Udah sahur, udah kenyang, mau numpang cerita nih #memetwit. Cerita ini gue alami waktu magang "jadi budak" di Purwokerto, Jawa Tengah, zaman kuliah dulu.
.
Karena gue magang sebulan dan ga mau keluar duit buat ngekos, gue numpang di rumah temen yamg emang orang Purwokerto.
Gue magang bareng 4 orang lainnya, termasuk si tuan rumah, panggil aja, Icha.
.
Icha ini anak rektor (waktu itu) di kampus setempat. Rumahnya gedhe banget, kayak 4 rumah dijadiin satu. Waktu pertama kali mandi aja gue segan banget, karena gedhe kamar mandinya melebihi kosan gue.
Selain kita berlima, rumah itu juga ditinggali 3 abang Icha, 1 kakak cewek, dan omnya. Sementara ortu dia di kota lain.
Dan rumahnya tetep luas ga kira2.
Waktu nyampe, kita disambut dengan ramah. Kebetulan waktu itu udah masuk jam makan sore (ada kok)..
Jadi kita nongkrong di ruang makan, nyemil mendoan, sambil perkenalan sama omnya Icha. Basa-basi dulu, kan mau numpang hidup jadi benalu selama sebulan.
Jelang maghrib, ada kelelawar masuk rumah. Awalnya sih lucu aja (anak kota ga pernah liat kelelawar), tapi lama2 kok ganggu ya
Kelelawarnya muter-muter di atas kepala kami. Takutnya gue digigit, terus bermutasi jadi Batman.
"Duh, ini pakai ada lagi sih," kata omnya Icha, ngambil sapu dan berusaha mukul kelelawar. Mulutnya komat kamit baca doa (bentar lagi disembur).
Penyiksaan terhadap hewan...
"Plakk!"
Kelelawarnya kena, lalu jatoh. Warnanya item, giginya kecil2. Gue yang baru pertama liat kelelawar, terkesima. Kok imut juga..
"Yo, bantuin bawa ke belakang," ujar si om memberi titah.
Karena numpang hidup, gue ga bisa nolak. Gue pegang sayapnya, gue bawa ke belakang.
"Ini nih, dateng2 terus aja," ucap si Om, kesel. "Taruh situ, Yo."
Gue nurut, kelelawar yang tak berdaya itu gue taroh di rumput. Si Om masih baca doa.
"Nih, jangan balik lagi!" Si Om mukul kelelawar pakai sapu dan..
"Psssss" kelelawarnya ilang, diganti asap..
"Santet tuh."
Kata si Om, banyak yang iri dengan keluarganya si Icha. Makanya segala macam santet sering datang, termasuk salah satunya berbentuk hewan2 yang "tak diundang".
"Om, ini saya perlu cuci tangan pakai air doa gak?" tanya gue, cemas karena sempat megang :(
"Wudhu aja, muslim kan?"
Kebetulan, magang gue ini sama kayak tahun ini. Pas masuk bulan puasa dan pas bareng Piala Dunia.
Habis tarawih, sementara para gadis bobok tenang di kamar masing2, gue bergabung dengan abang2nya Icha nonton bola.
Abis nahan haus setengah babak pertama, gue inisiatif ke dapur.
Di lorong menuju dapur (ini rumah gedhe banget sih), gue papasan sama orang tua, tubuhnya tegak dan setinggi gue, pakaiannya serba putih, pakai sorban.
Gue kira entah siapa di keluarga ini yang baru pulang dari masjid. Gue senyumin aja, dia senyum balik. Tapi diem aja di kulkas.
Bahkan waktu gue balik lewat situ, dia masih ada di situ. Gue senyumin lagi, awkward.
Selama babak kedua, kadang si bapak tua ini ada di belakang abangnya Icha yang duduk di seberang gue. Diem aja, ngeliatin dari bawah tangga.
"Anjir, itu di belakang lo. Pake baju putih," gue ngotot.
