, 352 tweets, 52 min read
My Authors
Read all threads
Holaaa!

Do you miss me? 

-- RUSIN --

"Ibu ingat aku? Aku kangen ibu"

A thread from @itsqiana
Up besok aja deh ya, cimol hari ini kencan dulu :)
Maaf kalo judulnya typo bahkan sebelum mulai :'(
Perlu diingat semua nama tokoh gua ubah dari kejadian asal

Oke jujur bahkan sebelum cerita ini gua tulis panjang lebar, hawa dingin selalu kerasa nelisik tubuh gua, merinding sumpah ga boong.

Let the story begin… 

.
Catatan suami Juni :

Juni namanya, anak perempuan periang yang dipilih Tuhan untuk menjadi istriku. Namun nyatanya Tuhan lebih sayang kepadanya, hingga harus kurelakan ia meninggalkanku untuk berada di sisi-Nya.
Mari kuceritakan luka busuk yang ada di keluarga kami, keluarganya dahulu yang menjadi sumber derita bagi Juni kecil.

.

__________

*Srek Srek Srek*

Suara gesekan dari seikat sapu lidi yang beradu dengan paving halaman sebuah rumah terdengar nyaring hingga ke seberang jalan.
*Bug bug bug bug bug*

Derap langkah beberapa anak disana pun menambah kebisingan di sore itu

"Aduuuuh, ibuk, Juni dawah buk"

(Aduh ibuk, Juni jatoh buk) teriak seorang anak perempuan yang tampak menahan isak tangis dan ngilu pada luka di lututnya
Sang ibu menengok kearah Juni, entah mengapa ia tersentak kaget. Matanya membelalak lebar seakan tengah melihat hantu di siang bolong.

Rupanya nampak sepotong tangan tengah memegangi pergelangan kaki Juni

Ya, tangan seorang anak kecil yang membiru dan putus hanya sampai siku.
Dalam sekejap, bayangan itu hilang dari pandangannya.

"Bulik mboten nopo nopo?"

(Bulik gapapa?) tanya Febri, sahabat Juni

"Lhaiyo toh Jun dadi bocah wadon kok pencilakan, yahmene kancane malah diajak blayon"

(Jun Jun jadi anak perempuan kok gabisa diem, jam segini temennya
malah diajak lari larian) ucap perempuan yang dipanggil Ibu oleh si Juni

Ibu Juni nampak berusaha terlihat baik baik saja

"Gek ndang ngadeko Jun, aku tak bali yoh"
(Cepet berdiri Jun, aku pulang ya) ujar Mei, tetangga Juni yang juga seumuran dengannya
"Aku barang lah, pitikku gurung tak kombong"

(Aku juga lah, ayam ayamku belum aku kandangin) sahut Febri yang menyusul pamit pada Juni

Rumah mereka berdekatan, masih berada dalam satu gang dan kebetulan mereka semua seumuran serta sekolah ditempat yang sama
"Bulik.. Kula mantuk riyen nggih"

(Tante.. Saya pulang dulu ya) pamit mereka sambil berjalan menuju rumah masing masing

Ibu Juni hanya mengangguk tak menjawab

~~
Adzan maghrib telah berkumandang

Dirumah Juni, hanya ada ia dan sang ibu. Kebetulan malam itu sampai dua hari kedepan ayahnya tidak ada dirumah karena harus berada di proyek.

Ayah Juni adalah seorang mandor bangunan, dan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa.
Kini, Juni berusia 9 tahun. Pemikirannya mulai berkembang dan ia sering mempertanyakan banyak hal.

"Buk, Bapak umur pinten?"

(Buk, Bapak umur berapa?) tanya juni tiba tiba

Ibunya mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Juni

"59, nyapo takon takon umur barang?"
(59, ngapain tanya tanya umur?) ibunya justru berbalik tanya

"Lah Ibuk pinten? Kok ketingale tasik timur"

(Lah Ibuk berapa? Kok keliatannya masih muda) tanya Juni kembali

Memang jarak usia antara Bapak dan Ibu Juni terlihat sangat jauh.
Ibu Juni baru berumur sekitar 32 tahunan saat itu.

Ia tidak menjawab, ia hanya melanjutkan kegiatannya dengan membisu.

Juni yang merasa kesal karena menunggu lama namun tak kunjung mendapat jawaban akhirnya pun berhenti bertanya dan beranjak pergi ke kamarnya.

~~
Dikamar, Juni merebahkan dirinya diatas ranjang empuk miliknya. Malam ini ia sedang malas belajar.

*Ckiiit ckiiit krieet*

Decit lantai kayu membuyarkan lamunan Juni, ia segera duduk dan memeriksa bawah

"Opo yo mau?"

(Apaan ya tadi?) tanya Juni pada dirinya sendiri
Kepalanya celingukan kekanan kekiri mencari asal suara tadi

Ia melangkahkan kakinya menuruni ranjang

*Kreeet kreet kreet*

Sementara suara itu masih terdengar jelas, kini ia menemukan sumber bunyi itu.
Salah satu papan kayu yang menjadi lantai dikamarnya berdecit tiada henti serta menimbulkan getaran getaran kecil, seakan ada sesuatu yang mendorongnya dari bawah.

*Tok Tok Tok*

Tanpa rasa takut, Juni mengetuk papan itu

*Krieeet*
Suara decit kayu itu terdengar lagi dari papan disebelahnya. Dan lagi lagi Juni mengetuknya. Hal itu terjadi pada hampir seluruh papan di dalam kamarnya. Bukannya curiga, Juni justru merasa seakan mendapat teman baru. Ia tersenyum sambil berlari larian memburu papan yang
bergiliran berdecit itu.

~~

Pagi harinya, Juni menceritakan kejadian semalam pada sang Ibu, namun lagi lagi ibunya hanya diam dan menelan ludah dalam dalam.

~~

Sepulang sekolah, Juni mencari keberadaan ibunya. Namun ternyata Ibu Juni sedang tidak ada dirumah.
"Ah paling gek menyang arisan"

(Ah mungkin lagi pergi arisan) gumam Juni

Anak yang tengah merasa lapar itu segera menuju meja makan dan membuka tudung saji diatasnya.

Tak perlu waktu lama ia telah mengisi penuh piring ditangannya.
Ia dengan lahap makan sendirian dirumah itu hingga pada beberapa suap terakhir giginya merasa seperti tengah menggigit sesuatu.

Ia memuntahkan yang sedang ia kunyah dalam mulutnya itu. Nampak potongan sebuah jari bayi berada disekitar nasi muntahannya.
Juni yang masih merasa penasaran pun meraih benda itu untuk memastikan.

*Aaaaaaaaaaaa…..*

Ia menjerit ketakutan lalu pingsan seketika.

~~

Juni :

"Jun.. Tangio nduk, nduk tangi nduk"

(Jun.. Bangun nak bangun)
Samar samar kudengar suara seseorang, suara itu terdengar berusaha membangunkanku. Kini telapak tangan dan kakiku pun mulai merasakan gosokan gosokan lembut yang mengenai permukaan kulitku.

Berat, badanku terasa berat sekali bahkan mataku sangatlah susah untuk dibuka.
*Puk puk puk*

Tepukan ringan mendarat dipipi kecilku hingga akhirnya aku mulai tersadar. Mataku menangkap beberapa orang berada disekelilingku, mereka semua adalah tetanggaku.

Para orangtua, anak anak remaja mereka, tak luput pula kedua temanku Mei dan Febri yang
terlihat menangis sesenggukan melihatku terbaring.

"Alhamdulillah pak bu bocahe tangi"

(Alhamdulillah pak bu anaknya bangun) ucap ibu Mei yang duduk disebelah kiriku

"Buk e wes teko gurung"

(Ibunya udah dateng belom) tanya salah seorang warga
"Durung i, ngendi leh jane ki"

(Belom tuh, kemana sih sebenernya) kesal warga lain

Dalam keadaan setengah sadar, aku mencoba mengingat ingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Saat ingatanku mulai pulih, seketika perutku terasa mual dan kumuntahkan seluruh isinya.
Ibu Mei yang terkejut segera memegangi tubuhku dan memijat mijat tengkukku.

"Lho lha Pak.. Piye iki bocahe soyo pucet ngene"

(Loh Pak.. Gimana ini anaknya makin pucet gini) buru ibu Mei yang makin khawatir pada kondisiku
Akhirnya akupun dibawa ke puskesmas oleh warga, kulihat diluar matahari mulai tenggelam. Jadi berapa lama aku tak sadarkan diri?

~

Dokter disana hanya mengatakan bahwa aku kelelahan, jadi mereka segera membawaku pulang
Pelan pelan aja ya.. Lagi sibuk sibuknya. Nanti malem gua lanjut
Sesampainya dirumah, ternyata ibuku tak kunjung pulang. Ibu Mei pun membawaku untuk menginap dirumahnya, dia mengurusiku seperti anak perempuannya sendiri.

Entah apa yang dilakukan ibu diluar sana, mengapa ia tak pulang? Ibu pergi kemana bu?

~
Malam ini terasa sangat panjang untuk kulalui. Kulihat Mei telah tertidur pulas disebelahku, nampaknya ia kelelahan menangisiku sedari siang tadi.

Keheningan malam ini terasa berbeda, udara dingin menusuk tulang kurasakan begitu hebatnya. Untunglah ibu Mei memberiku
selimut tebal yang kiranya cukup membalut tubuhku yang tak seberapa besar ini.

Perlahan mataku mulai terpejam, mimpi? Apakah saat ini aku benar benar sudah terlelap?

*Hihihihi..*

Suara tawa mengagetkanku

Siapa? Siapa yang sedang bermain tengah malam begini?
Suara itu, suara balita yang terdengar sedang asik tertawa riang.

Saat mulai terhanyut dalam mimpi, samar mulai kulihat seorang anak laki laki cacat tengah bermain dihadapanku.

Ya, anak yang bahkan terlihat baru berusia beberapa tahun dan tidak bisa berjalan normal karena
cacat fisik bawaan.

Tangannya kecil sebelah dengan jari jari yang bengkok tak beraturan. Wajahnya terlihat normal, ia tampan dan terlihat familiar bagiku. Kakinya panjang sebelah dengan satu kaki yang putung

Sungguh mengenaskan, entah mengapa melihatnya hatiku terasa amat sakit
walaupun nyatanya ia terlihat sedang asyik bermain sendirian.

"Dek?" panggilku sembari lebih mendekat padanya

Ia hanya menengok kearahku, menatap wajahku lalu tertawa kembali

"Ahihihihi"

Mengesot, ia berjalan dengan cara mengesot. Mendorong tubuhnya dengan satu kakinya
yang normal dan menopang badannya dengan satu tangannya. Seakan mengisyaratkan padaku untuk mengikutinya, akupun melangkah keluar dari kamar Mei bersamanya.

Kulihat diluar rumah cahaya temaram menyinari. Bukankan ini sudah malam? Apakah ini masih sore?
Atau jangan jangan ini sudah pagi? Entahlah

Dia masih saja mengesot bahkan saat kami melewati jalan aspal dengan banyak kerikil kecil bertebaran, aku tak tega melihatnya. Kuangkat badan itu dengan setengah jijik, meskipun jijik namun naluriku ingin sekali membantunya.
Lagi lagi ia tertawa

"Hi hi hi hi nono"

Katanya sambil menunjuk kearah rumahku.

"Arep nyapo nang omahku?"

(Mau ngapain kerumahku?) tanyaku padanya

Kini ia berada di pinggang kecilku, kurasakan badannya sama sekali tidak berat.
Ternyata setelah kuperhatikan badan itu teramat kurus, banyak bekas luka pada punggungnya.

Akupun melangkah masuk ke halaman rumah, gelap, kenapa rumahku terlihat sangat gelap?

Oh iya, ibu sedang tidak ada dirumah. Mungkin para tetangga lupa tidak menyalakan lampu dirumahku.
Aku melangkah masuk, namun tetiba getaran hebat terasa pada tubuhku. Seakan menolak masuk, seketika rasa takut teramat besar menyelimutiku.

Tubuhku mematung, kini dadaku benar benar sesak, sama sekali tak bisa ku gerakkan sesuai kemauanku.

Bocah yang tadi berada di gendonganku
mendadak lenyap, kini tinggal aku sendirian dirumahku ini.

*Oeeek oeeek oeeek*

Tangisan bayi, rumah ini kini sangat bising dipenuhi oleh tangisan bayi. Entah suara berapa saja anak hingga mampu membuat telingaku berdenyut pening mendengar suara tangisan yang sangat ramai itu.
Aku mulai menangis, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menangis. Aku ingin berontak, badanku meronta ingin bergerak bebas, namun lagi lagi aku tak bisa berkutik sedikitpun. 

Tangisku mulai memuncak sejadi jadinya, hingga…
.

"Juniii... Juni.. Tolooong tolong"

Terdengar suara teriakan membangunkanku serta goncangan pada tubuhku. Apa ini? Tubuhku lemas saat itu juga. Kesadaranku mulai menurun dan pandanganku gelap.

Aku membuka mata, kulihat lagi pemandangan yang mirip seperti siang tadi.
Mataku silau, terasa nyeri terkena cahaya lampu diatasku. Apakah aku barusan bangun? Bukannya tadi aku sedang berada dirumahku sendiri? Banyak sekali orang yang berkumpul disekelilingku, para ibu ibu menangis tersedu memandangiku, dan beberapa orang lain mengaji diluar kamar Mei.
Haha, ternyata aku hanya bermimpi

Esok hari Mei menceritakan padaku bahwa semalam badanku mengejang tak karuan. Aku mengerang dengan sangat keras seperti seseorang yang tengah kesurupan

Benarkah demikian? Jika memang iya, apa alasan mereka mengganggu hidupku? Apa salahku?

~~
Pagi ini, ibu belum juga nampak pulang. Mau tak mau aku harus tinggal lebih lama dirumah Mei.

"Jun, Mei, mreneo nduk sarapan sek"

(Jun, Mei, sini nak sarapan dulu) panggil bapak Mei pada kami berdua

Kami yang tengah berada di halaman depan pun masuk kerumah untuk sarapan.
Hari ini aku dilarang ibu dan bapak Mei untuk bersekolah, jadi saat mei sekolah aku hanya seorang diri disini.

