, 409 tweets, 57 min read
My Authors
Read all threads
-- RUSIN PART 2 --

TOROK NYOWO

By @ItsQiana & @ElevenRda

#bacahorror #ceritahorror @ceritaht
Penasaran dengan babak kedua cerita Rusin?

Jujur penulis tidak serta merta mengalami langsung hal hal yang ditulis saat ini. Cerita didapat dari salah seorang yang mengetahui persis kejadian tersebut, dan memiliki akses kepada orang terdekat pemilik cerita.
Rusin hanya sebuah nama, tak ada makna khusus didalamnya. Rusin merupakan seorang anak ke 12 sekaligus anak pertama yang dilahirkan seorang wanita yang memiliki garis hidup tak seperti orang kebanyakan.
Sebelum melanjutkan cerita, penulis memohon maaf apabila tulisan ini tak akan terfokus pada Rusin, namun ke tokoh tokoh lain yang menurut saya kisahnya juga patut untuk diceritakan.
Ada baiknya berdoa dahulu sebelum kita mulai membaca :)

Bagi yang belum membaca part 1 :

Torok Nyowo

-
Angin bertiup kencang, langit dipenuhi warna kelabu. Daun daun berguguran ke tanah di sore yang mendung itu

Rontokan daun kering mengisi seluruh halaman rumah. Rumah yang terlihat tua, nampaknya Juni belum pernah merenovasinya sejak pertama mendiami rumah itu lagi
"Jun wes mateng, ayo maem"
(Jun udah matang nih, ayo makan) teriak temannya dari dalam rumah

Juni yang sedang duduk melamun di teras tersadar oleh teriakan temannya itu, ia bergegas masuk

Kini hidup mereka berdua telah berubah, aman dari gangguan makhluk makhluk disana.
Bukan benar benar aman, sebenarnya makhluk itu hanya tak dapat mencium bau manusia dari tubuh kedua gadis itu. Namun bukan berarti tak pernah ada lagi kejadian aneh dirumah tersebut, hanya saja mereka harus mengacuhkannya.

Setidaknya mereka bisa bertahan, untuk saat ini,
namun tiada yang tahu kejadian apa saja yang akan menyambut mereka kedepannya.

~~

Pagi ini mereka bersiap untuk berangkat ke kampus seperti biasa, dalam perjalanan handphone Juni berdering, ia pun segera menepikan mobilnya sejenak.
“Halo Jun ini Mba Novi. Mbak sama masmu mau main kesana sama keponakan kamu yang lucu ini” ucap perempuan dalam telefon

Ternyata telfon dari kakak tiri Juni yang mengabari bahwa ia akan berkunjung

“Iya Mbak, nanti tinggal masuk ke rumah aja, kunci ada di bawah pot bunga...
...dekat pintu, Juni mau kuliah dulu nanti jam 3 sore Juni udah pulang kok”

“Oke jun” jawab singkat dari kakaknya

Juni yang akan ke kampus kembali melanjutkan perjalanan

~~

Diruang kelas tiba-tiba handphone Juni berdering, terlihat panggilan suara dari Mba Novi.
“Jun Mba wes tekan ki, mengko aku nginep sewengi ya nduk"
(Jun aku udah sampe sini nih, nanti aku nginep sehari ya) ucap seorang perempuan dalam telepon

“Nggih Mba mboten nopo nopo, dadi rame kan omahe lek ono sampean"
(Iya Mba gapapa, jadi rame kan rumah kalo ada Mba juga)
jawab Juni dan telfon pun langsung terputus mungkin karna sinyal di rumahnya susah

“Sep mbakyuku mbe bojone karo anake ate nginep sedino, gapopo kan?"
(Sep kakak tiriku sama suami dan anaknya mau menginap sehari, kamu gapapa kan?) tanya Juni pada wanita di sebelahnya, Septi
"Gapopo lah Jun, oiyo tapi aku lali durung kondo nok awakmu ya nek aku arep bali omah sek. Soale wongtuaku kangen eg, wes telung sasi aku durung mantuk"
(Gapapa lah Jun, oh iya aku lupa belom bilang ke kamu ya kalo aku mau pulang ke rumahku dulu. Soalnya orangtua pada kangen,...
...udah tiga bulan aku belom pulang kesana) jelas Septi tiba tiba

Juni terdiam sejenak menatapnya, nampaknya Septi tahu betul apa yang ada dalam benak Juni saat itu.

"Gapopo Jun, bismillah. Kalo ada apa apa tinggal ngabarin aku apa Pak Adi" lanjutnya kembali
Gadis malang itu berusaha terlihat baik baik saja, maklum ia merasa selama ini sudah terlalu banyak merepotkan temannya itu.

"Iyo Sep, gapopo kok aku gak wedi opo maneh ono Mbak Novi nok kene"
(Iya Sep, gapapa kok aku ga takut apalagi ada Mbak Novi disini) jelas Juni pada Septi
untuk menyembunyikan rasa khawatirnya.

Sore itupun Juni mengantar Septi menuju halte bus, tepat saat sampai sana bus yang akan Septi tumpangi tengah singgah di halte tersebut. Septi berpamitan untuk terakhir.

"Jun aku mantuk sek ya, ojo telat maem"
(Jun aku pulang dulu ya, kamu jangan telat makan) ucap Septi sembari memeluknya sejenak

"Iya awakmu yo sing ati ati"
(Iya kamu yang hati hati)

Mereka berdua berpisah disini, temannya itu segera naik kedalam bus tersebut.
Setelahnya, iapun kembali kedalam mobil miliknya yang terparkir didekat sana. Mengingat sore mulai menjelang, iapun memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Tiga puluh menit perjalanan Juni lalui sampailah kini mobilnya memasuki halaman rumah tua kediamannya.

--
"Dek liat itu Tante Juni pulang" ucap seorang wanita berambut pendek yang tengah menggendong anaknya yang sedari tadi bermain di tanah, seorang balita yang sangat cantik

Anak itu nampak girang melihat Juni menghampirinya

"Nte.. Nte.. hihihi" ucapnya yang belum lancar bicara
Ia cekikikan saat Juni cium pipinya

"Merry ikut Tante sini.." ajak Juni

Ia segera menyodorkan tubuhnya dan berpindah ke dekapan Juni dari tangan ibunya

Juni lalu mengulurkan tangan, mencium punggung tangan kakak perempuannya itu, Mbak Novi
"Kok sui men toh dek, mau jare arep mantuk jam telu"
(Kok lama banget sih dek tadi katanya mau pulang jam tiga) keluh kakaknya

"Sepurane mbak mau aku leren ngeterke kancaku sing mbendinane ngancani aku nok omah kene, deweke arep bali kampung"
(Maaf mbak, tadi aku nganter temenku yang biasanya nemenin aku disini, dia mau pulang kampung)

"Loh koncomu onok sing manggon kene ta? Sopo nduk?"
(Loh temenmu ada yang tinggal disini toh? Siapa nduk?)

"Koncoku kuliah mba, jenenge Septi"
(Temenku kuliah mba, namanya Septi)
Novi hanya manggut manggut

"Yowis ayo melbu mbak, wes surup"
(Yaudah ayo masuk mbak, udah petang) ajak Juni pada kakaknya

Mereka bertiga pun masuk, Merry masih dalam gendongan Juni. Terlihat seorang laki laki tengah duduk di kasur lantai sambil menyantap makanan dalam piring...
...yang ada di tangannya.

"Assalamualaikum" ucap mereka serentak

"Yayah yayah..." ujar Merry sambil tersenyum megarahkan telunjuknya kearah pria itu

"Waalaikumsalam, loh Jun udah pulang" kata laki laki itu yang kini menengok kearah Juni
"Iya mas baru aja nyampe, maaf ya malah gabisa nyambut kalian gara gara aku pulangnya kesorean"

Juni melangkahkan kakinya mendekat kearah orang itu, mereka bersalaman.

"Hahaha kaya siapa aja pake acara disambut, Jun Jun" dia mengelus rambut Juni selayaknya ayahnya sendiri
Merry meminta turun dari pangkuan Juni, nampaknya ia ingin bermain bersama ayahnya.

"Jun ndang cepet aduso trus maem. Mbak mau wes masak"
(Jun cepet mandi trus makan gih. Mbak tadi udah masak) perintah kakak Juni yang menyusul putrinya duduk disebelah suaminya itu
"Nggih mbak" dirinya mengiyakannya dan segera menuju kamar untuk menaruh barang barang bawaannya tadi

Sejujurnya, dalam benak Juni saat ini dipenuhi kehawatiran, ia takut kalau sampai terjadi hal buruk menimpa keluarganya. Jelas ia sangat paham situasi ini,
namun semoga saja Pak Adi dulu sudah menutup akses bagi semua makhluk itu agar tidak mencelakai orang orang yang ada disitu, harapnya.

Setelah selesai merapikan barang, ia meraih handuk yang ada di gantungan dibalik pintu kamar, setelahnya menuju kamar mandi.
Tak memakan waktu lama untuk mandi dan berpakaian, Juni berjalan kembali kearah dapur. Maklum daripagi ia belum sempat sarapan, mumpung Mbak Novi mengatakan bahwa sudah masak, iapun bersemangat untuk segera mengisi perutnya yang mulai protes kelaparan itu.
"Masak apa ya Mbak Novi tadi..." gumamnya sambil membuka tudung saji di meja makan

Selera makan yang menumpuk tadi seketika hilang, makanan yang barusaja di masak oleh kakaknya terlihat basi berjamur dan dipenuhi oleh belatung

"Setan keparat, wes mulai maneh wae"
(Setan keparat, udah mau mulai aja) perlahan umpatnya geram

Perasaan Juni mulai tak nyaman, bukan tentang dirinya sendiri, tapi tentang keluarganya yang bisa saja tidak betah tinggal disini.

Segera ia ambil makanan itu dan dibuangnya di dekat pohon asem belakang rumah,
memang disitulah tempat membuang sampah, beberapa hari sekali ia beserta Septi rutin membakarnya.

Ia kembali ke dapur, mengambil bahan seadanya dari kulkas dan mulai memasak.

--

"Wes maem Jun?" tanya Mbak Novi menghampiri Juni
"Mpun mbak, sepurane mau masakane sampean tak buwak, klebonan cecek eg mbak"
(Udah mba, maaf tadi masakannya aku buang, kemasukan cicak soalnya) jawabnya pada Novi, ya lebih baik ia menutupinya dengan alasan tersebut, pikir Juni

"Yah, padahal wes tak tutup rapet"
(Yah padahal udah aku tutup rapat) jawab kakaknya kecewa

Suara decit lantai kayu terdengar, langkah kaki seseorang mendekat menuju kearah mereka berdua

"Ada apa dek?" tanya Agus pada Novi istrinya

"Gapapa mas, si Juni tadi gasempet makan masakan aku soalnya ada cicak...
...masuk ke dalem makanannya" jelas kakak Juni pada suaminya

"Oooh kirain apaan, yaudah nanti sore kita ke supermarket belanja bahan makanan ya, sama beli popoknya Merry" ajak Agus sambil membuka kulkas untuk mengambil minum
"Aku mau mandi dulu ya mas, Jun tolong jagain Merry bentar ya" ucap Novi

"Iya mba, aku kedepan kalo gitu" jawab Juni langsung berjalan kedepan

"Merry... main sama tante yuk" teriaknya dari kejauhan sebelum sampai di ruang tamu

"Mer..." panggilnya kembali
Kosong, keponakannya tidak berada disana.

"Mer... Merry lagi ngumpet ya?" ucap Juni lagi

Tiada jawaban, dimana Merry

Juni memutari seluruh ruang depan, mencari ke setiap sudut bahkan sampai ke bawah meja dan kursi.

Ia berusaha tenang dan tetap mencarinya.
Di teras dan halaman depan pun tidak ada, ia pun mencari ke sebelah rumah, mungkin saja Merry berjalan sendiri keluar rumah, namun nihil.

Juni segera berlari masuk kerumah untuk mengambil kunci mobil.

*Cklekkk...*

Bunyi pintu mobil terbuka
Seluruh tempat di mobilnya, mobil kakaknya pun telah ia periksa namun Merry tiada disana.
Ia melangkah kembali ke rumah dengan terburu

Didapur nampak kakak iparnya tengah duduk diambang pintu belakang yang terbuka

"Mas.. Merry gak ada mas" ucap Juni setengah berteriak...
karena panik.

Jelas saja Agus terkejut dengan suara Juni, untuk beberapa saat dia mengamati Juni yang terengah engah karena berlarian kesana kemari mencari Merry

"Hah, ada kok tadi di depan" ucap Agus mengernyitkan dahinya

Agus segera berlari kedepan untuk memastikan...
...ucapan adik iparnya itu

"Onopo dek kok podo getak getakan"
(Ada apa dek kok pada bentak bentakan?) Tanya Novi yang baru saja keluar dari kamar mandi pada Juni, ia melirik Agus yang berlari
"Merry gaonok mbak"

(Merry gaada mbak!) tegas Juni yang berusaha menahan tangis
Mata Novi membelalak, ia segera melempar baju kotornya ke lantai dan menyusul suaminya kedepan

Juni lanjut mencari Merry di bagian belakang rumah, tiada yang berbeda disini, hanya kepulan asap yang mengepul tebal di tempat pembakaran sampah.
Nampaknya tadi Agus kakak iparnyalah yang menyalakan apinya.

"Mer.. ini tante"
"Merry keluar nak tante mohon"

Teriak Juni di sekeliling halaman belakang, namun sunyi, tak ada jawaban.
Tiba tiba

"Juuuun... Juni...!" teriak kakaknya dari depan terdengar olehnya
Juni menghampirinya segera

"Nggih mbak pripun"
(Ya mbak gimana) tanya Juni

Mata kakak perempuannya itu nampak berlinang air mata, ia menangis kebingungan mencari putrinya.

"Kasih masmu nomor polsek dekat sini" perintahnya padaku
Badan Juni berkeringat dingin, ia sangat tahu bahwa memanggil polisi hanya akan membuat masalah ini semakin diketahui banyak orang, dan jika memang firasatnya benar artinya polisi tak akan dapat membantu menyelesaikan situasi ini, bahkan mustahil untuk menemukan Merry.
Badan Juni berkeringat dingin, ia sangat tahu bahwa memanggil polisi hanya akan membuat masalah ini semakin diketahui banyak orang, dan jika memang firasatnya benar artinya polisi tak akan dapat membantu menyelesaikan situasi ini, bahkan mustahil untuk menemukan Merry.
"Jangan Mas Mba, Juni mohon jangan libatin polisi kali ini" gadis itu memohon pada mereka

"Gila ya kamu Jun? Keponakan kamu hilang tapi kamu ngelarang kita lapor polisi?!" bentak Agus yang terlihat kesal pada adik iparnya

"Bukan gitu mas..." belum sempat Juni menjelaskan,
mereka berdua sudah sangat emosi

"Ga waras ya kamu, atau jangan jangan kamu yang nyuruh orang buat nyulik Merry? Kamu mau jual Merry?!" berondong Novi mencecarnya dengan pertanyaan

"Bukan gitu mbak, maafin Juni. Juni ga ngasih tau dari awal ke kalian"
ia meraih tangan kakaknya dengan gemetar

"Sebenernya rumah ini ga aman buat kalian, maaf Juni ga jujur. Juni yakin Mba Novi paham apa yang Juni maksud" lanjut Juni

Kakak perempuannya itu terhenyak kaget, ia langsung terduduk lemas di lantai. Disini tangis Juni mulai pecah.
"Kalian bicarain apa sih sebenernya. Aku ga peduli, pokonya sekarang kita harus lapor polisi" bentak Agus kembali pada mereka berdua

"Jangan mas, Juni tau orang yang mungkin lebih bisa bantuin kita buat nemuin Merry. Juni mohon mas" ucap Juni memohon pada iparnya
sambil terus menangis sesenggukan.

