Oke jujur bahkan sebelum cerita ini gua tulis panjang lebar, hawa dingin selalu kerasa nelisik tubuh gua, merinding sumpah ga boong.
Let the story begin…
.
Juni namanya, anak perempuan periang yang dipilih Tuhan untuk menjadi istriku. Namun nyatanya Tuhan lebih sayang kepadanya, hingga harus kurelakan ia meninggalkanku untuk berada di sisi-Nya.
.
__________
*Srek Srek Srek*
Suara gesekan dari seikat sapu lidi yang beradu dengan paving halaman sebuah rumah terdengar nyaring hingga ke seberang jalan.
Derap langkah beberapa anak disana pun menambah kebisingan di sore itu
"Aduuuuh, ibuk, Juni dawah buk"
(Aduh ibuk, Juni jatoh buk) teriak seorang anak perempuan yang tampak menahan isak tangis dan ngilu pada luka di lututnya
Rupanya nampak sepotong tangan tengah memegangi pergelangan kaki Juni
Ya, tangan seorang anak kecil yang membiru dan putus hanya sampai siku.
"Bulik mboten nopo nopo?"
(Bulik gapapa?) tanya Febri, sahabat Juni
"Lhaiyo toh Jun dadi bocah wadon kok pencilakan, yahmene kancane malah diajak blayon"
(Jun Jun jadi anak perempuan kok gabisa diem, jam segini temennya
Ibu Juni nampak berusaha terlihat baik baik saja
"Gek ndang ngadeko Jun, aku tak bali yoh"
(Cepet berdiri Jun, aku pulang ya) ujar Mei, tetangga Juni yang juga seumuran dengannya
(Aku juga lah, ayam ayamku belum aku kandangin) sahut Febri yang menyusul pamit pada Juni
Rumah mereka berdekatan, masih berada dalam satu gang dan kebetulan mereka semua seumuran serta sekolah ditempat yang sama
(Tante.. Saya pulang dulu ya) pamit mereka sambil berjalan menuju rumah masing masing
Ibu Juni hanya mengangguk tak menjawab
~~
Dirumah Juni, hanya ada ia dan sang ibu. Kebetulan malam itu sampai dua hari kedepan ayahnya tidak ada dirumah karena harus berada di proyek.
Ayah Juni adalah seorang mandor bangunan, dan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa.
"Buk, Bapak umur pinten?"
(Buk, Bapak umur berapa?) tanya juni tiba tiba
Ibunya mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Juni
"59, nyapo takon takon umur barang?"
"Lah Ibuk pinten? Kok ketingale tasik timur"
(Lah Ibuk berapa? Kok keliatannya masih muda) tanya Juni kembali
Memang jarak usia antara Bapak dan Ibu Juni terlihat sangat jauh.
Ia tidak menjawab, ia hanya melanjutkan kegiatannya dengan membisu.
Juni yang merasa kesal karena menunggu lama namun tak kunjung mendapat jawaban akhirnya pun berhenti bertanya dan beranjak pergi ke kamarnya.
~~
*Ckiiit ckiiit krieet*
Decit lantai kayu membuyarkan lamunan Juni, ia segera duduk dan memeriksa bawah
"Opo yo mau?"
(Apaan ya tadi?) tanya Juni pada dirinya sendiri
Ia melangkahkan kakinya menuruni ranjang
*Kreeet kreet kreet*
Sementara suara itu masih terdengar jelas, kini ia menemukan sumber bunyi itu.
*Tok Tok Tok*
Tanpa rasa takut, Juni mengetuk papan itu
*Krieeet*
~~
Pagi harinya, Juni menceritakan kejadian semalam pada sang Ibu, namun lagi lagi ibunya hanya diam dan menelan ludah dalam dalam.
~~
Sepulang sekolah, Juni mencari keberadaan ibunya. Namun ternyata Ibu Juni sedang tidak ada dirumah.
(Ah mungkin lagi pergi arisan) gumam Juni
Anak yang tengah merasa lapar itu segera menuju meja makan dan membuka tudung saji diatasnya.
Tak perlu waktu lama ia telah mengisi penuh piring ditangannya.
Ia memuntahkan yang sedang ia kunyah dalam mulutnya itu. Nampak potongan sebuah jari bayi berada disekitar nasi muntahannya.
*Aaaaaaaaaaaa…..*
Ia menjerit ketakutan lalu pingsan seketika.
~~
Juni :
"Jun.. Tangio nduk, nduk tangi nduk"
(Jun.. Bangun nak bangun)
Berat, badanku terasa berat sekali bahkan mataku sangatlah susah untuk dibuka.
Tepukan ringan mendarat dipipi kecilku hingga akhirnya aku mulai tersadar. Mataku menangkap beberapa orang berada disekelilingku, mereka semua adalah tetanggaku.
Para orangtua, anak anak remaja mereka, tak luput pula kedua temanku Mei dan Febri yang
"Alhamdulillah pak bu bocahe tangi"
(Alhamdulillah pak bu anaknya bangun) ucap ibu Mei yang duduk disebelah kiriku
"Buk e wes teko gurung"
(Ibunya udah dateng belom) tanya salah seorang warga
(Belom tuh, kemana sih sebenernya) kesal warga lain
Dalam keadaan setengah sadar, aku mencoba mengingat ingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Saat ingatanku mulai pulih, seketika perutku terasa mual dan kumuntahkan seluruh isinya.
"Lho lha Pak.. Piye iki bocahe soyo pucet ngene"
(Loh Pak.. Gimana ini anaknya makin pucet gini) buru ibu Mei yang makin khawatir pada kondisiku
~
Dokter disana hanya mengatakan bahwa aku kelelahan, jadi mereka segera membawaku pulang
Entah apa yang dilakukan ibu diluar sana, mengapa ia tak pulang? Ibu pergi kemana bu?
~
Keheningan malam ini terasa berbeda, udara dingin menusuk tulang kurasakan begitu hebatnya. Untunglah ibu Mei memberiku
Perlahan mataku mulai terpejam, mimpi? Apakah saat ini aku benar benar sudah terlelap?
*Hihihihi..*
Suara tawa mengagetkanku
Siapa? Siapa yang sedang bermain tengah malam begini?
Saat mulai terhanyut dalam mimpi, samar mulai kulihat seorang anak laki laki cacat tengah bermain dihadapanku.
Ya, anak yang bahkan terlihat baru berusia beberapa tahun dan tidak bisa berjalan normal karena
Tangannya kecil sebelah dengan jari jari yang bengkok tak beraturan. Wajahnya terlihat normal, ia tampan dan terlihat familiar bagiku. Kakinya panjang sebelah dengan satu kaki yang putung
Sungguh mengenaskan, entah mengapa melihatnya hatiku terasa amat sakit
"Dek?" panggilku sembari lebih mendekat padanya
Ia hanya menengok kearahku, menatap wajahku lalu tertawa kembali
"Ahihihihi"
Mengesot, ia berjalan dengan cara mengesot. Mendorong tubuhnya dengan satu kakinya
Kulihat diluar rumah cahaya temaram menyinari. Bukankan ini sudah malam? Apakah ini masih sore?
Dia masih saja mengesot bahkan saat kami melewati jalan aspal dengan banyak kerikil kecil bertebaran, aku tak tega melihatnya. Kuangkat badan itu dengan setengah jijik, meskipun jijik namun naluriku ingin sekali membantunya.
"Hi hi hi hi nono"
Katanya sambil menunjuk kearah rumahku.
"Arep nyapo nang omahku?"
(Mau ngapain kerumahku?) tanyaku padanya
Kini ia berada di pinggang kecilku, kurasakan badannya sama sekali tidak berat.
Akupun melangkah masuk ke halaman rumah, gelap, kenapa rumahku terlihat sangat gelap?
Oh iya, ibu sedang tidak ada dirumah. Mungkin para tetangga lupa tidak menyalakan lampu dirumahku.
Tubuhku mematung, kini dadaku benar benar sesak, sama sekali tak bisa ku gerakkan sesuai kemauanku.
Bocah yang tadi berada di gendonganku
*Oeeek oeeek oeeek*
Tangisan bayi, rumah ini kini sangat bising dipenuhi oleh tangisan bayi. Entah suara berapa saja anak hingga mampu membuat telingaku berdenyut pening mendengar suara tangisan yang sangat ramai itu.
Tangisku mulai memuncak sejadi jadinya, hingga…
"Juniii... Juni.. Tolooong tolong"
Terdengar suara teriakan membangunkanku serta goncangan pada tubuhku. Apa ini? Tubuhku lemas saat itu juga. Kesadaranku mulai menurun dan pandanganku gelap.
Aku membuka mata, kulihat lagi pemandangan yang mirip seperti siang tadi.
Esok hari Mei menceritakan padaku bahwa semalam badanku mengejang tak karuan. Aku mengerang dengan sangat keras seperti seseorang yang tengah kesurupan
Benarkah demikian? Jika memang iya, apa alasan mereka mengganggu hidupku? Apa salahku?
~~
"Jun, Mei, mreneo nduk sarapan sek"
(Jun, Mei, sini nak sarapan dulu) panggil bapak Mei pada kami berdua
Kami yang tengah berada di halaman depan pun masuk kerumah untuk sarapan.
Bapak Mei adalah seorang perhutani, dan ibunya adalah seorang guru. Jadi tiada seorangpun dirumah saat siang hari.
