My Authors
Read all threads
- Based on True Story -

#HorrorThread

“JAMAAH TAK KASAT MATA”

Mereka yang tetap ada meski raga tiada.

Lanjutan dari thread #LembahMisteri

__ A Thread __
@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor| #bacahorror #ceritahorror
Buat yang belum baca thread "Lembah Misteri", sebaiknya baca lebih dahulu untuk lebih mendalami ceritaku.

Oke kita lanjut lagi ya threadnya. Kalian akan kuajak merasakan kehidupan damai di desaku hingga cerita horornya mulai aku naikkan intensitasnya. Kali ini aku pilih sebuah mushola tempat aku dulu belajar mengaji.
Biar tambah seru bacanya, coba matiin lampu kamar dan dengerin langgam jawa kesukaan bapakku tiap pagi (bukan lagu horror kok):

Pukul 5 pagi terdengar suara panggilan "Ris, Aris! Bangun, bangun subuhan!" Ibuku biasa membangunkanku buat sholat subuh.

Gak perlu alarm lagi kalau di rumah, ibuku pasti membangunkanku tiap subuh.
Beliau seorang islam yang taat. Sudah biasa bangun jam 3 buat sholat malam, dan jam 5 buat subuhan lanjut masak untuk sarapan keluarga.

Aku lihat di luar masih cukup gelap, sambil menahan kantukku aku paksakan ke kamar mandi buat kencing dan ambil air wudhu.
Nyesss, air dingin dari sumber pegunungan membasahi mukaku. Seketika rasa ngantukpun hilang dan kuselesaikan wudhuku.

Tak begitu lama akhirnya aku selesai sholat subuh dan aku langsung keluar rumah menuju emperan depan.
Di luar masih remang-remang dengan udara sejuk, sesekali angin semilir sedikit membuatku kedinginan. Kulihat sekitar, hutan masih dipenuhi kabut pagi dan suara burung silih berganti

”Kreteg,kreteg”, aku renggangkan pinggang dan leherku, sedikit pemanasan di pagi yang damai ini
Jauh dari suara bising, yang ada hanya suara burung hutan dan ayam kampung peliharaan ibuku.

Matahari mulai terlihat jingga di ufuk timur, pagi ini cuacanya cukup cerah. Aku benar-benar kangen dengan suasana rumah. Lanjutlah aku ke pekarangan belakang.
Kulihat asap mengepul dari dapur dan ada kandang kambing tak jauh dari situ.

Ternyata kambing bapakku sudah mulai banyak. Terakhir aku pulang ke rumah hanya lima ekor, sekarang sudah beranak menjadi 9 ekor.
Tapi tujuanku kali ini bukan melihat kambing, melainkan ingin melihat pohon durian. Apakah ada buah yang jatuh atau tidak?.

Sudah 3 tahun ini durian di belakang rumah berbuah sepanjang tahun.
Tak perlu lagi aku menginap di hutan menunggu durian jatuh seperti dulu . Sampaisampai dihantui hantu durian saat menginap di kebun.

Kalau kalian mau tahu ceritanya nanti aku ceritain di part lain saja. Lumayan seram tapi kali ini aku ceritain yang dekat dengan rumahku saja.
Oke lanjut.

Ternyata duriannya udah gede-gede, dan kucium ada wangi semerbak yang artinya ada yg sudah matang di pohon.

Gak mau lama-lama aku panjatlah pohonnya buat cari yang sudah matang. (Duriannya sama bapakku ditaliin jadi buat tahu yg matang, harus panjat dulu).
Ya ampun ternyata jiwa anak kampungku gak pernah ilang. Bergelantungan seperti monyet di pohon durian seru juga.

Ada 2 durian yang jatuh hari ini. Langsung saja aku lepas talinya dan aku bawa ke dapur.
Kulihat ibuku sudah selesai masak di tungku kayunya.

Ibuku masih suka masak pakai kayu bakar dibandingkan kompor gas (dia hanya pakai kompor gas saat kepepet saja) karena dia bilang rasa masakan dari tungku lebih enak.
Benar juga sih. Ini yang membuat aku selalu kangen dengan masakan rumah.