Bapak Mei adalah seorang perhutani, dan ibunya adalah seorang guru. Jadi tiada seorangpun dirumah saat siang hari.
Waktuku kuhabiskan untuk istirahat dan membereskan pekerjaan di rumah Mei. Meskipun tiada yang menyuruhku, dan pasti mereka akan melarangku jika tahu aku melakukannya tapi aku sangat ingin berusaha tidak merepotkan mereka.

Tak terasa terik matahari sudah mulai menyengat,
tanda bahwa siang hari telah datang.

"Juuun.. Aku mau ngerti ibukmu"

(Juuun.. Aku tadi lihat ibumu) teriak Mei yang berlari terengah engah menghampiriku

"Kapan Me? Ngendi?"

(Kapan Me? Dimana?) tanyaku antusian

"Mau ibukmu numpak becak Jun, lewat sekolahe awak dewek"
(Tadi ibumu naik becak Jun, lewat sekolah kita) jelas Mei yang terlihat masih kelelahan akibat berlari.

Aku hanya diam, tak tahu apa yang harus kuucapkan saat itu. Kepalaku terasa kosong, apakah orangtuaku tak lagi mempedulikanku?
Tak kusangka perasaan menyakitkan muncul dalam dadaku, sesak, terasa begitu sesak hingga nafas hampir tak mampu kulakukan

Kutahan air mataku, semampuku kutahan rasa ingin menangis ini

~~

Sore, kala aku dan Mei menunggu orangtua Mei pulang kerja tetiba sedan putih melewati
jalanan depan rumah Mei.

"Bapak… " gumamku

"Mei.. Bapakku bali Mei"

(Bapakku pulang Mei) ujarku pada Mei yang segera menarikku berdiri

"Gek ndang age, ayo nomahmu"

(Ayo buruan, ayo ke rumahmu!) buru Mei yang antusias

Kami berdua pun segera berlari menuju rumahku
Terlihat Bapak baru saja turun dari mobilnya, ia celingukan menatap rumah yang sepi itu.

"Pakkk… " panggilku yang segera memeluknya

Ia terlihat senang melihatku yang kemudian menggendongku

Mei mendekat kearah kami dan memberi salam pada Bapakku
"Adek kok nganti yahmene isih dolan wae toh dik? Iki kenopo omahe kok tumben gak disapu Ibuk?"

(Adek kok sampe jam segini masih main aja? Ini juga kenapa rumahnya tumben ga disapu sama Ibuk?) tanya Bapakku yang belum tahu apa apa

Perasaan kecamuk kurasakan lagi,
namun kini tangisku pecah. Bapak semakin bingung melihatku menangis.

"Budhe Septi mboten wonten Pakdhe, sampun kalih dinten niki Budhe mboten mantuk"

(Budhe Septi tidak ada Pakdhe, sudah dua hari ini Budhe gak pulang)  ucap Mei tiba tiba yang mengejutkan Bapakku
Ya, nama ibuku adalah Septiani. Dan Mei memanggil orangtuaku dengan sebutan "Dhe" tentu saja karena usia bapakku jauh lebih tua dari orangtuanya.

*Trengteng teng teng teng….*

Suara motor milik ayah Mei pun terdengar nyaring hingga kerumahku. Tandanya orangtua Mei telah pulang.
Bapakku segera berjalan menuju rumah Mei, ia meraih tangan Mei, menggandengnya dengan tangan kanan dan aku masih berada pada gendongan tangan kirinya.

Ya, meskipun sudah berumur namun Bapakku masih terlihat gagah dan awet muda, tenaganya pun masih sangat kuat.

~
Sesampainya dirumah Mei, ia menurunkanku dari gendongannya dan berjalan menghampiri orangtua Mei. Mereka menyambut tangan Bapakku dengan perasaan bersyukur.

"Juni, Mei, mlebet kamar sik nggih nduk dolanan nok kamar"

(Juni, Mei, masuk kamar dulu ya nak main dikamar)
perintah Ayah Mei pada kami berdua, kami pun menurut.

Bapakku dan Ayah Mei terlihat duduk di teras dan sedang berbincang serius. Sedangkan Ibu Mei pergi ke dapur untuk membuatkan minum dan camilan.

Selang beberapa waktu terlihat Bapak Febri datang kemari,
entah apa yang mereka bicarakan hingga berjam jam.

Akhirnya, Bapak masuk kedalam kamar Mei. Ia berpamitan padaku dan berjanji beberapa hari kedepan akan menjemputku kembali. 

"Sing manut ya nduk, gak pareng nakal"

(Yang nurut ya nak, gak boleh nakal) pesannya padaku
Kelihatannya mereka sepakat untuk menitipkanku disini.

Bapakku pun kembali ke rumahku lalu kembali lagi ke rumah Mei dengan membawa banyak baju serta barang barangku. Ia hanya mengelus rambutku lalu pamit pada orangtua Mei dan Bapak Febri.
Lagi lagi terlihat mobil Bapakku melewati jalanan depan rumah Mei ini. Entah kemana ia akan pergi lagi

~~

Beberapa hari pun berlalu. Aku mulai terbiasa tinggal dirumah Mei, akupun sudah bersekolah seperti biasa. Setiap hari Febri memboncengku dengan sepedanya,
sedangkan Mei mengayuh sepedanya sendiri.

"Feb? Gak kesel ta saben dino mboncengke aku terus?"

(Feb? Gak capek apa tiap hari boncengin aku terus?) tanyaku padanya 

"Gak, mulane ndang gede mengko gantian aku goncekke"
(Gak, makanya cepet besar biar nanti gantian aku kamu boncengin) jawab Febri sambil tersenyum 

Kemanapun aku pergi, kedua temanku itu selalu menjagaku. Kami selalu bertiga, bersama sama entah itu dirumah atau disekolah kami selalu bertiga.

~~
Ayahku kembali, namun kali ini dia bersama seseorang.

"Ibuk… " panggilku antusias, namun ternyata tak seperti dugaanku

Perempuan itu bukan Ibu, ia tersenyum padaku dan memperkenalkan diri

"Assalamualaikum dek.. Pasti kamu ya yang namanya Juni?" tanyanya
Aku hanya mengangguk tanpa berkedip

Ia kembali tersenyum dan mengelus rambutku

"Mbak namanya Desi, mulai sekarang mbak yang bakal jagain kamu" terangnya padaku

Ternyata Ayah membawa seorang pengasuh untukku

Ia mengobrol untuk beberapa saat dengan tuan rumah
lalu mengajakku untuk berpamitan.

Jadi, apakah sekarang adalah waktunya aku berpisah dengan kawan kawan?

Mei menangis mendahuluiku, ia menarik tanganku dan menyeretku kerumah Febri. Febri yang tengah bermain kelereng segera menghampiri kami.
Ia pun ikut menangis sesenggukan melihat Mei menangis walaupun belum tahu alasan Mei menangis.

Tangisku pun ikut pecah, kami bertiga menangis hingga Ibu Mei menyusul kemari. Ia mengatakan bahwa Bapakku akan segera mengajakku berangkat jadi kami harus kembali kesana.
Akhirnya, kami bertiga pun berpisah.

~~

Di dalam mobil, aku tak tahu hendak dibawa kemanakah aku. Pikiranku bercampur aduk.

Mbak Desi mencoba menenangkanku, ia mengusap usap punggungku sambil mengatakan bahwa semua baik baik saja.
Kini, tibalah kami di satu rumah yang asing bagiku. Rumah siapa ini? Kami turun dari mobil dan Bapak menggandengku masuk.

*Praaaang*

Suara suatu benda yang pecah menghantam dinding mengejutkanku

"Wani wanine koe mas ngajak anakan lonte iku mrene?"
(Berani beraninya kamu mas ngajak anak perempuan jalang itu kemari?) teriak seorang perempuan paruh baya dari dalam rumah

Anak perempuan jalang? Apa maksutnya itu?

"Des, ajaken Juni noi kamare"

(Des, ajak Juni ke kamarnya) perintah Bapak yang segera diiyakan oleh Mbak Desi
"Nggih Pak" jawabnya

Setibanya di kamar, suara pertengkaran Bapakku dan perempuan itu masih terdengar jelas dan sangat keras hingga ke kamarku.

Aku yang ketakutan hanya meringkuk di dalam dekapan Mbak Desi

Banyak hal yang kudengar dari pertengkaran mereka,
meskipun aku baru berusia sembilan tahun, kini aku mulai memahami semuanya.

Ternyata perempuan itu adalah istri pertama Bapak. Sedang Ibu, ia hanya istri simpanan Bapak. Aku tahu pasti, kehadiranku sangat tidak diinginkan oleh keluarga mereka.
Kini aku pun tahu alasan Bapak jarang pulang kerumah Ibu bukan karena ia sedang berada di proyek bangunan seperti yang kutahu selama ini, melainkan ia harus berada disini, dirunah istri pertamanya yang lebih berhak atas dirinya.

Bapak bukan pula seorang mandor bangunan,
nyatanya ia adalah seorang pengusaha kaya raya di daerah kami.

~~

Mentari telah terbit, cahayanya terlihat menembus tirai jendela kamar yang masih terasa asing bagiku ini.

Mbak Desi telah tiada disebelahku, aku pun beranjak menuju kamar mandi.
Dikaca, kulihat mataku membengkak karena menangis semalaman 

Aku membasuh mukaku dengan air lalu berjalan keluar kamar untuk mencari Bapak. Namun ditengah perjalanan aku bertemu dengan seorang perempuan muda, mungkin ia baru berusia dua puluh tahunan.
Ia tersenyum padaku dan menghampiriku

"Juni toh?" tanyanya

Aku mengangguk ketakutan, aku takut akan ada seseorang yang mengamuk seperti semalam ketika melihatku

"Aku Novi, ojo wedi ya nduk aku mbakyu mu"
(Aku Novi, jangan takut ya dek aku kakak perempuanmu) jelasnya
Kakak perempuanku? 

"Awakmu lesu ya mesti, ayo mrene sarapan disik"

(Kamu laper ya pasti, ayo sarapan dulu) ujarnya padaku

Aku pun duduk dengannya di meja makan yang berada di dapur. Diatasnya sudah tertata rapi banyak makanan, namun kemana semua orang?
Ia mengambil satu piring dan mengisinya dengan berbagai lauk dan nasi, ia menaruhnya dihadapanku.

"Maemo"

(Makanlah) perintahnya

Akupun segera memakannya sampai habis, lalu ia pun mengajakku berkeliling.

Sampailah kami di taman belakang rumah, kulihat Bapak ada disana,
ia tengah membaca koran dan meminum kopi dari cangkir disampingnya.

"Bapak… "

Ia nampak menengok ke arahku, senyum cerah mengambang disudut bibirnya. Akupun berlari mendekat.

"Pak, Juni pengen mantuk"

(Pak, Juni pengen pulang) keluhku pada Bapak yang memelukku hangat
Ia mengendurkan rangkulannya, seraya menatapku dan berkata

"Ini kan ya rumahe Juni, ada Bapak ada Mbak Novi" jawabnya

"Tapi Juni kangen Ibuk Pak" tegasku pada Bapak yang seperti menghalangiku untuk bertemu Ibu

"Bapak arep mangkat kerja sek ya nduk"
(Bapak mau berangkat kerja dulu ya nak) ujarnya tanpa sepatah kata pun menjawab keluhanku

Aku berlari ke arah kamarku dan menangis disana, aku kangen ibuk, Juni kangen ibuk…

~~

Beberapa bulan ku lalui disini dengan sangat berat hati. Sekolahku dipindahkan kemari, hari hariku
terasa menguras emosi.

Ibu tiriku masih saja memperlakukanku seperti bukan anak manusia, ia selalu mengumpat dan memaki tiap kali aku melakukan kesalahan. Ia pun acap kali memukulku bila Bapak dan Mbak Novi sedang tidak berada dirumah.
Hanya Mbak Desi lah satu satunya tempatku bersandar, ia pun sering menangisi nasibku, namun bagaimanapun ia tak dapat melawan nyonya rumah ini.

~~

Hingga suatu pagi, datang beberapa anggota polisi kerumah kami. Mereka mengabarkan sesuatu pada Bapak.
Entah apa yang mereka katakan hingga membuat bapak terkejut seketika. Badannya terlihat lemas hingga kakinya tak mampu lagi menopang beban diatasnya. Bapak ambruk dan sesak napas untuk beberapa saat sampai semua orang dirumah merasa panik.
Bapak diangkat beberapa orang rumah dan direbahkan ke sofa 
"Juni.. Juni.. Nak" panggil Bapak lirih

"Dalem pak niki Juni pak"

(Iya pak ini Juni pak) sahutku yang mulai menangis melihat Bapak

Ia pun mencoba untuk duduk dan ikut menangis menatapku
"Ibukmu ninggal nduk" ucapnya dengan berat hati

Kini giliranku yang harus merasakan kejutan rasa sakit. Dadaku seperti tersengat oleh listrik secara spontan, aku masih tidak bisa mempercayainya namun hanya dengan mendengar kata itu perasaanku bagai kaca yang telah remuk hancur
berkeping keping.

Di sisi lain ibu tiriku justru terawa terbahak bahak merasakan puas yang teramat sangat mengetahui hal ini. Ia kini merasa bahagia karena perempuan yang merebut suaminya telah pergi dan taakan kembali.

"Hoho wes mati toh? Yo apik lah sundel nyapo urip sue sue.
Nek perlu koe pisan ndang nyusul bukmu nduk"

(Hoho udah mati ya? Ya bagus lah jalang ngapain hidup lama lama. Kalo perlu kamu sekalian ikut nyusul ibumu nak) ucapnya dengan semangat sembari mengelus rambut kepalaku.

Baru kali ini aku merasakan sentuhan halus ibu tiriku,
sentuhan dengan rasa puas mendendam.

~~

Kami semua pun segera pergi menuju tempat jenazah ibuku berada. Ternyata rumah Ibuk…

Terlihat banyak sekali warga dari seluruh penjuru desa mengerumuni rumah Ibuk. Gang yang sempit ini terisi oleh banyak manusia yang berebut melihat
pemandangan tidak wajar disana.