Tak terasa terik matahari sudah mulai menyengat,
"Juuun.. Aku mau ngerti ibukmu"
(Juuun.. Aku tadi lihat ibumu) teriak Mei yang berlari terengah engah menghampiriku
"Kapan Me? Ngendi?"
(Kapan Me? Dimana?) tanyaku antusian
"Mau ibukmu numpak becak Jun, lewat sekolahe awak dewek"
Aku hanya diam, tak tahu apa yang harus kuucapkan saat itu. Kepalaku terasa kosong, apakah orangtuaku tak lagi mempedulikanku?
Kutahan air mataku, semampuku kutahan rasa ingin menangis ini
~~
Sore, kala aku dan Mei menunggu orangtua Mei pulang kerja tetiba sedan putih melewati
"Bapak… " gumamku
"Mei.. Bapakku bali Mei"
(Bapakku pulang Mei) ujarku pada Mei yang segera menarikku berdiri
"Gek ndang age, ayo nomahmu"
(Ayo buruan, ayo ke rumahmu!) buru Mei yang antusias
Kami berdua pun segera berlari menuju rumahku
"Pakkk… " panggilku yang segera memeluknya
Ia terlihat senang melihatku yang kemudian menggendongku
Mei mendekat kearah kami dan memberi salam pada Bapakku
(Adek kok sampe jam segini masih main aja? Ini juga kenapa rumahnya tumben ga disapu sama Ibuk?) tanya Bapakku yang belum tahu apa apa
Perasaan kecamuk kurasakan lagi,
"Budhe Septi mboten wonten Pakdhe, sampun kalih dinten niki Budhe mboten mantuk"
(Budhe Septi tidak ada Pakdhe, sudah dua hari ini Budhe gak pulang) ucap Mei tiba tiba yang mengejutkan Bapakku
*Trengteng teng teng teng….*
Suara motor milik ayah Mei pun terdengar nyaring hingga kerumahku. Tandanya orangtua Mei telah pulang.
Ya, meskipun sudah berumur namun Bapakku masih terlihat gagah dan awet muda, tenaganya pun masih sangat kuat.
~
"Juni, Mei, mlebet kamar sik nggih nduk dolanan nok kamar"
(Juni, Mei, masuk kamar dulu ya nak main dikamar)
Bapakku dan Ayah Mei terlihat duduk di teras dan sedang berbincang serius. Sedangkan Ibu Mei pergi ke dapur untuk membuatkan minum dan camilan.
Selang beberapa waktu terlihat Bapak Febri datang kemari,
Akhirnya, Bapak masuk kedalam kamar Mei. Ia berpamitan padaku dan berjanji beberapa hari kedepan akan menjemputku kembali.
"Sing manut ya nduk, gak pareng nakal"
(Yang nurut ya nak, gak boleh nakal) pesannya padaku
Bapakku pun kembali ke rumahku lalu kembali lagi ke rumah Mei dengan membawa banyak baju serta barang barangku. Ia hanya mengelus rambutku lalu pamit pada orangtua Mei dan Bapak Febri.
~~
Beberapa hari pun berlalu. Aku mulai terbiasa tinggal dirumah Mei, akupun sudah bersekolah seperti biasa. Setiap hari Febri memboncengku dengan sepedanya,
"Feb? Gak kesel ta saben dino mboncengke aku terus?"
(Feb? Gak capek apa tiap hari boncengin aku terus?) tanyaku padanya
"Gak, mulane ndang gede mengko gantian aku goncekke"
Kemanapun aku pergi, kedua temanku itu selalu menjagaku. Kami selalu bertiga, bersama sama entah itu dirumah atau disekolah kami selalu bertiga.
~~
"Ibuk… " panggilku antusias, namun ternyata tak seperti dugaanku
Perempuan itu bukan Ibu, ia tersenyum padaku dan memperkenalkan diri
"Assalamualaikum dek.. Pasti kamu ya yang namanya Juni?" tanyanya
Ia kembali tersenyum dan mengelus rambutku
"Mbak namanya Desi, mulai sekarang mbak yang bakal jagain kamu" terangnya padaku
Ternyata Ayah membawa seorang pengasuh untukku
Ia mengobrol untuk beberapa saat dengan tuan rumah
Jadi, apakah sekarang adalah waktunya aku berpisah dengan kawan kawan?
Mei menangis mendahuluiku, ia menarik tanganku dan menyeretku kerumah Febri. Febri yang tengah bermain kelereng segera menghampiri kami.
Tangisku pun ikut pecah, kami bertiga menangis hingga Ibu Mei menyusul kemari. Ia mengatakan bahwa Bapakku akan segera mengajakku berangkat jadi kami harus kembali kesana.
~~
Di dalam mobil, aku tak tahu hendak dibawa kemanakah aku. Pikiranku bercampur aduk.
Mbak Desi mencoba menenangkanku, ia mengusap usap punggungku sambil mengatakan bahwa semua baik baik saja.
*Praaaang*
Suara suatu benda yang pecah menghantam dinding mengejutkanku
"Wani wanine koe mas ngajak anakan lonte iku mrene?"
Anak perempuan jalang? Apa maksutnya itu?
"Des, ajaken Juni noi kamare"
(Des, ajak Juni ke kamarnya) perintah Bapak yang segera diiyakan oleh Mbak Desi
Setibanya di kamar, suara pertengkaran Bapakku dan perempuan itu masih terdengar jelas dan sangat keras hingga ke kamarku.
Aku yang ketakutan hanya meringkuk di dalam dekapan Mbak Desi
Banyak hal yang kudengar dari pertengkaran mereka,
Ternyata perempuan itu adalah istri pertama Bapak. Sedang Ibu, ia hanya istri simpanan Bapak. Aku tahu pasti, kehadiranku sangat tidak diinginkan oleh keluarga mereka.
Bapak bukan pula seorang mandor bangunan,
~~
Mentari telah terbit, cahayanya terlihat menembus tirai jendela kamar yang masih terasa asing bagiku ini.
Mbak Desi telah tiada disebelahku, aku pun beranjak menuju kamar mandi.
Aku membasuh mukaku dengan air lalu berjalan keluar kamar untuk mencari Bapak. Namun ditengah perjalanan aku bertemu dengan seorang perempuan muda, mungkin ia baru berusia dua puluh tahunan.
"Juni toh?" tanyanya
Aku mengangguk ketakutan, aku takut akan ada seseorang yang mengamuk seperti semalam ketika melihatku
"Aku Novi, ojo wedi ya nduk aku mbakyu mu"
(Aku Novi, jangan takut ya dek aku kakak perempuanmu) jelasnya
"Awakmu lesu ya mesti, ayo mrene sarapan disik"
(Kamu laper ya pasti, ayo sarapan dulu) ujarnya padaku
Aku pun duduk dengannya di meja makan yang berada di dapur. Diatasnya sudah tertata rapi banyak makanan, namun kemana semua orang?
"Maemo"
(Makanlah) perintahnya
Akupun segera memakannya sampai habis, lalu ia pun mengajakku berkeliling.
Sampailah kami di taman belakang rumah, kulihat Bapak ada disana,
"Bapak… "
Ia nampak menengok ke arahku, senyum cerah mengambang disudut bibirnya. Akupun berlari mendekat.
"Pak, Juni pengen mantuk"
(Pak, Juni pengen pulang) keluhku pada Bapak yang memelukku hangat
"Ini kan ya rumahe Juni, ada Bapak ada Mbak Novi" jawabnya
"Tapi Juni kangen Ibuk Pak" tegasku pada Bapak yang seperti menghalangiku untuk bertemu Ibu
"Bapak arep mangkat kerja sek ya nduk"
Aku berlari ke arah kamarku dan menangis disana, aku kangen ibuk, Juni kangen ibuk…
~~
Beberapa bulan ku lalui disini dengan sangat berat hati. Sekolahku dipindahkan kemari, hari hariku
Ibu tiriku masih saja memperlakukanku seperti bukan anak manusia, ia selalu mengumpat dan memaki tiap kali aku melakukan kesalahan. Ia pun acap kali memukulku bila Bapak dan Mbak Novi sedang tidak berada dirumah.
~~
Hingga suatu pagi, datang beberapa anggota polisi kerumah kami. Mereka mengabarkan sesuatu pada Bapak.
"Juni.. Juni.. Nak" panggil Bapak lirih
"Dalem pak niki Juni pak"
(Iya pak ini Juni pak) sahutku yang mulai menangis melihat Bapak
Ia pun mencoba untuk duduk dan ikut menangis menatapku
Kini giliranku yang harus merasakan kejutan rasa sakit. Dadaku seperti tersengat oleh listrik secara spontan, aku masih tidak bisa mempercayainya namun hanya dengan mendengar kata itu perasaanku bagai kaca yang telah remuk hancur
Di sisi lain ibu tiriku justru terawa terbahak bahak merasakan puas yang teramat sangat mengetahui hal ini. Ia kini merasa bahagia karena perempuan yang merebut suaminya telah pergi dan taakan kembali.
"Hoho wes mati toh? Yo apik lah sundel nyapo urip sue sue.
(Hoho udah mati ya? Ya bagus lah jalang ngapain hidup lama lama. Kalo perlu kamu sekalian ikut nyusul ibumu nak) ucapnya dengan semangat sembari mengelus rambut kepalaku.