Meski cuma nasi putih, sayur rebus, tempe, ikan asin dan sambel, rasanya sudah enak sekali. Beda banget dengan masakanku yang di kota.
"Ono loro buk sing ceblok" (Ada 2 bu yang jatuh). Di rumah aku biasa pakai bahasa jawa, jadi bakalan banyak percakapan dalam bahasa jawa.

"Bugahen bapakamu, kon ndang sarapan trus golek ramban" (Bangunin bapakmu, buruan sarapan lalu cari makanan kambing).
Kebetulan hari ini munggahan puasa, jadi bakalan banyak kegiatan mulai dari ziarah ke kuburan hingga acara munggahan dilanjut tarawih di mushola.

Kulihat jam dinding baru setengah 7 pagi, tapi semua keluargaku sudah bangun dan siap-siap untuk sarapan.
Hari ini ibuku masak cukup spesial karena anak pertamanya pulang.

Sayur pakis kesukaanku, sayur bayam dan daun pepaya rebus, tempe dan sambal pokak favoritku. (Pokak ini buah dari tanaman di hutan, bentuknya seperti leunca di Sunda).
Yaampun enak banget. Bagiku ini adalah menu terbaik yang bikin aku selalu kangen rumah.

Pagi ini kami sarapan dengan lahap diiringi dengan langgam jawa kesukaan bapakku. Aku ceritakan tentang keseharianku di Jakarta. Sesekali bahas adekku cewek yang sekolah di kota juga.
Selesai sarapan saatnya kita pesta duriam. Hahaha. Jujur aku pengen nyobain durian yang aku ambil pagi-pagi tadi.

Langsunglah ku ambil pisau di dapur dan membelahnya. Karena baru saja jatuh, jadinya susah sekali kulitnya untuk dibuka.
Dan taraaa duriannya tebal dan legit sekali. Bapakku bilang punel rasanya. Jadi pengen bawa ke Jakarta rasanya.
Hari mulai siang, bapakku pergi ke hutan cari makanan kambing.

Aku tetap di rumah dan membantu ibuku merapikan beberapa kamar yang sudah berantakan. Acara bersih-bersih rumah sebelum Ramadhan.
Aku membersihkan bagian belakang, dan ibuku membersihkan bagian depan dan halaman.

Kali ini aku merapikan kamar gudang yang sudah seperti kapal pecah. Aku tahu, kamar berukuran 2 x 3 meter ini cukup spesial bagi bapakku.
Makanya aku sangat hati-hati saat membersihkannya.
Kubersihkan pelan-pelan setiap sudutnya yang sudah ada sarang laba-laba. Kubereskan juga sampah plastik yang berserakan.

Ada juga sisa bunga kering, daun pandan dan daun pohon jarak layu di lantai. Kurapikan pelan-pelan agar tidak ada barang penting yang terbuang.
Di kamar ini juga biasanya bapakku menyimpan benda pusakanya. Kulihat ada beberapa buah keris tanpa gagang, sepetinya keris itu sudah cukup tua usianya.

Ada juga bambu buntet (bambu tanpa lubang) dan juga bungkusan kain putih dan hitam yang aku tak tahu benda apa di dalamnya.
Aku susun rapi beberapa botol minyak yang baunya cukup aneh. Setahuku ada beberapa minyak yang bisa digunakan untuk memanggil roh halus yang mungkin ada di salah botol tersebut.

Kamar ini memang cukup mistis. Apalagi saat malam hari jarang sekali bapakku menyalakan lampunya.
Bahkan adek cowokku paling nggak mau masuk kamar ini. Mungkin dia tahu ada sosok lain yang menghuni.

Selesai membersihkan kamar gudang, terdengar motor bapakku sudah sampai di belakang rumah.
Yaampun aku lihat-lihat bapakku sudah makin tua saja.

Beliau tingginya setelingaku, kulitnya sawo matang dan rambutnya putih panjang tak pernah dipotong. Banyak anak kecil takut sama dia pas pertama kali ketemu.
"Bapakmu wes teko,ndang adus! trus nang keramatan sakdurunge munggahan" (Bapakmu sudah datang, buruan mandi! terus ziarah ke makam sebelum nanti acara munggahan). Perintah ibuku ke aku.