Hening, "Masalahnya gue ga liat, Yo."
Dua abang Icha yang lain juga ga liat. Gue nelen ludah. Kok brengsek juga ini rumah.
"Dilanjut gak nih?" bisik Akbar (biar variasi, dapet dialog juga).
Kita diem. Udah kentang soalnya. Gue mau liat ke TV juga dikit2 sudut mata gue nangkep sosok kakek2 itu di bawah tangga. sial.
Kita memutuskan pura2 bego, berusaha tetep nonton meski gak seseru sebelumnya. Mau teriak "Gol" aja tanggung, takut si kakek jagoin tim yang beda sama kita.
Yang jadi masalah adalah, kamar gue ada di atas. Jadi kalau mau naik kudu lewat tangga (ya, masa terbang).
Beruntung, waktu itu tandingnya tengah malem. Kita diem membeku di situ beberapa jam juga para anak gadis udah turun buat nyiapin sahur.
"Masih betah nonton?" tanya Icha, si tukang masak, ibu kami semua, yang baru turun.
Gue sempet nanya ke om-nya Icha. Usut punya usut, katanya si kakek itu emang yang "jaga" di rumah.
"Paling dia cuma mau memastiin aja, kamu gak bahaya, ga ada niat jahat. Ga ada kan?" kata si Om.
Ya Allah, satu2nya niat jahat gue paling cuma mau numpang tinggal, makan ga bayar.
Tapi, gue mungkin termasuk yang paling mending. Karena tiga anak temen gue sempat "disapa" juga di kamarnya.
Misalnya si Adis yang jendela kamarnya diketuk terus-terusan. Padahal dia di lantai 3.
"Abis itu ada suara orang garuk2 kaca jendela. Kan ga enak dengernya." kata Adis.
Karena ga tahan geli denger suara begitu, Adis ga bisa tidur. Mau gerak buat keluar dari selimut pun dia takut. Jadi dia cuma pasrah, melek digangguin sampai pagi 😊
Di sisi lain, si Mifta, yang lagi sendirian di kamar, pintu kamarnya diketuk. Lalu kebuka sendiri. Padahal seret.
Dalam keadaan biasa aja, gue pun pake tenaga ekstra buat buka.
"Waktu dibuka gue kira ada orang, ternyata enggak. Gue pikir angin, tapi kalau dilogika kan ga mungkin..." kata Mifta.
Abis pintu dia tutup, kebuka lagi. Gitu aja terus sampai si Mifta memutuskan pura2 mati. Takut.
Tapi tetep yang paling apes mungkin si Ulan, temen gue yang lain.
Kamar mandi di rumah temen gue tuh macem di hotel yang ada wastafel dan cerminnya, terpisah sama area mandi basah (mandi kering gimana coba).
Pagi itu, abis mandi si Ulan cuci muka di wastafel.
Mukanya udah dipijat pake busa lembut sabun, Ulan pun menyalakan air untuk membasuh. Biar gak pedih, dia merem. Pas dia buka mata, pandangannya tertuju pada kaca di depannya dan..
"AAAAAAAAAAA"
Si Ulan teriak keras banget. Gue yang ada di lantai bawah, kaget, langsung lari naik
Gue gedor tuh kamar mandi. Ada jeda waktu sampai Ulan buka pintu, masih ada busa sabun di mukanya yang pucet.
Dia meluk gue, gue menang banyak (canda). Dia nunjuk ke cermin wastafel di belakang dia.
"Ada nenek2, mukaku, ada nenek2. Mukaku jadi nenek2."
Cerminnya ga anti-aging.
Kata Icha, gangguan2 semacam itu BIASA DI RUMAHNYA. Meski sebenarnya ditujukan ke keluarga dia, tapi karena kita numpang nginep jadi ikut kena juga.
Magang masih 3 minggu lagi, gue uda ga betah. Mau pindah ngekos tapi ga ada uang. Jadi orang miskin emang susah.