Baru kali ini aku merasakan sentuhan halus ibu tiriku,
~~
Kami semua pun segera pergi menuju tempat jenazah ibuku berada. Ternyata rumah Ibuk…
Terlihat banyak sekali warga dari seluruh penjuru desa mengerumuni rumah Ibuk. Gang yang sempit ini terisi oleh banyak manusia yang berebut melihat
Keluarga kami berjalan kearah rumah, telah terpasang garis polisi yang membentang panjang mengelilingi pagar dan halaman sekeliling rumah.
Bapak menggendongku, aku terus saja menangis tanpa henti. Kami langsung diijinkan masuk oleh para petugas.
"Bapak.. Ibuk pak Ibuk… "
(Ibuk.. Jangan tinggalin Juni Buk, Juni janji Juni gak nakal lagi Buk, tolongin ibu Juni om tolongin kasihan ibuk diatas sana. Ibuk… )
Aku merasa emosi tak karuan mengapa mereka hanya melihat dan tak segera membantu ibu turun. Ibu pasti bisa dihidupkan, ibu pasti bisa diselamatkan kembali, pikirku kala itu
Tubuh kecilku meronta menendang nendang Bapak.
Kulihat para petugas dibantu beberapa warga mencoba menurunkan tubuh Ibu bersama sama. Mbak Desi masuk dan meraihku dari Bapak, ia menggendongku menuju keluar rumah
Matanya melotot lebar dan mengarah keatas seakan hampir copot dan lidahnya menjulur panjang hingga melebihi dagunya sendiri. Sungguh tak pernah ku bayangkan nasib seperti ini akan
Proses pembersihan berlangsung sampai malam, dan mau tak mau kami melangsungkan takziah dirumah ini, 'omah bekas kendat' kata warga
Jam terus berdetik dan menunjukkan pukul tujuh malam. Aku masih sangat terpukul dan tak sanggup lagi melihat jenazah Ibuk.
"Jun, kamu kalo gak maem nanti sakit" ucapnya yang duduk disampingku dengan mata iba
"Juni pengen Ibuk" tegasku
Akhirnya ia menyerah dan memilih diam membiarkanku.
Kulempar pandangan kearahnya, Ibu Mei. Ibu Mei berjalan kemari dan mengajakku untuk tidur dirumahnya bersama Mei, ia nampak berbicara dengan berusaha mempertahankan nadanya yang mulai bergetar karena tangis.
(Nak Juni, tidur dirumah Tante ya sama Mei) ajaknya membujuk
"Mboten. Juni pengen Ibuk" tolakku tanpa basa basi
Akhirnya Ibu Mei keluar, ia tak mau memaksaku
~~
Mbak Novi pun terlihat duduk diantara mereka, ia mengaji bersama. Sedangkan Bapak, entah dimana gerangan.
*Hi hi hi hi…*
Tawa seorang bocah. Siapa yang justru tertawa pada saat seperti ini?
Aku membalikkan badan, Mbak Desi tak bergeser sedikitpun dari posisinya sedari awal tidur tadi, ia terlihat pulas.
*Hi hi hi hi… *
Terdengar lagi, kini lebih jelas.
Tak kutemukan siapapun disana hingga bau busuk mulai menusuk hidungku.
"Opo se ambune sek koyo mengene"
(Apasih baunya ko sampe kaya gini) gumamku sendiri
Aku mencari darimana bau itu berasal.
Tampak bercak merah aliran darah berasal dari bawah ranjangku, karena merasa sangat penasaran tanpa pikir panjang akupun berjalan kearah meja dan mengambil senter diatasnya,
Aku menunduk sampai dadaku menyentuh lantai. Kunyalakan senter yang dalam genggamanku dan kuarahkan kebawah sana.
Bau! Sangat sangat bau! Apa itu?!
Mataku mulai terfokus pada banyak gumpalan gumpalan yang terlihat
Daging berlumuran darah yang mulai membusuk. Darahnya sangat banyak hingga mampu mengalir membasahi lantai.
Kamarku berlantaikan kayu, rumah ini adalah rumah lama yang turun temurun diwariskan oleh leluhur ibu, kata ibu.
(Juni Juni Hehehe) belum kelar jantungku beristirahat kini kembali dikejutkan oleh suara yang tertangkap pendengaranku
Aku bersimpuh ketakutan didepan lemari itu. Badanku berkeringat dingin, aku memberanikan diri untuk mendongak keatas dimana suara itu berasal
Dia menyeringai menatapku dari atas lemari. Matanya terlihat hitam gelap dan senyumnya sungguh membuatku gemetar hebat.
Kepalaku tak dapat kugerakkan sesuka hati, mataku tak dapat kupejamkan bahkan untuk menelan ludahku sendiripun tak mampu. Aku seperti dibuat mematung.
*Aaaaaaaaa…*
Teriakku sangat kencang tanpa sengaja sebelum badanku melemas dan tiba tiba pandanganku menjadi gelap.
~~
Mereka mulai bergunjing, menatapku iba namun penuh ketakutan.
Bapak tak mau berlama lama berada disini,
Kami segera kembali ke rumah Bapak dan perlahan aku mulai bisa berdamai dengan semua itu.
Memang kita tak dapat melupakan kenangan kenangan mengerikan yang telah terjadi, dan butuh waktu yang sangat lama untukku bisa menerima semuanya.
~~
Kini aku telah berusia 20 tahun, usia yang cukup untukku mulai hidup sendiri.
Tamparan keras mendarat dipipiku
"Rasah kemayu nduk, raimu ki ra sepiro"
(Gausah sok kecantikan, mukamu tu ga seberapa) ujar seorang seniorku dikampus
Aku hanya diam, mencoba menenangkan amarahku, bukannya aku tak bisa melawan,
Tangannya menjambak rambut panjangku, wajahnya hanya berjarak beberapa senti dariku.
"Diapakne cah iki cuk penake?"
(Diapain anak ini enaknya?) ujarnya kepada beberapa temannya
Terlihat satu orang datang membawa air seember penuh dan langsung menyiramkannya ke tubuhku degan tiba tiba.
Aku masih saja diam, bagiku ini semua belum ada apa apanya dengan sebelas tahun yang telah
"Jek kurang?"
(Masih kurang?) ucap satunya
Mungkin mereka sekitar tujuh orang, sedangkan aku sendirian.
*Krusekkk*
Suara seperti kantung plastik diremas membuat kami semua terkejut
Tandanya ada seseorang yang pasti sedang bersembunyi
Mereka semua pasti takut bila ada yang melihat atau bahkan melaporkan kelakuan busuk mereka ini.
"Goleki! Cepet!"
(Cari! Cepat!) perintah Okta
Iya Okta adalah orang yang paling membenciku, akupun tak pernah tahu penyebabnya, tapi nampaknya
Mereka semua berpencar mencari orang yang diam diam mengintip kegiatan mereka sedari tadi itu. Hingga akhirnya…
"Ketemu" teriak salah satu dari mereka sambil menyeret tangan seseorang yang kelihatannya seangkatan denganku
(Botakin aja rambutnya) usul seorang teman Okta
"Koe roh iki opo nduk? Pengen ngrasakno gak?"
(Kamu tau ini apa? Pengen ngerasain gak?) ucap Okta sambil menyodorkan gunting ke pipi anak itu
Dia hanya menangis ketakutan, ia mencoba berontak
"Lapo koe melu melu urusanku? Tak kei kenang kenangan yo. Nek koe nganti wanten lapor dosen yo bakal ngrasakno hadiah sing lueh kepenak ko aku"
(Ngapain kamu ikut ikutan urusanku? Tak kasih kenang kenangan ya.
Kelihatannya mereka lupa bahwa aku masih disini dan
Hampir saja ia mengguntingnya, aku yang sudah merasa muak dan tidak tega segera meraih apapun yang ada didekatku
"Bruakkk"
Ember tepat mengenai kepala Okta. Ya, aku melemparkannya dengan sangat kencang hingga dia jatuh ke tanah.
Kutarik tangannya dari genggaman anak anak yang terfokus pada Okta, kamipun segera berlari menjauh dari para wanita gila itu.
~~
Ya, namanya Septi. Dia seumuran denganku, bukan seorang yang mencolok apalagi menarik perhatian.
"Wes menengo, mari iki ayo ndang bali. Anggoen jaketku"
(Udah diem, abis ini ayo balik. Pake jaketku) ujarku padanya
Kami pun pulang naik ojek menuju ke rumah Bapak.
"Loh Jun.. " ucapnya ternganga
(Ssst diem aja, ayo) jawabku singkat
Kami segera masuk ke kamarku, untunglah hari ini Mamah sedang tidak ada dirumah jadi aku tak perlu malu pada kawanku. Tak perlu khawatir akan ada seseorang yang meneriakiku anak perempuan jalang.
(Kamu anak orang kaya ya? Kok gaada yang tau?) tanyanya
"Ora bandaku"
(Bukan hartaku) jawabku singkat lagi
Kami ada disini sedari sore hingga jam 9 malam, namun aneh tak ada seorangpun yang pulang kerumah.
Begitu pula dengan Bapak, ia kemana? Biasanya ia hanya akan ke kantor sesekali saja karena fisiknya sudah tak memungkinkan lagi.
"Jun, Bapakmu pamit" celetuk Septi tiba tiba saja
"Nok jendelo njobo, Bapakmu pamit"
(Di jendela luar, Bapakmu pamit) jelasnya kembali
Aku langsung menuju ke jendela seperti yang dimaksud oleh Septi, namun aneh tak ada siapapun disini.