Aku bergegas mandi dan kulihat bapakku istirahat di teras belakang menunggu giliran mandi.
Selesai bersiap-siap akhirnya aku dan bapakku pergi berziarah ke Pemakaman Kampung Baru.

Jaraknya sekitar 3 km dari rumah melewati kebun dan persawahan hingga menyeberang sebuah jembatan gantung yang rapuh.
Aku parkirkan motor di samping parit lalu kami masuk ke pemakaman mencari makam keluarga kami.

Kulepas alas kakiku dan melangkah perlahan disela-sela makam orang. Dan tanpa sengaja aku melihat satu makam yang cukup misterius dengan kain hitam menutupi nisannya.
Aku terus berjalan mengikuti bapak sambil memandangi makam itu. Berusaha mengingat, itu makam siapa dan mengapa dikasih tanda hitam?

Akhirnya aku ingat, dulu saat aku kelas 6 SD ada teror seram yang terjadi berbulan-bulan di sekolah SMP kampung kami.
1 sekolah kesurupan karena ada kuburan tua di area sekolah. Hingga akhirnya kuburan itu dipindahkan oleh kiayi ke pemakaman ini dan terror itupun hilang.

Tak mau pikiranku terfokus dengan kuburan itu, aku bergegas menyusul bapak yang ternyata sudah sampai di makan orang tuanya.
Dibersihkanlah rumput-rumput liar lalu kami menabur bunga yang sudah kami beli saat perjalanan ke sini.

Kami mulai diam menghadap kiblat sambil memanjatkan doa untuk mereka. Semoga di Bulan Ramadhan ini semua dosa mereka diampuni oleh-Nya.
Selesai berdoa, bapakku mengajakku ke bagian makam lainnya yang ternyata makam orang tua angkatnya.

Masih ingat, dulu kakek angkatku meninggal cukup tragis karena santet. Akan aku ceritakan di part "Santet" dilain kesempatan.
Selesai berdoa, aku lihat sekitar sepertinya ini sudah cukup sore.

Mataharipun sudah tidak nampak di ujung barat karena tertutup perbukitan. Kutengok jam tanganku ternyata sudah pukul 5 sore.
"Ayo pak balek, selak maghrib engkok ketinggalan nang langgar" (Ayo pak pulang, keburu maghrib nanati ketinggalan ke mushola) ajakku ke bapak.
Kamipun bergegas menuju motor. Sela kuburan demi sela kuburan kulewati, hingga aku bertemu lagi dengan kuburan nisan hitam itu.
Sore ini, aku tidak ingin terlalu banyak memikirkan teror dari makam itu. Aku terus berjalan keluar makam meski terasa seperti ada yang melihat dari arah makam tersebut.

Kuambil alas kaki yang aku tinggalkan di luar dan bergegas pulang menaiki motor.
Beberapa saat kemudian akhirnya kami sampai di rumah.

"Allahuakhbar, Allahuakhbar" terdengarlah suara adzan maghrib dari mushola kampungku. Aku masih hafal itu suara Pak Samin. Beliau yang biasa adzan sejak aku masih belajar mengaji dulu.
Aku bergegas masuk rumah dan segera memakai sarung untuk munggahan di mushola.

Aku bawa makanan yang sudah disiapkan ibu untuk dibagi dan kali ini aku mau jalan kaki menuju sana.

Jarak mushola dengan rumahku sekitar 250 meteran.
Meski jalannya agak gelap, setidaknya sekarang sudah sedikit lebih banyak rumah warga sehingga tak perlu takut lagi.

Beda saat waktu aku masih SD yang rumahnya jarang dan listrikpun masih minim.

Ku susuri jalan setapak sambil menyalakan torch di hp untuk penerangan.
Takut menginjak sesuatu yang berbahaya atau genangan air. Aku terus berjalan santai ternyata warga yang lainpun juga baru berangkat dan berpapasan di jalan.

"Eh Ris kapan moleh? Jek tas ketok loh" (eh Ris kapan balik? Baru kelihatan lho. Tanya seorang warga.
"Tas teko wingi bengi cak, ben iso poso nde omah" (Baru sampai semalem kak, biar bisa puasa di rumah) sahutku sambil senyum.