Agus nampak tak mempercayainya, ia segera meraih kunci mobilnya dan hendak pergi. Namun, kakak Juni menghentikan suaminya itu

"Kita coba dulu mas, kasih Juni kesempatan" pinta Novi

Ya, kakak ipar Juni adalah orang yang sangat sangat...
tidak mempercayai hal klenik semacam itu. Tapi kali ini mau tak mau ia harus mau mengalah dan mencoba mengerti pada situasi.

Gadis itu segera menghubungi orang yang di maksudkan tadi, orang itu, orang yang menolongnya dulu, Pak Adi.
Sayangnya, malam ini Pak Adi tak dapat langsung kemari. Ia masih diluar kota mengurus seseorang yang juga membutuhkan bantuannya. Mungkin esok ia baru akan datang.

Novi terlihat lesu menunduk di tepian kursi, ia kebingungan tak tau harus berbuat apa.
Juni berinisiatif untuk meminta bantuan pada orang orang terdekatnya, ia mendatangi rumah Mei dan Febri, menceritakan keadaannya dan meminta tolong pada mereka untuk membantu.

Tentu saja mereka sangat antusias membantu, di dalam lubuk hati Juni terkadang ia merasa...
...semalang apapun garis hidupnya itu, setidaknya ada orang orang seperti mereka yang membuat hidupnya sedikit lebih bermakna.

--

"Assalamualaikum..."

Mereka semua berdatangan kerumah itu. Ibu Mei dan Ibu Febri yang barusaja masuk langsung menghampiri Novi dan duduk...
...di sisinya sambil merangkul tubuhnya.

"Sabar ya nduk, insyaallah anakmu bakal ketemu. Dulu kita semua juga sudah pernah menghadapi kejadian mengerikan kaya gini" buka Ibu Febri

Novi nampak menengok ke arahnya
"Nggih Mbak, dikuatke nggih atine, awak dewe golek solusine bareng bareng"
(Iya Mbak, dikuatkan ya hatinya, kita semua cari solusinya bersama) sahut Ibu Mei dengan mata berkaca kaca

Memang Ibu Mei persis seperti Juni, ia adalah orang yang sangat sensitif,
mudah sekali untuk menangis.

"Jun..."
Panggil Agus padanya

Juni mendekat padanya, nampaknya ada yang ingin dia tanyakan pada iparnya itu

"Mereka siapa? Kenapa kamu manggil mereka kesini?" tanyanya setengah berbisik

Ia bertanya tanpa menatap Juni,
matanya tertuju pada Mei dan Febri yang mencoba mengulangi tindakan Juni tadi sore, mencari Merry di seluruh area rumah.

"Mereka orang orang yang dulu diamanahin bapak buat jaga aku mas. Mereka seperti keluargaku, lebih dari keluargaku sendiri.
Sejak almarhum bapak pergi dan aku pindah kesini, mereka yang ngurus aku" jelas Juni

Kakak iparnya itu nampak memproses ucapan Juni, dia menatap heran. Mungkin dia bingung kenapa Juni membandingkan keluarganya sendiri dengan orang orang itu.
Lelah, gadis itu melangkah pergi, menghampiri Mei dan Febri. Mei menariknya lebih dekat, ia membisikkan sesuatu

"Mbakyumu karo masmu ipe durung ngerti ta masalah kedaden biyen iko?"
(Kakak sama kakak iparmu belom tau soal kejadian yang dulu ya?) tanya Mei penasaran
Dia menggeleng pada sahabatnya, Mei hanya manggut manggut.

Yang dimaksud Mei adalah saat dimana awal teror yang menimpa mereka.

Febri menatap Juni tanpa henti, bahkan saat gadis itu balik menatapnya ia pun tak segan segan tetap memandanginya tanpa berpaling.
"Ono opo Feb?"
(Ada apa Feb?) tanya Juni tiba tiba

Ia hanya tersenyum, saat ia akan mengatakan sesuatu tiba tiba Ayah Mei dan Febri datang. Mereka semua sepakat untuk menginap disini malam ini.

Malam mulai larut, mau tak mau mereka harus bersabar menunggu hingga esok hari.
Novi terus saja menangis, sedangkan Agus hanya bisa tertunduk putus asa.

Ketiga anak muda itu menggelar karpet di lantai untuk semua orang beristirahat, kakak Juni lah yang lebih dulu merebahkan dirinya disana sambil terus mengalir air dari matanya.
"Dek kamu tidur ya, istirahat, besok kita cari anak kita" ucap Agus yang membawakan selimut untuk istrinya

Ia menyelimuti Novi yang berusaha menutup mata, nafasnya yang tidak teratur karena sesenggukan masih terdengar jelas.
Terlihat Juni membuatkan kopi untuk Febri, ayahnya, beserta ayah Mei. Nampaknya mereka sepakat untuk tetap berjaga.
Mei, Ibu Mei dan Ibu Febri, mereka bertiga mengaji di sudut ruang tamu. Entah sudah berapa lama mereka melakukannya.

--
Tak terasa jam telah menunjukkan pukul 1 malam, Novi telah terlelap setelah lelah menangis berjam jam, begitu pula dengan suaminya, Agus tak sengaja tertidur di kursi, nampaknya mereka berdua sangat nyenyak. Saat itu pula Juni tengah duduk dan mengobrol bersama Febri didepan tv
"Awakmu gapopo?"
(Kamu gapapa?) celetuknya tiba tiba
Entah apa yang membuatnya tiba tiba menanyakan keadaan Juni, gadis itu mengangguk berat.

"Lha awakmu? Gak wedi ta turu kene maneh?"
(Kalo kamu? Apa ga takut tidur disini lagi?) ucapnya gantian
Ia hanya tersenyum tanpa menatap Juni, pandangannya tersebar entah kemana

"Ono sing luih penting ketimbang wedi, manungso wajar ndue roso wedi, sing gak wajar lek sing mbuk wedeni trimo urusan ngeneki, aku pasrah, ijeh ono gusti"
(Ada yang lebih penting daripada rasa takut, manusia wajar punya rasa takut, yang ga wajar kalo yang kamu takutin cuma urusan remeh kaya gini, aku pasrah, Tuhan masih ada) jelasnya kini
Dari raut wajah Juni, nampak jelas ia semakin penasaran dengan apa yang Febri pikirkan, satu lagi yang paling mengganggu pikirannya, kemanakah sukma teman lelakinya itu dibawa pergi oleh 'mereka' pada malam itu? Dia masih mengingat jelas gangguan mengerikan yang mereka terima
Belum sempat mulutnya bertanya, telinga mereka mendengar suara rintihan tangis seseorang. Juni memutar badan, mencari asal suara, ternyata Novi. Ia menangis merintih dan sesekali tertawa, dan dengan mata yang tetap terpejam tetiba tubuhnya terangkat keatas. Ya, seperti melayang.
Mereka semua terkejut melihat hal itu, apa apaan ini semua, tak pernah sekalipun ia bayangkan kejadian seperti ini akan benar benar terjadi terus menerus dalam hidupnya.

Tubuh kakaknya masih saja melayang, seperti ada sesuatu yang menariknya dari atas.
Mulutnya bergerak gerak, bergantian antara menangis merintih dan tertawa. Ibu Mei dan Ibu Febri menjerit ketakutan karenanya.

Gadis itu dengan spontan berdiri dan berniat lari mendekati tubuh kakaknya yang kerasukan, namun ia justru tersungkur sungkur beberapa kali,
tubuhnya nampak seakan susah untuk digerakkan normal.

Febri membantunya berdiri dan mereka berdua segera meraih tubuh Novi, berusaha sekuat tenaga menariknya kembali berbaring di lantai. Namun ia justru berteriak sangat kencang hingga membuat semua orang kebingungan.
Agus terkejut, ia terbangun karena suara jeritan istrinya itu. Ia mengusap usap matanya sebelum melihat jelas dengan mata kepalanya sendiri bahwa istrinya sedang melayang. Sungguh keras kepala jika ia tetap tidak mau mempercayai bahwa hal hal gaib benar adanya.
"Nov.. Nov.. Novi..!" Ia tergagap gagap kebingungan dengan situasi itu
Bukannya mendekat, ia justru beringsut mundur ketakutan akan apa yang dilihatnya. Bapak bapak memegangi Mas Agus, menenangkannya yang begitu syok.

"Piye iki Feb?"
(Gimana nih Feb?) tanya Juni gugup
"Aku yo ra ngerti iki kudu dikapakne cek mudun"
(Aku ya gatau ini harus digimanain biar mau turun) jawab Febri yang ternyata sama sama gugup

*Aaaaaaaarrrrggghhh*

Kakak Juni kembali menjerit, badannya bergerak tak beraturan dan air liur mulai mengalir keluar dari mulutnya
Mulut itu terbuka sangat lebar, memuntahkan air liur dari dalam sana, namun anehnya matanya masih saja terpejam.

Malam itu mereka kalang kabut, apalagi tiada seorangpun yang mempunyai kemampuan spiritual untuk menangani hal ini.
Ketika Juni mencoba untuk membangunkan saudara perempuannya, kakaknya itu benar benar berhasil bangun, namun dengan sekejap ia berubah mengerikan. Matanya melotot menatap adiknya dan badannya meronta ronta, berusaha untuk menggigit lengan Juni.
Ibu Mei menyobek mukena yang digunakannya, selembar kain itu ia gunakan untuk menyumpal mulut Mbak Novi yang terus saja mengerang dan berliur.

"Bismillahirrahmanirrahim, sepurane ibuk yo nduk" ucapnya yang sebenarnya tidak tega melakukan itu
"Paklik.. Pakdhe nyuwun tulung Juni mpun mboten kiat"
(Juni minta tolong, sudah gakuat lagi) ucap Juni pada ayah Mei dan ayah Febri

Rasanya tubuh kakak Juni itu seperti makin ditarik keatas, Juni dan Febri yang berusaha menahannya mulai kualahan.
Ia menyerah, tenaganya tak kuat lagi menghadapi kakaknya, ketika ia melepaskan tubuh itu tiba tiba semuanya berakhir, tubuh kakaknya kembali jatuh ke tanah dengan sendirinya, bahkan paklik dan pakdhe belum sempat meraihnya.

*Gedebugggg* suara badan itu membentur lantai kayu
"Astaghfirullahaladzim..." teriak mereka yang terkejut

Mas Agus masih meringkuk di sudut ruangan, merengkuh seluruh ketakutannya.

Adik iparnya sebenarnya merasa prihatin namun secara bersamaan hilang simpati padanya, saat istrinya dalam kondisi yang begitu buruk...
...dia malah sibuk dengan rasa takutnya sendiri.

Lelaki itu sangat rasional, selama ini baginya dibalik segala hal tak wajar pasti ada penjelasan yang masuk akal. Namun kenyataan yang baru saja ia lihat sangat berbanding terbalik dengan cara otaknya bekerja.
Hingga membuatnya terdiam kosong.

Sesungguhnya Agus sadar adik iparnya sedang berjalan mendekat padanya, namun tubuh yang terkalahkan oleh rasa takut itu tak dapat ia kendalikan secara sempurna. Badannya terus saja gemetar, agaknya ia tak kuasa melihat istri...
...yang sangat disayanginya tampak mengerikan tadi.

Goncangan hebat dari tangan Juni yang mendarat di pundaknya tetap saja tak mampu menyadarkannya. Pandangannya tetap mengarah ke bayangan tubuh istrinya yang kini melemas tak berdaya.
*Plakkk..*

Tamparan mendarat di pipi Agus, ia merasakan panas menyayat kulit akibat hal itu.
Juni menampar Agus untuk menyadarkannya, namun pandangan mata Agus justru mengabur, dia pingsan dalam posisi meringkuk.
"Jun nyapo masmu kok mbuk tempeleng bantere ngono ngasi semaput"
(Jun kenapa masmu kamu tampar kenceng kaya gitu sampe dia pingsan) Mei memarahi Juni yang kebingungan saat Agus tergeletak akibat tamparannya tadi
Juni tak segera menjawab, entah bagaimana perasaannya saat itu. Seperti marah, bersalah, juga kebingungan dengan apa yang ia lakukan barusan, ia tak mengerti karna tak ada alasan yang benar untuk menampar saudara iparnya itu.
Tubuh Novi telah diselimuti kembali oleh Budhe dan Bulik (ibu Febri dan ibu Mei). Mereka membersihkan peluh dan liur dari tubuh kakak Juni itu.

Pakdhe dan Paklik (ayah Febri dan ayah Mei) beserta Febri diminta oleh Budhe untuk keluar ke teras dulu karena...
...mereka akan mengganti pakaian Mbak Novi.

"Mei tulung godokke banyu ya nduk kanggo nyibini Mbak Novi"
(Mei tolong rebusin air ya nak untuk membersihkan tubuh Mbak Novi ini) perintah ibu Mei pada anaknya
"Nggih buk sekedap"
(Iya buk sebentar) jawab Mei sembari membantu Juni membenarkan posisi kakak iparnya yang tak sadarkan diri

Setelahnya, ia segera mengerjakan apa yang ibunya perintahkan. Ia merebus air di dapur sendirian.
Bulukuduk Mei tiba tiba berdiri, ia merasa ada beberapa pasang mata tengah mengawasinya dari kejauhan. Dia menoleh, tak ada siapapun di sekelilingnya.

Mei tetap berdiri di depan kompor, menunggu air rebusannya mendidih.
Dia melirik bergantian ke setiap sudut matanya tanpa harus menoleh, rasa takut memenuhi hatinya.

Nyala api kompor gas itu kini telah ia padamkan, ia berjalan menuju kamar mandi, disana terdapat ember kosong yang akan ia isi dengan air dingin dari bak mandi.
Tak perlu lama, ia segera menggayung air di bak itu untuk dipindahkan ke ember. Namun ia masih saja merasa bahwa ada seseorang didekatnya, dia mendengar decit dari lantai kayu rumah Juni, seperti ada beberapa anak yang tengah berlarian diatasnya.
Mei paham mereka siapa, bahkan kini ia telah mengetahui sebagian kisah dari rumah tua ini. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan bayangan imajinasinya akan masalalu yang hanya pernah ia dengar dari mulut Pak Adi dulu.
"Jangan ganggu aku" ucap Mei memupuk keberaniannya

Setelah mengisi setengah air dingin kedalam ember itu, ia menuangkan air mendidih tadi kedalamnya, mencampurnya lalu dibawanya kedepan

"Niki bu" katanya sambil meletakkan ember penuh air itu didekat Novi yang tergolek lemas
Dia melihat ibunya dan ibu Febri bersama melepasi satu persatu pakaian Novi.

