Yang paling menarik dari Pilkada DKI kemarin adalah: pemilunya di daerah, namun isunya meluas jadi nasional.
Dan kita semua mafhum (pake banget!) bagaimana Anies-Sandi menang dalam Pilkada DKI dengan "memanfaatkan" apa.
Mafhum banget!
Setidak setujunya saya dengan putusan hukum, vonis terhadap Ahok yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana "penodaan agama" adalah fakta hukum.
Sikap saya dari awal tidak berubah: Ahok tidak sedang menista agama.
Mau fakta hukumnya demikian, saya tetap menerima, tapi tidak serta merta harus saya terima dengan cara demikian.
Dilihat secara konteks, logika, akal sehat, dan maksud politik, sangat sulit jika fakta hukum itu diterima.
Tapi karena vonis sudah diketuk palu, ya demikianlah hasilnya.
Saya tidak bisa berharap banyak pada hukum yang masih mampu "dipengaruhi" rongrongan massa.
Jika sampai Sandiaga Uno berbicara tentang "politik seharusnya fun", dan benar-benar keluar dari mulutnya, sedangkan kita sangat mafhum dengan cara apa dia memenangi Pilkada DKI, rasa-rasanya dia sedang menelanjangi dirinya sendiri tanpa rasa malu.
Saya nDak berbicara tentang Ahok.
Saya sedang berbicara tentang seseorang yang sedang "berkampanye tentang politik" lewat penyampaian-penyampaian yang justru dia sendiri berkebalikan dengan isi dari penyampaiannya itu.
Saya sedang berupaya menyampaikan pesan bahwa politikus yang sedang berkata seperti itu seharusnya melihat dulu apa yang sudah dilakukannya (berikut pasangannya di Pilkada DKI), nanti akan nampak berbagai inkonsistensi yang teramat lucu jika diurai satu-satu.
Ngetweet saya belum selesai, lho, sudah ditanya beginian.
ini serius mau nyeret Kiai Maroef Amin?
Saya tanya dulu biar bukan karena saya NU (dan mau ngece dari sana). Nanti kasihan kamu, kalau tahu kultur NU itu patuh dan beda pendapat itu dua perkara yang berbeza~
Kenapa #GusDur jarang sekali berdalil (silakan baca semua buku dan kumpulan opininya, dan buktikan saya keliru!)? Padahal keduanya adalah jebolan pesantren salaf?
Saya menemukan jawabannya ketika 12 tahun lalu berkenalan dengan Mas Yahya Staquf di Leteh (dan diajak ke Jombang).
ينبغي أن يكون اعتماد العلماء في العلوم على بصيرتهم وإدراكهم وبصفاء قلوبهم
Seyogyanya, gandhulan pada ulama dalam perkara ilmu itu tentang kecerdasan mereka menaklukkan ilmu, dan kemurnian hati.
Tidak sepenuhnya setuju tentang hal ini, tapi masih bisa memaklumi kenapa logika (dan sains) dan kepercayaan (dogma) dianggap tidak memiliki hubungan epistemologis.
Quraish Shihab berada di posisi ini, yaitu dogma hanya bisa jadi landasan etis semata (bukan epistemologis).
Seseorang yang beriman memerlukan penjelasan kenapa ia bisa memercayai sesuatu. Begitupun orang yang memeluk agama memerlukan penjelasan kenapa ia memeluknya.
Bisa jadi penjelasan itu untuk dirinya sendiri, atau diberikan pada orang lain sebagai penjelasan.
Ikhtiar ini (menjelaskan kenapa ia bisa memiliki kepercayaan & memeluk sebuah agama) biasa dikenal dengan:
((( saintifikasi dogma )))
Secara mendasar keduanya (saind & dogma) sangatlah berbeda. Sains menerima falsifikasi (dikelirukan), sementara dogma tidak mengenal kekeliruan.
Aku gak kaya-kaya amat, juga gak miskin-miskin amat. Tapi ikut mensosialisasikan parkir untuk pejalan kaki. Kulakukan ke mas-mas dan ibu-ibu yang bikin warung di trotoar.
Gak aneh. Dan ini biasa saja. Meskipun negosiasi penerapan hukumnya bisa terjadi.
Di mana sok tertibnya?
🤔
Ada bocah yang nyegat & ngusir pemakai motor yang naik ke trotoar. Ada pula mas-mas yang ribut sama abang ojol karena nerabas mereka di trotoar.
Ini kalau tindakan mereka dianggap “sok tertib”, nanti yang dipersekusi justru si bocah & mas-mas tadi.
Waktu sudah pagi. Setelah Dusril, ada empat orang yang ngomong panjaaang sekali. Makanya saya usul untuk bikin Space ulang dengan mengajak Dusril berbicara lebih lama.
Akmal itu nganggep aku menutup diskusi (padahal tidak). Untuk diskusi, harusnya di MK (bukan di Twitter).