Keluarga kami berjalan kearah rumah, telah terpasang garis polisi yang membentang panjang mengelilingi pagar dan halaman sekeliling rumah.

Bapak menggendongku, aku terus saja menangis tanpa henti. Kami langsung diijinkan masuk oleh para petugas.
Kulihat di dalam rumah jenazah ibuku tergantung tinggi dengan tali menjerat lehernya.Tali yang diikat kencang pada kerangka atap rumah ini, rumah yang menjadi tempat semua kenanganku bersama ibu berada.

"Bapak.. Ibuk pak Ibuk… "
"Ibuuukk.. Ampun ninggalke Juni Buk, Juni janji Juni mboten nakal malih Buk, tulungi ibukku tulung ibuk mesakke nok nduwur kono. Ibuk…."

(Ibuk.. Jangan tinggalin Juni Buk, Juni janji Juni gak nakal lagi Buk, tolongin ibu Juni om tolongin kasihan ibuk diatas sana. Ibuk… )
jeritku teriakku pada Ibuk dan semua orang yang ada disana

Aku merasa emosi tak karuan mengapa mereka hanya melihat dan tak segera membantu ibu turun. Ibu pasti bisa dihidupkan, ibu pasti bisa diselamatkan kembali, pikirku kala itu

Tubuh kecilku meronta menendang nendang Bapak.
Ia hanya menangis dan sekuat tenaga mencoba menahan gerakku. Aku memukul mukuli badannya dan semakin berontak.

Kulihat para petugas dibantu beberapa warga mencoba menurunkan tubuh Ibu bersama sama. Mbak Desi masuk dan meraihku dari Bapak, ia menggendongku menuju keluar rumah
dan pemandangan terakhir yang kulihat justru adalah kenangan terburukku akan sosok Ibuk.

Matanya melotot lebar dan mengarah keatas seakan hampir copot dan lidahnya menjulur panjang hingga melebihi dagunya sendiri. Sungguh tak pernah ku bayangkan nasib seperti ini akan
terjadi dalam hidupku

Proses pembersihan berlangsung sampai malam, dan mau tak mau kami melangsungkan takziah dirumah ini, 'omah bekas kendat' kata warga

Jam terus berdetik dan menunjukkan pukul tujuh malam. Aku masih sangat terpukul dan tak sanggup lagi melihat jenazah Ibuk.
Dikamarku sendiri, aku ditemani oleh Mbak Desi yang terus berusaha membujukku untuk makan.

"Jun, kamu kalo gak maem nanti sakit" ucapnya yang duduk disampingku dengan mata iba

"Juni pengen Ibuk" tegasku

Akhirnya ia menyerah dan memilih diam membiarkanku.
*Cklek.. Kreeet* suara pintu kamarku dibuka

Kulempar pandangan kearahnya, Ibu Mei. Ibu Mei berjalan kemari dan mengajakku untuk tidur dirumahnya bersama Mei, ia nampak berbicara dengan berusaha mempertahankan nadanya yang mulai bergetar karena tangis.
"Nduk Jun, bobok wene Bulik nggih kalih Mei"

(Nak Juni, tidur dirumah Tante ya sama Mei) ajaknya membujuk

"Mboten. Juni pengen Ibuk" tolakku tanpa basa basi

Akhirnya Ibu Mei keluar, ia tak mau memaksaku

~~
Yasinan dimulai, kudengar suaranya jelas menyebar ke segala arah. Aku mengintip sejenak untuk melihat keadaan luar, tampak puluhan orang sedang mengaji disana.

Mbak Novi pun terlihat duduk diantara mereka, ia mengaji bersama. Sedangkan Bapak, entah dimana gerangan.
Tetiba… 

*Hi hi hi hi…*

Tawa seorang bocah. Siapa yang justru tertawa pada saat seperti ini?

Aku membalikkan badan, Mbak Desi tak bergeser sedikitpun dari posisinya sedari awal tidur tadi, ia terlihat pulas.

*Hi hi hi hi… *

Terdengar lagi, kini lebih jelas.
Aku memutari ranjang, mencari ke semua tempat di kamar ini.

Tak kutemukan siapapun disana hingga bau busuk mulai menusuk hidungku.

"Opo se ambune sek koyo mengene"

(Apasih baunya ko sampe kaya gini) gumamku sendiri

Aku mencari darimana bau itu berasal.
Namun bau bau ini tercium dari segala arah. Baunya benar benar menyebar memenuhi seisi kamar.

Tampak bercak merah aliran darah berasal dari bawah ranjangku, karena merasa sangat penasaran tanpa pikir panjang akupun berjalan kearah meja dan mengambil senter diatasnya,
lalu langkahku kuarahkan ke ranjang itu.

Aku menunduk sampai dadaku menyentuh lantai. Kunyalakan senter yang dalam genggamanku dan kuarahkan kebawah sana.

Bau! Sangat sangat bau! Apa itu?! 

Mataku mulai terfokus pada banyak gumpalan gumpalan yang terlihat
seperti daging berceceran memenuhi bawah ranjangku itu.

Daging berlumuran darah yang mulai membusuk. Darahnya sangat banyak hingga mampu mengalir membasahi lantai.

Kamarku berlantaikan kayu, rumah ini adalah rumah lama yang turun temurun diwariskan oleh leluhur ibu, kata ibu.
Aku yang benar benar terkejut seketika beringsut mundur, menarik tubuhku kebelakang dengan cepat hingga tak sengaja punggungku menabrak lemari bajuku. Lemari kayu besar setinggi dua meter dengan empat pintu yang terlihat sangat gagah meskipun sudah tua.
*Nuni Nuni Hehehe*
(Juni Juni Hehehe) belum kelar jantungku beristirahat kini kembali dikejutkan oleh suara yang tertangkap pendengaranku

Aku bersimpuh ketakutan didepan lemari itu. Badanku berkeringat dingin, aku memberanikan diri untuk mendongak keatas dimana suara itu berasal
Ketika kepalaku telah mendongak sempurna, kulihat bayangan seseorang. Dia! Bukankah dia anak yang waktu itu muncul dalam mimpiku? Anak yang penuh cacat.

Dia menyeringai menatapku dari atas lemari. Matanya terlihat hitam gelap dan senyumnya sungguh membuatku gemetar hebat.
Badanku mengejang hingga menimbulkan bunyi gemertak pada lantai kayu di bawahku ini.

Kepalaku tak dapat kugerakkan sesuka hati, mataku tak dapat kupejamkan bahkan untuk menelan ludahku sendiripun tak mampu. Aku seperti dibuat mematung.
Anak itu terlihat bergerak dari tempatnya, ia menarik kepalanya dan melompat dari atas sana ke pangkuanku secara tiba tiba hingga akhirnya aku bisa berteriak

*Aaaaaaaaa…*

Teriakku sangat kencang tanpa sengaja sebelum badanku melemas dan tiba tiba pandanganku menjadi gelap.

~~
Esok hari, karena Bapak menolak autopsi maka jasad ibu dikebumikan malam itu juga. Malam dimana aku tidak sadarkan diri dan membuat heboh seisi kampung.

Mereka mulai bergunjing, menatapku iba namun penuh ketakutan.

Bapak tak mau berlama lama berada disini,
ia takut kondisiku akan bertambah buruk.

Kami segera kembali ke rumah Bapak dan perlahan aku mulai bisa berdamai dengan semua itu.

Memang kita tak dapat melupakan kenangan kenangan mengerikan yang telah terjadi, dan butuh waktu yang sangat lama untukku bisa menerima semuanya.
Akupun mulai terbiasa dengan sikap ibu tiriku, hanya Bapak yang kupunya, mau tak mau aku harus berlapang hati dengan segala siksaan yang akan ku terima kedepannya.

~~

Kini aku telah berusia 20 tahun, usia yang cukup untukku mulai hidup sendiri.
*Plakkk*

Tamparan keras mendarat dipipiku

"Rasah kemayu nduk, raimu ki ra sepiro"

(Gausah sok kecantikan, mukamu tu ga seberapa) ujar seorang seniorku dikampus

Aku hanya diam, mencoba menenangkan amarahku, bukannya aku tak bisa melawan,
aku bahkan sanggup membalasnya namun aku sedang malas meladeni orang orang seperti mereka.

Tangannya menjambak rambut panjangku, wajahnya hanya berjarak beberapa senti dariku.

"Diapakne cah iki cuk penake?"

(Diapain anak ini enaknya?) ujarnya kepada beberapa temannya
yang berdiri mengelilingi kami, melihatku disiksa oleh seorang temannya.

Terlihat satu orang datang membawa air seember penuh dan langsung menyiramkannya ke tubuhku degan tiba tiba.

Aku masih saja diam, bagiku ini semua belum ada apa apanya dengan sebelas tahun yang telah
kulalui bersama ibu tiriku.

"Jek kurang?"

(Masih kurang?) ucap satunya

Mungkin mereka sekitar tujuh orang, sedangkan aku sendirian.

*Krusekkk*

Suara seperti kantung plastik diremas membuat kami semua terkejut

Tandanya ada seseorang yang pasti sedang bersembunyi
disekitar sini, mereka mulai waswas.

Mereka semua pasti takut bila ada yang melihat atau bahkan melaporkan kelakuan busuk mereka ini.

"Goleki! Cepet!"

(Cari! Cepat!) perintah Okta

Iya Okta adalah orang yang paling membenciku, akupun tak pernah tahu penyebabnya, tapi nampaknya
ia tak suka melihatku disukai banyak orang.

Mereka semua berpencar mencari orang yang diam diam mengintip kegiatan mereka sedari tadi itu. Hingga akhirnya…

"Ketemu" teriak salah satu dari mereka sambil menyeret tangan seseorang yang kelihatannya seangkatan denganku
"Babat ae rambute kesuwen"

(Botakin aja rambutnya) usul seorang teman Okta

"Koe roh iki opo nduk? Pengen ngrasakno gak?"

(Kamu tau ini apa? Pengen ngerasain gak?) ucap Okta sambil menyodorkan gunting ke pipi anak itu

Dia hanya menangis ketakutan, ia mencoba berontak
namun apa daya seluruh badannya dipegangi oleh teman teman Okta.

"Lapo koe melu melu urusanku? Tak kei kenang kenangan yo. Nek koe nganti wanten lapor dosen yo bakal ngrasakno hadiah sing lueh kepenak ko aku"

(Ngapain kamu ikut ikutan urusanku? Tak kasih kenang kenangan ya.
Kalo kamu sampe berani beraninya lapor ke dosen ya bakalan ngerasain hadiah yang lebih enak lagi dariku) ancam Okta tanpa perasaan manusiawi sama sekali, ia tersenyum sinis sambil menarik jilbab anak itu sampai terlepas.

Kelihatannya mereka lupa bahwa aku masih disini dan
lebih fokus ke anak itu. 

Hampir saja ia mengguntingnya, aku yang sudah merasa muak dan tidak tega segera meraih apapun yang ada didekatku

"Bruakkk"

Ember tepat mengenai kepala Okta. Ya, aku melemparkannya dengan sangat kencang hingga dia jatuh ke tanah.
Hidungnya berdarah, teman temannya pun panik. Kondisi itu kumanfaatkan untuk menyelamatkan Septi.

Kutarik tangannya dari genggaman anak anak yang terfokus pada Okta, kamipun segera berlari menjauh dari para wanita gila itu.

~~
Di kamar mandi aku menunggu Septi yang masih saja menangis, dia ketakutan dan tak berani keluar karena jilbab yang dikenakannya tadi dilepas paksa oleh Okta.

Ya, namanya Septi. Dia seumuran denganku, bukan seorang yang mencolok apalagi menarik perhatian.
Makanya tidak banyak yang mengenalnya disini.

"Wes menengo, mari iki ayo ndang bali. Anggoen jaketku"

(Udah diem, abis ini ayo balik. Pake jaketku) ujarku padanya

Kami pun pulang naik ojek menuju ke rumah Bapak. 

"Loh Jun.. " ucapnya ternganga
"Ssst meneng wae, age"

(Ssst diem aja, ayo) jawabku singkat

Kami segera masuk ke kamarku, untunglah hari ini Mamah sedang tidak ada dirumah jadi aku tak perlu malu pada kawanku. Tak perlu khawatir akan ada seseorang yang meneriakiku anak perempuan jalang.
"Awakmu anake wong sugeh yo? Kok gaonok sing ngerti?"

(Kamu anak orang kaya ya? Kok gaada yang tau?) tanyanya

"Ora bandaku"

(Bukan hartaku) jawabku singkat lagi

Kami ada disini sedari sore hingga jam 9 malam, namun aneh tak ada seorangpun yang pulang kerumah.
Meski memang Mbak Novi sudah berkeluarga, namun biasanya ia akan pulang kemari dua kali seminggu.

Begitu pula dengan Bapak, ia kemana? Biasanya ia hanya akan ke kantor sesekali saja karena fisiknya sudah tak memungkinkan lagi.

"Jun, Bapakmu pamit" celetuk Septi tiba tiba saja
Aku memalingkan wajah kearahnya, alisku berkerut heran dengan maksud ucapan Septi barusan.

"Nok jendelo njobo, Bapakmu pamit"

(Di jendela luar, Bapakmu pamit) jelasnya kembali

Aku langsung menuju ke jendela seperti yang dimaksud oleh Septi, namun aneh tak ada siapapun disini.
*Kring kring kring*

Bunyi telefon rumah dari ruang tamu terdengar hingga kamarku

Aku bergegas keluar dan mengangkatnya, terdengar suara wanita sedang berusaha untuk bicara.

"Nduk, Jun…" suaranya tersenggal senggal karena menahan tangis
"Mbak Novi? Mbak kenapa mbak" tanyaku mulai panik mendengar kakak perempuanku itu menangis

"Bapak mpun kapundut dek, sak niki awakmu mrene ya dijemput"

(Bapak udah meninggal dek, sekarang kamu kesini ya dijemput) ucap Mbak Novi yang terdengar jelas sedang diliputi kesedihan
Runtuh, kekuatanku kali ini benar benar runtuh. Aku tak punya siapapun lagi di dunia ini.