Juni yang sedari tadi duduk mematung, beranjak pergi menuju kamarnya, ia membaringkan tubuhnya disana.
Mei perlahan mengekorinya, menengok apa yang Juni lakukan. Dadanya merasa sesak melihat sahabatnya yang selalu tertimpa nasib buruk itu, nampaknya Juni sedang tidak baik baik saja. Pastilah, tak kan ada orang yang tetap baik baik saja jika harus menjalani kisah hidup seperti Juni
Dia mencoba untuk menutup matanya, namun pikirannya justru melayang layang. Dia memikirkan bagaimana cara Pak Adi melindunginya dulu dari para penghuni rumah itu. Bagaimana mereka tak dapat merasakan kehadiran Juni dan tak dapat lagi menampakkan diri padanya.
Dia tahu betul semua hal berawal dari sebab dan melahirkan akibat.

Dia tahu dahulu arwah gentayangan ibunya mengganggu Febri karena kesalahannya, karena ia menyuruh Febri untuk menempati kamar mendiang ibunya. Namun Mba Novi kali ini?
Tak ada hal yang memungkinkannya untuk menerima perlakuan buruk dari makhluk makhluk itu. Bahkan Merry... mengapa mereka menculik Merry yang tak paham apa apa?

Tak terasa satu jam berlalu dan dia belum juga tidur.
Dia keluar dari dalam kamar menuju ruang tamu. Semua orang nampak tertidur pulas karena kelelahan kecuali Paklik dan Pakdhe.

Pakaian Mbak Novi nampak sudah diganti, Bulik dan Budhe mengapitnya di tengah. Mei tidur di sisi ibunya, Bulik.
Sedangkan Febri tidur di sebelah Mas Agus.

Gemeratak air hujan perlahan turun beradu dengan atap rumah, mengguyur seluruh lingkungan itu. Hawa dingin menyerbak ke seisi ruang melalui celah celah yang ada.
"Atise ngene yo kang"
(Dingin banget ya bang) ucap Paklik mengobrol dengan ayah Febri

"Mongso ketigo ngene sekaline udan yo atis"
(Musim kemarau gini sekalinya hujan ya pasti sangat dingin) jawab Pakdhe
Mereka masing masing tahu bahwa pembahasan tentang hujan ini hanya usaha mereka untuk mengalihkan pikiran sejenak dari apa yang sejatinya berkecamuk dalam otak mereka

"Menurute sampean awak dewe kudu piye kang?"
(Menurut abang kita harus gimana?) tanya Paklik kembali
Pakdhe tak langsung menjawab pertanyaan itu, tangannya sibuk melinting tembakau yang akan ia hisap.

"Awakmu ngerti gak sopo biyen kamituwo sik paling diajeni nok kene?"
(Kamu tau ga siapa tetua yang dulunya paling disegani disini?) tanya Pakdhe
Bukannya menjawab pertanyaan Paklik, ia justru berbalik tanya

"Sinten kang?"
(Siapa bang?)

"Pak Bagyo, yo iku mbahe Juni. Aku gak nyongko lek ternyata asline deweke bejat ngono"
(Pak Bagyo, ya kakeknya si Juni. Aku gak nyangka kalau ternyata aslinya dia sebejat itu)
gerutunya dengan wajah datar.

"Alon alon kang, sampean lali po iki omahe sopo. Tur maneh awak dewe yo durung mbuktikke omongane Pak Adi, iso bener tapi yo iso wae salah. Yen dipikir opo yo ono manungso iso ngerti kedaden lawas opomaneh deweke ra kenal Pak Bagyo"
(Pelan pelan bang, apa kamu lupa kita lagi dirumah siapa. Lagian kita ya belum pernah membuktikan omongan Pak Adi dulu, bisa benar tapi ya bisa aja salah. Kalo dipikir apa beneran ada manusia bisa tahu persis kejadian masalalu tanpa kenal yang bersangkutan secara langsung)
Sanggah Paklik yang tampaknya belum percaya sepenuhnya pada Pak Adi.

Berbeda dengan Paklik, Pakdhe (ayah Febri) lebih memilih untuk meyakini ucapan Pak Adi dahulu saat menolong anak anak mereka yang diganggu bangsa lelembut dirumah ini.
"Karepmu percoyo taora aku ra mekso. Tapi iseh iling kan awakmu angger omah iki arep kemalingan mesti gagal. Malinge nganti isuk keweden koyo wong gendeng. Menurutmu omah iki ijeh raono opo opone?"
(Terserah kamu percaya atau tidaknya aku gak maksa. Tapi masih inget kan kamu tiap rumah ini mau kemalingan pasti gagal. Malingnya ketakutan seperti orang gila. Bagimu dirumah ini masih gaada apa apanya?) Pakdhe kembali melontarkan tanya
Paklik diam menyadari perkataan Pakdhe yang ada benarnya juga. Tanpa menjawab pertanyaan Pakdhe lebih dulu, ia berjalan menghampiri Juni untuk meminta selimut seadanya. Mungkin hawa dingin telah berhasil menembus suhu hangat badannya itu.
Memang benar sejak rumah ini kembali ditempati Juni, banyak orang tau bahwa gadis itu kini hanya sebatang kara namun memiliki banyak harta benda. Maka banyak pula orang orang yang berniat buruk, berusaha merampok ataupun mencuri dirumahnya.
Dan seperti kata Pakdhe barusan, para pencuri itu selalu tertangkap oleh warga. Mereka ditemukan duduk kebingungan didepan pagar rumah dan meracau tak jelas seperti orang gila. Tanpa sadar mulut mulut itu berkata jujur bahwa mereka akan mencuri disana.
Mereka juga gemetar ketakutan, meminta pertolongan pada warga untuk menyelamatkannya dari sesuatu. Sesuatu yang warga pun tak tau apakah yang mereka maksudkan itu.
Juni gelisah menunggu pagi tiba, ia tak sabar untuk mencari keponakannya kembali. Di satu sisi dia juga harus istirahat dulu malam ini, atau dia tidak akan mampu mencari Merry karena tubuhnya melemah.
Memang benar kata orang orang, kalau hati tak tenang sudah pasti badan bereaksi untuk tidak merelaksasi dirinya.

Dia memutuskan untuk mengambil obat tidur dan meminumnya, barangkali itu bekerja.

--
Tubuh pria itu menegang tanpa seorangpun di sekitar yang menyadarinya. Matanya tertutup, nampaknya dia terhanyut dalam mimpi, terbawa terlalu jauh kedalamnya. Keringat mengucur deras di seluruh badannya, terlebih di dahinya,
keringat keringat berukuran sebiji jagung menggenang disana. Kerah, lengan, ketiak, bahkan seluruh bajunya basah kuyup oleh peluh.

Dia tak sadar bahwa kini tengah berada dalam buaian mimpi. Agus, merasa dirinya tengah terduduk sendirian diteras rumah Juni.
Dia bingung dengan apa yang tengah ia lakukan disana. Langit tampak gelap, hanya cahaya dari beberapa lampu remang remang dalam rumah itulah yang menerangi sekitar.

Agus merasakan kehadiran seseorang, ketika menengok ke sebelah rumah, tampak bayangan seorang anak seusia anaknya.
Atau jangan jangan justru memang benar itu adalah anaknya, ia baru ingat bahwa Merry telah hilang. Ia merasa lega karena telah menemukan anaknya.

Bocah itu menggunakan pakaian yang sama persis seperti yang terakhir kali Merry pakai sore itu.
"Merry..! Nak.." teriak Agus semangat
Bocah itu tak menggubrisnya, ia bahkan terlihat seperti tak mendengar suara Agus sama sekali. Bukannya menengok, Merry justru berlari menjauh menuju halaman belakang rumah.

"Merry mau kemana nak.. tunggu Ayah"
ucapnya yang segera bangkit untuk mengejar langkah anaknya yang semakin menjauh.

Gadis kecil itu tertawa riang seperti ada yang menemaninya bermain. Agus berjingkat jingkat karena berlari tanpa memakai alas kaki. Kini sampailah ia di halaman belakang rumah, gelap...
...,tak ada cahaya sama sekali disini, namun untunglah matanya masih mampu melihat sekitar walau hanya dalam jarak dekat.

Agus mengangkat satu kakinya, agaknya ia telah menginjak sesuatu. Barusan kakinya bersentuhan dengan benda benda aneh yang terasa hangat.
Ia menengok ke bawah, mengecek apa yang diinjaknya. Ternyata ia melewati tempat membakar sampah, apinya telah lama padam, namun masih terasa hangat karena sampahnya baru saja ia bakar sore tadi.

Ia kembali melangkahkan kakinya yang terasa sedikit risih,
mencari putrinya yang entah kemana. Merry menghilang diujung batas halaman belakang rumah itu, tanah rumah Juni bersebelahan dengan tanah kosong. Tanah berhektar hektar itu dulunya kebun mangga dan rerumpunan bambu milik salah satu tetangganya, namun kini semuanya lebih mirip...
...seperti hutan karena ditinggal oleh pemiliknya. Warga biasanya mengambil bambu seperlunya dari sana karena gratis. Semak belukar memenuhi tempat itu, menutup hampir seluruh pohon pohon yang ada disana.

Agus menghentikan langkahnya, ia mengamati setiap sudut tempat itu,
kemanakah anaknya berlari tadi?.

Ia mendekati pohon asem besar yang telah tumbuh puluhan tahun disana, pohon itu begitu rindang dan tampak suram karena jarang ditebasi, maklum hanya Septi dan Juni yang tinggal disana, tak mungkin kedua perempuan itu yang melakukannya.
Dia mengelilingi pohon itu, terlihat sebuah celah dibelakangnya. Celah kecil pada semak disana, semak belukar yang sama tingginya dengan atap rumah Juni. Mungkin celah itu cukup untuk dilewati seseorang meskipun agak sempit.

Mungkinkah Merry berlari kesana?
Nampaknya itulah yang ada dalam benak Agus. Tanpa pikir panjang dia segera memasuki celah itu, dia menahan perih saat kulitnya tergores oleh duri duri tumbuhan liar. Langkahnya sempat terhenti karena kaus yang dikenakannya tersangkut ranting,
ia menarik paksa bajunya itu hingga terkoyak.

Langkahnya kembali berlanjut, Agus bingung harus melangkah kemana lagi. Ini bukan tempat seperti tempat tempat yang biasa ia kunjungi, ia sama sekali tak pernah menjamah hutan, karena sedari kecil kesibukannya hanya...
...berkutat pada lingkungannya yang jauh berbeda dengan ini.

Mungkin memang tubuhnya kekar berotot, namun itu semua ia peroleh dari tempat pelatihan fisik, ia tak pernah benar benar ditimpa oleh nasib. Bukan hanya fisik, bahkan ia malu dengan kejadian yang baru saja terjadi,
ia sama sekali tak mencerminkan seorang lelaki, ia tak memiliki jiwa yang kuat seperti orang orang disekitarnya. Saat istrinya berada dalam kondisi seburuk itu, ia justru ketakutan dan meringkuk tak berdaya menyaksikannya.

Tak terasa air mata mengalir di pipinya,
ia kembali pada tujuan utamanya untuk mencari anaknya

“Mer... Merry dimana nak” teriaknya

Dia terus berjalan semakin jauh, semakin dalam menyusuri tanah lembab dibawahnya

“Yaaaah...” suara teriakan terdengar menggema dari segala arah
Agus kebingungan, namun disaat yang sama ia bahagia karena ternyata anaknya pasti benar benar berada disana.

“Iya Merry ini ayah, Merry dimana nak” teriak Agus kembali

Hening, tiba tiba suasananya sangat berbeda. Perasaannya ganjil, ia merasa aneh berada disini,
kesunyian ini tak bisa diungkapkannya dengan kata kata, ia merasa sedang berada di dunia yang berbeda, dan dia menyadarinya.

“Yah..” suara itu terdengar kembali

Agus berbalik badan, ia merasakan ketakutan yang sejadi jadinya.
Di depannya nampak jelas Merry yang tengah menatapnya ceria, Merry berada dalam dekapan sosok mengerikan. Sosok seorang perempuan dengan wajah membusuk, matanya hampir melompat keluar dari kelopaknya dan bahkan lidahnya menggantung panjang melebihi dagunya sendiri.
Makhluk itu mendekap Merry sambil mengelus elus rambut putri Agus itu. Ia pun menatap Agus tanpa berkedip, napasnya tersendat sendat karena tali tambang yang mengikat lehernya.

“Khe khe khe...” tawa makhluk itu memecah keheningan dan kesadaran Agus
Ia berlari sekuat tenaga tanpa mempedulikan apapun lagi, dia tak tahu arah dan hanya berlari kemanapun kaki itu membawanya pergi.

“Mas bangun mas, sadar mas" bentak Febri pada Agus yang belum pulih
Namun tampaknya Agus mulai bisa menangkap kata kata yang diucapkan oleh orang orang di sekelilingnya.

Bibirnya masih meracau dan badannya kejang kejang tanpa sebab, wajahnya begitu pucat begitu pula dengan bajunya yang bau karena keringat membasahi seluruh tubuhnya
*Byur*

Juni menyiramkan air pada wajah kakak iparnya itu, akhirnya Agus membuka mata. Napasnya memburu, jantungnya memompa lebih ekstra dari biasanya. Dia sampai terbatuk batuk karena kesusahan bernapas, selayaknya maling yang kelelahan berlari dikejar warga, ngos ngosan.
Sikap penuh rasionalitas yang sedari kecil tertanam di otaknya, mulai mengering mati. Akhirnya ia merasakan apa yang disebut dengan ketakutan tanpa penyebab yang pasti. Tembok tinggi yang membatasinya dari rasa percaya terhadap hal gaib meruntuh sedikit demi sedikit.
Dia merasakan kecamuk dalam dadanya, mengerang tak karuan sambil menangis dan memukuli dadanya sendiri. Kali ini bukan kesurupan, ia sama sekali tak kerasukan apapun, ia hanya merasa tak kuat menahan segala perasaan yang bercampur jadi satu dan saling berbenturan dalam hatinya.
Rasa bersalah, rasa putus asa, rasa malu, rasa tak percaya, serta rasa kehilangan. Oh tuhan, mentalnya terlalu lemah untuk seukuran seorang pria.

Semua orang kebingungan, bertanya tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Agus.
Mereka saling melempar pandang, berpikir kemungkinan bahwa Agus baru saja mengalami mimpi buruk.