Bunyi telefon rumah dari ruang tamu terdengar hingga kamarku
Aku bergegas keluar dan mengangkatnya, terdengar suara wanita sedang berusaha untuk bicara.
"Nduk, Jun…" suaranya tersenggal senggal karena menahan tangis
"Bapak mpun kapundut dek, sak niki awakmu mrene ya dijemput"
(Bapak udah meninggal dek, sekarang kamu kesini ya dijemput) ucap Mbak Novi yang terdengar jelas sedang diliputi kesedihan
Akhirnya kali itu aku tahu bahwa Septi memiliki kelebihan istimewa, dan dari sinilah kami mulai berteman dekat.
~~
Kami berdua dijemput oleh sopir pribadi kakak perempuanku itu menuju rumah sakit tempat Bapak menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku memang sudah lama mempersiapkan diri untuk
~~
Tujuh hari sepeninggal Bapak, Mamah mengusirku dari rumah. Dan ya, akupun telah memperkirakan
Mbak Novi mengajakku untuk tinggal bersamanya, namun kutolak karena aku tidak ingin merepotkan siapapun lagi. Akupun bahkan tak meminta hak atas warisan Bapak sedikitpun.
~~
*Jblakkk*
Suara pintu mobil kututup
Aku berjalan memasuki sebuah rumah yang kini kondisinya telah berubah sepenuhnya.
"Assalamualaikum Paklik.. Bulik.. Mei.. " panggilku yang kini telah berada di depan pintu
"Waalaikumsalam, sinten? (siapa?)" sahut seseorang dari dalam menjawab salamku
"Sinten nggih? Rencange Mei mbak?"
(Siapa ya? Temennya Mei mbak?) tanyanya kembali
Aku hanya tersenyum dan segera meraih tubuh Ibu Mei, aku memeluknya dengan sangat bahagia
Ia terkejut karena aku tiba tiba memeluknya
(Ini Juni Bulik..) ucapku yang masih memeluknya erat
Ia nampak terdiam beberapa saat lalu segera membalas pelukanku
"Ya Allah Juni… "
"Bulik pangkling nduk" ujarnya yang kini menangis terharu
Aku melepas peluknya dan meraih serta mencium tangannya,
"Meeeei! Mrene nduk"
(Mei sini nak) teriaknya kencang sekali memanggil mei yang kelihatannya ada di belakang
Mei datang dengan wajah kusut, ketika matanya menatapku ia mematung dan membungkam mulutnya terkejut.
~~
Setelah beberapa lama melepas rindu, akupun mulai menceritakan semuanya. Tak lupa dengan niatku untuk menempati kembali rumah Ibuk.
//BERLANJUT//
(Bapak sudah meninggal, Mamah juga gamau tinggal sama Juni. Jadi Juni kesini aja, kepengen nempatin rumahnya Ibuk) ceritaku pada mereka berdua
"Innalillahi, yang sabar yo nduk" Ibu Mei berucap lirih
"Tapi Jun, awakmu tenan ta arep manggon omah kono maneh?
(Tapi Jun, kamu yakin mau tinggal dirumah itu lagi? Jangan ya mending tinggal disini aja sama aku sama bapak ibuk) bujuk Mei sembari menggenggam erat tanganku
Mereka mungkin khawatir padaku,
Aku tersenyum padanya, aku berusaha meyakinkan dia bahwa aku akan baik baik saja.
~~
Pagi disini cerah, mataharinya lumayan terik dan cukup efektif untuk menghangatkan badan.
Kini lingkungan ini terasa sedikit asing,
Aku berjalan jalan pagi sendirian di gang ini, banyak warga baru yang tak saling mengenal denganku tersenyum menyapaku.
Begitu pula dengan mereka yang telah mengenalku sejak kecil dulu.
~~
"Pak, Bu, nuwun sewu kula badhe nyuwun izin tinggal teng mriki malih, piyambakan"
(Pak Bu permisi saya mau minta izin untuk tinggal disini lagi, sendirian) ucapku kepada dua orang didepanku itu
"Nak Juni yakin nduk?"
Hanya sepenggal kalimat itulah yang keluar dari mulut Pak RT, ketika aku mengangguk iapun tak mau mengganggu gugat pilihanku ini.
Mereka sangat antusias, entah karena rumah yang mereka katakan angker disini akan kembali ditinggali manusia.
Hari itu juga rumah kelar dibersihkan, aku benar benar berterimakasih pada semua warga disana yang telah sukarela menolongku.
~~
Sore hari pun tiba, aku harus membersihkan bagian dalam rumah peninggalan ibu yang selesai
"Feb koe ngewangi Juni ngepel yo, cik aku sing nyapu"
(Feb kamu bantu Juni ngepel lantai yah,biar aku yang nyapu?) ucap mei kepada febri
"Oke Me, tak cepakne banyune"
(Oke Me,biar aku siapin air buat mengepel lantainya)
Aku merasa sangat beruntung mempunyai sahabat sejak kecil yang selalu baik kepadaku.
Hari mulai gelap,membersihkan bagian dalam rumah pun sudah selesai, sebelum pamit pulang Febri dan Mei beristirahat sejenak didalam rumahku,
(Jun boleh ga aku minta air putih,huhh lumayan cape) ucap Febri dengan menghembuskan nafas
"Sek Feb tak jipukne"
(Sebentar Feb biar aku ambilin ke dapur) aku pun berjalan kedapur
Saat berjalan kedapur tiba-tiba badanku merinding,
Aku langsung mengambil air minum untuk kedua sahabatku itu dan tak menghiraukan asal bau bangkai tersebut lalu segera kembali ke ruang tamu.
"Ki ngombene"
(Ini air minumnya) ucapku
Febri dan Mei pun langsung menenggak habis air minum yang aku suguhkan
"Pisan maneh suwun tenan lho yo wes rewangi aku resik resik"
(Sekali lagi makasih ya udah membantu membersihkan rumah) ucapku kepada mereka
(Iya Jun sama-sama kayanya kita harus pamit pulang soalnya udah mulai malam,takutnya udah ditunggu dirumah sama ibu) ucap Mei dan Febri untuk berpamitan
Saat perjalanan pulang tiba-tiba Mei menceritakan hal ganjil yang ia rasakan dirumah juni kepada Febri,bahwa pada saat menyapu lantai rumah dia melihat seperti ada jari anak kecil yang ia sapu,
"Feb mau aku pas nyapu koyone ngeti drijine bocah eg, tapi jujug ilang"
(Feb aku tadi pas nyapu seperti lihat jari anak kecil tapi seketika ilang lagi) ucap Mei kepada Febri dengan sedikit rasa takut
(Ah yang bener Mei, aku juga ngalamin hal aneh waktu ngambil air dikamar mandi sih,aku ngerasa nyium bau anyir darah) ucap Febri yang juga merasakan hal ganjil yang terdapat dirumah Juni,
(Ya udah Feb kita berdoa saja semoga tidak terjadi hal aneh kepada Juni semoga dia betah,dan besok siang kita coba main lagi kerumah Juni ya)
Febri pun mengangguk dan meng iyakan
Aku yang belum mandi dari pagi merasakan gerah diseluruh tubuh, setelah temanku pulang akupun bergegas menuju ke kamar mandi.
*Byuur Byurr*
Bunyi air yang ku siramkan pada tubuhku
Aku tak menghiraukan bau amis tersebut, menganggap itu hal biasa karena rumah ini sudah lama tidak di huni.
"Duh perihe.. "
(Aduh perih bangettt..) rintihku akibat sabun mengenai mata
Aku pun mengejam kan mata sambil meraba-raba gayung dibak mandi,
"Heee opo kie"
(Haah apa ini) ucapku dengan mata terpejam saambil meraba benda tersebut.
Aku berusaha membuka mata perlahan dan benar apa yang kulihat,
“Hahhh.!!!”
Seketika kuraih handuk yang tergantung ditembok dan bergegas keluar dari kamar mandi.
"Ya Allah, opo sing tak deleng mau"
(Ya Allah, apa yang kulihat tadi) aku berusaha menenangkan diri sambil berdoa
Suara gemuruh dari langit terdengar bersamaan dengan turunnya hujan yang sangat deras.
Aku yang masih merasakan ketakutan, masih harus memakai baju karena suhu udara mulai menurun.
Kakiku berjalan memasuki kamar.
*Krieeeet*
Terdengar dari luar kamar seperti ada bunyi seseorang mengetuk jendela kamarku ini.
*Tok.Tok.*
Ketukan dua kali terdengar nyaring di telingaku,
Aku pun terdiam sejenak dan spontan mengucap
"Sopo nok kono.?!"
Aku bergegas mengenakan baju, setelah selesai aku kulihat wajahku di cermin, ya cermin itu berada disamping lemari tersebut.
*Tokk Tokkk*
Suara yang sama terdengar kembali namun bunyi tersebut dari belakang lemari bajuku
Posisi lemari tersebut tidak begitu menempel ke tembok rumah jadi terdapat jarak kira-kira sejengkal tangan orang dewasa, dari jarak tersebut aku bisa
Seketika aku berteriak dan merasa sedikit pusing.
Jam menunjukan 19.00 , aku sempat berfikir untuk keluar dari rumah dan menginap di rumah Mei. Tapi di sisi lain aku tidak mau merepotkan, akhirnya kuputuskan bertahan walaupun rasa takut menyelimutiku.