Sejak kejadian Ulan itu, para anak gadis kalau mandi jadi berduaan. Saling punggung2an kayak The Virgin.
Gue? Gue kalau mandi jadi nempel di tembok, di ujung dan kalau keramas ngedongak biar tetep bisa melek.
Gak asik kan kalau lagi gosok badan, eh dibantuin sama "yang lain".
Lalu gue menyadari, ga cuma rumahnya yang serem, kawasan sekitarnya juga.
Jadi, gue berprinsip bahwa karena gue ngerokok gue harus rutin olahraga, biar gak sakit. Jadi pas awal di sana gue selalu sempetin diri lari malam atau sepedaan keliling kompleks.
Awalnya sih aman aja..
Malam itu, tumben si Adis mau ikut keliling. Kita jalan kaki, keliling kompleks sambil ngobrol gak jelas. Tanpa sadar udah sampai ke area yang gak pernah gue lewati.
Padahal itu perumahan yang tergolong mewah. Jalannya luas, tapi emang sepi.
Lagi asik, si Adis berenti tiba2.
Mukanya pucet, ngeliat ke bagian atas salah satu rumah, mulutnya mangap2 kayak ikan. Karena menurut gue itu lucu, gue ketawa...
"Lu ngapain sih?" tanya gue.
"Ada.. ada itu... ada."
"Ada apa?"
Dia istighfar berkali2. Kedengeran suara cekikikan dari lantai atas rumah itu.
Nyesel juga gue ngebolehin Adis ikut lari. Biasanya kemarin2 ga pernah ada apa2.
Kita diem di tempat. Suara cekikikannya mulai menjauh sampai akhirnya enggak kedengeran.
"Jalan yuk, jangan nengok."
Yang gue lupa, katanya kalau suaranya jauh itu artinya "si biangnya" deket?
Kita jalan terus, sambil gandengan, nunduk dan istighfar berkali2.
Kalau dari jauh, keliatan romantis emang. Malem2, berduaan, gandengan, jalannya nempel2. Padahal kita berdua setengah mati nahan takut dan nahan biar gak berak di celana saking takutnya.
"Yo, kita bukannya uda lewat sini?" bisik Adis.
"Ya Allah, Mbak. Kita gak mau ganggu, cuma numpang lewat. Mau pulang nih," desis gue, biar yang "ngisengin" iba.
Gue berasa jalan jauh banget, tapi yang dilewatin itu2 aja terus. Padahal di perumahan lho, ya. Bukan di hutan...
Meski tempatnya sama terus (keliatannya) kadang ada bau kemenyan, kadang ada bau daging hangus, kadang bau busuk, kadang ada yang nyolek dari belakang.
Tapi kami berdua tetap istiqomah, jalan nunduk, istighfar, ga nengok2 lagi.
Lama kemudian, kita nemu jalan raya...
Setelah keluar dari gerbang perumahan, pas nengok, belakangnya cuma sawah. Jadi kita berdua dari sawah?
Rupanya, jarak dari jalan raya tempat kita berdua "keluar" itu cukup jauh dari rumah Icha. Enggak ada angkot, dan ga ada ojek online.
Sampai rumah, kaki gue kayak mo lepas.
Takut kejadian serupa terulang, gue gak pernah lari malam lagi. Karena gak olahraga, gue jadi gak bisa ngerokok (ingat, prinsip merokok sehat).
Kata Icha, meski "tajir" tapi banyak tetangganya yang berhubungan dengan hal mistis. Makanya orang sana jarang keluar di atas jam 9.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Tiap lewat perlintasan rel kereta selalu inget pengalaman waktu awal tinggal di Ibu Kota #memetwit.
.
Waktu itu, disamping kerjaan tetap, kalau malem gue jaga rumah di daerah Jatinegara, Jaktim.
.
Di rumah itu ada yang ngurus rumah namanya Bu Ana dan anaknya, Maria.