Waktu subuh hampir tiba, namun tak ada seorangpun dari mereka yang dapat tidur dengan tenang, Juni bahkan merasa kesal hingga dia berani menyiram wajah iparnya tadi.
Agus yang telah kembali sadar segera mengganti bajunya dengan pakaian kering. Saat ia mulai melepaskan kausnya, ia terkejut melihat badannya yang penuh dengan serat kemerahan akibat goresan pada kulitnya. Begitu pula dengan kausnya, terdapat lubang sobekan...
...persis seperti apa yang barusaja ia lalui dalam mimpi. Benarkah tadi itu mimpi? Jangan jangan kejadian tadi benar benar telah terjadi? Kenapa Agus tak menyadarinya? Entahlah memikirkannya hanya membuat kepala pria itu semakin sakit.
Rasa takutnya tak bisa padam begitu saja, tubuhnya tak bisa menyembunyikan hatinya yang sangat risau. Ia selalu meremas remas jarinya sendiri dan menggerakkan kakinya terus menerus seperti tremor.
Namun dia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri, setelah berganti pakaian ia segera berjalan ke teras rumah untuk merokok. Kala itu Paklik (Ayah Mei) dan Pakdhe (Ayah Febri) sedang berada di dalam, dan hanya mengawasi Agus dari sana.
Ia menyalakan korek dari saku celananya, membakar sepuntung rokok yang terselip dalam sela sela bibir pria itu. Asap mengepul dari lubang mulutnya yang sedikit bergetar, ia tak bisa berhenti menggigiti bibirnya sendiri karena rasa panik yang tertahan itu.
Asap khas bau tembakau yang mulai memudar terbawa oleh udara yang mengalir lembut.

Ia celingukan melempar pandang kesana kemari, entah apa yang ia cari sepagi itu.

Matanya tak berkedip sama sekali ketika ia menemukan apa yang dicarinya.
Merry, Merry benar benar ada di tempat yang sama seperti di mimpinya. Bocah itu berdiri di sebelah rumah lalu berlari menjauh ke area belakang.

Agus ingin mengikuti sosok anaknya itu, namun ia ragu, sangat sangat ragu setelah memori akan mimpinya terlintas kembali.
Ia malu, ia malu akan dirinya sendiri, selama ini ia hanyalah ayah yang lemah, ia tak mau terjebak dalam rasa bersalah seperti itu. Ia pun memutuskan untuk mengejar putrinya, mungkin ini akan terasa lebih mudah,
dirinya mungkin lebih siap karena telah menghadapi hal itu lebih dulu, pikirnya.

Agus membuang rokok yang baru dihisapnya setengah, dia segera memakai sandal karena ia ingat dalam mimpi kakinya tak menggunakan alas sama sekali.
Ia segera berlari ke halaman belakang, langsung menuju ke pohon asem tua belakang rumah. Langkahnya melambat, pelan pelan ia memastikan ada tidaknya celah yang baru ia lihat dalam mimpinya. Maklum, jika dilihat dari dapur, celah itu tak akan nampak karena...
...terhalang batang pohon asem yang sangat besar itu.

Ada, ada celah disana, dia mengamati lubang itu untuk beberapa saat. Rerimbunan disana terlihat basah, mungkin karena semalam turun hujan. Ia menunduk mengintip kebun kosong didepannya melalui celah itu,
disana sedikit gelap, bau tanah basah menyerbak dimana mana.

Agus menelan ludah dalam dalam, tangannya mengepal mencoba meyakinkan diri bahwa ia berani menghadapi apapun yang akan terjadi selanjutnya. Ia mulai masuk ke sana, lagi lagi tubuh itu tergores gores oleh semak beduri
Kaki kirinya lah yang pertama kali mendarat di lahan itu, pandangannya menyapu area itu, ternyata ada jejak kaki, jejak yang nampak sangat baru. Apakah itu jejak kakinya sendiri semalam? Entahlah
Ia berjalan dengan berputar putar, khawatir akan ada yang muncul tiba tiba. Tengkuknya mulai merinding, seperti ada banyak pasang mata yang tengah menatapnya tanpa henti.

Mulutnya komat kamit membaca doa apapun yang ia bisa,...
...bukannya menjauh namun justru makhluk makhluk itu sengaja menampakkan diri di hadapannya. Jantungnya serasa mau copot,badannya gemetar hebat hingga tak sadar ia telah terjerembab di kubangan air karena ia berjalan mundur, menghindari makhluk makhluk yang berjalan kearahnya.
Ada beberapa anak kecil dengan mata hitam menuju ke arahnya, anak anak itu bertubuh tak lengkap, tak ada satupun yang normal seperti manusia kebanyakan. Ada yang berjalan terseok seok, ada yang mengesot di tanah karena sama sekali tak memiliki kaki.

*Khe..Khe..Khe..*
Tawa yang terasa pernah didengarnya terdengar dari atas Agus. Ia mendongak perlahan, memastikan apa yang ada disana, ternyata sosok mengerikan yang ia lihat dalam mimpi semalam ada disana. Pohon mangga masam yang begitu tinggi,
leher wanita itu terjerat tali tambang yang menggantung di dahan pohon itu, matanya melotot seperti mau copot, begitu pula lidahnya yang menjulur keluar karena lehernya terjerat.

Tiba tiba sosok itu menjatuhkan diri menimpa Agus.
Ia terus menerus tertawa hingga seluruh badannya berguncang, setan itu mencoba memasukkan jari jarinya dengan kukunya yang begitu hitam dan berbau busuk kedalam rongga mulut Agus. Agus tak berdaya, ia meronta tak karuan menahan sakit dan mual.
Di sisi lain, Paklik dan Pakdhe baru menyadari bahwa mereka kecolongan. Lalai saat mengawasi Mas Agus, mereka berdua panik kehilangan jejak.

“Loh loh Agus mlayu ngendi mau kang?”
(Loh loh Agus lari kemans tadi bang?) ucap Paklik geragapan
“Lha bukane mau nang teras toh. Koe piye si dikon ngawasi wae ra iso"
(Lah bukannya tadi di teras toh. Kamu gimana sih disuruh ngawasin aja ga bisa) ucap Pakdhe yang justru menyalahkan ayah Mei itu

“Kok aku, lhawong sampean yo melu barang"
(Kok aku, kan kamu juga) sanggahnya
“Lah mboh ayo gekndang digoleki selak kenopo nopo"
(Dahlah ayo cepet cari sebelum dia kenapa napa) gerutu Pakdhe mengakhiri perdebatan mereka berdua

Mereka lari tergopoh gopoh bingung hendak mencari Agus dimana
“Pak saman ate ngendi?”
(Pak kamu mau kemana?) teriak ibu Febri dari dalam rumah

“Goleki Agus, ucul wonge"
(Nyari Agus, anaknya lepas) jawab Pakdhe buru buru

“Masyaallah...” perempuan tua itu berjalan ke teras, menyaksikan suaminya dan tetangganya mencari Agus
Kedua pria itu masih celingukan tak tahu harus bagaimana

“Kang kang iki ono bekas sandale, koyone parake mengguri"
(Bang bang ini ada jejak sandalnya, kayanya mengarah kebelakang) Ayah Mei berhasil menemukan petunjuk pertama mereka
“Iyo iki jelase, ayo ndang disusul"
(Iya pasti ni, ayo cepat susul) ajak ayah Febri

Merekapun segera berlari ke buritan, mengikuti jejak kaki Agus. Ya, jejak itu nampak jelas karena halaman samping rumah hingga area belakang rumah Juni tidak berpaving seperti pekarangan depan
Apalagi dengan adanya hujan beberapa jam lalu yang membuat tanah itu bertekstur lembek sehingga akan meninggalkan bekas jika dilewati.

“Loh kok gaono maneh kang”
(Loh kok gaada lagi bang) Paklik tambah bingung karena jejak itu berakhir di sekitar tempat pembakaran sampah
*Hekkk hekkk heekk* suara aneh terdengar oleh kuping mereka

“Suoro opo kae..?”
(Suara apa tuh)

Mereka berdua kaget, namun segera mencari asal suara itu. Suara yang terdengar seperti seseorang yang ingin muntah, seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya.
“Ko kono ko kono, jajalen tiliki"
(Dari sana dari sana, coba kamu yang lihat) perintah Pakdhe sambil menunjuk ke kebun belakang

“Lah aku nek niliki lewat ndi wong raono dalan ngene"
(Trus aku liatnya darimana orang gaada jalan) keluh Paklik mulai kesal...
...jika diteruskan agaknya mereka akan mulai berdebat lagi

Ia mengalah dan berputar putar di sekitar semak batas tanah, mencari jalan untuk masuk ke sana. Paklik pun menemukan celah itu, celah yang nampaknya telah dilewati seseorang.
“Kang mrene kang, ono dalan celeng"
(Bang kesini bang, ada jalan babi hutan) teriak Paklik

Pakdhe segera menghampirinya, menengok apa yang ayah Mei maksudkan

Ya, orang orang daerahnya menyebut celah atau jalan jalan sempit seperti itu jalan celeng,...
karena hanya muat dilewati satu orang, itupun dengan merangkak.

“Incengen"
(Coba kamu intip) lagi lagi Pakdhe bersikap senioritas, karena ia lebih tua ia berkali kali menyuruh Paklik ini dan itu
“Moh kok aku terus. Sampean wae!”
(Gamau masa aku mulu. Abang aja!) nampaknya Paklik merasa kesal, ia menolak

Mereka beradu tatap, Pakdhe menarik napas panjang, mau tak mau ia yang kini harus melakukannya.

Ia mulai memasuki celah itu
“Atah atah lorone ngene gusti"
(Aduh aduh sakitnya ya Tuhan) ia mengaduh mengeluh

“Ngopo kang?”
(Kenapa bang?) Paklik bertanya tanya kenapa Pakdhe terus menerus mengaduh

Sesampainya Pakdhe di ujung, ia segera memanggil Paklik

"Kurang ajar wong tuo dikerjani" gerutunya
“Ndang gageo mrene, gakno popo, gage"
(Gaada apa apa, kesini, gaada apa apa, cepet) serunya kini

Paklik tak pikir panjang langsung melewati jalan itu setelah Pakdhe, ia pun merasa kesakitan karena semak semak itu.
Mereka berdua pun merinding karena sudah lama sekali tak mengunjungi kebun tak terurus ini. Hawanya sangat berbeda, meskipun ada di area pemukiman namun tempat ini seperti tersisih.

“Kae lho kae Agus kae"
(Itu loh itu Agus itu) seru Pakdhe yang tak menyangka...
...akan benar benar menemukan Agus disana

Pria itu tengah mengerang, tubuhnya memberontak kesakitan, tangannya seperti tengah mencekik lehernya sendiri, mulutnya menganga lebar seperti tengah dijejali sesuatu.
Pria itu tak ubahnya seekor kerbau yang tengah berguling guling di kubangannya.

Paklik dan Pakdhe segera berlari tergopoh gopoh menghampiri Agus, membantu menyadarkannya

“Kudu dipiyekke iki kang"
(Harus digimanain ini bang?) Mereka berdua saling tatap, keduanya gugup
“Wakmu ndang njupuk parang, cepet gae mbabat dalan. Bocah iki tak tunggonane"
(Kamu cepatlah ambil parang, cepat untuk membabat jalan. Anak ini biar aku temani) jelas ayah Febri

Paklik pun mengangguk setuju, ia segera melakukan apa yang diperintahkan Pakdhe.
Ia pergi ke rumahnya untuk mengambil parang.

Kini disana hanya ada Pakdhe dan Agus yang tergolek lemas disampingnya. Pria tua itu bingung dengan semua yang terjadi kali ini. Mengapa hantu hantu sialan itu mengganggu mereka tiada henti.
Padahal nyatanya tak ada satupun dari mereka yang ada sangkut pautnya dengan kematian Septiani, karena ia sendiri lah yang memang ingin bunuh diri.

Tak berselang lama, Paklik datang membawa golok dan parang, mereka membuka jalan, akses keluar masuk kebun ini dari halaman Juni.
Mereka membabat habis semak semak itu hanya dalam lima belas menit.

Segera diangkatnya tubuh Agus, walau sudah berumur namun keduanya sangat kuat, maklum saja ayah Mei adalah seorang perhutani, tentu saja fisiknya telah terasah.
Begitu pula dengan ayah Febri, dia mungkin memang jauh lebih tua dari ayah Juni sendiri, namun sehari hari ia bekerja di sawah, pekerjaan yang membuatnya biasa melakukan kegiatan menguras tenaga, baginya tubuh Agus tak ubahnya dua karung gabah.
Tubuh mereka bertiga penuh lumpur, begitu bau dan kotor. Mereka tak memutar masuk lewat pintu depan, melainkan dari pintu dapur.

Mei beserta Juni yang tengah memasak sarapan terhenyak kaget melihat mereka bertiga, entah datang dari mana hingga begitu kotor,
terlebih kakak ipar Juni yang barusan Juni guyur wajahnya kini tergolek pingsan dipapah oleh kedua orangtua itu.

Mereka bertiga masuk kedalam kamar mandi dan membersihkan diri, entah bagaimana cara mereka berdua membersihkan tubuh Agus yang tergeletak itu.
Mei tanggap, ia segera mengambil baju ganti untuk ayahnya dan kedua orang lainnya.

Juni tak mempedulikan kakak iparnya itu, ia melanjutkan masakannya. Sebenarnya hari masih gelap, matahari masih jauh bersembunyi,
namun karena Juni dan Mei kesal tak dapat tidur nyenyak sama sekali akhirnya mereka memutuskan untuk memasak.

Saat keluar dari kamar mandi, ternyata Agus sudah sadar. Pandangannya kosong, begitupun wajahnya begitu pucat. Mereka berkumpul lagi di ruang tamu.
*Kring kring kring*

Dering telepon rumah membuyarkan lamunan mereka, jujur saja mereka tengah memikirkan hal yang sama, hal hal yang digali dalam dan dibeberkan oleh Pak Adi dulu. Tak ada yang tahu kebenarannya karena tak ada saksi mata maupun orang yang membuktikannya.
Rahasia besar yang harus dipendam seumur hidup oleh mereka yang mengetahuinya. Begitu gelap dan mengerikannya sejarah rumah ini, membuat mereka bergidik ngeri.

“Halo?” ucap Juni mengangkat telepon
“Jun ini Pak Adi, bapak pulang lebih cepat, mungkin sebentar lagi sampai rumah kamu. Tolong siapkan barang barang yang bapak sebutin ini” perintah Pak Adi pada Juni

Juni mengangguk dan segera mencatat seluruh keperluan itu.
Ia meminta tolong pada Febri dan Mei untuk membantunya memenuhi semua. Mereka mencarinya di rumah masing masing, untunglah barang itu terkumpul tepat waktu.

“Assalamualaikum”

Suara seorang pria mengucap salam dari ambang pintu. Saat itu memang pintu mereka biarkan terbuka
“Waalaikumsalam” jawab mereka serentak

Belum genap pukul enam pagi, udara dingin semakin menusuk orang orang hingga ke tulang tulang. Pak Adi yang baru sampai pun terlihat kedinginan hingga ujung ujung kuku dan bibirnya membiru.
Pak Adi mengamati Mbak Novi yang belum juga sadarkan diri, sorot matanya iba. Kemudian ia melihat sekeliling, pandangannya bertemu dengan mata Mas Agus yang juga sedang menatapnya kosong.