Aku yang merasakan lelah setelah seharian membersihkan rumah akhirnya terlelap
Namun tidurku tidak berlangsung lama, lagi-lagi aku mendengar sesuatu yang kembali membuatku terkejut
Kali ini bunyi ketukan masih sama dua kali seperti tadi, dan bersumber dari pintu depan rumah.
Ada yang bilang bahwa dua kali ketukan adalah pertanda bahwa yang mengetuk pintumu bukanlah manusia
Aku yang masih merasakan ketakutan enggan membuka pintu,
“Jun.?” Panggilan tersebut terdengar lembut, seperti perempuan yang masih berumur 40 tahunan, namun aku belum membukakan pintu
“Jun?” Lagi-lagi ada suara seperti memanggilku, namun arah suara tersebut berada di pintu belakang,
Badanku seketika merinding,seperti ada tiupan angin ke badanku yang membuatku merasakan dingin di seluruh tubuh
“Jun ini Ibu Rt“
Mendengar panggilan tersebut dengan nafas yang memburu aku bergegas lari menuju pintu belakang. Berharap seseorang dapat membantu membuatku sedikit lega
Bunyi kunci pintu belakang
Perlahan aku buka, dan seketika ku mematung, kakiku tak bisa bergerak, mulut seperti terkunci rapat
"Emm Emmm”
Bukannya Bu Rt yang berada di depanku saat ini, namun se sosok perempuan berambut panjang, dengan lidah menjulur ke bawah
*Bruakkkk...!*
Aku pun terjatuh, seketika pandanganku berubah gelap akibat terkejut dengan sosok perempuan yang sangat menyeramkan itu
Hawa dingin menyelimuti seluruh badanku akupun bergegas bangun dengan pintu belakang yang terlihat masih
"Woii tulung ojok ganggu aku nok omahe bukku dewe"
(Woii tolong jangan ganggu aku di rumah peninggalan ibuku sendiri) teriakku yang kesal dengan gangguan di malam pertamaku dirumah yang sudah tidak dihuni
Aku yang lemas berusaha menahan badan untuk berdiri dan menutup pintu belakang lalu kembali ke ruang tamu untuk berbaring
“Glekk.. Glek.. Huhhh”
Aku berusaha meminum segelas air yang ada di meja tamu dan
Tak lama dari arah depan seperti ada bunyi langkah kaki di teras rumahku
*Bugh Bugh..*
*Tok Tok Tok..*
"Assalamualaikum Jun"
Suara seorang pria terdengar dari teras rumahku.
Aku pun mencoba tenang
*Tok.. Tok..*
"Jun assalamualaikum”
Lagi - lagi ketukan tersebut terdengar kembali dan kali ini aku merasa yakin kalau bunyi ketukan pintu tersebut benar benar berasal dari seseorang.
(Wa’alaikumsalam, maaf siapa ya?) sahutku untuk meyakinkan bahwa yang berada di depan rumah benar - benar seseorang yang akan bertamu
"Ini Bapak Jun, Pak Rt”
Sahut seseorang dari luar
Kali ini aku beranjak dari kursi yang kududuki,
“Oohh pak Rt monggo mlebet Pak”
Sembari senyum kupersilahkan masuk, seolah tidak terjadi hal aneh yang habis menimpaku tadi
"Iyo suwun, nok teras wae nduk, bapak mrene arep nyuwun fotocopy ktp ngge data warga Jun
(Iya makasih, diteras saja Jun, jadi gini bapak ke sini untuk meminta fotocopy ktp buat data warga Jun, kebetulan tadi lewat jadi sekalian mampir kesini)
"O nggih sekedap Pak, kula pundutke"
(Oiya sebentar Pak, biar saya ambil)
"Ini pak fotocopy ktp nya” ucapku sambil menyodorkan
"Suwun, sepurane nek ganggu ya nduk. Lek oleh saran dilah omahe ojok dipateni kabeh ya,
(Iya makasih maaf sudah mengganggu ya Jun. Kalau boleh saran lampu rumah jangan dimatiin semua ya, soalnya dari jalan tadi bapak liat gelap banget kaya masih ga ada penghuninya aja)
"Inggih Pak ngapuntene wau mpun tilem"
(Iya Pak maaf tadi ketiduran) Sahutku pelan dan berusaha tidak ada hal janggal yang aku alami
Aku yang masih ketakutan dengan apa yang aku alami di malam pertamaku menempati rumah peninggalan ibu ini mencoba tenang kembali,
Jam di dinding menunjukan pukul 01.00, aku yang teringat Septi teman sekampusku pun
“Sep sorry yahmene ganggu, sesok awak dewek ketemu nde kampus yo aku atene crito"
(Sep maaf ganggu jam segini, besok dikampus kita ketemu ya aku mau cerita)
“Oke Jun, kita ketemu di kantin kampus ya” jawaban juni yang bersedia menemuiku besok pagi,
Hari mulai pagi, aku yang merasakan ketakutan memutuskan untuk tidak tidur
Paginya, akupun memutuskan untuk segera bergegas berangkat kuliah tanpa mandi, jangankan mandi, memasuki kamar mandi pun aku masih merasakan trauma dengan kejadian semalam.
Pagi ini cukup cerah, aku segera masuk ke mobil yang terparkir di halaman rumahku,
-Sebelum jalan Juni yang tidak mandi sedikit memoles wajahnya didepan cermin yang berada didalam mobil-
“Hahh raiku tek abur ngene, guluku kimaneh nyapo kebaret baret"
“Hihihihi....” tiba-tiba ada bunyi dari bagian mobil belakangku,
Berusaha ku lihat dari cermin make-up yang sedang kupegang,nampak sesosok anak bayi
Yang bisa ku lakukan hanya memejamkan mata sambil berdoa, suara itupun hilang dengan sendirinya. Karena penasaran aku ingin memastikan bahwa sesosok bayi tersebut sudah hilang, aku perlahan menengok bagian
"Hahahah hahaha hahaha” tawaan sesosok mahluk mengerikan saatku menghadap ke bagian belakang mobil, sosok ini seperti yang pernah ku lihat saat berumur 9 tahun. Kurasa aku mengenalinya. Dengan kaki dan tangan seperti patah, kepala seperti terbalik dengan mata
Seketika aku teriak meminta tolong dan segera keluar dari mobil
“Opo'o Jun kok koyo keweden ngono medal ko mobil"
(Ada apa Jun kok kaya ketakutan gitu keluar dari mobil?) Tanya Mei dari seberang jalan yang sedang
“Gakno popo Me mau ono cecek dadi kaget"
(Gada apapa Mei, tadi ada cicak jadi kaget) sahutku berusaha menutupi kejadian yang barusan ku alami, sengaja aku tutupi agar tiada kesan mistis di rumahku
( Ooh masa sama cicak takut si Jun, oiya aku kesini mau nganterin makan nih buat kamu,kan kamu belum sempet belanja jadi aku masakin buat kamu)
(Wah makasih Mei, aku bawa aja ke kampus ya buat dimakan disana) jawabku sambil tersenyum
“Iyo Jun, tapi kui rai mbe gulumu gene ko abang abang grawukan ngono"
(Oiya Jun, tapi itu muka sama leher kamu kenapa kok kaya ada
"Emm mambengi akeh nyamuk Me. Yowes tak mangkat yo"
(Emmm semalem banyak nyamuk. Ya udaah aku berangkat ya) tutupku tergesa
~
Sesampainya dikampus aku langsung menuju ke kantin, sembari menyantap makanan yg diberikan Mei aku menunggu kedatangan Septi
“Juniiii” suara lembut tersebut lagi-lagi membuatku merinding, hembusan angin membuat hawa dingin mulai masuk ke dalam tubuhku, berusaha menoleh perlahan karena kupikir itu Septi yang sudah datang
*Bruuggg*
Ya aku datang ke kampus sangat pagi dan memang aku yang paling awal, di kantin pun belum ada warung yang dibuka, jadi aku orang pertama yang sampai kampus dan langsung menuju kantin
“Nak bangun nak”.. panggil salah satu penjaga kantin
Aku yang baru saja tak sadarkan diri merasa terkejut karena bangun dengan kondisi di bawah kursi tempat ku makan tadi
“Kok kamu tidur dibawah” ucap Pak Adi penjaga kantin di kampusku
“Maaf pak tadi saya pingsan liat sosok Perempuan berbaju putih”
Pak Adi terheran mendengar jawabanku seakan tidak percaya dengan apa yang telah aku alami, pandangan Pak Adi pun tiba-tiba berubah menatapku dengan sinis dengan bibir seperti mengucap doa dan mata melotot kepadaku
“Pak kenapa lihatin Juninya kaya gini?”
“Ibumu.!!” Ucap Pak Adi yang membuatku heran, karena Ibu sudah meninggal sejak lama.
“Ya sudah nak. Bapak mau beres-beres lagi” Pak Adi meninggalkanku dan melanjutkan pekerjaannya,
Aku masih syok mendengar ucapan Pak Adi
Kenapa setelah menempati rumah Ibu, ada banyak hal ganjil yang aku alami
“Hai Jun,.?"
Suara Septi yang sudah datang, segera duduk didepanku
"Wah Septi untung koe wes teko"
“Nyapo koe ndomblong ngono tak sawang ko adohan ketone gek ono masalah yo?"