Akhirnya kali itu aku tahu bahwa Septi memiliki kelebihan istimewa, dan dari sinilah kami mulai berteman dekat.

~~
Aku segera bersiap dan mengajak Septi yang kini membisu dan hanya bisa menangis bersamaku.

Kami berdua dijemput oleh sopir pribadi kakak perempuanku itu menuju rumah sakit tempat Bapak menghembuskan nafas terakhirnya.

Aku memang sudah lama mempersiapkan diri untuk
menghadapi kemungkinan ini, aku tahu pasti suatu saat Bapak akan meninggalkanku. Namun, masih tak kusangka akan secepat ini, ia bahkan belum melihatku menjadi sarjana nanti.

~~

Tujuh hari sepeninggal Bapak, Mamah mengusirku dari rumah. Dan ya, akupun telah memperkirakan
ini semua jadi aku sudah sepenuhnya pasrah.

Mbak Novi mengajakku untuk tinggal bersamanya, namun kutolak karena aku tidak ingin merepotkan siapapun lagi. Akupun bahkan tak meminta hak atas warisan Bapak sedikitpun.
Untunglah selama ini Bapak telah meninggalkan tabungan yang cukup untukku hidup sampai beberapa tahun kedepan, aku juga masih punya rumah milik Ibu dulu.

~~

*Jblakkk*

Suara pintu mobil kututup

Aku berjalan memasuki sebuah rumah yang kini kondisinya telah berubah sepenuhnya.
Karena memang aku tlah lama tak pernah kembali ke daerah sini.

"Assalamualaikum Paklik.. Bulik.. Mei.. " panggilku yang kini telah berada di depan pintu

"Waalaikumsalam, sinten? (siapa?)" sahut seseorang dari dalam menjawab salamku
Ibu Mei berjalan kearahku, nampaknya ia lupa dengan wajahku

"Sinten nggih? Rencange Mei mbak?"
(Siapa ya? Temennya Mei mbak?) tanyanya kembali

Aku hanya tersenyum dan segera meraih tubuh Ibu Mei, aku memeluknya dengan sangat bahagia

Ia terkejut karena aku tiba tiba memeluknya
"Niki Juni Bulik.."

(Ini Juni Bulik..) ucapku yang masih memeluknya erat

Ia nampak terdiam beberapa saat lalu segera membalas pelukanku

"Ya Allah Juni… "

"Bulik pangkling nduk" ujarnya yang kini menangis terharu

Aku melepas peluknya dan meraih serta mencium tangannya,
tak terasa akupun ikut menangis rindu dan tersenyum lega

"Meeeei! Mrene nduk"

(Mei sini nak) teriaknya kencang sekali memanggil mei yang kelihatannya ada di belakang

Mei datang dengan wajah kusut, ketika matanya menatapku ia mematung dan membungkam mulutnya terkejut.
Aku segera masuk dan memberi salam pada sahabatku itu.

~~

Setelah beberapa lama melepas rindu, akupun mulai menceritakan semuanya. Tak lupa dengan niatku untuk menempati kembali rumah Ibuk.

//BERLANJUT//
"Bapak mpun seda Bulik, Mamah nggih piyambake mboten purun tinggal kalih Juni. Dados Juni mriki mawon, kepengen manggeni daleme Ibuk"

(Bapak sudah meninggal, Mamah juga gamau tinggal sama Juni. Jadi Juni kesini aja, kepengen nempatin rumahnya Ibuk) ceritaku pada mereka berdua
Pastinya mereka terkejut, alasan pertama karena mendengar kematian Bapakku. Dan yang kedua pastilah karena niatku untuk menempati rumah Ibuk kembali.

"Innalillahi, yang sabar yo nduk" Ibu Mei berucap lirih

"Tapi Jun, awakmu tenan ta arep manggon omah kono maneh?
Ojok yo mending tinggal kene wae karo aku, karo bapak ibuk"

(Tapi Jun, kamu yakin mau tinggal dirumah itu lagi? Jangan ya mending tinggal disini aja sama aku sama bapak ibuk) bujuk Mei sembari menggenggam erat tanganku

Mereka mungkin khawatir padaku,
tapi itulah satu satunya sisa kenangan masa lalu yang kupunya.

Aku tersenyum padanya, aku berusaha meyakinkan dia bahwa aku akan baik baik saja.

~~

Pagi disini cerah, mataharinya lumayan terik dan cukup efektif untuk menghangatkan badan.
Semalam, aku bermalam dirumah orangtua Mei. Begitu mendengar kabar bahwa aku kembali, Febri dan keluarganya pun langsung menemuiku tuk melepas rindu. Ya, keluarga Mei dan Febri layaknya keluarga kedua bagiku.

Kini lingkungan ini terasa sedikit asing,
banyak perubahan yang kulewatkan selama beberapa tahun kebelakang.

Aku berjalan jalan pagi sendirian di gang ini, banyak warga baru yang tak saling mengenal denganku tersenyum menyapaku.

Begitu pula dengan mereka yang telah mengenalku sejak kecil dulu.
Suasana hangat kurasakan saat mereka menyambutku dengan haru.

~~

"Pak, Bu, nuwun sewu kula badhe nyuwun izin tinggal teng mriki malih, piyambakan"

(Pak Bu permisi saya mau minta izin untuk tinggal disini lagi, sendirian) ucapku kepada dua orang didepanku itu
Mereka adalah Pak RT beserta istrinya, ya aku meminta izin sesuai prosedur untuk menempati kembali rumah Ibuk

"Nak Juni yakin nduk?"

Hanya sepenggal kalimat itulah yang keluar dari mulut Pak RT, ketika aku mengangguk iapun tak mau mengganggu gugat pilihanku ini.
Akhirnya siang itu Pak RT mengumpulkan beberapa warga desa, meminta mereka untuk membantuku membersihkan kembali rumah Ibuk agar layak huni, istilah jawanya sambatan.

Mereka sangat antusias, entah karena rumah yang mereka katakan angker disini akan kembali ditinggali manusia.
Ataukah mereka iba karena aku yang yatim piatu ini.

Hari itu juga rumah kelar dibersihkan, aku benar benar berterimakasih pada semua warga disana yang telah sukarela menolongku.

~~

Sore hari pun tiba, aku harus membersihkan bagian dalam rumah peninggalan ibu yang selesai
diperbaiki, disini aku ditemani sahabatku Mei dan Febri.

"Feb koe ngewangi Juni ngepel yo, cik aku sing nyapu"

(Feb kamu bantu Juni ngepel lantai yah,biar aku yang nyapu?) ucap mei kepada febri

"Oke Me, tak cepakne banyune"
(Oke Me,biar aku siapin air buat mengepel lantainya)
jawab Febri dengan semangat,

Aku merasa sangat beruntung mempunyai sahabat sejak kecil yang selalu baik kepadaku.

Hari mulai gelap,membersihkan bagian dalam rumah pun sudah selesai, sebelum pamit pulang Febri dan Mei beristirahat sejenak didalam rumahku,
"Jun oleh njuk banyu tara, kesele duh"

(Jun boleh ga aku minta air putih,huhh lumayan cape) ucap Febri dengan menghembuskan nafas

"Sek Feb tak jipukne"

(Sebentar Feb biar aku ambilin ke dapur) aku pun berjalan kedapur

Saat berjalan kedapur tiba-tiba badanku merinding,
dan disana tercium bau bangkai. Aku pun berpikir mungkin ada bangkai tikus disekitar rumah ini. 

Aku langsung mengambil air minum untuk kedua sahabatku itu dan tak menghiraukan asal bau bangkai tersebut lalu segera kembali ke ruang tamu.

"Ki ngombene"
(Ini air minumnya) ucapku
sambil menyodorkan dua gelas air putih dihadapan Febri dan Mei

Febri dan Mei pun langsung menenggak habis air minum yang aku suguhkan

"Pisan maneh suwun tenan lho yo wes rewangi aku resik resik"

(Sekali lagi makasih ya udah membantu membersihkan rumah) ucapku kepada mereka
"Iyo Jun podo podo, koyone awak dewek kudu ndang pamit mulih sek ya soale wes dalu, wedine lek wes dienteni Ibuk"

(Iya Jun sama-sama kayanya kita harus pamit pulang soalnya udah mulai malam,takutnya udah ditunggu dirumah sama ibu) ucap Mei dan Febri untuk berpamitan
bergegas berdiri dan berjalan menuju pintu sambil tersenyum kepadaku

Saat perjalanan pulang tiba-tiba Mei menceritakan hal ganjil yang ia rasakan dirumah juni kepada Febri,bahwa pada saat menyapu lantai rumah dia melihat seperti ada jari anak kecil yang ia sapu,
namun jari tersebut seketika menghilang dari pandangannya.

"Feb mau aku pas nyapu koyone ngeti drijine bocah eg, tapi jujug ilang"

(Feb aku tadi pas nyapu seperti lihat jari anak kecil tapi seketika ilang lagi) ucap Mei kepada Febri dengan sedikit rasa takut
"Tenane Mei, aku yo ngrasakke aneh sih pas mek banyu nde jeding. Koyo mambu arus getih e"

(Ah yang bener Mei, aku juga ngalamin hal aneh waktu ngambil air dikamar mandi sih,aku ngerasa nyium bau anyir darah) ucap Febri yang juga merasakan hal ganjil yang terdapat dirumah Juni,
"Yowes Feb awak dewek dungo wae mugo Juni gak dah deh, betah, kesuk awan cobo mrono maneh"

(Ya udah Feb kita berdoa saja semoga tidak terjadi hal aneh kepada Juni semoga dia betah,dan besok siang kita coba main lagi kerumah Juni ya)

Febri pun mengangguk dan meng iyakan
Hari mulai malam, kilatan dari langit sepertinya akan menghasilkan hujan malam ini

Aku yang belum mandi dari pagi merasakan gerah diseluruh tubuh, setelah temanku pulang akupun bergegas menuju ke kamar mandi.

*Byuur Byurr*

Bunyi air yang ku siramkan pada tubuhku
Seketika aku terkejut karna merasakan bau amis pada air di bak mandi, aku merasa aneh karena dibak mandi pun tidak ada bangkai hewan yang mati tenggelam.

Aku tak menghiraukan bau amis tersebut, menganggap itu hal biasa karena rumah ini sudah lama tidak di huni.
Aku lanjutkan membersihkan tubuhku dengan sabun mandi hingga bersih, pada saat akan membilas mataku terasa sedikit perih.

"Duh perihe.. "

(Aduh perih bangettt..) rintihku akibat sabun mengenai mata

Aku pun mengejam kan mata sambil meraba-raba gayung dibak mandi,
Terkejut, aku terkejut merasakan benda padat berbentuk bulat seperti tempurung kepala manusia tengah kusentuh

"Heee opo kie"

(Haah apa ini) ucapku dengan mata terpejam saambil meraba benda tersebut.

Aku berusaha membuka mata perlahan dan benar apa yang kulihat,
tengkorak kepala manusia yang dipenuhi darah.

“Hahhh.!!!” 

Seketika kuraih handuk yang tergantung ditembok dan bergegas keluar dari kamar mandi.

"Ya Allah, opo sing tak deleng mau"

(Ya Allah, apa yang kulihat tadi) aku berusaha menenangkan diri sambil berdoa
*Gludukhluduk..!.!*

Suara gemuruh dari langit terdengar bersamaan dengan turunnya hujan yang sangat deras.

Aku yang masih merasakan ketakutan, masih harus memakai baju karena suhu udara mulai menurun.

Kakiku berjalan memasuki kamar.

*Krieeeet*
Bunyi lemari yg kubuka, kuambil baju yang akan ku kenakan.

Terdengar dari luar kamar seperti ada bunyi seseorang mengetuk jendela kamarku ini.

*Tok.Tok.*

Ketukan dua kali terdengar nyaring di telingaku,

Aku pun terdiam sejenak dan spontan mengucap

"Sopo nok kono.?!"
(Siapa di luar.?!) namun tidak ada jawaban

Aku bergegas mengenakan baju, setelah selesai aku kulihat wajahku di cermin, ya cermin itu berada disamping lemari tersebut.

*Tokk Tokkk*

Suara yang sama terdengar kembali namun bunyi tersebut dari belakang lemari bajuku
Aku yang sedang bercermin seketika penasaran dengan sumber bunyi tersebut dan berusaha menelusuri dari mana bunyi itu datang

Posisi lemari tersebut tidak begitu menempel ke tembok rumah jadi terdapat jarak kira-kira sejengkal tangan orang dewasa, dari jarak tersebut aku bisa
mengintip bagian belakang lemari. Dan apa yang kudapatkan ketika mengintip, terkejut oleh sebuah lengan tangan yang menjijikan, tangan tersebut berlumuran darah dan berbau busuk.

Seketika aku berteriak dan merasa sedikit pusing.
Aku bergegas keluar kamar dan memilih meringkuk di bawah kursi ruang tamu.

Jam menunjukan 19.00 , aku sempat berfikir untuk keluar dari rumah dan menginap di rumah Mei. Tapi di sisi lain aku tidak mau merepotkan, akhirnya kuputuskan bertahan walaupun rasa takut menyelimutiku.
Malam ini kuputuskan untuk tidur di ruang tamu. Merebahkan badan dikursi panjang tanpa bantal

Aku yang merasakan lelah setelah seharian membersihkan rumah akhirnya terlelap

Namun tidurku tidak berlangsung lama, lagi-lagi aku mendengar sesuatu yang kembali membuatku terkejut
*Tok.Tok.*

Kali ini bunyi ketukan masih sama dua kali seperti tadi, dan bersumber dari pintu depan rumah.

Ada yang bilang bahwa dua kali ketukan adalah pertanda bahwa yang mengetuk pintumu bukanlah manusia

Aku yang masih merasakan ketakutan enggan membuka pintu,
dan bertahan di kursi panjang yang ku tiduri, hanya merubah posisiku sedikit, sekarang aku hanya bisa tertunduk dan benar-benar merasakan ketakutan.