“Nak Febri bapak boleh minta tolong?” ucapnya tiba tiba
“Iya pak tolong apa ya?” tanya Febri yang segera beranjak

“Tolong isi genuk air yang bapak minta tadi” jawab Pak Adi sambil melirik Agus yang duduk bersandar dinding sambil memeluk lututnya erat erat.
Febri mengangguk paham, ia segera melakukan apa yang diperintahkan Pak Adi tersebut. Ia menggotong genuk (gerabah berbentuk ember besar) ke depan kamar mandi dan mengisi mereka penuh oleh air.

“Nak Mei, bapak boleh minta tolong juga ke sampean?” senyum Pak Adi mengambang
“Iya pak boleh silahkan" jawab Mei

“Tolong buatkan bapak tali panjang dari sabut kelapa yang bapak minta tadi ya”

“Baik pak” sanggup Mei yang segera menyusul Febri ke belakang, ia mengambil dingklik untuk alasnya duduk dan...
...mulai menyerat nyerat sabut kering yang dibawanya dari rumah atas permintaan Pak Adi tadi.

*Cit cit cit cit...*

Bising suara decit tikus dan curut terdengar riuh. Hewan hewan pengerat itu seakan tengah berparade,
beramai ramai keluar dari seluruh celah dan menggerijak seluruh barang barang yang ada di dapur, bahkan kaki Febri pun hampir menjadi sasaran gigitannya.

Mei menjerit ketakutan melihat rombongan tikus itu, ia tak menyangka ada tikus sebanyak itu di rumah ini.
Seakan ada yang menggiring mereka untuk mengganggu apa yang tengah dikerjakan Mei dan Febri tersebut.

Samar samar terlihat bayangan seseorang yang tengah berdiri menatap mereka dari ambang pintu belakang, saat itu pintunya memang terbuka.
Makhluk mengerikan itu menyeringai seram, tersenyum sinis terhadap mereka.

Awalnya hanya Mei seorang yang melihat makhluk itu, namun Febri yang merasakan gelagat aneh dari Mei yang mematung segera menengok ke arah mana mata Mei menatap hingga terpaku seperti itu.
Ia menelan ludah dalam dalam, sejujurnya iapun seorang penakut, namun ia tahu pasti bahwa ketakutan ada untuk dilawan. Jangan biarkan diri diperbudak oleh rasa takut.

Ia mengambil segayung air lalu dengan cepat menyiramkannya pada bayangan itu,
anehnya setelah makhluk yang mereka tebak sebagai arwah ibu Juni itu langsung menghilang beserta seluruh tikus tikus tadi.

-Di ruang depan -

Pak Adi menghampiri Novi, melihatnya lebih dekat lalu duduk bersila tepat disebelahnya. Wanita itu tak bergerak sama sekali,
yang bisa tubuhnya lakukan hanya bernapas.

“Permisi ya Jun” ucap Pak Adi pada Juni, ia meminta izin dahulu sebelum menyingkap selimut pada tubuh Novi. Orang orang yang ada disana merasa terkejut melihat apa yang ada dibalik selimut. Tubuh Novi memar memar oleh bekas gigitan,
gigitan dengan diameter yang tak terlalu besar, persis seperti susunan gigi anak anak.

“RUSIN...” celetuk keluar dari bibir Juni

Mereka segera mendekati tubuh Novi, memastikan apa yang baru saja mereka lihat.
Kulitnya nampak pucat, pun begitu dingin layaknya mayat, seperti tak ada darah hangat yang mengalir di dalamnya.

“Septiani binti Subagyo” kedua nama itu keluar dari mulut Pak Adi, orang orang menatapnya terkejut
Ia mengulang memanggil nama itu hingga tiga kali dengan telapak tangan kirinya yang memegang penuh dahi Novi.

Tiba tiba saja mata Novi terbuka, ia tersenyum lebar namun masih menahan suara tawanya.

“Septiani binti Subagyo” kali terakhir Pak Adi mengucapkannya,
alis pria itu terangkat, ekspresi yang tepat untuk meremehkan lawan di hadapannya.

Novi bangun dari posisi tidurnya, ia kini duduk berhadapan dengan Pak Adi. Masih mempertahankan senyum sinis yang sama, ia mengamati seluruh orang yang ada di ruangan itu.
“Juni kamu dimana nak... Juni ini ibuk nak..”

Teriak Novi yang terlihat kegirangan, ia tertawa terkekeh kekeh

Juni yang berada di sebelah Pak Adi memundurkan badannya, hatinya bergejolak saat ini. Arwah ibunya tengah merasuki kakak tirinya.
Juni pun benar benar kaget, karena sesuai apa yang dikatakan Pak Adi dulu, ternyata makhluk makhluk itu tak dapat melihatnya lagi. Namun bagaimana bisa? Bagaimana cara Pak Adi melakukannya?
“Mas, tolong aku mas, sakit mas... bantu aku keluar mas tolong aku dan anak kita. Ini semua gara gara Juni mas, tolong aku, tukar kami dengan Juni mas aku mohon"

Novi merengek, memohon pertolongan pada Agus yang berkeringat dingin melihat istrinya itu.
Sangat jelas bahwa itu hanyalah tipuan, bukan Novi yang mengatakannya, namun makhluk yang merasukinyalah yang mengendalikan tubuh itu.

“Nov..Novi..” nampaknya Agus terbuai kata kata makhluk laknat itu, Pak Adi segera mengeluarkan kembali sosok yang merasuki Novi
“Mas, saya harap Mas tidak terbujuk rayuan jin. Yang barusan bicara bukan istri sampean, tapi makhluk mengerikan yang sedang menculik jiwa istri sampean"

Terang Pak Adi, namun hati Agus terlanjur hampa, entah apa yang dipikirkannya, ia nampak tak menghiraukan Pak Adi sama sekali
*Gedubrak*

Pak Adi terbanting ke lantai, kepalanya beradu dengan kayu dibawahnya. Novi, wanita itu kini menginjak tubuh Pak Adi, pria itu dibantingnya dan ia injak sembari berjongkok diatasnya. Matanya mendelik menatap tajam kebawah memandang mata pria yang tengah disiksanya.
Pakdhe dan Paklik hendak menolong Pak Adi, namun pria itu menahannya. Ia mengangkat telapak tangannya, memberi mereka kode untuk menahan pergerakan dan mundur perlahan.

Kepala Novi bergerak gerak ke kiri ke kanan tak beraturan, persis seperti seekor hewan,...
...sesekali salah satu pundaknya berjingkat. Dengus napasnya mampu terdengar oleh semua orang, ia mengendus endus Pak Adi hingga cuping hidungnya terangkat berkedut kedut. Ia lalu menyeringai, seketika pupil matanya berubah putih sepenuhnya,
kepalanya hendak bergerak mendekati wajah Pak Adi namun Pak Adi segera menjambak rambut Novi.

“Enak saja kamu datang tanpa permisi mau pulang juga tanpa pamitan? Aku tahu pasti ada yang kamu inginkan. Cepat bicara"
Mereka berdua berkomunikasi lewat batin, tiada seorangpun yang mampu mengetahui percakapan mereka. Dimata semua orang, dua orang itu hanya bertatapan tanpa mengucap sepatah katapun.

“Aku lapar, kamu tahu apa yang aku mau. Biar kutukar anak dari wanita ini dengan tumbal darimu"
ucap makhluk itu tersenyum simpul sembari menunjukkan tubuh Merry yang tergeletak di bayangan Pak Adi

Mata Pak Adi membelalak

“Oh ternyata kamu yang nyuri anak mereka, baik, apa yang kamu minta?" tanya pria itu terdesak
“Tumbalkan seekor kambing di kediamanku" jawab makhluk yang merasuki Novi itu

Ia segera meninggalkan tubuh Novi tanpa basa basi lagi. Kini Novi terkapar lemas di lantai, layaknya selongsong kosong tanpa peluru di dalamnya. Ya, jiwanya entah digiring kemana oleh penghuni sana
“Bapak bapak maaf, saya minta tolong sediakan seekor kambing secepatnya untuk menyelamatkan keponakan nak Juni" pinta Pak Adi pada Paklik dan Pakdhe

Tak banyak bicara mereka selalu cekatan, mereka segera berangkat ke pasar hewan untuk mencari kambing yang diperlukan.
--

Pak Adi melempar pandang kearah Agus berada, agaknya ia dapat membaca apa isi kepala pria itu. Agus berpikir bahwa mungkin dirinya bisa menyelamatkan Novi dan Merry dengan mengorbankan Juni.
Pak Adi hanya menggeleng pelan, ia melangkahkan kakinya ke belakang untuk mengecek pekerjaan Mei dan Febri, semuanya ternyata sudah beres.

Mereka semua duduk berkumpul diruang tamu sembari menunggu kambingnya tiba, menyantap sarapan yang tadi dimasak oleh Mei dan Juni.
Namun Agus tetap berdiam diri, ia sama sekali tak menyentuh nasi.

Tepat saat selesai sarapan, kambing yang akan ditumbalkan oleh Pak Adi tiba. Pakdhe berjalan mendahului, dibelakangnya nampak seekor kambing jantan yang masih muda dikewer oleh Paklik.
Sepanjang perjalanan para tetangga menatap mereka heran, bertanya akan diapakan kambing itu. Mereka memberi alasan akan ada banyak teman teman Juni berkunjung, jadi mereka membantu menyiapkan makanannya, dan kambing itulah yang akan dipotong untuk dimasak.
“Mari..” ajak Pak Adi pada orang orang disana

Mereka berbondong bondong menuju pohon asem tempat makhluk yang katanya menyembunyikan Merry. Kecuali Mas Agus, ia tetap berada disamping istrinya yang jiwanya entah ada dimana itu.
Didepan pohon itu mereka menyaksikan Pak Adi hendak membunuh kambing yang dibawanya.

“Boleh saya pinjam parangnya?” tanya Pak Adi pada Paklik

Paklik segera menyerahkan parang yang ada di selipan pinggangnya itu.
Pak Adi menerimanya, tak lama kemudian ia menjambak kedua telinga kambing itu. Seketika ia menebas lehernya hingga putus dalam sekali tebas, bahkan kambing malang itu tak sempat mengembik untuk terakhir kalinya.
Para wanita menutup mulutnya yang hampir saja menjerit ketakutan, ibu Mei bahkan sampai memuntahkan seluruh isi dalam perutnya setelah melihat hal itu.

Pak Adi meminta maaf pada mereka semua, ia menjelaskan bahwa tak ada cara lain. Dalam hatinya ia enggan menuruti setan itu.
namun apa daya ia tak akan mampu melawan mereka semua.

Dia membiarkan jasad kambing itu tergeletak tepat di bawah pohon, darahnya mengucur deras terserap tanah dan akar pohon itu.

Ia meminta orang orang untuk kembali ke dalam, membantunya mencari Merry.
Merry pertama kali ditemukan oleh Febri, balita itu tergeletak di kolong meja makan. Ia masih hidup, masih bernapas dan detak jantungnya pun normal. Namun, Pak Adi tak menduga bahwa ternyata yang dikembalikan hanyalah raga Merry, entah kemana sukma balita itu.
Ia kembali ke halaman belakang, wajahnya memerah seperti hendak meluapkan amarah. Dia mengacung acungkan parang ditangannya ke hadapan pohon itu.

“Ada apa lagi, bukankah anak itu sudah ku kembalikan?” tanya penghuni pohon asem itu
Menurut perkataan Pak Adi, penunggu pohon itu adalah lelaki tua bertangan dan kaki seperti beruk serta berambut gimbal, mulutnya tak henti henti mengeluarkan liur. Namun entahlah, tak ada yang tahu wujud sejatinya.
“Apa apaan, aku sudah memberimu tumbal sebesar ini dan kau hanya mengembalikan raga bocah itu saja? Jin tua sialan" gertak Pak Adi yang begitu murka

Penunggu pohon itu tertawa terkekeh kekeh, ternyata Pak Adi telah terperdaya olehnya.
“Kau yang bodoh, apa barusan kau tak menyimak seluruh ucapanku? Bukankan aku berjanji akan mengembalikan anak itu? Aku tak berjanji mengembalikan jiwanya, karna itu tak ada padaku" jelasnya pada Pak Adi
Pak Adi semakin menegang, alisnya mengerut dengan tatapan mata yang tajam

“Trus dimana jiwanya?”

“Adi Adi.. kau pasti tau siapa yang ku maksud. Wanita pembuat onar itu" tandas penunggu pohon tersebut

Sosok itu mulai menghilang dari pandangan Pak Adi, kembali ke alamnya
Merry kini dibaringkan di sisi ibunya, Agus sesenggukan menatap putri kecilnya itu. Ia sibuk menyeka air mata yang mengalir deras di pipinya.

Tak ada satupun yang mengajak Agus bicara, mereka tau bahwa pria itu membutuhkan waktu untuk sendiri.
Pak Adi tampaknya hendak melanjutkan pekerjaannya

“Ibu ibu saya minta tolong jaga nak Merry disini, kalau berkenan silahkan mengaji di sebelah nak Merry jangan sampai ditinggal ya. Bapak bapak, saya juga minta tolong angkat Mbak Novi nya ke belakang” pintanya pada mereka
Mereka memasukkan tubuh wanita itu ke dalam genuk yang barusan diisi penuh air oleh Febri sesuai permintaan Pak Adi

“Kakak saya mau diapain pak?” Juni penasaran

Pak Adi masih terdiam, ia mengode Juni untuk tetap tenang. Ia takkan melakukan sesuatu yang membahayakan
“Nak Mei boleh saya minta talinya?” tangan pria itu menengadah

“Iya pak ini silahkan" Mei menyodorkan tali dari sabut yang barusan rampung ia buat. Tali itu sangat kasar dan lumayan kuat.
Tiba tiba pria itu mengikatkan tali sabut tadi ke leher Novi, persis seperti seorang yang hendak kendat. Ia menyisakan beberapa meter untuk tali kekang yang ia genggam di tangan kiri.
Orang orang disana heran dengan apa yang dilakukan Pak Adi, tak tahu apa maksudnya dan untuk apa semua itu dilakukan.

Bibir kering tuanya berkomat kamit, entah apa yang ia rapalkan hingga dalam sekejap mata Novi terbangun dari tidur panjangnya.
Sangat bisa ditebak, bukan jiwa Novi yang masuk ke dalam raga perempuan itu.

Dia semakin menenggelamkan kepalanya sampai batas bawah mata. Matanya melirik, membaca situasi disekitarnya.

Pak Adi menarik tali kekang itu, Novi menjerit kesakitan,
ia mengerang sampai wajahnya berubah merah padam seperti ubi rebus.