(Kamu kenapa bengong aku liat-liat dari jauh kaya orang bingung tu pasti ada masalah yah) Septi yang baru duduk seolah tau permasalahanku,
(Jadi gini Sep, aku mau ajakin kamu main ke rumah, kalau perlu nginep rumahku, soalnya aku tinggal sendirian, lumayan kan jadi ga perlu bayar kost)
“Wah penak, yowesla tak jajal dolan sek ya, lek betah aku tak melu manggon kono"
(Wah boleh deh aku coba main dulu kerumahmu ya, kalo betah aku mau tinggal disitu) jawaban Septi bimbang
Kita pun sepakat sepulangnya dari kampus langsung menuju rumahku, diperjalanan pulang Septi bercerita kepadaku
“Wakmu ayu jun mesti bukmu bien yo ayu"
(Kamu cantik Jun pasti Ibumu dulu cantik) celetuk Septi tiba-tiba dalam mobil perjalanan menuju rumah,
“Ahh enek ae wakmu ki, kabeh wadon yo ayu a"
(Ahh bisa aja kamu Sep, semua perempuan juga cantik) jawabku singkat. Dan seketika suasana di dalam mobil pun
“Hahhh” tiba-tiba Septi terbangun dari tidurnya dengan nafas memburu seperti dikejar setan, wajah Septi berubah panik
(Kamu kenapa Sep, mimpi???) tanyaku
“Hah iyo Jun? Aku ngipi ditekani 12 bayi, sing sewelas awake iseh gak utoh trus sijine maneh utuh tapi..."
(Hah iya Jun? Aku mimpi kalau tadi di datengin 12 bayi, sebelas anak dengan bentuk badan tidak utuh dan
"Tapi opo Sep.?”
“Sing siji areke wes rodo gede. Deweke ngakune kangamu tapi awake cacat"
(Yang satu anak sudah balita dia mengaku kakak kamu namun dia sepertinya cacat)
Mendengar jawaban Septi aku hanya bisa diam dan berfikir
Perjalanan dari kampus kurang lebih satu jam akhirnya tibalah kami di rumahku. Septi yang baru pertama kali datang ke rumahku tiba-tiba hanya bengong menatap bangunan rumah ini,
Ya bangunan rumah jaman dulu, seperti rumah peninggalan zaman belanda,
“Jun, kamu yakin tinggal disini.?" Septi bertanya penuh keheranan.
“Iyo Sep kenapa emange?” Ucapku singkat
Kami pun keluar dari mobil, Septi yang masih bengong dengan wajah yang bingung memandangi rumahku.
(Ayo Sep masuk, anggap rumah sendiri, aku tinggal sendiri disini) ucapku lagi kepada septi yang masih tetap saja terpaku di samping mobilku,
“I i iya Jun" Septi mengiyakan dengan jawaban seperti orang ketakutan
(Lu kenapa Sep kok kaya orang bingung) Aku sempatkan bertanya karena melihat Septi yang sedari awal datang seperti orang linglung.
“Okeh sing aneh nok omahmu Jun, aku ngrasakne masalalu omah iki, tapi sing tak delok durung mesti bener"
Aku yang sangat lelah meminta ijin ke Septi untuk menyempatkan tidur sebentar,
“Sep aku turu sek ya, anggep mahmu dewe"
Tak berselang lama aku pun tertidur sangat pulas hingga terbangun saat petang, jam menunjukkan pukul 17:45
“Sep kamu dimana.?” Teriak ku mencari Septi karena saat bangun Septi tidak berada disampingku, akupun berfikir Septi pasti tengah tidur juga dikamar.
“Wah pasti Septi lagi mandi nih” aku langsung menuju ke sumber bunyi air tersebut, ya memang benar sumber air tersebut berasal dari kamar mandi
*Byyuuurrr byurrrr byurrr*
“Sep wakmu adus ta, kok iso karo petengan ngene"
(Sep kamu kok bisa si mandi gelap-gelapan begini) aku yang yakin itu Septi sedang mandi melontarkan sebuah pertanyaan. Bukannya jawaban yang ku dapatkan melainkan hanya
“Hihihi” terdengar jawaban Septi dari kamar mandi
Aku yang juga ingin buang air kecil pun menunggu Septi dari luar kamar mandi, tak berselang lama kamar mandi pun terbuka dengan sendirinya,
*Krieettt…*
(Sep bangun sep bangun.!!) Teriakku di depan kamar. karena tak kunjung mendapat jawaban aku yang ketakutan pun tanpa pikir panjang memasuki kamar dan membuka selimut yang berada di kasur. Ku pikir seorang dibalik selimut itu Septi.
Badanku merinding, tanpa seucap kata aku lari keluar kamar, yang kupikirkan hanyalah bagaimana caraku keluar dari dalam rumah, berlari menuju pintu depan
*Cklekkk Cklekk*
Gagang pintu berusaha ku buka namun tak berhasil, seperti ada yang mengunci
"Sialan, Septi ngendi ki nyapo malah lungo aku dikurung ngene"
(Sialan.. Kemana Septi, kenapa pergi dan mengurungku gini) umpatku dengan sedikit kesal kepada Septi yang entah berada dimana
*Dug.dug.dug*
Bunyi langkah kaki terdengar dari luar rumah.
Bunyi kunci pintu yang dibuka dari luar rumah membuat dadaku sedikit merasa lega. Tak berselang lama pintu pun terbuka. Dengan rasa kesal aku bertanya kepada Septi yang baru saja masuk.
“Kondi koe ngopo lungo ga ngomong, lawang barang nyapo dikunci"
“Ko warung tuku mangan mbe lilin Jun wong mati lampu ngene, lek ga dikunci wedine ono wong nyelonong melbu wong wakmu turu"
(Dari warung beli makan sama beli lilin jun. Kan lu tau mati lampu,
"Mene maneh ngomong yo nek ate metu. Aku wedi dewean"
(Lain kali bilang kalau mau keluar kan gua takut sendirian) jawabku dengan nada sedikit tinggi namun memelas,karena takut kalau sampai Septi tidak mau menemaniku lagi.
(Iya deh maaf Jun, kamu tidur mau dibangunin kasian kan, iya udah makan dulu sekarang nyalain lilinnya)
Kami yang sudah merasakan kelaparan segera memakan dua nasi bungkus yang
Namun saat kami tengah menyantapnya tiba-tiba ada sekelebat bayangan melintas di belakang Septi. Aku yang melihat bayangan tersebut hanya diam dan sedikit menundukan kepala, lagi-lagi aku tidak mau menceritakannya karena kupikir kalau Septi tau dengan apa yang
*Glotakkkk*
Tiba-tiba terdengar suara seperti benda jatuh ke lantai dari arah kamar tidur, kali ini kami berdua saling bertatap mata karena terkejut dengan suara tersebut,
“Apa Jun?” Septi seperti merasa janggal,
“Ahhh tikus palingan Sep, udah lanjut makan abisin” jawabku sambil makan dengan lahap tanpa melihat Septi kembali
“Jun jun iku sopo yo? "
(Jun jun itu siapa ya?)
tiba-tiba Septi menunjukan tangannya ke arah kamar,
namun yang kulihat hanyalah sebuah pintu kamar, kali ini aku yang sering melihat hal aneh di rumah, tidak bisa melihat apa apa
“Endi Sep awak dewek kan tinggal wong loro nok kene"
(Mana Sep kan kita tinggal berdua disini) jawabku dengan rasa penasaran karena ingin
“Iku Jun ono wong raine ayu mirip awakmu, deweke mesem trus melbu kamarmu"
(Itu Jun ada seorang perempuan wajahnya cantik mirip kamu, dia senyum ke kita trus masuk kamar kamu Jun) Kali ini aku terkejut dengan jawaban Septi kenapa yang dia lihat
“Ahh gak ngarah lah sep aku kan tinggal dewean"
(Ahh Sep mana mungkin si aku kan tinggal sendirian)
(Iya itu Ibu Jun, Ibu kangen ke kamu dia nyari nyari Juni) jawab Septi sambil memandangku dengan meyakinkan bahwa se sosok ibu yang barusan dia lihat adalah ibuku.
“Tapi Sep kok awakmu iso yakin kui ibukku"
"Menurutmu umurnya berapa?”
“32”
Spontan Septi menjawab dengan mata mengarah ke pintu kamar
Hatiku berdetak lebih kencang mendengar jawaban Septi, ya Ibuku dulu meninggal di usia 32 tahun, pada saat itu umurku baru menginjak 9 tahun.
Dari jawaban yang Septi lontarkan sepertinya ia bisa melihat masalalu keluargaku.
Ya, Okta adalah salah satu anak orang kaya dikampus kami dan ia selalu mengganggu siapapun jika kemauannya tidak dituruti.
Septi bercerita padaku bawasannya saat itu Okta meminta Septi untuk mengerjakan tugasnya, namun Septi menolak
Ditambah lagi dengan ketidak sengajaan Septi yang bersembunyi dan mengintip Okta beserta kawan kawannya saat merundung Juni.
“Suwun Jun wakmu kae nulungi aku ko Okta. Pomeneh saiki aku manggon nde omahmu"
“Podo podo Sep siki wakmu aman nok kampus. Tapi kene kudu tiati karo arek arek iku. Deweke nekatan dupeh sugih"
Setelah mengobrol sampai larut malam akhirnya Septi memutuskan
“Jun turu yoh wes ngantuk ki"
(Jun ayo tidur, aku udah ngantuk nih) ucap Septi dengan mata yang mulai memerah sepertinya ia sudah tak tahan untuk diajak berbincang
“Yawes turuo disek aku te ndelok tv diluk,
(Ya udah kamu duluan deh aku mau nonton tv sebentar, nanti aku susul kekamar) Ucapku karena ingin menonton sebuah acara komedi di tv
Septi pun langsung menuju kamar. Aku yang berada diruang tv sendirian mencari acara komedi kesukaanku, setelah 15 menit
*Kriettt*
Nampak Septi menuju belakang, mungkin dia ingin buang air kecil.
