.
Waktu awal kuliah, gue punya temen namanya Nik. Kalau kata orang-orang, dia termasuk pemilik 'aura hijau' yang didemenin sama saudara beda alam.
.
Suatu hari, Nik pindah kosan ke Tubagus Ismail Dalam. Biar deket kampusnya.
.
Baru beberapa hari pindah, si Nik tumbenan manggil gue ke kosannya. Katanya buat bantuin nugas dengan bayaran seporsi sate.
.
Gue kira razia ibu kostnya (yang tinggal di rumah seberang). Gue uda ga enak, mau pamit, jendela digedor lagi.
.
Jendela digedor lagi, waktu gue lagi pakai sepatu di depan rumah. Hening. Kan di depan jendela enggak ada orang, dan di dalam kamar Nik juga ga ada siapa-siapa. Terus gimana cara gedornya?
.
Gue enggak mau.
.
"Please lah, malem ini aja. Gue takut. Please."
.
Gue tetep ga mau.
.
"Gue bayarin makan malem seminggu deh, please."
.
Oke, gue mau. Emang murahan anaknya.
.
"BRAKK!!"
.
Kali ini jendela digebrak, pas kita nengok, ada bekas tangan ngecap di situ.
.
"Nik, gue balik ah." Nyali mulai ciut.
.
Sekarang giliran pintu digedor. Kirain tetangga yang mau protes, mau si Nik berdiri buat buka, pintunya kebanting.
.
"BRAKK!!!" jemuran rontok.
.
Tapi gak ada orang lagi..
.
"Yaudah, tidur aja. Biar tau-tau pagi."
.
Pintu dikunci, Nik tidur di kasur, gue rebahan di lantai. Nyudut.
.
Saran buat tidur aja (atau pura2 mati) awalnya manjur, sampai..
.
Ah, mungkin gue tidur berantakan.
.
Duduk, garuk2 bentar, lalu males-males ngambil selimut. Gue liat si Nik tidur nyenyak, meluk gulingnya.
.
Sampai guling yang lagi dipeluk Nik merosot. Kayak ada yang narik dari arah kaki si Nik.
.
Sampai di ujung kasur, gulingnya 'berdiri'.
.
Gue speechless, ingin pura-pura mati tapi enggak bisa. Lalu merapal doa apapun yang gue inget, termasuk doa buka puasa.
.
Kirain udah aman, jendela kamar Nik kembari digedor. Gue diemin aja, ngesot, lalu duduk di pojokan ruangan. Ingin googling "cara pingsan dalam sekejap"
.
Jendela digedor lagi. Bodo amat.
.
Si empunya kamar masih pules, mukanya kayak enggak ada dosa padahal baru aja meluk dedemit guling.
.
Hening.
.
Karena gue rasa udah kondusif, lagian udah adzan subuh harusnya udah pada pulang ke alamnya (teori sesat). Jadi gue beranikan diri ambil selimut, lalu beranjak nutup gorden, kan gak enak kalau diliat dari luar.
.
Baru berdiri di depan jendela, baru megang ujung gorden..
.
Bodo amat. Gue minta pulang dan gak mau balik-balik lagi. Sudah cukup satu malamnya.
.
Tapi rupanya, gue tetep harus balik lagi ke kosan kampret itu sekali lagi.
.
Nganter tapi gak dibayar, suka semena-mena emang kalau udah jadi pacar (curcol dikit).
.
Nik waktu itu bari balik dari gunung.
.
Dan tumben, di kamar Nik waktu itu ada temennya dua biji (yang sama-sama dari gunung). Si Nik keliatan sakit, pucat dan tak bersemangat.
.
Barulah gue tau, rupanya di gunung...
.
Usut punya usut, temen kempingnya si Nik buang hajat di sungai, gak pake permisi. Lalu yang nunggu bete. Wajar sih, gue juga bete kalo tiba2 ada yang boker depan gue..
.
"Oh, gws deh," kata gue, yang enggak mau lama2. Enggak ada empatinya emang.
.
Meski dagangan sudah diantar, tapi gue ga bisa pergi dulu. Dua temen Nik mau beli makan
.
"Nik, jangan bengong ntar kesurupan lagi."
.
"Grrrrrrrrr...."
.
Lah dia ngegeram. "Nik?"
.
"Grrrrrrr.... GRRR!!"
.
Oke, gue mundur teratur. Gue kunciin Nik dari luar.
.
Gue bingung mau ngapain. Dari luar kedengeran, si Nik makin keras menggeram, sambil garuk-garuk pintu. Heran, kesurupan apa dia?
.
Begitu mereka balik, mereka nanya kenapa gue di luar. Gue cuma nyengir aja.
.
Nik ngamuk, dia nindihin salah satu temennya, sebut aja Nia. Lupa namanya. Kedua tangannya mencekik leher Nia.
.
Menggeram, minta balik.
.
Balik lagi. Temen satunya lagi, anggep aja namanya Susi, teriak minta Nik istighfar.
.
"Nyebut Nik! Nyebut!"
.
"Grrrrrrrrr!!!!"
.
"Astaghfirullah!"
.
"Grrrr!!!"
.
"Pegang tangannya!" kata bapak haji, yang punya warung.
.
Ragu, gue takut kesurupannya nular, kayak waktu di SMP gue dulu. Tapi yaudah, pasrah kan. Daripada dibilang gak gentle...
.
Nik makin menjadi. Dengan badannya yang kecil mungil, dia susah dikendalikan padahal kita udah berempat
.
Singkat kata, dia ngamuk ga karuan, memberontak dengan kekuatan kuda. Beneran, itu kuat banget. Udah enggak diitung berapa kali gue kesikut, mungkin udah ada beberapa rusuk gue yang rontok ke dengkul.
.
Jelang isya, Nik mulai kalem.
.
Ingat, jin gunung ini enggak mau ikut program urbanisasi. Mungkin dia kaget dengan keadaan kota, dia minta dipulangin ke gunung.
.
Bala bantuan lain datang, masih temen Nik juga. Anggep aja namanya Sur dan Jon.
.
Gue enggak nanya2 lagi. Tapi sekitar seminggu kemudian, gue ketemu Nik. Lalu, apa dia udah normal?
.
Gue enggak sengaja ketemu Nik di gerbang gang kosan dia. Masih siang bolong. Dia lagi diem berdiri nunduk di gapura, sambil megang kakinya. Mulutnya komat kamit.
.
Gue mikir, apa kesurupan ada efek samping jangka panjang?
.
.
"Rio, tolong gue. Ada kakek-kakek megang kaki gue, ga mau lepas. Gue udah dua jam di sini. Ga mau lepas."
.
Diem. Gue liatin lagi. Nik cuma sendiri.
.
Gue mau gendong, ga bisa juga. Dia mulai nangis. "Gimana nih, kalau gue ga bisa lepas dari sini."
.
Bertubu-tubi. Rupanya pasca kesurupan...
.
Lagi jalan, kesurupan. Pernah. Lagi jalan, ada yang minta "digendong". Sering.
.
Balik lagi, karena gue ga tau mau gimana sama Nik yang stuck di gapura. Gue temenin aja
.
Gue tahan, demi pertemanan. Begitu kakinya bisa gerak, Nik lemes. Gue anter ke kosan, gue panggil temennya.
.
Gue (yang tegaan dan sok sibuk ini) mulai mengurangi intensitas maen bareng Nik. Kejam emang...
.
Gue ga tau deh, apa dia masih sering kesurupan tiap gang apa ngga, ga tau juga kabarnya