Kamipun jalan bersama menuju mushola. Dan terdengar “tong, tong, tong” suara kentongan kayu mushola untuk memanggil warga
Hampir semua warga datang dan memakai sarung. Sudah menjadi tradisi di kami kalau ke tempat ibadah selalu memakai sarung.

Akhirnya sampai juga di mushola kebanggan kami. Bentuk luarnya masih sama seperti yang dulu
Mushola joglo khas jawa dengan kentongan kayu didepannya.

Aku lepaskan alas kaki dan masuk sekalian menaruh makanan di tengah. Tak lupa salaman dengan sesepuh kampungku yang sudah hadir lebih dulu.

Aku ingat namanya Pak Sarimo.
Aku perhatikan isi dalam mushola ternyata masih persis saat aku mengaji di sini dulu.

Lantai semen tua yang sudah retak-ratak dan ambles dibagian tengah.

Karpet dan tirai hijau pemisah shaf, bahkan bangku tempat mengaji dan papan tulis kapur masih terpasang di bagian samping.
Ini bukan mushola biasa. Ini merupakan salah satu mushola tertua di desa kami, dan tempat penyebaran islam dulunya. Bahkan orang beda dusun berbondong-bondong kemari untuk belajar ilmu agama.
Namun dibalik keistimewaanya, terdapat juga kisah mistis di mushola ini.

Dan mungkin sekarang mereka berada diantara kita untuk munggahan puasa.
Cukup panjang ya prolog kali ini, aku mau ngetik dulu kelanjutan ceritanya dan akan kulanjutkan malam ini sebelum sahur.
Oke kita kembali ke 15 tahun yang lalu saat aku kelas 4 SD.

….
Seperti biasa pukul 3 sore aku sudah siap-siap untuk mengaji.

Hari ini pelajarannya tajwid dan aku sudah hafal semua hafalannya. Aku kemasi bukuku dan obor bambu untuk penerangan nanti saat pulang.
Maklum waktu itu belum ada lampu jalan dan kebanyakan jalan kami masih berupa kebun kayu. Jadi akan sangat gelap di malam hari.

Tak lama kemudian temanku menghampiri rumah untuk segera berangkat. Bergegaslah kami buru-buru ke mushola karena kami sudah telat.
Kurang lebih masih seperti ini kondisi jalan dan lingkungan sekitar
Apalagi guru tajwidku cukup galak, sebut saja Cak Tomo (nama samaran). Kalau kita telat, bisa-bisa saat belajar ngaji kita disuruh berdiri satu kaki sambil jewer telinga.

Sudah beberapa kali aku kena hukuman.

Larilah kita dan dalam hitungan menit sudah sampai di mushola.
Sambil ngos-ngosan kami buru-buru masuk dan ternyata teman yang lain malah sibuk bermain.

“Cak Tomo endi?” (Mas Tomo mana?) tanya sambil ngos-ngosan sekaligus lega belum ada gurunya.
Si Nur pun jawab “Gak ngulang wonge, jarene ono kepentingan. Tapi awake dewe dikongkon ndek kene sampe isyak koyok biasane”.

(Gak datang orangnya, katanya dia ada kepentingan. Tapi kita disuruh tetap disini sampai isyak seperti biasa).
Tentunya kami senang dong sore ini gak perlu ngaji.

Aku taruh tasku di pojokan dan bergegas bareng Adi, Doi dan Alfan keluar mushola.
Kami mau main nekeran (kelereng) di halaman mushola.

Sedangkan anak cewek Nur, Ilut dan siti masih asik main bola bekel di dalam mushola.
"Bosen ah nekeran teros, yok dulinan nang belik ae sekalian wudhu engkok". Ajak Doi kepada kami.

(Bosen ah main kelereng terus, Yok main ke sumber sekalian wudhu nanti)
Dia menunjuk ke arah hutan di selatan mushola.

Sekilas kulihat jam dari jendela masih pukul 4 sore, dan berangkatlah kita berempat ke belik.

*ilustrasi gambar. Bentuknya mirip namun tidak ada pondoknya.
Jaraknya tidak jauh hanya sekitar 150 meter dari mushola.