Karena tiap Jumat gue libur, kadang gue sempetin nganter Maria sekolah. Dia masih SMP.
.
Buat sampai ke sekolahannya, harus nyeberang rel kereta dulu. Pagi itu, sebagai warga negara yang taat lalu lintas, gue berenti begitu palang relnya ditutup.
.
Meski keretanya belom keliatan.
Tapi orang Jakarta banyak yang enggak sesabar gue. Gue dikata-katain, dibilang gobl*k karena enggak nerobos padahal kereta belom keliatan.
.
Gue minggir, ngasih jalan buat yang mau nerobos. Salah satunya seorang bapak yang apes banget. Pas dia nerobos, kereta lewat.
.
Ketabrak.
Mumpung lagi gabut, gue mau bagi cerita lagi #memetwit
.
Waktu awal kuliah, gue punya temen namanya Nik. Kalau kata orang-orang, dia termasuk pemilik 'aura hijau' yang didemenin sama saudara beda alam.
.
Suatu hari, Nik pindah kosan ke Tubagus Ismail Dalam. Biar deket kampusnya.
Kosannya biasa aja, bentuknya rumah dua lantai (again). Di lantai satu, cuma ada dua kamar sama kamar mandi. 4 kamar lain di atas.
.
Baru beberapa hari pindah, si Nik tumbenan manggil gue ke kosannya. Katanya buat bantuin nugas dengan bayaran seporsi sate.
Gue dateng sekitar abis maghrib, dikasih makan dulu, terus baru ngendon di kosan Nik. Awalnya sih biasa aja. Sampai sekitar jam 10 malem, kaca jendelannya digedor.
.
Gue kira razia ibu kostnya (yang tinggal di rumah seberang). Gue uda ga enak, mau pamit, jendela digedor lagi.
Sebelum gw ngontrak di rumah yang ini (di thread sebelumnya), gue 3 tahun tinggal di Bangbayang juga, masih di gang yang sama tapi beda tempat, beda RT pula (apal).
.
Rumah ini nyaman banget, harga terjangkau. Sayang kami harus pindah karena diusir :') #memetwit@InfoMemeTwit
Tiba-tiba, rumah ini pindah kepemilikan. Dan pemilik yang baru, enggak selow banget. Kita dipaksa angkat kaki dalam waktu 3 hari. Sialan kan. Itulah kenapa, kita enggak punya waktu buat cari asal usul kontrakan yang baru.
.
Kenangan soal rumah lama pun muncul.
Rumah ini cukup besar, dengan 3 kamar, dan ruang tamu serta dapur yang dialihfungsikan jadi kamar (jadi total ada 6 kamar).
.
Dulu, kita masih jadi mahasiswa unyu waktu awal tinggal di sini. Dan masih belum paham sama 'sapaan hangat' dari 'penghuni' yang lama.
Gue mau sharing cerita waktu kuliah di sebuah PTN di Bandung. Demi menghemat biaya (dan biar bebas juga) gw memutuskan ngontrak di Bangbayang, Dago.
.
Rumah 2 lantai ini posisinya pas di tusuk sate, dan udah 2 tahun ga dihuni setelah yg punya meninggal #memetwit@InfoMemeTwit
Dari awal rumah ini emang ga enak, tapi mau gimana udah terlanjur bayar buat setaun.
.
Gue tinggal berenam di sini, di lantai atas dihuni 3 temen gue. Suatu hari, jelang maghrib bukannya tadarus temen2 gue ini malah gitaran dan nyanyi keras2. Gila-gilaan lah.
Dan kayaknya ada yang ngerasa keganggu. Tiba-tiba ada yang teriak, "DIAM! BERISIK!"
.
Kita diem, saling lirik, saling tuduh. Tapi kita yakin banget, ga ada satupun dari kita yang teriak.
.
"Kayaknya kita harus salat deh, yuk," kata Mifta, temen gue yang sadar duluan.