“Jun.?” Panggilan tersebut terdengar lembut, seperti perempuan yang masih berumur 40 tahunan, namun aku belum membukakan pintu
karena aku pikir suara tersebut bukan tamu yang datang ke rumahku,

“Jun?” Lagi-lagi ada suara seperti memanggilku, namun arah suara tersebut berada di pintu belakang,

Badanku seketika merinding,seperti ada tiupan angin ke badanku yang membuatku merasakan dingin di seluruh tubuh
Hanya berdoa yang kubisa, sambil memejamkan mata berharap semoga teror yang terjadi terhadapku cepat berlalu

“Jun ini Ibu Rt“

Mendengar panggilan tersebut dengan nafas yang memburu aku bergegas lari menuju pintu belakang. Berharap seseorang dapat membantu membuatku sedikit lega
*Klek Klek*

Bunyi kunci pintu belakang

Perlahan aku buka, dan seketika ku mematung, kakiku tak bisa bergerak, mulut seperti terkunci rapat

"Emm Emmm” 

Bukannya Bu Rt yang berada di depanku saat ini, namun se sosok perempuan berambut panjang, dengan lidah menjulur ke bawah
nampak mukanya yang mulai membusuk.

*Bruakkkk...!*

Aku pun terjatuh, seketika pandanganku berubah gelap akibat terkejut dengan sosok perempuan yang sangat menyeramkan itu

Hawa dingin menyelimuti seluruh badanku akupun bergegas bangun dengan pintu belakang yang terlihat masih
terbuka namun sosok tersebut sudah lenyap dari pandanganku entah kemana,

"Woii tulung ojok ganggu aku nok omahe bukku dewe"

(Woii tolong jangan ganggu aku di rumah peninggalan ibuku sendiri) teriakku yang kesal dengan gangguan di malam pertamaku dirumah yang sudah tidak dihuni
kurang lebih 10 tahun semenjak ibu meninggal gantung diri.

Aku yang lemas berusaha menahan badan untuk berdiri dan menutup pintu belakang lalu kembali ke ruang tamu untuk berbaring

“Glekk.. Glek.. Huhhh”

Aku berusaha meminum segelas air yang ada di meja tamu dan
menghembuskan nafas panjang agar sedikit tenang

Tak lama dari arah depan seperti ada bunyi langkah kaki di teras rumahku

*Bugh Bugh..*

*Tok Tok Tok..*

"Assalamualaikum Jun"

Suara seorang pria terdengar dari teras rumahku.

Aku pun mencoba tenang
dan hanya berdiam dari kursi ruang tamu dan tidak langsung membukakan pintu tersebut.

*Tok.. Tok..*

"Jun assalamualaikum”

Lagi - lagi ketukan tersebut terdengar kembali dan kali ini aku merasa yakin kalau bunyi ketukan pintu tersebut benar benar berasal dari seseorang.
“Waalaikumsalam, ngapuntene sinten gih?"

(Wa’alaikumsalam, maaf siapa ya?) sahutku untuk meyakinkan bahwa yang berada di depan rumah benar - benar seseorang yang akan bertamu

"Ini Bapak Jun, Pak Rt”

Sahut seseorang dari luar

Kali ini aku beranjak dari kursi yang kududuki,
dan berusaha tenang sambil berjalan menuju arah pintu depan

“Oohh pak Rt monggo mlebet Pak”

Sembari senyum kupersilahkan masuk, seolah tidak terjadi hal aneh yang habis menimpaku tadi

"Iyo suwun, nok teras wae nduk, bapak mrene arep nyuwun fotocopy ktp ngge data warga Jun
mumpung lewat kene misan mampir"

(Iya makasih, diteras saja Jun, jadi gini bapak ke sini untuk meminta fotocopy ktp buat data warga Jun, kebetulan tadi lewat jadi sekalian mampir kesini)

"O nggih sekedap Pak, kula pundutke"

(Oiya sebentar Pak, biar saya ambil)
Aku berjalan mengambil fotocopy ktp di tasku dan segera kembali untuk memberikannya kepada Pak Rt yang sudah menunggu di teras rumah

"Ini pak fotocopy ktp nya” ucapku sambil menyodorkan

"Suwun, sepurane nek ganggu ya nduk. Lek oleh saran dilah omahe ojok dipateni kabeh ya,
mergane seko dalan mau tak delok peteng dhedet koyo iseh gak dipanggoni wong"

(Iya makasih maaf sudah mengganggu ya Jun. Kalau boleh saran lampu rumah jangan dimatiin semua ya, soalnya dari jalan tadi bapak liat gelap banget kaya masih ga ada penghuninya aja)
Ucap Pak Rt yang membuatku lagi-lagi terkejut padahal lampu bagian dalam rumah sudah ku nyalakan semua dan tidak ada satupun yang ku matikan

"Inggih Pak ngapuntene wau mpun tilem"

(Iya Pak maaf tadi ketiduran) Sahutku pelan dan berusaha tidak ada hal janggal yang aku alami
"Ya sudah Jun Bapak pamit, kalo ada perlu tinggal datang kerumah” Pak Rt pun berjalan pergi dan meninggalkan rumahku

Aku yang masih ketakutan dengan apa yang aku alami di malam pertamaku menempati rumah peninggalan ibu ini mencoba tenang kembali,
Malam mulai larut rasa kantuk mulai aku rasakan,aku berusaha berbaring dan memejamkan mata di kursi panjang tempatku istirahat tadi, kali ini aku benar-benar merasakan lelah yang tak tertahankan.

Jam di dinding menunjukan pukul 01.00, aku yang teringat Septi teman sekampusku pun
langsung mencoba menghubunginya lewat pesan singkat yang ku kirim, dia pernah bercerita bahwa ia bisa melihat hal gaib 

“Sep sorry yahmene ganggu, sesok awak dewek ketemu nde kampus yo aku atene crito"

(Sep maaf ganggu jam segini, besok dikampus kita ketemu ya aku mau cerita)
15 menit kemudian handphoneku berdering segera ku ambil dan ternyata balasan dari Septi yang juga belum tidur

“Oke Jun, kita ketemu di kantin kampus ya” jawaban juni yang bersedia menemuiku besok pagi, 

Hari mulai pagi, aku yang merasakan ketakutan memutuskan untuk tidak tidur
sampai adzan subuh.

Paginya, akupun memutuskan untuk segera bergegas berangkat kuliah tanpa mandi, jangankan mandi, memasuki kamar mandi pun aku masih merasakan trauma dengan kejadian semalam.

Pagi ini cukup cerah, aku segera masuk ke mobil yang terparkir di halaman rumahku,
setelah masuk akupun mengecek barang bawaan untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.

-Sebelum jalan Juni yang tidak mandi sedikit memoles wajahnya didepan cermin yang berada didalam mobil-

“Hahh raiku tek abur ngene, guluku kimaneh nyapo kebaret baret"
(Hahh mukaku kok merah, leherku juga seperti ada cakaran) aku sontak kaget melihat bayangan wajah dan leherku di cermin.

“Hihihihi....” tiba-tiba ada bunyi dari bagian mobil belakangku,

Berusaha ku lihat dari cermin make-up yang sedang kupegang,nampak sesosok anak bayi
dengan mata hitam dan dipenuhi darah sedang duduk di kursi belakang

Yang bisa ku lakukan hanya memejamkan mata sambil berdoa, suara itupun hilang dengan sendirinya. Karena penasaran aku ingin memastikan bahwa sesosok bayi tersebut sudah hilang, aku perlahan menengok bagian
belakang mobilku.

"Hahahah hahaha hahaha” tawaan sesosok mahluk mengerikan saatku menghadap ke bagian belakang mobil, sosok ini seperti yang pernah ku lihat saat berumur 9 tahun. Kurasa aku mengenalinya. Dengan kaki dan tangan seperti patah, kepala seperti terbalik dengan mata
melotot seperti hampir keluar dan lubang mulut yang cukup lebar.

Seketika aku teriak meminta tolong dan segera keluar dari mobil

“Opo'o Jun kok koyo keweden ngono medal ko mobil"

(Ada apa Jun kok kaya ketakutan gitu keluar dari mobil?) Tanya Mei dari seberang jalan yang sedang
melangkah mengarah ke depan rumahku.

“Gakno popo Me mau ono cecek dadi kaget"

(Gada apapa Mei, tadi ada cicak jadi kaget) sahutku berusaha menutupi kejadian yang barusan ku alami, sengaja aku tutupi agar tiada kesan mistis di rumahku
“Ooh mosok karo cecek wedi se, oiyo Jun iki maemo awakmu wingi gurung sempet blonjo dadi tak masakno"

( Ooh masa sama cicak takut si Jun, oiya aku kesini mau nganterin makan nih buat kamu,kan kamu belum sempet belanja jadi aku masakin buat kamu)
“Wah suwun Me, tak gawane nok kampus wae ya pangan kono"

(Wah makasih Mei, aku bawa aja ke kampus ya buat dimakan disana) jawabku sambil tersenyum

“Iyo Jun, tapi kui rai mbe gulumu gene ko abang abang grawukan ngono"

(Oiya Jun, tapi itu muka sama leher kamu kenapa kok kaya ada
bekas cakaran merah gitu)

"Emm mambengi akeh nyamuk Me. Yowes tak mangkat yo"

(Emmm semalem banyak nyamuk. Ya udaah aku berangkat ya) tutupku tergesa

~

Sesampainya dikampus aku langsung menuju ke kantin, sembari menyantap makanan yg diberikan Mei aku menunggu kedatangan Septi
Kiranya lima belas menit menunggu terdengar panggilan lirih dari arah belakangku

“Juniiii” suara lembut tersebut lagi-lagi membuatku merinding, hembusan angin membuat hawa dingin mulai masuk ke dalam tubuhku, berusaha menoleh perlahan karena kupikir itu Septi yang sudah datang
Seketika aku memundurkan badanku sampai mentok ke meja makan, sesosok mahluk dengan rambut panjang menutup muka dan bau busuk berada di hadapanku. Badan tangan dan kakiku tak bisa ku gerakkan sedikit pun, mulutku membisu serta tiba-tiba badanku melemas tiada daya.

*Bruuggg*
Badanku pun terjatuh ke bawah meja

Ya aku datang ke kampus sangat pagi dan memang aku yang paling awal, di kantin pun belum ada warung yang dibuka, jadi aku orang pertama yang sampai kampus dan langsung menuju kantin

“Nak bangun nak”.. panggil salah satu penjaga kantin
sambil menepuk badanku.

Aku yang baru saja tak sadarkan diri merasa terkejut karena bangun dengan kondisi di bawah kursi tempat ku makan tadi

“Kok kamu tidur dibawah” ucap Pak Adi penjaga kantin di kampusku

“Maaf pak tadi saya pingsan liat sosok Perempuan berbaju putih”
ucapku dengan nada lirih

Pak Adi terheran mendengar jawabanku seakan tidak percaya dengan apa yang telah aku alami, pandangan Pak Adi pun tiba-tiba berubah menatapku dengan sinis dengan bibir seperti mengucap doa dan mata melotot kepadaku

“Pak kenapa lihatin Juninya kaya gini?”
ucapku ke Pak Adi yang merasa risih dengan tatapannya

“Ibumu.!!” Ucap Pak Adi yang membuatku heran, karena Ibu sudah meninggal sejak lama.

“Ya sudah nak. Bapak mau beres-beres lagi” Pak Adi meninggalkanku dan melanjutkan pekerjaannya, 

Aku masih syok mendengar ucapan Pak Adi
tadi yang tiba-tiba menyebut Ibuku, sebenarnya apakah yang terjadi pada Ibu dulu.

Kenapa setelah menempati rumah Ibu, ada banyak hal ganjil yang aku alami

“Hai Jun,.?"

Suara Septi yang sudah datang, segera duduk didepanku 

"Wah Septi untung koe wes teko"
(Wah Septi untung lu udah dateng) timpalku dengan wajah senyum

“Nyapo koe ndomblong ngono tak sawang ko adohan ketone gek ono masalah yo?"

(Kamu kenapa bengong aku liat-liat dari jauh kaya orang bingung tu pasti ada masalah yah) Septi yang baru duduk seolah tau permasalahanku,
"Ngene Sep, aku te ngajak awakmu dolan gonaku, nek perlu nginepo, mergao aku ijenan, lumayan toh dadi gausah bayar kost"

(Jadi gini Sep, aku mau ajakin kamu main ke rumah, kalau perlu nginep rumahku, soalnya aku tinggal sendirian, lumayan kan jadi ga perlu bayar kost)
Sengaja aku ajak Septi untuk tinggal bersama tanpa menceritakan kejadian yang aku alami

“Wah penak, yowesla tak jajal dolan sek ya, lek betah aku tak melu manggon kono"

(Wah boleh deh aku coba main dulu kerumahmu ya, kalo betah aku mau tinggal disitu) jawaban Septi bimbang
Merasa jawaban Septi yang masih bimbang begitupun denganku yang merasakan takut tinggal sendirian, berusaha meyakinkan bahwa Septi bakal betah tinggal bersamaku.

Kita pun sepakat sepulangnya dari kampus langsung menuju rumahku, diperjalanan pulang Septi bercerita kepadaku
dengan apa yang dia alami dikampus, dia merasa tenang kalau disampingku karena tidak ada orang yang berani lagi membully nya lagi

“Wakmu ayu jun mesti bukmu bien yo ayu"

(Kamu cantik Jun pasti Ibumu dulu cantik) celetuk Septi tiba-tiba dalam mobil perjalanan menuju rumah,
Aku yang masih terheran mendengar celetukan Septi mengingat kembali omongan Pak Adi yang sama-sama menyebut tentang Ibuku

“Ahh enek ae wakmu ki, kabeh wadon yo ayu a"

(Ahh bisa aja kamu Sep, semua perempuan juga cantik) jawabku singkat. Dan seketika suasana di dalam mobil pun
hening terlihat Septi tertidur di jok sebelah, aku yang sedikit merasakan kantuk karena belum tidur menambah laju mobil agar kami segera sampai rumah

“Hahhh” tiba-tiba Septi terbangun dari tidurnya dengan nafas memburu seperti dikejar setan, wajah Septi berubah panik
“Koe ngopo Sep, ngipi a?"

