai jangan lupa RT dulu biar rame. Buat yang belum follow, segera follow dulu supaya tidak tertinggal update cerita terbaru. Terima kasih.
Read 150 tweets
Jun 7
Update KaryaKarsa dulu.. Udah sampai part 4 ya. Part 3 besok kita release di sini.

Bulan Hujan Dan Perempuan di Sudut Taman
(Part 4)

Mandaka Birawa

@karyakarsa_id @diosetta @RestuPa71830152 @IDN_Horor @bacahorror @IDN_Horor @autojerit @HorrorBaca Image
Puluhan warga berkerumun di depan rumah Sundari. Mereka menuduh Sundari sebagai dalang diculiknya salah satu warga oleh lelembut berjuluk jejengklek.
Mereka menuntut Sundari untuk membuktikan ada atau tidaknya tanda toh jiwo di punggungnya. Beruntung Ki Wongso segera datang dan menenangkan warga.
Read 4 tweets
May 25
BULAN HUJAN DAN PEREMPUAN DI SUDUT TAMAN

Part 2

Ijin tag & tolong bantu RT ya kakak
@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca @autojerit @diosetta @rabumisteri @mwv_mystic @Long77785509

#bacahorror #ceritahorror #horror #threadhorror #IDNH Image
Jangan lupa RT dulu biar rame yaa.. Buat yang belum follow silahkan follow dulu supaya tidak tertinggal update cerita terbaru. Terima kasih.. 🙏
Cerita ini sudah sampai part 3 di @karyakarsa_id kalau mau baca duluan sekalian kasih dukungan linknya ada di bawah yaa...
⬇️⬇️⬇️⬇️
karyakarsa.com/Henrysetiawan8…
Read 145 tweets
May 24
Kebangkitan iblis penguasa alas kidul semakin dekat. Oleh karenanya perburuan tumbal untuk meningkatkan kekuatannya dimulai. Diawali dengan menghilangnya warga desa secara misterius hingga terjadinya pembantaian di dalam hutan.
Ki Wongso sebagai orang yang paling berpengaruh di desa itu berusaha membantu mencari warga yang hilang tadi hingga masuk ke dalam alas kidul bersama beberapa warga. Namun nasib sial menimpa mereka bahkan sampai mengakibatkan korban jiwa.
Read 5 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(