Tapi karena matahari sudah tertutup bukit di barat, suasana sore itu sudah mulai agak gelap.

Dan kami berempatpun tetap saja nekat menerobos kebun untuk ke belik.
Sesampainya di sana suasana semakin hening. Apalagi pohon bambu di sini cukup rapat, semakin menambah suasana horor.

Sesekali terdengar bunyi "kitttt, krettt, krettt" suara pohon bambu bergesekan teriup angin, membuat makin mencekam.
"Heh rek ayo balik ae, nyelot peteng nde kene!" (Ayo balik saja, sudah semakin gelap di sini!) Kata Adi yang memang anaknya penakut.

Akupun mengiyakan karena memang nuansanya sudah horor, apalagi kami berada di belik/sumber air yang biasanya banyak penunggunya.
"Halah ojo lecek kowe, sik jam papat iki. Gak ono opo-opo nde kene, malah seru iso dulinan"

(Halah jangan penakut kamu, masih jam 4 ini. Gak ada apa-apa di sini, malah bisa main seru)

Jawab di Doi yang emang paling tua diantara kami.
Terhasut omonga Doi, akhirnya kami jadi makin seru main kapal-kapalan dari daun bambu yang dilipat lalu dihanyukan ke aliran parit.

Siapa yang paling terakhir nyampe finish wajib cerita rahasianya. Biasanya kita cerita rahasia cinta monyet atau tontonan film porno si Doi.
Saking asiknya main, sampai akhirnya kita lupa waktu. Daerah sekitar yang awalnya tidak begitu gelap, tiba-tiba mulai petang.

Dan kamipun sontak berhenti main ketika Alfan bilang "heh rek mambu sesuatu ngga?" (Heh kalian mencium sesuatu gak?)
Seketika kami berempat diam, memandang satu sama lain seolah mengiyakan bahwa kami mencium baru yang sama.

Bau khas bunga kuburan yang cukup menyengat, seperti ada kehadiran mahkluk lain yang cukup dekat dengan lokasi kita.
Bulu kudukku mulai merinding, ku tengok kanan dan kiri semakin petang. Rasa takut mulai mengisi pikiran dan ingin segera balik ke mushola.

"Ayo balik rek, engko wudhu nde jeding ae"

(Ayo kita balik, nanti kita wudhu di toilet aja) ajakku ke mereka.
Merekapun langsung berdiri seolah mengiyakan.

Baru melangkah beberapa langkah dari arah berlawanan Mbah Sarimo datang dan cukup mengagetkan kami.

Kamipun berteriak kaget, bener-bener deg-degan karena berpikir bertemu hantu.
"Lapo awakmu podo nde kene bengak-bengok sampe surup".

(Ngapain kalian di sini teriak rame-rame sampe petang/maghrib?)

Tanya mbah Sarimo ke kami.
"Hah engga kok mbah, awake dewe amek dulinan biasa menisan wudhu".

(Hah engga kok mbah, kita cuma main biasa sekalian wudhu).

Jawaban alfan untuk mengelak.
Akhirnya kami bergegas balik ke mushola melewati kebun kelapa tanpa menoleh sedikitpun ke arah belik.

Sambil masih bertanya-tanya, emang iya ya suara kita berisik sampai kedengeran jauh ke warga. Padahal jaraknya cukup jauh.
Beberapa saat kemudian kami sampai di mushola dan segera mengambil wudhu.

Hari ini jatahnya Adi untik adzan. Kulihat mbah Sarimo masih berada ke teras mushola sambil menghadap selatan.

Seolah dia melihat sesuatu dari arah belik.
Selesai adzan lanjutlah kita sholat maghrib berjamaah dilanjut doa.

Kemudian mbah Sarimo memanggil kami berempat ke teras mushola seperti mau memberi nasehat penting ke kita.
"Rek, lak wes sore ojo seneng dulinan nang belik. Opo maneh bengak-bengok nde kono".

(Kalian kalau sudah sore jangan suka main di belik. Apalagi sambil bersenda gurau di situ)

Nasehat pertama beliau.
"Opo o mbah?"

(Kenapa mba?)

Tanya Alfan
Dia menjelaskan kalau tidak baik kalau kita bermain di tempat yang banyak penunggunya.