(Kamu kenapa Sep, mimpi???) tanyaku 

“Hah iyo Jun? Aku ngipi ditekani 12 bayi, sing sewelas awake iseh gak utoh trus sijine maneh utuh tapi..."

(Hah iya Jun? Aku mimpi kalau tadi di datengin 12 bayi, sebelas anak dengan bentuk badan tidak utuh dan
1 anak dengan badan utuh tapi.?)

"Tapi opo Sep.?” 

“Sing siji areke wes rodo gede. Deweke ngakune kangamu tapi awake cacat"

(Yang satu anak sudah balita dia mengaku kakak kamu namun dia sepertinya cacat)

Mendengar jawaban Septi aku hanya bisa diam dan berfikir
sebenarnya apa yang terjadi terhadap keluargaku. Aku yang terlahir anak tunggal dari ibuku pernah didatangi bayi bayi dan sesosok anak laki laki cacat, kejadian ini persis seperti yang dialami Septi namun aku berusaha menutupi semuanya karena aku takut kalau Septi
tidak mau tinggal bersamaku.

Perjalanan dari kampus kurang lebih satu jam akhirnya tibalah kami di rumahku. Septi yang baru pertama kali datang ke rumahku tiba-tiba hanya bengong menatap bangunan rumah ini,

Ya bangunan rumah jaman dulu, seperti rumah peninggalan zaman belanda,
dengan bangunan yang masih kokoh hanya perbaikan dibagian atapnya saja.

“Jun, kamu yakin tinggal disini.?" Septi bertanya penuh keheranan.

“Iyo Sep kenapa emange?” Ucapku singkat

Kami pun keluar dari mobil, Septi yang masih bengong dengan wajah yang bingung memandangi rumahku.
“Gekndang melbuo sep, anggep omah dewe, aku nok kene dewean kok"

(Ayo Sep masuk, anggap rumah sendiri, aku tinggal sendiri disini) ucapku lagi kepada septi yang masih tetap saja terpaku di samping mobilku,

“I i iya Jun" Septi mengiyakan dengan jawaban seperti orang ketakutan
Kami berdua yang kelelahan sepulang dari kampus langsung masuk kedalam rumah, aku langsung menuju kursi panjang yang berada di ruang tamu, berupaya membaringkan badanku, di ikuti oleh Septi dari belakangku yang melangkah sambil mengamati sudut-sudut rumah peninggalan ibuku ini.
"Koe nyapo kok koyo wong bingung"

(Lu kenapa Sep kok kaya orang bingung) Aku sempatkan bertanya karena melihat Septi yang sedari awal datang seperti orang linglung.

“Okeh sing aneh nok omahmu Jun, aku ngrasakne masalalu omah iki, tapi sing tak delok durung mesti bener"
Sempat kaget dengan jawaban Septi namun aku tak menghiraukan tentang masalalu rumah ini yang digunakan Ibu untuk bunuh.

Aku yang sangat lelah meminta ijin ke Septi untuk menyempatkan tidur sebentar,

“Sep aku turu sek ya, anggep mahmu dewe"
(Sep aku tidur dulu ya sebentar, anggep ini rumahmu sendiri) ucapku meminta izin ke Septi sebelum tidur, Septi yang masih berdiri di balik pintu hanya tersenyum mengiyakan.

Tak berselang lama aku pun tertidur sangat pulas hingga terbangun saat petang, jam menunjukkan pukul 17:45
di handphone, hampir maghrib. Dengan keadaan rumah yang sudah gelap karena belum ada satu pun lampu yang dinyalakan,

“Sep kamu dimana.?” Teriak ku mencari Septi karena saat bangun Septi tidak berada disampingku, akupun berfikir Septi pasti tengah tidur juga dikamar.
Aku beranjak dari kursi dan berusaha menyalakan lampu, namun saat ku nyalakan lampu itu tidak kunjung menyala, pikirku mungkin listrik sedang padam hari ini, aku bergegas mencari Septi dengan pandangan yang sangat terbatas, kucoba mencarinya di kamar.
Saat aku tiba diambang pintu kamar, tiba-tiba ada bunyi air yang bersumber dari bagian belakang rumahku

“Wah pasti Septi lagi mandi nih” aku langsung menuju ke sumber bunyi air tersebut, ya memang benar sumber air tersebut berasal dari kamar mandi

*Byyuuurrr byurrrr byurrr*
Terdengar tiga siraman air seperti sedang membilas badan

“Sep wakmu adus ta, kok iso karo petengan ngene"

(Sep kamu kok bisa si mandi gelap-gelapan begini) aku yang yakin itu Septi sedang mandi melontarkan sebuah pertanyaan. Bukannya jawaban yang ku dapatkan melainkan hanya
tawaan lirih dari dalam kamar mandi.

“Hihihi” terdengar jawaban Septi dari kamar mandi 

Aku yang juga ingin buang air kecil pun menunggu Septi dari luar kamar mandi, tak berselang lama kamar mandi pun terbuka dengan sendirinya,

*Krieettt…*
Bunyi pintu kamar mandi yang mulai terbuka perlahan. Dan apa yang kudapati bukanlah Septi namun sesosok perempuan tengah berendam di bak mandi dengan muka yang sangat menyeramkan dan mata melotot, aku yang terkaget berlari menuju ke kamar karena yakin kalau Septi berada dikamar
“Sep tangi Sep tangio…!"

(Sep bangun sep bangun.!!) Teriakku di depan kamar. karena tak kunjung mendapat jawaban aku yang ketakutan pun tanpa pikir panjang memasuki kamar dan membuka selimut yang berada di kasur. Ku pikir seorang dibalik selimut itu Septi.
Perlahan ku raba-raba karena keadaan gelap saat itu dikamar. Namun saat kubuka dan meraba yang kuraba seperti sebuah kaki bengkok, ternyata yang kulihat sesosok anak kecil cacat dengan kaki bengkok yang dulu pernah kulihat saat masih kecil. Dengan mata hitam dan mulut lebar
menganga ia menatapku kosong.

Badanku merinding, tanpa seucap kata aku lari keluar kamar, yang kupikirkan hanyalah bagaimana caraku keluar dari dalam rumah, berlari menuju pintu depan

*Cklekkk Cklekk*

Gagang pintu berusaha ku buka namun tak berhasil, seperti ada yang mengunci
dari luar rumah.

"Sialan, Septi ngendi ki nyapo malah lungo aku dikurung ngene"

(Sialan.. Kemana Septi, kenapa pergi dan mengurungku gini) umpatku dengan sedikit kesal kepada Septi yang entah berada dimana

*Dug.dug.dug*

Bunyi langkah kaki terdengar dari luar rumah.
*Krek krek*

Bunyi kunci pintu yang dibuka dari luar rumah membuat dadaku sedikit merasa lega. Tak berselang lama pintu pun terbuka. Dengan rasa kesal aku bertanya kepada Septi yang baru saja masuk.

“Kondi koe ngopo lungo ga ngomong, lawang barang nyapo dikunci"
(Lu dari mana kenapa pergi ga bilang, pintu juga pake dikunci segala)

“Ko warung tuku mangan mbe lilin Jun wong mati lampu ngene, lek ga dikunci wedine ono wong nyelonong melbu wong wakmu turu"

(Dari warung beli makan sama beli lilin jun. Kan lu tau mati lampu,
kalau ngga dikunci takut ada yang masuk kan kamu tidur)

"Mene maneh ngomong yo nek ate metu. Aku wedi dewean"

(Lain kali bilang kalau mau keluar kan gua takut sendirian) jawabku dengan nada sedikit tinggi namun memelas,karena takut kalau sampai Septi tidak mau menemaniku lagi.
“Iyo sorry Jun, lha wakmu mau turu nek ditangeni mesakne to,  yowes mangano sek ki nyalakne liline"

(Iya deh maaf Jun, kamu tidur mau dibangunin kasian kan, iya udah makan dulu sekarang nyalain lilinnya)

Kami yang sudah merasakan kelaparan segera memakan dua nasi bungkus yang
dibeli Septi.

Namun saat kami tengah menyantapnya tiba-tiba ada sekelebat bayangan melintas di belakang Septi. Aku yang melihat bayangan tersebut hanya diam dan sedikit menundukan kepala, lagi-lagi aku tidak mau menceritakannya  karena kupikir kalau Septi tau dengan apa yang
sering kualami dia tidak akan mau menemaniku tinggal disini.

*Glotakkkk*

Tiba-tiba terdengar suara seperti benda jatuh ke lantai dari arah kamar tidur, kali ini kami berdua saling bertatap mata karena terkejut dengan suara tersebut,

“Apa Jun?” Septi seperti merasa janggal,
belum pernah aku melihat wajahnya sekaget ini.

“Ahhh tikus palingan Sep, udah lanjut makan abisin” jawabku sambil makan dengan lahap tanpa melihat Septi kembali

“Jun jun iku sopo yo? "

(Jun jun itu siapa ya?)

tiba-tiba Septi menunjukan tangannya ke arah kamar,
@ElevenRda

namun yang kulihat hanyalah sebuah pintu kamar, kali ini aku yang sering melihat hal aneh di rumah, tidak bisa melihat apa apa

“Endi Sep awak dewek kan tinggal wong loro nok kene"

(Mana Sep kan kita tinggal berdua disini) jawabku dengan rasa penasaran karena ingin
tahu apa yang dilihat oleh Septi.

“Iku Jun ono wong raine ayu mirip awakmu, deweke mesem trus melbu kamarmu"

(Itu Jun ada seorang perempuan wajahnya cantik mirip kamu, dia senyum ke kita trus masuk kamar kamu Jun) Kali ini aku terkejut dengan jawaban Septi kenapa yang dia lihat
adalah seorang dengan wajah yang cantik, sedangkan yang pernah ku lihat di dalam rumah ini adalah sosok sosok mahluk yang menakutkan.

“Ahh gak ngarah lah sep aku kan tinggal dewean"

(Ahh Sep mana mungkin si aku kan tinggal sendirian)
"Iyo iku Ibuk Jun, Ibuk kangen awakmu, deweke golek goleki Juni"

(Iya itu Ibu Jun, Ibu kangen ke kamu dia nyari nyari Juni) jawab Septi sambil memandangku dengan meyakinkan bahwa se sosok ibu yang barusan dia lihat adalah ibuku.

“Tapi Sep kok awakmu iso yakin kui ibukku"
(Tapi Sep kamu kok bisa yakin kalo yang tadi kamu lihat Ibuku) aku masih tidak percaya dengan apa yang Septi lihat, dan kini berusaha menanyakan kisaran umur Ibu tersebut kepada Septi

"Menurutmu umurnya berapa?” 

“32”

Spontan Septi menjawab dengan mata mengarah ke pintu kamar
yang berada persis di hadapan kamarku.

Hatiku berdetak lebih kencang mendengar jawaban Septi, ya Ibuku dulu meninggal di usia 32 tahun, pada saat itu umurku baru menginjak 9 tahun.

Dari jawaban yang Septi lontarkan sepertinya ia bisa melihat masalalu keluargaku.
Lampu yang tadinya padam setelah kami selesai makan akhirnya menyala, ditemani Septi malam ini aku sedikit merasa tenang karena akan ada teman untuk berbincang, kami berdua pun banyak bercerita, disela pembicaraan kami Septi mengucapkan terimakasih padaku karena sudah membantunya
saat diganggu oleh Okta dan teman temannya.

Ya, Okta adalah salah satu anak orang kaya dikampus kami dan ia selalu mengganggu siapapun jika kemauannya tidak dituruti.

Septi bercerita padaku bawasannya saat itu Okta meminta Septi untuk mengerjakan tugasnya, namun Septi menolak
untuk membantunya sehingga dia di perlakukan tidak baik oleh mereka.

Ditambah lagi dengan ketidak sengajaan Septi yang bersembunyi dan mengintip Okta beserta kawan kawannya saat merundung Juni. 

“Suwun Jun wakmu kae nulungi aku ko Okta. Pomeneh saiki aku manggon nde omahmu"
(Makasih Jun kamu sudah nolongin aku dari Okta. Dan sekarang kamu juga nawarin tinggal bareng dirumahmu) ucap Septi kala itu,

“Podo podo Sep siki wakmu aman nok kampus. Tapi kene kudu tiati karo arek arek iku. Deweke nekatan dupeh sugih"
(Sama-sama Sep, sekarang kamu bakal aman kalau dikampus, tapi kita harus waspada sama Okta dan gengnya, dia nekatan orangnya mentang-mentang orang kaya) jawabku meyakinkan Septi agar tidak takut lagi saat dikampus.

Setelah mengobrol sampai larut malam akhirnya Septi memutuskan
untuk beristirahat karena besok dia ada jadwal kuliah pagi,

“Jun turu yoh wes ngantuk ki"

(Jun ayo tidur, aku udah ngantuk nih) ucap Septi dengan mata yang mulai memerah sepertinya ia sudah tak tahan untuk diajak berbincang

“Yawes turuo disek aku te ndelok tv diluk,
ngko tak susul nok kamar"

(Ya udah kamu duluan deh aku mau nonton tv sebentar, nanti aku susul kekamar) Ucapku karena ingin menonton sebuah acara komedi di tv

Septi pun langsung menuju kamar. Aku yang berada diruang tv sendirian mencari acara komedi kesukaanku, setelah 15 menit
kemudian bunyi pintu kamar tidur seperti terbuka,

*Kriettt*

Nampak Septi menuju belakang, mungkin dia ingin buang air kecil.

Aku pun kembali fokus menonton acara komedi sambil tertawa sendiri, 1 jam berlalu namun Septi belum kembali dari belakang.
“Sep kamu kenapa, kok ga balik-balik dari belakang” Dengan sedikit teriak, namun tiada jawaban dari Septi kala itu. Aku yang khawatir berusaha memastikan ke bagian belakang rumahku

Ternyata saat kuintip dari pintu, Septi sedang berada didapur, didepan kompor.
pikirku mungkin saja Septi merasakan lapar, jadi dia membuat mie instant yang dibelinya tadi sore,

“Bok wes lesu maneh a, doyan mangan yo ternyata"

(Ya elah kamu laper lagi, doyan makan juga ternyata) dengan sedikit bercanda aku bertanya ke Septi
“Hihihihi” Septi hanya tertawa mendengar pertanyaanku

Aku yang juga ikut merasakan lapar berusaha mendekati dan ingin meminta mie instant buatannya kalau sudah matang

“Nyuwun a nek wes mateng"

(Aku minta ya kalau sudah matang)

sambil berjalan aku berusaha mendekatinya
namun saat mulai melihat wajahnya, ternyata bukan Septi. Yang kulihat wajah tanpa mata dan hidung,namun hanya ada mulut yang sudah membusuk dan di gerumuti belatung

Spontan aku berlari menjauh, kuayunkan kakiku langsung menuju ke kamar, dengan nafas memburu aku langsung naik
ke atas rajang, berusaha membangunkan Septi yang sedang tertidur.