Aku pun kembali fokus menonton acara komedi sambil tertawa sendiri, 1 jam berlalu namun Septi belum kembali dari belakang.
Ternyata saat kuintip dari pintu, Septi sedang berada didapur, didepan kompor.
“Bok wes lesu maneh a, doyan mangan yo ternyata"
(Ya elah kamu laper lagi, doyan makan juga ternyata) dengan sedikit bercanda aku bertanya ke Septi
Aku yang juga ikut merasakan lapar berusaha mendekati dan ingin meminta mie instant buatannya kalau sudah matang
“Nyuwun a nek wes mateng"
(Aku minta ya kalau sudah matang)
sambil berjalan aku berusaha mendekatinya
Spontan aku berlari menjauh, kuayunkan kakiku langsung menuju ke kamar, dengan nafas memburu aku langsung naik
“Sep tangi seppp!!! "
(Sep bangun sep!!!) teriakku untuk membangunkan Septi yang sudah tertidur pulas.
“Hehhh opo si, bukane tidur ih”
"Aku roh demit Sep!"
(Aku liat hantu Sep!) semua yang dari awal berusaha
“Biasa wae talah ncene akeh demit nde omahmu, aku ngantuk ki lho, turu ah"
(Biasa aja kali emang banyak hantu dirumah kamu, aku ngantuk nih, udah tidur ah) jawaban Septi yang
Namun aku segera menepuk badannya dengan keras agar mau membuka mata dan mau mendengarkan ceritaku, akhirnya Septi pun terbangun dan duduk di kasur.
Aku langsung menceritakan kepadanya saat itu juga.
(Tadi aku lihat ada yang keluar dari kamar ini mirip kamu kulihat jalan ke belakang rumah, aku pikir itu kamu tapi waktu aku cek ternyata hantu)
@ElevenRda
“Haha iyo nda” lagi-lagi Septi menganggap remeh ucapanku
Namun kali ini aku berusaha mengajaknya kedapur agar dia juga ikut melihat sesosok hantu tersebut
Dengan mata kantuk Septi mengiyakan
*Hooookk hokkk hokkkk*
Terdengar bunyi seperti orang mengorok saat tidur, sumber suara tersebut seperti dari arah dapur
"Suoro opo kui?" gumam Septi
Perlahan kami berdua mengintip bagian dapur dengan perlahan, aku pun terkejut ternyata didapur tidak ada apapa, dan tidak ada hal aneh yang terjadi,
“Tuhh kan gak nampak setannya! !.” Ucap Septi
“Udah ayo tidur lagi ngantuk nih” Septi yang masih mengantuk mengajak untuk kembali ke kamar, aku yang masih merasa ketakutan hanya mengikutinya dari belakang
Sesampainya dikamar…
Septi yang berada didepanku saat memasuki kamar terdengar seolah menginjak air
“Loh kok ono banyu ndek gladak Jun?"
(Loh kok ada air di lantai kamar Jun)
“Wah kok aneh yo, jal nyalakke dilahe ayok resiki"
Septi pun berjalan perlahan menuju saklar yang kumaksud, namun sesudah lampu dinyalakan kami berdua bingung karena dilantai tidak ada
“Gaono banyu opopo Sep"
(Gada cairan apa apa Sep) kataku waktu melihat lantai dihadapanku yang kering
Setelah kejadian itu aku dan septi memutuskan untuk tidur kembali, waktu menunujukkan pukul 23:15
“Wah sial kok susah tidur” Umpatku yang merasakan susah tidur, karena terlalu lama tidur siang sampai waktu maghrib tadi
Aku hanya bengong sambil memandang langit-langit rumah, mengamati setiap sudut kamar,
Mataku mulai mengantuk dan perlahan mengejamkan mata,namun tak berselang lama Septi terbangun
“Te ngendi Sep"
(Mau kemana Sep)
“Pipis bentar” Septi pun berjalan keluar kamar dan menuju kamar mandi
~~
Saat sedang jongkok dengan mata mengantuk tiba-tiba seperti ada yang menyangkut di wajahnya, perlahan tangan Septi meraba bagian wajahnya, sehelai rambut yang
Kepala Septi perlahan mendongak, wajahnya mengarah ke bagian atap kamar mandi. Terlihat sebuah kepala putus dengan lidah menjulur sedang berayun ayun disana, rambutnya benar benar panjang dan tanpa badan, seperti digantung.
@ElevenRda
*Hhhhaaaaa.!!!!***.
Teriakan Septi mengagetkanku membangunkanku yang berada di kamar, aku terbangun dan berusaha menghampiri Septi, namun saat kubuka pintu kamar
*Hihihihi Hahhhh*
“Sep koe ngendi se ko sui men pipise"
(Sep kamu dimana lama banget sih pipisnya) namun tidak ada jawaban dari Septi waktu itu,
@ElevenRda
“Hihihihi hahahahaha” suara tersebut terdengar mirip seperti suara Septi, aku sangat paham dengan suara tersebut. Tapi kenapa dia tertawa sendiri gumamku dalam hati.
“Syukur gaono popo maneh"
(Syukurlah sudah tidak ada apapa)
Kulangkahkan kakiku setapak demi setapak menuju ke kamar mandi,
Berdiri seseorang yang nampaknya adalah Septi menghadap sebuah pohon asam jawa, disana ia seperti tengah membicarakan
“Sep melbuo nomah sep nyapo nok jobo bengi bengi ngene"
( Sep masuk kerumah ngapain di luar malam-malam begini) panggilku saat itu
Sepertinya Septi tidak mendengarkanku, dengan ragu aku mencoba mendekatinya,
*Hihihihi* saat aku mendekat Septi
“Jun ojok nyedakkk!!!"
(Jun jangan mendekat) Aku mendengar panggilan itu namun badanku seperti tidak bisa digerakan untuk menoleh ke orang yang memanggilku. Badanku seperti ditarik salah satu mahkluk yang menyamar sebagai Septi tersebut.
//BERLANJUT//
“Mambengi wakmu nyapo nok edak wit mburi Sep"
(Semalam kamu ngapain di dekat pohon Sep) tanyaku pada Septi yang sedang membuat teh manis disampingku
(Semalam aku lihat hantu di kamar mandi, terus lari lewat pintu belakang, eh ternyata gelap yaudah muter langsung ke teras depan rumah) jawab Septi
(Terus yang ada di dekat pohon, mirip kamu itu siapa) Aku berusaha menanyakan sesosok mahluk yang mirip dia berada didekat pohon asam jawa belakang rumahku
“Itu hantu jahat yang ingin membawamu ke alamnya, jadi seolah yang kamu lihat itu aku”
“Jadi disini ada banyak yang menghuni Jun"
"Aku bisa melihat dan merasakan apa yang terjadi di rumah ini dulunya, tapi aku belum bisa memastikan sendiri, takutnya yang aku sampein ke kamu itu juga salah.
Mendengar omongan Septi aku teringat ibu yang dulu mati bunuh diri dirumah ini. Namun aku enggan untuk menceritakan hal itu pada Septi.
~~
Paginya kami bersiap untuk berangkat ke kampus seperti biasa.
Jam makan siang dikampus tiba, aku dan Septi memutuskan mengobrol dikantin mengenai kejadian yang kami alami semalam.
Disini Septi jujur dengan apa yang dia alami, Septi bercerita saat pertama kali datang kerumah, suasana rumah tersebut gelap,
“Sep piye carane nggusaki"
(Sep gimana cara mengusirnya) sahutku waktu itu sedikit takut dengan apa yang diceritakan Septi
(Ngga tau juga Jun, aku bingung) Septi yang merasa bingung hanya menjawab singkat sambil menggigit ibu jarinya
~~
Pak Adi penjaga kantin yang dari tadi memperhatikan dari kiosnya tiba-tiba menghampiri kami berdua,
“Gapapa Pak, ini banyak tugas kuliah jadi bingung ngerjainnya” Ucap Septi ke Pak Adi,
Namun Pak Adi tidak langsung percaya terhadap jawaban Septi
“Udah nak jangan di sembunyiin,
“Iya Pak banyak kejadian aneh dirumah saya” ucapku pasrah karena tidak tahu harus berbuat apa untuk mengusir penghuni penghuni sialan yang berada dirumahku.
“Siapa Pak yang ngikutin saya”
“Ibu” Jawab Septi tiba-tiba yang membuat seluruh badanku merinding
"Ibu? Ibu siapa?"
"Ibumu" Jawab Septi
“Iya betul Ibumu dulu meninggal tidak wajar, dia putus asa karena tak dapat bertemu denganmu lagi, serta banyak beban berat yang ia tanggung sendirian di pundaknya, ia pun mengakhiri hidupnya”
“Terus gimana cara saya ngilangin gangguan yang ada dirumah dan badan saya Pak?”
“Bapak juga belum tahu nak, mungkin ada petunjuk di rumahmu yang bisa kamu kasih tau ke Bapak,
“Pak boleh ngga saya minta nomor Pak Adi buat bantu saya misal suatu saat saya butuh bantuan?"