Takut menggagu atau malah membuat mereka tertarik dengam kita. Apalagi hitungannya kalian masih perjaka semua.
Sontak makin merindinglah kami berempat. Berarti bau bunga tadi, benar adanya kalau ada makhluk lain sedang mendekat.

Si Alfan yang masih penasaran bertanya apakah dia melihat makhluk lain saat di menemui kami? Soalnya tadi ada bau bunga.
"Iyo ono sundel mau ndek andeng preng, untung awakmu ndang mulih. Iso-iso malah digowo kowe"

(Iya tadi ada sosok sundel bolong dekat bambu, untuknya kalian cepat balik. Bisa-bisa kalian dibawa oleh dia)

Jawab mbah Sarimo dengan lirih
Beuhhh, makin takutlah kami berempat. Bahkan aku merasa lemas badanku.

Astaghfirullah...untungnya kami semua tadi segera balik ke mushola. Gak kebayang kalau sampai melihat sosoknya.
Akhirnya mbah Sarimo menyuruh kami masuk ke dalam lagi dan disuruh ngaji Al-Quran saja.

Si Nur ijin balik dulu ke rumah karena dimintai tolong ibunya. Rumah dia deket banget soalnya.
Tinggalah kami berenam mulai ngaji Al-Quran masing-masing.

Namanya gak ada guru ngaji, baru membaca beberapa ayat saja akhirnya kami malah tergoda buat main. Ada yang ngajakin abc lima dasar, ada yg tebak-tebak, bahkan main bekel.
Dan suasana musholapun jadi rame dengan suara kami.

Hingga Ilut teriak

"aaakkhhhh ono tekek ceblok nemplek nde rukuhku"

(Ada tokek jatuh, nempel di mukenaku)
Dia pun teriak ketakutan, kamipun juga sampe naik semua ke bangku buat belajar mengaji supaya terhindar dari tokek.

Suara kami makin riuh karena tokeknya lari di lantai.
"Heeehhhhhhhhhhh"

Terdengar suara erangan cukup keras dari depan mushola. Seolah suara marah meminta kami tidak berisik.

Suaranya mirip dengan suara erangan hantu di film
Kami berenam akhirnya dia dan melihat ke teras mushola.

Terlihat samar-samar ada bayangan hitam besar dan tinggi, namun dalah hitungan beberapa detik menghilang.

Kamipun mulai saling memandang dan memastikan apaan tadi yang silihat didepan.
"Wes rek ojo rame ae, menengo maringene isyak trus gek ndang mulih nang omah"

(Udah kita gak usah berisik, diem aja sebentar lagi isya dan segera kita balik ke rumah)

Ucap Siti seolah menenangkan kita
Padahal aku sendiri masih gemetar gara-gara ada tokek besar tadi, ditambah suara erangan dan bayangan hitam diluar mushola.

Bener-bener malam itu cukup mencekam. Rasanya menunggu waktu isya cukip lama.
Belum habis sampai disitu. Setelah melihat sosok tadi, akhirnya kami berenam duduk berdekatan dekat papan.

Selang beberapa menit kejadian janggal mulai terjadi lagi. Ini benar-benar diluar nalar kami saat itu.
"Heh, rek krungu gak?"

(Heh, kalian denger gak)

Tanya Alfan.

Kamipun berlima bilang iya denger juga. Ada suara gemuruh, meski pelan tapi perlahan-lahan seolah mendekat ke mushola.
Asli sambil nulis dan mengingat kejadian itu aku masih merinding.

Apalagi bayangin kondisi sekitar muchola yang sepi dan gelap.
Hereg hereg hereg

Ada gempa cukup kencang ternyata kami rasakan di mushola.

Kamipun teriak kencang dan berhamburan keluar mushola menuju rumah terdekat yaitu rumah mbah Sarimo.
Kami semua lari kencang tidak ada yang memakai sandal lewat halaman rumah mbah Sarimo yang gelap.

"Ono lindu mbah"

(Ada gempa mba) ucap kami bersamaan sambil ngos ngosan.

Di situ kulihat ada mbah Sarimo dan istri, Pak Samin dan anaknya.
Aku lihat muka mereka kebingungan dengan perkataan kami.