“Sep tangi seppp!!! "

(Sep bangun sep!!!) teriakku untuk membangunkan Septi yang sudah tertidur pulas.

“Hehhh opo si, bukane tidur ih”

"Aku roh demit Sep!"

(Aku liat hantu Sep!) semua yang dari awal berusaha
kututupi dari Septi, kali ini aku berusaha menceritakan apa yang barusan ku lihat.

“Biasa wae talah ncene akeh demit nde omahmu, aku ngantuk ki lho, turu ah"

(Biasa aja kali emang banyak hantu dirumah kamu, aku ngantuk nih, udah tidur ah) jawaban Septi yang
enggan membuka matanya waktu itu.

Namun aku segera menepuk badannya dengan keras agar mau membuka mata dan mau mendengarkan ceritaku, akhirnya Septi pun terbangun dan duduk di kasur.

Aku langsung menceritakan kepadanya saat itu juga.
“Mau aku roh onok sing metu seko kamar iki mirip awakmu mlaku mburi, tak kiro wakmu ning mari tak cek dadakman demit"

(Tadi aku lihat ada yang keluar dari kamar ini mirip kamu kulihat jalan ke belakang rumah, aku pikir itu kamu tapi waktu aku cek ternyata hantu)

@ElevenRda
dengan memegang pundak Septi aku berusaha meyakinkan kalau yang kulihat memang hantu

“Haha iyo nda” lagi-lagi Septi menganggap remeh ucapanku 

Namun kali ini aku berusaha mengajaknya kedapur agar dia juga ikut melihat sesosok hantu tersebut

Dengan mata kantuk Septi mengiyakan
“Iya udah ayo kita lihat” kami pun berjalan pelan dengan Septi didepan aku yang masih merasakan ketakutan mengikutinya dibelakang sambil memegangi bajunya,

*Hooookk hokkk hokkkk*

Terdengar bunyi seperti orang mengorok saat tidur, sumber suara tersebut seperti dari arah dapur
yang akan kami datangi.

"Suoro opo kui?" gumam Septi

Perlahan kami berdua mengintip bagian dapur dengan perlahan, aku pun terkejut ternyata didapur tidak ada apapa, dan tidak ada hal aneh yang terjadi,

“Tuhh kan gak nampak setannya! !.” Ucap Septi
Aku pun hanya terpaku kebingungan, padahal tadi didapur aku melihat hantu gumamku dalam hati.

“Udah ayo tidur lagi ngantuk nih” Septi yang masih mengantuk mengajak untuk kembali ke kamar, aku yang masih merasa ketakutan hanya mengikutinya dari belakang

Sesampainya dikamar…
*Pyakk Pyak*

 Septi yang berada didepanku saat memasuki kamar terdengar seolah menginjak air

“Loh kok ono banyu ndek gladak Jun?"

(Loh kok ada air di lantai kamar Jun)

“Wah kok aneh yo, jal nyalakke dilahe ayok resiki"
(Wah kok aneh ya,  yaudah cepet nyalain lampunya kita bersihin dulu) ucapku memerintah Septi untuk menyalakan saklar di dinding dekat ranjang.

Septi pun berjalan perlahan menuju saklar yang kumaksud, namun sesudah lampu dinyalakan kami berdua bingung karena dilantai tidak ada
cairan yang terinjak oleh Septi

“Gaono banyu opopo Sep"

(Gada cairan apa apa Sep) kataku waktu melihat lantai dihadapanku yang kering

Setelah kejadian itu aku dan septi memutuskan untuk tidur kembali, waktu menunujukkan pukul 23:15
Septi yang dari pagi belum tidur sudah terlelap disampingku.

“Wah sial kok susah tidur” Umpatku yang merasakan susah tidur, karena terlalu lama tidur siang sampai waktu maghrib tadi

Aku hanya bengong sambil memandang langit-langit rumah, mengamati setiap sudut kamar,
tiba-tiba mataku tertuju ke atas lemari pakaian yang ada di dekat jendela kamarku. Namun saat ku amati ternyata hanyalah kain dan kardus.

Mataku mulai mengantuk dan perlahan mengejamkan mata,namun tak berselang lama Septi terbangun

“Te ngendi Sep"

(Mau kemana Sep)
ucapku dengan mata setengah mengantuk

“Pipis bentar” Septi pun berjalan keluar kamar dan menuju kamar mandi

~~

Saat sedang jongkok dengan mata mengantuk tiba-tiba seperti ada yang menyangkut di wajahnya, perlahan tangan Septi meraba bagian wajahnya, sehelai rambut yang
sangat panjang menempel di bagian wajahnya

Kepala Septi perlahan mendongak, wajahnya mengarah ke bagian atap kamar mandi. Terlihat sebuah kepala putus dengan lidah menjulur sedang berayun ayun disana, rambutnya benar benar panjang dan tanpa badan, seperti digantung.

@ElevenRda
Septi yang terkejut pun sontak berteriak sekencang mungkin dan berusaha lari dari kamar mandi,

*Hhhhaaaaa.!!!!***.

Teriakan Septi mengagetkanku membangunkanku yang berada di kamar, aku terbangun dan berusaha menghampiri Septi, namun saat kubuka pintu kamar 

*Hihihihi Hahhhh*
Kerumunan anak kecil dengan muka yang sangat seram seperti ingin mengejarku dan mengajakku bermain, aku yg ingin menghampiri Septi lantas mengurungkan niatku, menutup kembali pintu dan melompat ke ranjang, berusaha menutup kepalaku dengan selimut.
“Kenapa Septi ngga datang-datang dari belakang sih”  gumamku dalam hati dengan badan yang kubenamkan dalam selimut,

“Sep koe ngendi se ko sui men pipise"

(Sep kamu dimana lama banget sih pipisnya) namun tidak ada jawaban dari Septi waktu itu,

@ElevenRda
tidak berselang lama terdengar suara cekikikan dari bagian belakang rumahku

“Hihihihi hahahahaha” suara tersebut terdengar mirip seperti suara Septi, aku sangat paham dengan suara tersebut. Tapi kenapa dia tertawa sendiri gumamku dalam hati.
15 menit berlalu Septi tak kunjung kembali ke kamar, aku berniat menyusulnya ke kamar mandi. Dengan rasa takut kucoba kembali membuka pintu kamar

“Syukur gaono popo maneh"

(Syukurlah sudah tidak ada apapa)

Kulangkahkan kakiku setapak demi setapak menuju ke kamar mandi,
namun Septi tidak ada. Pintu belakang rumah nampak terbuka, karena makin penasaran akan keberadaan Septi, akhirnya ku intip perlahan melalui celah pintu itu.

Berdiri seseorang yang nampaknya adalah Septi menghadap sebuah pohon asam jawa, disana ia seperti tengah membicarakan
sesuatu dengan seseorang.

“Sep melbuo nomah sep nyapo nok jobo bengi bengi ngene"

 ( Sep masuk kerumah ngapain di luar malam-malam begini) panggilku saat itu

Sepertinya Septi tidak mendengarkanku, dengan ragu aku mencoba mendekatinya,

*Hihihihi* saat aku mendekat Septi
hanya tertawa menghadap pohon

“Jun ojok nyedakkk!!!"

(Jun jangan mendekat) Aku mendengar panggilan itu namun badanku seperti tidak bisa digerakan untuk menoleh ke orang yang memanggilku. Badanku seperti ditarik salah satu mahkluk yang menyamar sebagai Septi tersebut.
*Bughhh* pukulan keras dibagian punggungku membuatku hilang kesadaran malam itu

//BERLANJUT//
Hai? Sorry readers, kalian harus sabar nunggu cerita yang ga kelar kelar ini. Soalnya emang cerita ini lumayan rumit, harus dirombak berulang kali. Dan kalo ada yang tanya kenapa tag @ElevenRda pastinya karna Cimoll nulis ini collab berdua sama dia yeeee
Paginya aku sudah terbangun didalam rumah, aku seperti orang linglung dan berusaha bertanya kepada Septi apa yang terjadi semalam

“Mambengi wakmu nyapo nok edak wit mburi Sep"
(Semalam kamu ngapain di dekat pohon Sep) tanyaku pada Septi yang sedang membuat teh manis disampingku
“Aku mambengi reti demit nok jeding trus mlayu lewat lawang mburi, eh peteng yo aku muter langsung moro teras"

(Semalam aku lihat hantu di kamar mandi, terus lari lewat pintu belakang, eh ternyata gelap yaudah muter langsung ke teras depan rumah) jawab Septi
“Terus sing nok cedak wit iku sopo"

(Terus yang ada di dekat pohon, mirip kamu itu siapa) Aku berusaha menanyakan sesosok mahluk yang mirip dia berada didekat pohon asam jawa belakang rumahku

“Itu hantu jahat yang ingin membawamu ke alamnya, jadi seolah yang kamu lihat itu aku”
jawab Septi dengan mengaduk teh manis dan menyuguhkan di dekatku.

“Jadi disini ada banyak yang menghuni Jun"

"Aku bisa melihat dan merasakan apa yang terjadi di rumah ini dulunya, tapi aku belum bisa memastikan sendiri, takutnya yang aku sampein ke kamu itu juga salah.
Semua gambaran yang muncul di penglihatanku acak” lanjutnya. 

Mendengar omongan Septi aku teringat ibu yang dulu mati bunuh diri dirumah ini. Namun aku enggan untuk menceritakan hal itu pada Septi.

~~

Paginya kami bersiap untuk berangkat ke kampus seperti biasa.
Sesampainya di kampus kami berdua kembali bertemu dengan Okta, salah satu anak orang kaya yang songong dan selalu mengusik Septi. Karena sekarang Septi selalu bersamaku dia tidak berani mengusiknya lagi. Mungkin saja ia enggan merasakan hantaman ember tepat diwajahnya seperti
yang kulakukan padanya waktu itu.

Jam makan siang dikampus tiba, aku dan Septi memutuskan mengobrol dikantin mengenai kejadian yang kami alami semalam.

Disini Septi jujur dengan apa yang dia alami, Septi bercerita saat pertama kali datang kerumah, suasana rumah tersebut gelap,
walaupun disiang hari, ia dapat melihat seorang ibu dengan kedua belas anaknya menempati rumah tersebut. Serta masih banyak lagi mahluk jahat lainnya.

“Sep piye carane nggusaki"

(Sep gimana cara mengusirnya) sahutku waktu itu sedikit takut dengan apa yang diceritakan Septi
“Gakroh Jun, aku bingung"

(Ngga tau juga Jun, aku bingung) Septi yang merasa bingung hanya menjawab singkat sambil menggigit ibu jarinya

~~

Pak Adi penjaga kantin yang dari tadi memperhatikan dari kiosnya tiba-tiba menghampiri kami berdua,
“Ada apa nak kok kaya bingung gitu” Tanya Pak Adi sambil berdiri di samping Septi yang sedang duduk

“Gapapa Pak, ini banyak tugas kuliah jadi bingung ngerjainnya” Ucap Septi ke Pak Adi,

Namun Pak Adi tidak langsung percaya terhadap jawaban Septi

“Udah nak jangan di sembunyiin,
pasti ada masalah dirumah kan” celetuk Pak Adi yang seolah-olah tahu mengenai kejadian semalam,

“Iya Pak banyak kejadian aneh dirumah saya” ucapku pasrah karena tidak tahu harus berbuat apa untuk mengusir penghuni penghuni sialan yang berada dirumahku.
“Nak Juni, Bapak melihat ada yang selalu mengikuti kamu” Pak Adi yang tadinya diam tiba-tiba melontarkan pernyataan yang membuatku terheran

“Siapa Pak yang ngikutin saya” 

“Ibu” Jawab Septi tiba-tiba yang membuat seluruh badanku merinding

"Ibu? Ibu siapa?"

"Ibumu" Jawab Septi
“Apa itu benar Pak, Ibu saya yang mengikuti saya?” ucapku bertanya kepada Pak Adi

“Iya betul Ibumu dulu meninggal tidak wajar, dia putus asa karena tak dapat bertemu denganmu lagi, serta banyak beban berat yang ia tanggung sendirian di pundaknya, ia pun mengakhiri hidupnya”
jawab Pak Adi yang entah kenapa bisa tau semua dengan kejadian yang kualami pada saat berumur 9 tahun

“Terus gimana cara saya ngilangin gangguan yang ada dirumah dan badan saya Pak?”

“Bapak juga belum tahu nak, mungkin ada petunjuk di rumahmu yang bisa kamu kasih tau ke Bapak,
jika ada hal yang janggal” jawab Pak Adi waktu itu, aku berusaha mengingat hal janggal yang berada dirumahku namun sepertinya tidak ada, selain penampakan yang sering menghantuiku.

“Pak boleh ngga saya minta nomor Pak Adi buat bantu saya misal suatu saat saya butuh bantuan?"
Setelah mendapat nomor telfon beliau akupun bergegas pulang dari kampus bersama Septi

--

Dirumah, aku dan Septi membaringkan badan di depan televisi. Kami berdua hanya diam dan terus memikirkan kepingan kepingan kisah kelam rumah ini. Apa maksud semua gangguan ini?
Apa yang pernah terjadi pada Ibuk di masa lalu?

"Assalamualaikum Jun"

Salam seseorang terdengar dari pintu depan, nampak dua orang tengah memasuki rumahku.