--
Dirumah, aku dan Septi membaringkan badan di depan televisi. Kami berdua hanya diam dan terus memikirkan kepingan kepingan kisah kelam rumah ini. Apa maksud semua gangguan ini?
"Assalamualaikum Jun"
Salam seseorang terdengar dari pintu depan, nampak dua orang tengah memasuki rumahku.
"Waalaikumsalam, ko ndi Mei? (darimana Mei?) "
"Aku lagi bali kerjo iki karo Febri Jun, ki tak tumbasne maem"
Septi beradu tatap dengan Mei, iapun tersenyum menyapa
"Mbak saya temennya Juni, Septi" ucap Septi memperkenalkan
"Oalah iya Mbak saya juga, rumah saya depan sana malah" jawab Mei sambil menunjuk kearah depan
Selesai makan, kami bergiliran mandi untuk membersihkan badan. Syukurlah, tiada kejadian aneh di sore ini.
--
Asap mengepul perlahan memudar menyebar ke seisi ruangan,
Septi tengah menyetrika disebelahnya, ia pun sesekali mengobrol dengan Febri.
Aku, aku meletakkan kepalaku di pangkuan Mei yang duduk di sofa panjang.
"Ngantuk Me?"
"Lumayan"
"Yowes ayo turu nok kamar"
(Yaudah ayo tidur dikamar) ajakku padanya
Akupun merubah posisiku menjadi duduk
"Sep, mengko nyusul nok kamar yo. Feb, awakmu gapopo kan turu kene?
(Sep nanti nyusul ke kamar ya. Feb, kamu gapapa kan tidur sini? Apa pengen tidur kamar satunya?)
"Yowes kamar wae Jun, kene mengko kademen aku"
(Yaudah kamar aja Jun, disini yang ada aku kedinginan) jawab Febri yang kini mematikan rokoknya.
Mei sudah berada diatas ranjang kamarku, begitu pula Febri yang segera memasuki kamar, kamar yang sebenarnya adalah kamar Ibuk saat hidup dulu
Kulihat Septi masih menyetrika baju bajunya sambil menatap layar tv di depannya.
Entah berapa jam tertidur, aku merasa seseorang ikut merebahkan badannya dibelakangku. Aku yang tidur menyingkur menghadap ke punggung Mei pun tak menghiraukannya.
--
*Pluk… *
Kurasakan sebuah lengan dingin menimpa tubuhku,
Kurasakan seseorang memang berada disebelahku, bukan Mei, dia ada di sebelah kiri. Ku tolehkan kepalaku menatapnya.
Pandanganku menangkap sesosok wanita dengan lidah menjulur panjang dan mukanya yang menyeramkan tengah menatapku tanpa berkedip sedikitpun.
*Pluk… *
"Aaaaaaaaaa….."
Aku berteriak sekencang kencangnya, Akupun beringsut mundur dan menendang tubuh itu hingga jatuh dari atas ranjang.
*Dap dap dap dap*
Septi segera menyalakan saklar lampu dan menghampiriku. Ia nampak panik serta kebingungan dalam satu waktu
Badanku gemetaran tak karuan, aku terlalu takut. Septi menggoncang goncangkan tubuhku dengan keras, begitupun Mei
Septi memeluk tubuhku erat. Di sisi lain, terdengar suara gaduh dari luar kamar. Suara layaknya kayu yang sedang di adu.
Mei dan Septi segera melepaskanku lalu mengecek keluar, ah, suara itu dari kamar yang ditempati Febri.
Mereka bergegas menghampiri Febri, mencoba membangunkan tubuh itu. Aneh, Febri sama sekali tak bergerak apalagi membuka matanya.
(Feb bangun! Kamu bisa denger suaraku kan? Feb! Jangan jalan makin jauh. Diem disitu aja) ujar Septi
Mei yang ketakutan segera berlari keluar rumah, ia berniat memanggil keluarganya
Mataku mengarah ke pintu, dengan jelas terlihat ada yang berjalan melewati kamarku.
Tak berselang lama, Orangtua Juni dan Febri memasuki rumah dengan tergesa, mereka khawatir akan keadaan kami.
"Astaghfirullahaladzim…"
"Febri endi Febri… "
"Masya Allah anakku, Feb, tangio nak"
Mereka sangat terkejut melihat kondisi kami, tampaknya orangtua Febri berada di kamar depan.
Ibu Mei segera memelukku, ia menangis menatapku iba.
Aku didudukkan di lantai, diatas tikar yang berada di depan tv.
"Pak Adi, tel fon p p pak Adi" ucapku terbata karena gemetar
"Pak Adi sopo nduk Jun?" tanya ibu Mei
Segera setelah dihubungi oleh Mei, Pak Adi datang ke rumah ini.
"Assalamualaikum, gimana pak bu kondisi anak anak?"
"MasyaAllah… Juni" ia terlihat sedih melihatku
"Pak tolong temen saya pak, dia di dalam kamar" ucapku padanya
Ia segera berdiri menuju tempat Febri berada, didalam sana ada Septi beserta orangtua Febri,
Pak Adi meminta kapak kepada ayah Mei
"Pak saya minta tolong carikan kapak segera"
"Buat apa Pak?" tanya ayah Mei
"Saya mohon Pak"
Pak Adi pun segera menebas keempat kaki ranjang itu, benar saja kini ranjangnya tak lagi bergerak. Ia pun membangunkan Febri
"Anak ini namanya siapa Pak Buk?" tanya Pak Adi pada mereka
Ia membisikkan sesuatu pada telinga Febri, lalu..
"Febri, kamu bisa denger suara saya kan, pergi cepet lari dari situ nak, balik ke jalan yang tadi kamu lewati" ucapnya dengan lantang
--
Setelah semuanya mereda, kami semua berkumpul di ruang tamu. Pak Adi pun menjelaskan kemungkinan penyebab hal hal aneh yang terus menerus terjadi dirumahku
"Iya Pak, kami sejak dahulu memang tinggal disini" jawab Ayah Febri
"Apakah disini pernah terjadi kejadian kejadian pembunuhan semacamnya?" tanya Pak Adi kembali
"Gaada tuh Pak, dari kecil saya gapernah denger" sahut Febri
"Bener Pak, lingkungan sini ga pernah ada kejadian macam itu" timpal Ibu Mei
Pak Adi manggut manggut dan kembali bicara
"Iya Pak, sayangnya saya cuma sedikit tahu dan sebatas bisa melihat mereka, saya juga masih sering ketakutan meskipun sudah ribuan kali melihat makhluk makhluk seperti itu" jawab Septi membenarkan
Aku menatapnya kosong, apa maksud perkataan itu? Ibuku? Ibuk?
"Saya coba bantu buka.."
Dia mendekatiku, menutupkan telapak tangan kirinya pada kedua mataku dan menekan erat erat tengkuk ku.
Tiupan kurasakan di kupingku sesaat sebelum ia menyuruhku membuka mata.
Pandanganku sedikit kabur,
*Oek oek oek… *
*Hihihihi….*
Rumahku terasa sangat riuh oleh suara suara aneh. Ada banyak suara tangisan bayi, suara anak kecil yang tengah asyik tertawa cekikikan dan banyak orang berbicara
Kini mataku dapat melihat dengan jelas makhluk makhluk mengerikan di dalam rumah ini. Dengan berbagai macam wujud menjijikkan mereka semua mengerumuni kami.
Pandanganku tertuju pada seorang wanita yang dikakinya ada seorang anak cacat
"Dia ibumu, dan itu salah satu anaknya" ucap Pak Adi membuat gejolak dalam hatiku
*Aaaaaaaaaa…*
Aku berteriak keras karena ketakutan dan belum sepenuhnya siap mendapati semua ini
Pak Adi segera menutup kembali mataku
Ia berkata bahwa ia telah berkomunikasi dengan mereka, ia menceritakan semua masalalu kelam rumah ini berdasarkan yang ia dengar dari (mereka)
"Jun, Bapak harap kamu bisa menerima semuanya. Ibumu masih gentayangan karena meninggal dengan
"Sejauh yang saya pahami Pak" timpal Septi
"Pak Bu sekalian, saya mohon untuk tetap menjaga rahasia aib keluarga ini. Biarlah masalalu hanya menjadi angin lalu" ucap Pak Adi
Kami semua masih keheranan dan sangat tak menduga dengan
"Untuk sekarang, saya tidak punya solusi apa apa. Satu satunya yang saya bisa hanyalah memutus hubungan Juni dengan dunia mereka. Menutupi bau tubuhnya agar mereka tidak dapat
Aku mulai menangis, semua yang kudengar hanyalah membuat dadaku semakin sesak
"Iya Pak kami pun tidak pernah tau menahu mengenai hal yang bapak ceritakan ini. Saya dan Septiani bertetangga sejak masih kecil, kenapa saya
"Jangankan kamu, aku yang sudah dewasa waktu kalian masih ingusan saja jarang nampak Septiani keluar rumah" sahut Ayah Febri
"Benar juga ya pak, dari dulu ibunya Juni jarang sekali bersosialisasi dengan warga.
(Pak Bagyo adalah ayah dari ibu Juni / kakek Juni)
- RUSIN END -
Banyak poin yang belum tersampaikan dari cerita ini. Juga pasti banyak yang masih bingung sama inti ceritanya
Oiya, salam dari @ElevenRda buat kalian yang udah baca cerita kita :-*