“Hahahahaha...” aneh, setelah kesakitan sedemikian rupa namun ia kini tertawa keras

“Goblok, koe ate ngapakke aku koyo piye wae yo bocah iki ngrasakne"
(Bodoh, kamu mau ngapain aku kaya gimana aja anak ini juga bakal ngerasain) ucap arwah ibu Juni dengan tubuh kakak tiri Juni

Ia meludah ke arah Pak Adi, syukurlah pria itu sempat mengelak.

Pak Adi kembali menarik tali itu dengan lebih kencang, Novi pun menjerit lebih keras,
matanya berubah hitam legam begitu pula air yang merendamnya, nampak mengeluarkan uap panas

Paklik dan Pakdhe sedikit memundurkan kakinya, menjauh dari pertunjukan yang sedang dilihatnya itu. Tak pernah sekalipun terpikir oleh mereka hal semenakjubkan ini akan nyata terjadi
“Nyapo koe nyampuri urusanku?! Rak ngarah tak jarke sak peranakan temurune Julianti urip genah, kabeh kudu dadi kembang bayang utowo mileh torok nyowo"
(Ngapain kamu nyampurin urusanku?! Gaakan aku biarin anak temurunnya Julianti hidup normal, semuanya harus jadi mayat hidup...
...atau memilih sendiri untuk menyerahkan nyawanya) tandas ibu Juni

*Julianti adalah ibu tiri Juni / istri pertama ayah Juni / ibu Novi

Pak Adi mendecakkan lidahnya, ia meremehkan ucapan roh jahat itu

“Kamu kira saya bakal biarin hal itu terjadi?”
Novi memberontak, tangannya memegang pinggiran genuk yang memuat tubuhnya. Ia hendak melompat keluar namun segera digagalkan. Berulang kali ia melakukannya, berulang kali pula ia kesakitan karena Pak Adi menaburkan garam ke tubuhnya.
Ia seperti terkena percikan bara api di setiap sentuhan garam ke kulitnya

“Mas Agus tolong adek mas, adek disiksa mas" rintih Novi

Ia terus menerus merintih dan menangis, memohon pertolongan kepada Agus yang ternyata sedari awal mengintip dari batas dapur dan ruang tengah
Semua orang memutar kepalanya meneengok Agus, pria itu tampak menahan tangis dan amarah. Tangannya menggenggam kuat, ia meremas jari jari itu hingga semua pembuluh darah di tangannya timbul.
Agus berjalan perlahan ke arah meja, orang orang masih tampak tenang, satupun dari mereka tak ada yang mengetahui amarah sebesar apa yang dipendam oleh Agus melihat istrinya tersiksa.

Tangan kanannya meraih pisau besar dan tajam yang ada di atas meja dapur.
Jari jari itu merambat perlahan agar orang orang di sekitar tak menyadari pergerakannya, perlahan tapi pasti kuku kuku hitamnya menyentuh gagang pisau tujuannya, kukunya begitu hitam, sepertinya lumpur lumpur dari kubangan tadi belum benar benar ia bersihkan.
Pisau bergagang merah itu pisau khusus yang biasa Juni gunakan untuk memotong daging dan ikan. Agus menggenggamnya sempurna dan segera berlari ke arah Juni untuk menikam gadis itu.
Febri yang ada di sebelah Juni menyadari hal itu. Ia segera menghadang Agus, menahan tangannya yang hampir saja melukai Juni. Juni berteriak ketakutan, dia jatuh terjerembab, untunglah ia masih selamat.

“Sadar mas sadar !!!” bentak Febri pada Agus yang kesetanan
Pakdhe dan Paklik segera membantu Febri, mereka mencoba melumpuhkan Agus dan merebut pisau dari tangannya. Namun entah Agus mendapat tenaga ekstra dari mana hingga ia mampu membuat Febri terpental. Dan ketika ia hendak melepaskan diri dari cengkeraman Paklik dan Pakdhe,
pisau itu tak sengaja menusuk pinggang kiri Paklik yang berada di sisi kanan Agus.

Darah merembes keluar dari bekas tusukan itu, begitupun dengan pisaunya yang berlumuran darah. Agus yang melihat darah semakin menjadi jadi, ia mengayunkan pisau itu kearah Pakdhe,
namun Febri ternyata lebih sigap, ia segera bangun dan menepis tangan Agus

*Klotak*

Pisau itu terlepas dari genggaman Agus, terlempar jauh hingga menghantam dinding kamar mandi. Febri dan Pakdhe segera membekuknya, menyeret Agus ke dalam kamarmandi serta merta menguncinya
Mei menangisi ayahnya, ia berusaha menahan laju darah yang terus mengalir keluar itu. Nampaknya Paklik tak sadarkan diri.

Juni segera mengantar mereka dengan mobilnya menuju puskesmas. Sepanjang perjalanan Juni yang begitu diliputi rasa bersalah terus saja menangis dan...
...memohon maaf pada ibu Mei dan Mei yang juga tengah menangis memeluk Paklik. Maklum saja, pria itu sudah seperti ayah Juni sendiri, menggantikan posisi ayah Juni.

“Ngapuntene Juni Paklik ngapuntene"
(Maafin Juni om maafin Juni) Juni terus saja menangis
Sesampainya di puskesmas Paklik segera mendapat pertolongan, untunglah lukanya tak terlalu dalam, begitupun organ dalamnya tak ada yang ikut tergores.

Ibu Mei memeluk Juni

“Jun Paklikmu gapopo nduk, ojo kuatir nggih saiki awakmu mantuk sek mesakke budhe dewean"
(Jun om mu gapapa nak, jangan kuatir ya, sekarang kamu pulang dulu sayang, kasihan budhe sendirian) tutur Bulik meyakinkan Juni baahwa suaminya baik baik saja

Juni enggan untuk pulang, namun ibu Mei memaksanya mengingat hanya Ibu Febri seorang dirilah yang menjaga Merry kini
Meskipun ada pula Febri dan ayahnya disana namun mereka disibukkan oleh keributan di belakang yang dibuat Agus.

--

“Lepasin sialan! Keparat! Bajingan buka pintunya!”

Terdengar jelas teriakan pria itu, ia meronta ronta meminta untuk dilepaskan dan tak dikurung.
“Akan ku bunuh kalian semua! Bajingannnnn !!!”

Agus semakin menjadi jadi, kakinya mendobrak dobrak pintu kamar mandi yang hanya terbuat dari atom itu hingga jebol.

Ia berhasil lolos dan mengamuk kembali hingga membuat tiga pria yang menghadangnya kualahan.
Ya, Pak Adi, Febri beserta Pakdhe mencoba menangkap Agus kembali.

Entah asupan energi darimana yang ia dapatkan hingga bisa melawan tiga orang sekaligus, namun tetap saja, ia dapat dikalahkan.
Novi nampak tersenyum simpul, salah satu sudut bibirnya meninggi, begitu keji ia berbahagia dengan situasi ini

Agus segera diikat tali tambang oleh mereka kemudian dimasukkan ke genuk satunya, Febri yang begitu kesal segera mengguyurnya bertubi tubi dengan berember ember air.
Pak Adi duduk bersila di depan kedua genuk berisi manusia itu. Ia melipat tangannya ke depan dada sembari terus merapalkan doa. Beberapa menit setelahnya, tubuhnya menegang, matanya terus tertutup begitupun dengan keringat yang mulai keluar dari tiap pori pori tubuhnya.
Saat itu pula wajah Novi yang dikendalikan arwah ibu Juni menunjukkan raut tak senang, ia seperti geram melihat Pak Adi yang berusaha mengembalikan sukma Novi.

Entah apa yang dilakukan mereka berdua di alam sana, tak ada yang tahu pastinya.
Pak Adi membuka mata dengan senyum lega mengambang di wajahnya, wajah yang nampak masih tampan walaupun sudah berumur, dengan sorot mata yang dalam dan alisnya yang tebal.

“Baru induknya, kau tak akan kubiarkan menemukan anaknya" ucap lantang arwah ibu Juni
Pak Adi tak menghiraukan ucapan arwah penuh dendam itu, ia tau ibu Juni memiliki dendam pribadi pada pihak keluarga istri pertama ayah Juni. Ia juga tau bahwa makhluk makhluk disana sangat tak senang dengan kehadiran manusia.
Ia mendekat ke genuk, untuk sejenak beradu pandang dengan arwah Ibu Juni yang masih merasuki tubuh Novi, sekejap tangannya mencengkeram kepala Novi hingga menjerit, namun ternyata saat itu pula ia berhasil menukar arwah ibu juni dengan sukma Novi yang berhasil diselamatkannya.
Novi tampak kelelahan dan kebingungan, matanya mula memerah berkaca kaca, tangisnya pun pecah.

Agus yang sama sama berada di dalam genuk bersebelahan dengan genuk istrinya pun ikut menangis setelah menyaksikan semuanya. Ia tak menyangka istrinya bisa selamat,
ia pun bertanya tanya mengapa tadi ia bisa kehilangan kendali seperti itu hingga melukai mereka yang tulus membantu.

*Jleg...*

Suara pintu mobil ditutup, Juni telah sampai rumah.
Matanya masih sembab karena menangisi ayah Mei, ia berlari memasuki rumah, buru buru melihat kondisi keponakannya yang ternyata masih tertidur pulas entah sampai kapan.

Dia memeluk tubuh Merry, menangis sesenggukan di dada keponakannya itu.
Ibu Febri ternyata masih mengaji sedari tadi, tanpa berhenti. Kini ia menghentikan kegiatannya sejenak, memeluk Juni yang begitu malang.

Ia menganggap gadis itu selayaknya putrinya sendiri, begitu iba melihat Juni yang harus menyaksikan kematian orang orang yang...
...ia sayangi sejak masih kecil membuatnya ikut merasakan kepedihan.

Tiba tiba Febri memasuki ruang depan sambil membopong wanita yang basah kuyup, kakak Juni.

Novi masih tersadar, namun tubuhnya begitu lemas dan sampai tak mampu mengangkat tangannya sendiri.
Ia dibaringkan di lantai, Febri menyuruh Juni untuk segera mengganti pakaian Novi dan mengeringkan tubuhnya.

Langkah Febri diikuti oleh Pak Adi dan Pakdhe yang masing masing mengangkat lengan Agus, mereka membantunya berjalan.
Setelah sepasang suami istri itu dibersihkan, mereka semua berkumpul mengelilingi Merry.

Juni terlihat menyuapi kakaknya yang duduk bersandar di dinding, wajahnya masih pucat dan begitu sedih menatap putrinya yang belum juga dapat diselamatkan.
“Mbak Novi, Mas Agus, Nak Juni, bapak mohon maaf kelihatannya bapak kesulitan menemukan sukma Merry. Saya sudah mencarinya semaksimal mungkin tapi tetap tidak membuahkan hasil"

“Buka mata batin saya pak, ajari saya ngerogo sukmo, biar saya sendiri yang cari Merry"
jawab Juni dengan cepat

Pak Adi bimbang, di satu sisi ini adalah ide bagus untuk memancing arwah ibu Juni, memintanya menukar sukma Merry dengan Juni, namun saat Merry telah ia kembalikan ke tubuhnya, Juni harus segera menyelamatkan dirinya sendiri dan kabur dari sana.
Tapi di sisi lain ini semua adalah keputusan yang beresiko, bisa saja Juni tak akan benar benar bisa kembali jika sukmanya sampai terjebak.

Akhirnya mereka terpaksa menyepakati rencana itu. Satu hari satu malam Juni diajari berbagai ilmu untuk menggali kemampuan alaminya.
Pak Adi tak menyangka bahwa Juni lebih berpotensi dibanding Septi, hanya saja semua itu tertutup seperti kacang kenari yang melindungi biji mahalnya dibalik cangkang kerasnya.

Memang benar bakat keturunan itu nyata adanya, pastilah Juni memiliki bakat ini dari kakeknya,
Pak Bagyo yang juga orang hebat, sayang beribu sayang Pak Bagyo menyalahgunakan kemampuannya itu, ditambah lagi karakter buruknya yang begitu tak pantas dicontoh.

--

Pukul dua belas malam, Juni dan Pak Adi merebahkan diri mengapit Merry di kedua sisi,
mereka telah mengatur rencana sedemikian rupa. Pak Adi lebih dulu meninggalkan raganya untuk menemui arwah ibu Juni.

Sebelumnya ia menyuruh semua orang tetap terjaga dan menunggu tubuh mereka bertiga bangun.

--
Juni masih terjaga, kini mata batinnya telah terbuka sepenuhnya. Ia dapat melihat seluruh mahkluk penunggu rumahnya, yang selama ini tanpa ia sadari telah hidup berdampingan dengannya. Mereka semua seperti berkerumun, menatap Juni yang mereka kenali telah kembali,
tentu saja karena selama ini mereka tak dapat merasakan kehadiran Juni akibat Pak Adi yang menutupi aura tubuh Juni.

Saat sukma Pak Adi mulai meninggalkan tubuhnya, Juni pun dapat melihatnya dengan jelas bagaimana jiwa dan raga itu memisahkan diri.
Dia menatap orang orang di sekelilingnya, kakak perempuannya, saudara iparnya, sahabatnya, kedua tetangganya yang ia anggap orangtua, Merry tak lupa Pak Adi yang selalu menolongnya. Tanpa sadar sebelah matanya menitihkan air mata, ia begitu bersyukur masih memiliki mereka.
Lima belas menit berlalu, Juni merasakan sesuatu mendekat ke arahnya, ternyata itu Pak Adi. Ia memberi tau Juni bahwa kini sudah saatnya Juni melakukan bagiannya.

Juni pun mulai terpejam, perlahan jiwanya keluar, ia merasa begitu ringan, ia tak menyangka dapat melakukan ini.
Mereka menemui arwah ibu Juni, Pak Adi menjelaskan bahwa semua sudah disepakati, ibu Juni bersedia menukar Merry dengan jiwa anaknya. Rasa egois arwah mengerikan itu begitu tinggi, ia tak mempedulikan fakta bahwa Juni mempunyai kehidupannya sendiri,
yang ia tau hanyalah ia menginginkan Juni yang begitu ia sayangi dapat menemaninya di alam tersebut.

Pak Adi meraih tangan Juni, menggandengnya menuju kamar ibu Juni. Disana, diatas ranjang kamar itu terduduk seorang wanita dengan paras cantik serta rambut panjangnya.
Sosok yang begitu dikenal Juni, seorang yang semasa hidup ia panggil dengan sebutan ibu.

Perempuan itu tersenyum manis menyambut putrinya yang melangkah menghampirinya. Air mata Juni tak dapat dibendung lagi, ia tak tahu harus bereaksi seperti apa, pun dengan hatinya,
ia tak tahu perasaan apa yang sebenarnya tengah ia rasakan. Sangat sulit untuk membedakan antara rasa sedih bahagia rindu dan benci yang muncul begitu saja.