"Waalaikumsalam, ko ndi Mei? (darimana Mei?) "

"Aku lagi bali kerjo iki karo Febri Jun, ki tak tumbasne maem"
(Aku baru pulang kerja sama Febri nih Jun, ini aku beliin makan) 

Septi beradu tatap dengan Mei, iapun tersenyum menyapa

"Mbak saya temennya Juni, Septi" ucap Septi memperkenalkan

"Oalah iya Mbak saya juga, rumah saya depan sana malah" jawab Mei sambil menunjuk kearah depan
Kami berempat pun makan bersama, malam ini rencananya Febri dan Mei akan menemaniku bermalam disini.

Selesai makan, kami bergiliran mandi untuk membersihkan badan. Syukurlah, tiada kejadian aneh di sore ini.

--

Asap mengepul perlahan memudar menyebar ke seisi ruangan,
sebatang rokok terselip pada jari jari Febri. Ia nampak asyik duduk dilantai sambil menonton tv.

Septi tengah menyetrika disebelahnya, ia pun sesekali mengobrol dengan Febri.

Aku, aku meletakkan kepalaku di pangkuan Mei yang duduk di sofa panjang.
Ia pun kelihatannya sedikit mengantuk karena kelelahan seharian bekerja.

"Ngantuk Me?"

"Lumayan"

"Yowes ayo turu nok kamar"

(Yaudah ayo tidur dikamar) ajakku padanya

Akupun merubah posisiku menjadi duduk

"Sep, mengko nyusul nok kamar yo. Feb, awakmu gapopo kan turu kene?
Opo kepengen turu kamar sijine?"

(Sep nanti nyusul ke kamar ya. Feb, kamu gapapa kan tidur sini? Apa pengen tidur kamar satunya?)

"Yowes kamar wae Jun, kene mengko kademen aku"

(Yaudah kamar aja Jun, disini yang ada aku kedinginan) jawab Febri yang kini mematikan rokoknya.
Ia beranjak mengambil kunci kamar yang kusodorkan

Mei sudah berada diatas ranjang kamarku, begitu pula Febri yang segera memasuki kamar, kamar yang sebenarnya adalah kamar Ibuk saat hidup dulu

Kulihat Septi masih menyetrika baju bajunya sambil menatap layar tv di depannya.
Akupun segera menyusul Mei yang kini sudah terlelap.

Entah berapa jam tertidur, aku merasa seseorang ikut merebahkan badannya dibelakangku. Aku yang tidur menyingkur menghadap ke punggung Mei pun tak menghiraukannya.

--
Aku bermimpi, ya aku sadar kini tengah berada dalam mimpiku. Dimimpiku ini aku seperti benar benar masih tertidur dengan posisi awal tadi, menghadap punggung Mei. Didalam mimpi ini aku mencoba untuk tertidur kembali.

*Pluk… *

Kurasakan sebuah lengan dingin menimpa tubuhku,
seperti tengah memelukku dari belakang. Aku yang tersentak kaget segera bangun dari tidurku. Apa? Ternyata aku masih didalam mimpi, akankah tadi aku mengalami mimpi di dalam mimpi? Akupun tak menghiraukannya hingga terbangun tujuh kali dari mimpiku, gila, tujuh lapis mimpi.
Hingga untuk yang terakhir aku benar benar terbangun. Aku berhasil keluar dari lubang mimpi ini dan benar benar tersadar dari tidurku. Tubuhku penuh dengan keringat dingin hingga membuat kaus yang ku kenakan menjadi sangat basah. Aku menarik napas panjang lalu memutar tubuhku
Telentang

Kurasakan seseorang memang berada disebelahku, bukan Mei, dia ada di sebelah kiri. Ku tolehkan kepalaku menatapnya.

Pandanganku menangkap sesosok wanita dengan lidah menjulur panjang dan mukanya yang menyeramkan tengah menatapku tanpa berkedip sedikitpun.

*Pluk… *
Sial, adegan yang sama persis seperti mimpiku tadi, benar benar ada yang memelukku.

"Aaaaaaaaaa….."

Aku berteriak sekencang kencangnya, Akupun beringsut mundur dan menendang tubuh itu hingga jatuh dari atas ranjang.

*Dap dap dap dap*
suara seseorang tengah berlari menuju kamarku, Septi.

Septi segera menyalakan saklar lampu dan menghampiriku. Ia nampak panik serta kebingungan dalam satu waktu

Badanku gemetaran tak karuan, aku terlalu takut. Septi menggoncang goncangkan tubuhku dengan keras, begitupun Mei
yang ikut panik menatapku.

Septi memeluk tubuhku erat. Di sisi lain, terdengar suara gaduh dari luar kamar. Suara layaknya kayu yang sedang di adu.

Mei dan Septi segera melepaskanku lalu mengecek keluar, ah, suara itu dari kamar yang ditempati Febri.
Ternyata Febri tertidur pulas diatas ranjang yang bergoyang gemeratak tak karuan. Kaki kaki ranjang itu beradu dengan lantai kayu rumah ini.

Mereka bergegas menghampiri Febri, mencoba membangunkan tubuh itu. Aneh, Febri sama sekali tak bergerak apalagi membuka matanya.
"Feb tangi! Feb koe iso ngrungokne suaraku kan? Feb! Ojok mlaku soyo adoh. Mandeko nok kono"

(Feb bangun! Kamu bisa denger suaraku kan? Feb! Jangan jalan makin jauh. Diem disitu aja) ujar Septi

Mei yang ketakutan segera berlari keluar rumah, ia berniat memanggil keluarganya
Septi dengan sekuat tenaga berusaha membangunkan Febri. Sedangkan aku, disini aku masih merasakan getaran hebat pada tubuhku, mungkin ini refleks saat aku benar benar merasa takut.

Mataku mengarah ke pintu, dengan jelas terlihat ada yang berjalan melewati kamarku.
Dia perempuan tadi, sosok yang sering kulihat bersama seorang anak kecil cacat, ia memeluk kaki wanita itu hingga jalannya menjadi menyeret.

Tak berselang lama, Orangtua Juni dan Febri memasuki rumah dengan tergesa, mereka khawatir akan keadaan kami.

"Astaghfirullahaladzim…"
"Ya Allah Juni… "

"Febri endi Febri… "

"Masya Allah anakku, Feb, tangio nak"

Mereka sangat terkejut melihat kondisi kami, tampaknya orangtua Febri berada di kamar depan.

Ibu Mei segera memelukku, ia menangis menatapku iba.
Badanku yang belum bergerak normal kembali pun dibantu oleh Mei dan ibunya untuk dibawa ke ruang depan.

Aku didudukkan di lantai, diatas tikar yang berada di depan tv.

"Pak Adi, tel fon p p pak Adi" ucapku terbata karena gemetar

"Pak Adi sopo nduk Jun?" tanya ibu Mei
Aku meraih benda yang ada di sakuku dan segera memberikannya pada Mei. Ia langsung mencari kontak Pak Adi pada handphone ku.

Segera setelah dihubungi oleh Mei, Pak Adi datang ke rumah ini.

"Assalamualaikum, gimana pak bu kondisi anak anak?"
ucapnya sembari berlari panik masuk kedalam rumah

"MasyaAllah… Juni" ia terlihat sedih melihatku

"Pak tolong temen saya pak, dia di dalam kamar" ucapku padanya

Ia segera berdiri menuju tempat Febri berada, didalam sana ada Septi beserta orangtua Febri,
tentunya mereka mencoba menghentikan ranjang yang bergerak tak beraturan itu, dan juga membangunkan Febri yang seperti pingsan diatasnya.

Pak Adi meminta kapak kepada ayah Mei

"Pak saya minta tolong carikan kapak segera"

"Buat apa Pak?" tanya ayah Mei

"Saya mohon Pak"
Akhirnya ayah Mei pun menuruti Pak Adi, membawakan benda yang ia inginkan.

Pak Adi pun segera menebas keempat kaki ranjang itu, benar saja kini ranjangnya tak lagi bergerak. Ia pun membangunkan Febri

"Anak ini namanya siapa Pak Buk?" tanya Pak Adi pada mereka
"Febri Pak, dia anak saya" jawab ibu Febri dengan wajah merah dan mata berair

Ia membisikkan sesuatu pada telinga Febri, lalu.. 

"Febri, kamu bisa denger suara saya kan, pergi cepet lari dari situ nak, balik ke jalan yang tadi kamu lewati" ucapnya dengan lantang
Akhirnya Febri pun membuka mata, entah apa yang terjadi padanya

--

Setelah semuanya mereda, kami semua berkumpul di ruang tamu. Pak Adi pun menjelaskan kemungkinan penyebab hal hal aneh yang terus menerus terjadi dirumahku
"Mohon maaf sebelumnya jika saya lancang, apa benar bapak ibu semua sudah lama tinggal di daerah sini?" buka Pak Adi

"Iya Pak, kami sejak dahulu memang tinggal disini" jawab Ayah Febri

"Apakah disini pernah terjadi kejadian kejadian pembunuhan semacamnya?" tanya Pak Adi kembali
Para orangtua saling melempar pandang, mereka bingung dengan perkataan Pak Adi

"Gaada tuh Pak, dari kecil saya gapernah denger" sahut Febri

"Bener Pak, lingkungan sini ga pernah ada kejadian macam itu" timpal Ibu Mei

Pak Adi manggut manggut dan kembali bicara
"Septi, kamu tau maksud saya kan?" ucapnya

"Iya Pak, sayangnya saya cuma sedikit tahu dan sebatas bisa melihat mereka, saya juga masih sering ketakutan meskipun sudah ribuan kali melihat makhluk makhluk seperti itu" jawab Septi membenarkan
"Nak Juni, rumahmu sangat ramai, rumah ini tidak bagus untuk ditinggali, banyak makhluk jahat disini. Dan sosok yang sering mengikutimu juga menampakkan dirinya adalah ibumu sendiri" ucap Pak Adi menatapku

Aku menatapnya kosong, apa maksud perkataan itu? Ibuku? Ibuk?
Mengapa ia gentayangan dan menghantuiku

"Saya coba bantu buka.."

Dia mendekatiku, menutupkan telapak tangan kirinya pada kedua mataku dan menekan erat erat tengkuk ku.

Tiupan kurasakan di kupingku sesaat sebelum ia menyuruhku membuka mata.

Pandanganku sedikit kabur,
dan perlahan terdengar berbagai suara di telingaku. Suara apa ini… 

*Oek oek oek… *

*Hihihihi….*

Rumahku terasa sangat riuh oleh suara suara aneh. Ada banyak suara tangisan bayi, suara anak kecil yang tengah asyik tertawa cekikikan dan banyak orang berbicara
seperti tengah berada di keramaian.

Kini mataku dapat melihat dengan jelas makhluk makhluk mengerikan di dalam rumah ini. Dengan berbagai macam wujud menjijikkan mereka semua mengerumuni kami.

Pandanganku tertuju pada seorang wanita yang dikakinya ada seorang anak cacat
yang dulu pernah kulihat saat kecil.

"Dia ibumu, dan itu salah satu anaknya" ucap Pak Adi membuat gejolak dalam hatiku

*Aaaaaaaaaa…*

Aku berteriak keras karena ketakutan dan belum sepenuhnya siap mendapati semua ini

Pak Adi segera menutup kembali mataku
dan bertahap akupun mulai tenang.

Ia berkata bahwa ia telah berkomunikasi dengan mereka, ia menceritakan semua masalalu kelam rumah ini berdasarkan yang ia dengar dari (mereka)

"Jun, Bapak harap kamu bisa menerima semuanya. Ibumu masih gentayangan karena meninggal dengan
cara yang salah, arwahnya tidak diterima oleh yang maha kuasa. Dan anak anak kecil yang sering menjumpaimu, mereka sebenarnya adalah anak ibumu. Anak anak yang ia gugurkan, namun ada satu yang ia lahirkan. Anaknya yang ke dua belas, bocah cacat itu, Rusin namanya" jelas Pak Adi
"Benar kan nak Septi?" tanyanya kini

"Sejauh yang saya pahami Pak" timpal Septi

"Pak Bu sekalian, saya mohon untuk tetap menjaga rahasia aib keluarga ini. Biarlah masalalu hanya menjadi angin lalu" ucap Pak Adi

Kami semua masih keheranan dan sangat tak menduga dengan
pernyataan yang dilontarkan Pak Adi dan Septi barusan. Seakan listrik menyengat dada kami.

"Untuk sekarang, saya tidak punya solusi apa apa. Satu satunya yang saya bisa hanyalah memutus hubungan Juni dengan dunia mereka. Menutupi bau tubuhnya agar mereka tidak dapat
membedakan Juni dengan bangsa mereka. Maaf, saya tidak sanggup mengusir mereka dan membersihkan rumah ini" ucap Pak Adi pasrah

Aku mulai menangis, semua yang kudengar hanyalah membuat dadaku semakin sesak
"Gimana bisa Ibuk punya dua belas anak sebelum saya Pak? Ibuk masih muda saat meninggal dulu" tanyaku merasa pilu

"Iya Pak kami pun tidak pernah tau menahu mengenai hal yang bapak ceritakan ini. Saya dan Septiani bertetangga sejak masih kecil, kenapa saya
gapernah liat dia hamil anak selain Juni" ucap Ayah Mei

"Jangankan kamu, aku yang sudah dewasa waktu kalian masih ingusan saja jarang nampak Septiani keluar rumah" sahut Ayah Febri

"Benar juga ya pak, dari dulu ibunya Juni jarang sekali bersosialisasi dengan warga.
Cuma Pak Bagyo yang benar benar dikenal warga" timpal Ibu Febri

(Pak Bagyo adalah ayah dari ibu Juni / kakek Juni) 

- RUSIN END    -
Gantung ya ceritanya? Yaiya lah cimoll tiap bikin thread kan batas ± 300 utas

Banyak poin yang belum tersampaikan dari cerita ini. Juga pasti banyak yang masih bingung sama inti ceritanya
Eitss… tunggu dulu, tenang, cimol bakal bawa kalian melalui benang benang cerita ini lagi, sampai klimaks pokonya bossque tapi nanti. Sabar ya, bakal ada part 2 atau bahkan part 3.

Oiya, salam dari @ElevenRda buat kalian yang udah baca cerita kita  :-*
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with Cimolll

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!