"Lindu opo, wong gak onok lindu kok"

(Gempa apa, orang gak ada gempa)

Tandas mereka kepada kami.
Kamipun tetap menjelaskan kalau barusan ada gempa cukup besar terasa di mushola. Sampe-sampe kami lari tanpa alas kaki.

Tidak mungkin tidak terasa juga di rumah warga. Karena kami merasakan goncangan kuat saat di dalam.
Melihat raut muka kami yang bingung dan ketakutan, akhirnya istri mbah Sarimo menawarkan minum agak kami lekas tenang.

"Ngombe disek, ben tenang terus cerito o"

(Minum dulu, biar tenang terus ceritalah)
Sedikit mulai tenang akhirnya mbah Sarimo mulai bertutur.

Koyoke jamaah liyane sing nde mushola keganggu karo awakmu. Ket sore wes rame mulai tekok belik sampe nde mushola.

Iling sing ibadah nde mushola iki duduk awake dewe sing wujud menungso. Enggko coba takokni pak Samin.
(Sepertinya jamaah yang laindi mushola terganggu dengan kalian. Sejak sore sudah berisik mulai dari belik air sampaindi mushola)

(Ingat, yang ibadah di mushola ini bukan hanya kita yang berwujud manusia. Coba nanti tanya pak Samin)
Pak Samin sendiri merupakan warga dekat mushola yang biasa adzan maghib, isyak dan subuh.

Dia juga yang mematikan lampu mushola setiap malamnha dan menyalakan lagi ketika waktu sholat subuh.
Akhirnya dia mulai cerita kalau memang benar, jamaah yang ibadah di mushola ini bukan hanya warga kampung kami.

Tetapi juga mereka yang tak kasat mata
Suatu ketika saat malam pukul 11 dia kelupaan mematikan lampu mushola.

Melihat lampu mushola masih nyala, akhirnya dia bergegas keluar rumah menuju mushola untuk mematikannya.
Meski kondisi di luar sudah sunyi senyap, dia mulai mengkah ke mushola. Tidak ada yg janggal waktu itu.

Hingga akhirnya dia memarikan lampu, pas balik badan dilihatlah sosok manusia berbaju putih sedang duduk di mushola seperti sedang berdzikir.
Melihat tidak ada siapa-siapa, akhirnya di matikan kembali lampunya.

Dan kali ini ketika dia berbalik setelah menutup pintu, dilihatlah sosok hitam tinggi tepat di halaman mushola.
Dia cukup kaget dan merinding, namun setelah membaca ayat kursi, sosok tersebut menghilang.

Dan segeralah pak Samin kembali tidur ke rumahnya.
Pak Samin sendiri juga bercerita, kalau sudah biasa dia melihat pas tengah malam lampu mushola nyala sendiri.

Dia melihat dari jendelanya, tidak ada orang di dalam mushola.

Namun ketika dia mau adzan subuh pasti lampinya sudah dimatikan kembali.
Mbah Sarimo pun membenarkan hal tersebut.

Mereka itu baik, tidak mengganggu. Dulunya mereka adalah petapa yang ada di hutan selatan kampung kami.

Namun setelah sekian lama bertapa, akhirnya mereka murco (raga mereka hancur bersama alam) tetapi ruhnya masih ada.
Karena mushola ini dulunya tempat awal-awal penyebaran islam di sini, jadinya mereka sering kembali ke sini.

Itu makanya kalian yang mengaji, jangan sula bersenda-gurai berlebihan di mushola.
Mendengar cerita tersebut kami berenam malah semakin merinding dan takut untuk balik ke mushola. Sedangkan sandal kami masih si sana semua.

Hingga akhirnya pak Samin mengajak kami untuk sholat isyak.
Saking udah takutnya, selepas isyak kami semua minta diantarkan pulang sampai ke rumah masinh-masing.

Hari ini pak Saminlah yang mengatar sampai halaman rumahku.
Udah sekian dulu ya threadnya. Masih ada kejadian sepulang ngaji yang lebih horor lagi karena bertemu rombongan hantu.

Selamat Sahur, Selamat Berpuasa.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Night Owl Story

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!