“Ibuk...” keluar kata dari bibir Juni yang terasa kelu
Perempuan itu membuka tangannya, mempersilahkan Juni untuk memeluknya. Rasa rindu menyeruak didalam lubuk hati Juni, belasan tahun ia tak pernah mendapat kasih sayang dari seorang ibu. Dia menangis sesenggukan didalam peluk wanita itu.
“Kembalikan Merry" ucap Pak Adi

Arwah perempuan gila itu mengangkat jarinya, menunjuk ke arah belakang. Pak Adi segera berlari menjauh dari sana, mencari sukma Merry. Ternyata kedatangannya memang telah ditunggu oleh dua orang anak kecil di kebun sengit belakang rumah itu.
Anak itu adalah Merry, dan seorang disebelahnya lagi adalah sosok yang selalu menempel pada arwah ibu Juni, tentu saja ia merupakan kakak Juni, Rusin.

Anak itu menggandeng tangan Merry, menunggu Pak Adi datang untuk menjemput teman mainnya beberapa hari ini.
Pak Adi segera menggendong tubuh Merry

“Da da...” ucap Merry yang melambaikan tangan pada Rusin

Rusin membalas lambaian tangan itu, ia tersenyum ceria layaknya anak seusianya. Ternyata selama ini Merry di sembunyikan disana, tapi mengapa Pak Adi tak dapat menemukannya?
Entahlah walau nyatanya ia telah mencari di tempat itu berulang kali.

Ia melangkah pergi, karena jalur yang ia lalui harus melewati pohon asem, ia tak sengaja melirik dan mendapati keadaan didalam sana,
ada seorang pria tua bertubuh dempal yang dirantai dan dijadikan budak oleh penghuni pohon itu.

Ia adalah Pak Bagyo, kakek Juni. Pak Adi dapat mengenalinya dalam sekali pandang karena dulu ia pernah melihat wajah itu di kilasan kejadian masalalu yang ia lihat dalam rumah ini.
Ia kembali melangkah, tercium bau darah menyengat. Tanah di sekitar sana dikerubuti oleh serangga serangga liar, mereka berkemelut disekitar darah kambing yang terbujur kaku dibawah pohon itu. Tak hanya serangga, makhluk makhluk menjijikkan pun banyak yang berada disana,
berebut menjilati bangkai dan darah kambing itu.

“Mamah.. Yayah..” panggil balita itu pada kedua orangtuanya

Mereka semua terkejut ketika Merry tiba tiba terbangun, tandanya misi Pak Adi untuk mengembalikan jiwa anak itu berhasil.
Mereka sangat sangat bersyukur, ibunya segera mendekap tubuh kecil itu dan menangis sejadi jadinya. Merry tampak kebingungan melihat para orang dewasa itu menangis melihatnya.

Di sisi lain...
Juni mulai terlelap di pelukan ibunya, ia hanyut dalam buaian makhluk itu. Ditambah lagi arwah sang ibu beberapa kali menenangkannya dengan menembangkan tembang tembang jawa kesukaannya sejak kecil dulu yang selalu dinyanyikan sang ibu untuknya di tiap tidurnya.
Pak Adi sebelumnya sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi, ia sangat tahu arwah jahat itu mampu menghalalkan segala cara untuk menjerat seseorang untuk bergabung kedalam dunianya.
Ketika Pak Adi memasuki kamar itu, arwah jahat tersebut sudah berubah ke wujud aslinya. Mungkin memang tadi ia menggunakan wujudnya saat masih menjadi manusia dulu demi memperdaya Juni.

“Jun bangun Jun bangun...” teriak Pak Adi yang melompat keatas ranjang lalu menarik...
...tubuh Juni dari dekapan arwah ibuny

Juni segera terbangun namun tak kunjung menyadari bahwa perempuan di depannya adalah sosok yang sama yang selama ini mengganggu ketrentaman hidupnya dan orang orang disekitarnya.
Arwah ibunya bahkan sering mengganggu warga sekitar yang sekedar melewati rumah itu.

“Ayo cepat kita pergi, ikut bapak pergi dari sini!!!” tegas Pak Adi

Hati Juni bimbang, ia menangis tak rela meninggalkan ibunya.
Arwah ibunya mengamuk melihat Pak Adi yang mengingkari janji, pria itu tak benar benar ingin menyerahkan Juni.

Seluruh bola matanya berubah hitam pekat, wajahnya memerah seperti bara hingga mengeluarkan bau tak sedap. Ia menjerit hingga Juni ketakutan.
*Aaaaaaaa.....* dia semakin mengamuk

Juni dan Pak Adi segera kabur meninggalkan kamar itu, namun kaki Juni tertahan, ia ditarik oleh tangan hitam berkuku panjang. Kakinya tergores kuku kuku itu, kulitnya hingga mengelupas dan mengeluarkan darah.
Memang roh jahat dapat melakukan hal hal seperti melukai manusia.

Juni sekuat tenaga menarik kakinya dibantu Pak Adi. Banyak sekali makhluk lain yang mengerumuni mereka, tak ada niat ikut campur ataupun membantu, mereka hanya menatap dan memperhatikan.
Wujud ibu Juni semakin menyeramkan, dia benar benar berubah, tak seperti beberapa saat lalu. Lidahnya menjulur keluar, begitu panjang dan mengeluarkan liur berbau tak sedap. Juni merasa mual karenanya.
Mereka berhasil terlepas, Pak Adi segera memasukkan kembali sukma Juni kedalam tubuhnya sendiri. Kini gilirannya untuk kembali pada raganya, namun belum sempat ia memulai menyatukan jiwa dan raga itu arwah ibu Juni menuntut balas.
Semua barang dirumah itu bergetar hebat, seperti ada gempa bumi yang tiba tiba terjadi. Mereka panik, begitu pula Juni yang baru saja tersadar. Karena mata batinnya telah terbuka, ia dapat melihat apa yang mata Pak Adi lihat pula.
Pak Adi, pria itu belum juga masuk ke tubuhnya, ia masih harus meladeni kegaduhan yang arwah ibu Juni buat. Di depan kedua matanya tengah melayang arwah sang ibu. Wanita itu mengamuk dan menjerit, diiringi angin yang berhembus kencang menerjang rumah Juni.
Pintu pintu begitupun jendela yang ada hingga terbuka paksa oleh hembusan angin itu. Semuanya terkejut, selain Juni dan Pak Adi yang dapat melihat jelas penyebab terjadinya hal itu.

“Balikno Juni nang aku!”
(Kembalikan Juni padaku!) gertak arwah Septiani itu
“Buk ibuk sampun benten alam kalih Juni buk. Juni tasik harus ngelanjutke dalan uripe Juni. Juni sayang kalih ibuk tapi ampun ngeten carane"
(Buk, ibuk sudah beda alam dengan Juni buk. Juni masih harus melanjutkan jalan hidup Juni. Juni sayang sama ibuk tapi jangan gini caranya)
ucap Juni sedikit terbata karena hatinya begitu pedih menerima kenyataan ini, ia menangis tersedu sedu hingga kedua lututnya melemas, membuatnya terjatuh ke lantai.

Orang orang di sekitarnya begitu iba melihat Juni, mereka tak tau dengan siapakah Juni bicara saat ini.
Namun satu, dari kata kata gadis malang itu mereka mengerti bagaimana perasaannya kini.

Angin perlahan berhenti bertiup, wajah arwah ibu Juni tak lagi setegang tadi. Di depan anak wanita yang kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa itu Septiani meluluh,
bahkan ia tak lagi menampakkan wujud aslinya yang begitu menyeramkan.

“Lek ngono ojo alangi aku mbales loro atiku, aku pengen bocah iku mati"
(Baiklah kalau begitu jangan halangi aku balas dendam, aku ingin anak itu mati)
ucap Septiani menunjuk Novi yang tak tahu apa apa karena tak dapat melihatnya

Ia begitu dendam dengan Julianti, ibu Novi sekaligus istri pertama ayah Juni. Ia tak rela kebahagiaannya dihancurkan begitu saja bahkan ia belum sempat memeluk putrinya untuk terakhir kali sebelum mati
Agaknya ia lupa, ialah yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah tangga wanita lain dengan menjadi madunya.

“Sudahlah, urungkan saja niat burukmu itu. Semuanya telah berlalu" ucap Pak Adi mencoba membujuk arwah itu

Pria itu sama sekali tak dihiraukan olehnya
Ibu Juni kembali ke kamarnya dengan menembus dinding, begitupun Pak Adi yang segera kembali ke raganya.

Juni masih saja bersimpuh di lantai diiringi tangisnya yang tak kunjung usai. Budhe memeluk tubuh gadis itu dan terhanyut bersama dalam kesedihan.
Febri tak banyak bicara, ia hanya diam menatap ibunya yang menangis bersama Juni. Lalu ia menjauh, mencari antiseptik dan perban untuk merawat kaki Juni yang terluka begitu dalam sebelum esok pagi membawanya ke puskesmas.
Setelahnya, Febri beranjak menutup kembali seluruh pintu dan jendela yang ada, beberapa engsel di antaranya ternyata rusak saking kencangnya terpaan angin tadi.

--
Beberapa hari mereka semua lalui dengan damai. Semua kembali menjalani rutinitasnya masing masing, namun tentu saja semuanya masih tinggal di rumah Juni karena Pak Adi pun masih menginap disana untuk mengontrol keadaan.
Juni mulai terbiasa dengan kemampuannya, jiwanya kini benar benar tangguh. Ia dengan cepat beradaptasi, tak lagi ketakutan melihat dunia gelap yang selama ini menghantuinya.

Dimatanya, hantu hantu itu kini tak ubahnya manusia yang juga hidup berdampingan dengannya.
Setiap hari Juni juga selalu datang ke rumah sakit untuk menemani Paklik saat Bulik mengajar, Mei pun harus bekerja itulah sebabnya tak dapat 24 jam mengurus ayahnya yang tengah terluka itu.

Dia merawat ayah sahabatnya itu selayaknya ayah sendiri, dia begitu telaten dan sabar
Novi, Agus dan anak mereka? Mereka masih berada di rumah itu. Meskipun tak ada lagi gangguan yang mereka terima namun Pak Adi belum mengizinkan mereka pulang. Ia merasa masih harus waspada dan selalu mengawasi keluarga Juni, setidaknya untuk tiga hari kedepan.
--
Dua minggu telah berlalu sejak kegaduhan itu terjadi, pagi itu Juni bersiap menjemput Paklik yang telah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit oleh dokter.

“Arep ngendi dek?”
(Mau kemana dek?) tanya Novi yang sedang menyapu rumah. Ia melihat Juni tengah memakai sepatu.
“Marani Paklik mbak, kimau aku ditelfon rumah sakit jare wes oleh bali"
(Jemput Paklik mbak, tadi aku ditelfon pihak rumah sakit, katanya Paklik udah boleh pulang) jelas Juni padanya

“Paklik?” Novi tak mengerti siapakah orang yang Juni bicarakan
“Paklik, bapake Mei sing wingi iko yo mrene"
(Paklik, ayahnya Mei, yang dulu juga disini)

Kelar menali sepatunya, Juni berdiri dan mengambil tasnya

“Oh sing iko, mange deweke kenopo?”
(Oh yang itu, emangnya dia kenapa?) lanjut Novi karena penasaran
Juni tak mengatakan apapun, ia melirik kakak iparnya yang duduk di sofa dan nampak memperhatikan pembicaraan Juni dengan istrinya tersebut.

“Mpun nggih mbak tak mangkat"
(Udah ya mbak aku mau berangkat) pungkas Juni meraih tangan kakaknya untuk berpamitan
Sebelum melangkah keluar, ia kembali menengok kakak iparnya yang tampak salah tingkah. Pria itu gelagapan mendapat tatapan tajam dari Juni.

Agaknya tak ada yang memberi tahu Mba Novi tentang apa saja yang telah terjadi selama ia tak sadarkan diri.
Begitupun Novi, dia tak mau membuka mulut dan memendam segalanya sendiri mengenai segala yang ia alami.

--

Juni mengajak ayah Mei pulang ke rumah Juni, agar gadis itu dapat merawatnya sebelum Bulik dan Mei pulang kerja.
“Assalamualaikum..” ucap Paklik yang dibantu Juni berjalan memasuki rumah

“Waalaikumsalam..” senyum mengambang di wajah Novi, ia segera membantu Juni menggandeng pria itu, mendudukkannya di sofa

Juni berlalu, mengambil barang barang Paklik dari bagasi dan membawanya masuk.
Agus bingung harus bereaksi bagaimana, lidahnya kelu, ia begitu malu dan merasa bersalah

Dia mendekati Paklik, meminta maaf secara langsung padanya

“Pak saya mohon maaf sebesar besarnya, saya salah, saya keterlaluan, maaf karena sudah membuat bapak seperti ini" buka Agus
“Gapapa mas, saya sudah maafkan. Saya tau itu bukan kehendak mas sendiri" Paklik menerima permintaan maaf itu dengan ikhlas dan lapang dada, ia tak pernah marah, dendam, apalagi menyalahkan Agus.
Juni kembali masuk menenteng beberapa tas milik Paklik, ia hanya menamati sebentar Agus dan Paklik yang sedang berbincang.

“Endi yo mbak Novi"
(Mana ya mbak Novi) gumam Juni, ia menuju kamar tamu yang ditempati kakaknya
Kamar tamu adalah kamar yang berada persis di sebelah kamar Juni

Ia melangkahkan kaki memasuki kamar itu, terdengar suara Merry yang sedang bernyanyi nyanyi, liriknya sedikit tidak jelas karena ia masih belum lancar bicara.
Terlihat lima buah tas berjejer sedemikian rupa diatas ranjang, ia mengenali tas tas itu.

“Loh mbak..” celetuk Juni

Kakaknya berbalik

“Nte Du Ni..”
(Tante Ju Ni..) sapa Merry padanya

“Mbak arep balik saiki? Kok mau gak ngomong disit?”
(Mbak mau pulang sekarang? Kok tadi ga bilang dulu?) protes gadis itu pada kakak perempuannya

Wajahnya cemberut tak merelakan kakaknya pergi, ia meraih Merry yang tadi bermain di meja rias
“Mbak lupa dek kalo rencananya hari ini harus balik, ada banyak kerjaan numpuk di kantor. Makanya kamu cepetan dong lulusnya nanti kamu yang bantuin ngurus bisnis almarhum papah" jelasnya pada adik tirinya itu

Juni terdiam, mungkin ia merasa masih ingin ditemani di rumah itu.
Setelah semuanya beres, sore itu Novi dan Agus pamit pada keluarga Febri, keluarga Mei, pun menitipkan salam pada Pak Adi.

“Pak Bu, kula titip Juni nggih"
(Pak Bu, saya titip Juni ya) pinta Novi saat berpamitan, ia memeluk ibu Febri erat
“Nggih mbak, bakal kula jogo adine sampean sami kalih putrane kula piyambak, saestu"
(Iya mbak, bakal saya jaga adik mbak sama kaya anak anak saya sendiri) jawab ibu Febri

Ibu Mei pun memeluk Novi bergiliran, ia juga mengatakan akan merawat Juni sesuai mandat ayahnya dulu
“Dek ayo, semuanya udah siap" panggil Agus pada istrinya

Novi hanya mengangguk, untuk terakhir dia memeluk Juni, meminta maaf pada adiknya itu.

“Dek, ngapurane mbak yo lek mbak ono lupute. Awakmu jaga diri, mbak sayang awakmu"
(Dek, maafin mbak ya kalo mbak ada salah. Kamu jaga diri baik baik, mbak sayang kamu)

Ucapan Novi itu membuat hati Juni seketika runtuh, ia tak tau apa gerangan yang membuat hatinya terasa begitu merasa kehilangan. Padahal ia akan terus bisa menjumpai kakaknya sewaktu waktu,
lalu kenapa pula kakaknya meminta maaf. Ia merasa cara berpamitan kakaknya tak benar, harusnya tak seperti ini.

Novi melangkah menuju mobil, mengambil Merry dari gendongan suaminya yang berdiri di dekat sana. Untuk terakhir sebelum berangkat,
wanita itu melambaikan tangan pada orang orang dibelakangnya.

Mobil melaju semakin jauh melewati halaman depan dan keluar dari gang menuju jalan raya. Semua orang kembali ke rumahnya masing masing, kini hanya Juni sendirilah yang ada di rumahnya.

--
Agus melajukan mobilnya dengan tenang, sesekali ia nampak bergurau dengan istri dan putrinya.

Jarak rumah mereka dengan rumah Juni sedikit jauh, mungkin satu setengah jam perjalanan dan harus melewati jalan besar yang sangat ramai oleh kendaraan muatan berat.
Kalau Agus mau menambah lajunya, mungkin bakda maghrib mereka telah bisa sampai di rumah.

Novi memangku putrinya dan mendekapnya, anak itu tampak sudah mengantuk. Begitu nikmatnya berkendara ditambah dengan angin sepoi sepoi yang masuk melewati jendela membuat terasa nyaman.
“Mas kenapa?” tanya Novi pada suaminya yang menunjukkan raut berbeda

Pria yang duduk di sebelahnya terlihat begitu tegang, wajahnya pucat dan tangannya mulai gemetar. Ia memang selalu gemetar saat ketakutan.
“Tad.. tadi itu bukan orang kan dek? Aku hampir aja nabrak sesuatu!” jawab Agus yang tak fokus mengemudi

“Kok aku ga liat sih mas.. mana sih?” Novi bingung, nampaknya ia tak melihatnya

“Tadi itu tadi.. masa kamu ga liat!” tegas suaminya
Namun memang benar apa yang dikatakan Agus, ada yang mengikuti mereka.

Beberapa kilometer mereka lalui, Agus membelokkan mobilnya ke SPBU. Ia mengisi bahan bakar mobilnya, sedangkan Novi mengajak putri mereka ke kamar mandi.

Selesai dari kamar mandi, Novi segera masuk mobil
Wajahnya begitu memelas, Agus dibuat bingung olehnya. Namun ada satu kejanggalan yang belum Agus sadari, istrinya kembali tanpa membawa putri mereka, ia tak sadar sadar bahwa putrinya tak ada disana. Ia hanya merasa ada yang berbeda dengan istrinya.
Novi begitu sedih, menahan tangis, Agus semakin bingung. Lima belas menit mereka lalui sejak Novi meninggalkan putri mereka disana. Kini air matanya tak dapat dibendung lagi, ia menangis sesenggukan meminta maaf pada Agus.
Agus yang tak mengetahui perihal apapun hanya berdiam diri, ia bingung bagaimana harus menanggapi.

“Loh dek, Merry mana?!” ia sadar saat matanya tak sengaja menatap gendongan milik putrinya itu

“Maafin aku mas aku mohon maafin aku" ucap istrinya memohon
Pria itu melihat seisi mobil, mencari Merry tanpa meminggirkan kendaraannya terlebih dahulu. Dan betapa terkejutnya ia saat matanya menangkap sosok mengerikan yang pernah ia lihat beberapa kali tengah duduk di jok belakang mobil mereka.
Tanpa sadar ia melepas tangannya dari setir, ketakutannya tak terbendung.

“MAAF MAS...” ucap istrinya meraih tangan suaminya itu beberapa saat sebelum

*Bressss.... Brak...*

Truk gandeng besar menabrak body belakang mobil mereka, menggeretnya hingga beberapa belas meter
*Bruak...*

Kendaraan besar dari lawan arah menggilasnya kembali

Begitu miris nasib kedua manusia itu, mereka menghadap maut secara bersamaan dengan cara yang sebegitu mengenaskan.

--
Di dapur, Juni tengah mencuci piring ditemani beberapa makhluk yang bergelantungan di atap memandangnya sibuk, Juni tak menghiraukannya.

*Dug... Dug... Dug*

Juni menghentikan tangannya yang tengah menggosok piring piring di hadapannya, ia menengok ke belakang.
Seorang pria tengah berdiri menghadap dinding, menunduk dan terus membentur benturkan kepalanya ke dinding dihadapannya itu.

Posisi mereka beradu punggung, Juni sangat mengenali perawakan itu. Gadis muda itu beranjak dari tempatnya, menghampiri si pria.
“Mas?”
“Mas Agus?”
“Mas...”

Ya, ia melihat sosok Agus disana, namun ia sama sekali tak menjawab panggilan Juni. Ia masih mengenakan baju yang sama seperti saat ia dan kakak Juni pamit pulang sore tadi. Kaus hitam polos dan celana cargo lengkap dengan ikat pinggang.
Juni mulai menaikkan tangannya, mencoba memberanikan diri untuk menarik bahu kakak iparnya itu, membalikkan posisi pria itu agar menghadap padanya. Tubuh Agus begitu dingin, sedingin mayat.

Tangan Juni mendarat di lengannya, memutar badan Agus.
Juni segera membekap mulutnya sendiri dengan kedua tangan

Betapa terkejutnya gadis itu menatap sosok Agus yang begitu mengenaskan, wajahnya berlumur darah, perut dan pahanya tertusuk pecahan kaca

*Kring kring kring* handphone Juni yang tergeletak di meja terdengar berdering
Masih dalam posisi yang sama Juni mengalihkan tatapannya menuju kearah meja. Ia tak menghiraukan telefonnya dan hendak kembali menatap sosok Agus, namun sosok itu telah hilang, tak lagi menampakkan diri.

Hp nya kembali berdering untuk yang kedua kali, Juni mengangkatnya.
Betapa terkejutnya ia mendengar kabar bahwa Merry kini sedang berada di salah satu kantor polisi, mereka mengatakan bahwa Merry ditinggalkan ibunya sendirian di kamar mandi SPBU, namun ibunya meninggalkan secarik kertas berisi nomor telepon Juni yang digenggam oleh balita itu.
Tak pikir panjang Juni segera meraih sepatu dan tasnya, ia mengunci pintu dan buru buru melajukan mobilnya menjemput Merry.

Juni memarkirkan mobilnya di area kantor, ia segera keluar dari dalam mobil. Suara tangis dari dalam ruangan terdengar hingga tempat dimana Juni parkir
Merry menangis begitu kencang, ia tak henti hentinya berteriak mencari ibunya. Sungguh menyayat hati, bocah sekecil itu yang hanya mengerti bermain makan dan tidur ditinggal begitu saja di tempat umum.
Juni tak bisa membayangkan bagaimana jika ada orang jahat yang justru menculik keponakannya.

Ia berlari memasuki kantor itu, meraih tubuh Merry yang tengah digendong seseorang, mencoba menenangkan balita itu. Wajah Juni memerah karena tangisnya.
“Nte.. nte...” panggil Merry pada Juni

Balita itu memeluk erat tantenya seakan ketakutan akan ditinggalkan sendirian lagi, disana tak ada yang ia kenali selain Juni.

“Iya nak, Merry nak ini tante nak, Merry tenang ya sayang” ucap Juni yang juga sesenggukan,
ia sekuat tenaga melerai tangisnya sendiri karena takut bila ia terus menangis, tangis Merry akan turut semakin menjadi.

Dia melonggarkan peluknya, mengarahkan kepala Merry agar menatap wajahnya.

“Cup cup cup sayang tante disini nak jangan nangis lagi ya"
senggal senggal nafas Juni terdengar begitu jelas, air matanya mengalir deras

Tangan Juni mengelap sisa sisa air mata di pipi keponakannya, ia mendekatkan kepalanya ke kepala Merry, membungkusnya hangat dalam dekapan. Anak itu terlelap dalam pelukan Juni dengan begitu pulasnya
Juni menelpon pengacara almarhum ayahnya, dia meminta bantuan untuk mengurus seluruh masalah ini. Setelah pengacaranya datang, Juni segera pergi dari sana, dengan niat membawa Merry pulang ke rumah kakaknya.
Balita itu ia tidurkan di jok tengah sendirian, sedang Juni menyetir di depan dengan pikiran kacau. Ia tak tahu lagi cobaan apa yang harus ia hadapi kedepannya.
Jalanan menuju rumah kakaknya begitu macet, selain karena arus kendaraan yang begitu padat, juga karena satu ruas jalannya ditutup akibat kecelakaan kakak Juni. Namun sayangnya Juni tak mengetahui sama sekali tentang hal itu.
Ketika kemacetan mulai terurai dan ia melewati tkp, ia terkejut melihat mobil dengan plat yang sama persis seperti mobil kakaknya ringsek bersimbah darah teronggok di bahu jalan. Mobilnya hancur berantakan dengan seluruh body yang penyok tak karuan.
Juni segera menepikan mobilnya di dekat sana, banyak polisi yang masih berada di tkp menatap Juni bingung.

“Pak.. ini mobil kakak saya, kenapa ada disini pak, kenapa bisa kaya gini" tanya Juni yang merasa tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat
Pupilnya membuka lebar, alisnya mengerut pula dengan tangannya yang menunjuk mobil kakaknya.

“Mbak keluarga korban? Mari saya antar ke rumah sakit, koban sudah dibawa kesana” ucap salah seorang polisi muda yang ada disana
Ia meninggalkan beberapa rekan dan mobil patrolinya disana, mereka ke rumah sakit mengendarai mobil Juni. Karena Juni sibuk dengan tangisnya, pria itulah yang menyetir. Ia tak banyak bicara, pula tak menjelaskan tentang keadaan kakak Juni, ia hanya fokus menyetir.
Juni menggendong Merry yang masih saja tidur, ia membawanya memasuki rumah sakit bersama polisi itu.

Juni segera diarahkan ke kamar mayat, kakaknya telah terbujur kaku bersebelahan dengan suaminya yang juga telah pergi untuk selama lamanya.
Juni meratapi itu semua, harus berapa banyak lagi kehilangan yang mesti ia rasakan, harus berapa banyak lagi ia melihat kematian orang orang terkasihnya.

Merry ia titipkan pada pria itu, ia berlari meringsek ketubuh jenazah kakak perempuannya.
Ia menjerit tak kuasa membendung kesedihan yang mencuat di dadanya.

Dia menggoncang goncangkan jenazah Novi, berteriak memanggil nama Novi untuk membangunkan kakak perempuannya. Dada Juni benar benar sakit, seluruh darah dalam tubuhnya serasa memenuhi kepalanya.
“Mbak.. mbak Novi tangi mbak ojo jarne Juni dewean mbak, ojo tinggalne Juni mbak”
(Mbak.. mbak Novi bangun mbak jangan biarin Juni sendirian mbak, jangan tinggalin Juni mbak) isaknya tak karuan sembari memeluk kakaknya

“Mbak.. Juni nyuwun tulung sampean tangi mbak..”
(Mbak.. Juni minta tolong bangunlah mbak..)

Juni begitu frustasi, seakan dunianya kiamat dalam sekejap

*Aaaaaaaa...*

Gadis malang itu berteriak dan memukuli dadanya dengan begitu keras, tak hanya itu ia pun menjambak jambak rambutnya dan menampari pipinya sendiri,
ia begitu kacau, begitu putus asa.

Beberapa perawat yang mendengar kegaduhan itu segera menghampiri Juni, memegangi tangan dan kaki Juni agar ia tak lagi menyakiti dirinya sendiri.
Juni pingsan beberapa kali, ia dirawat inap pula di rumah sakit itu. Setiap terbangun, dia selalu menangis histeris hingga pingsan kembali.

Pihak keluarga Agus datang ke rumah sakit itu segera, mereka dikabari oleh pihak berwajib, begitu pula dengan Julianti, ibu Novi.
Wanita tua itu datang dan mengutuk Juni, menyalahkan anak tirinya atas segala yang menimpa Novi. Makiannya itu semakin menyakiti hati Juni, gila, sangat gila, mereka berdua sama sama kehilangan namun masih sempat sempatnya wanita itu meneriaki Juni.
Ia tak terima, ia menganggap jika saja Novi tak berkunjung ke rumah Juni, Novi tak akan mendapat sial seperti ini.

Merry yang tak tahu apapun semakin ketakutan melihat neneknya mengamuki tantenya, ia memeluk Juni erat diatas ranjang kamar rawat pasien.
Sesekali bocah itu membenamkan wajahnya di sela lengan Juni saat neneknya berteriak seperti kesetanan.

Pandangan Juni kosong, telinganya seakan tuli, ia tak lagi menghiraukan ucapan ibu tirinya, memandangnya saja pun ia enggan. Tangan kirinya memeluk Merry,
sedang tangan kanannya tersambung dengan selang infus. Ia meraih handphone yang ada di tasnya. Entah siapa yang meletakkan barang barangnya di atas meja sebelah ranjang itu.

Juni mengabari Mei dan Febri, meminta mereka untuk membantunya menjaga Merry malam ini juga.
--

Dua jam berlalu, Febri dan Mei beserta ibu mereka berdua telah datang ke rumah sakit. Mereka semua tak percaya dengan apa yang terjadi, apakah ini sebabnya Novi berpamitan seaneh itu pada mereka tadi sore.
Kenapa Juni harus melalui hal hal berat ini secara beruntun tanpa jeda, tak ada jeda untuknya beristirahat dan merasakan bahagia sedikit saja.

Sebelum jenazah dikirim ke rumah duka, pihak berwajib menjelaskan semuanya secara detil pada keluarga.
Juni yang tak kuasa hanya memandang dari kejauhan.

Keduanya meninggal di tempat kejadian, tempurung kepala Agus mengalami keretakan serius, sedang tulang leher Novi patah dan ditemukaan beberapa pecah kaca menusuk jasad mereka.
Jenazah kakak Juni segera dikebumikan, namun anak mereka sama sekali belum mengerti apa arti kematian, anak itu tak mengetahui bahwa kini ia adalah yatim piatu. Ia hanya terus saja menangis mencari keberadaan ibunya.
Juni menyadari satu hal, hal terpenting bahwa ternyata kakaknya sengaja meninggalkan Merry sendirian di sana karena ingin anaknya selamat, pasti Novi telah mengetahui bahwa nyawanya terancam. Juni begitu iba melihat anak kakaknya itu,
di satu sisi ia bersyukur karena anak yang masih suci ini selamat dan bisa melanjutkan hidupnya, namun disisi lain hatinya begitu retak, ia tak menyangka keponakannya akan menjalani kisah hidup yang hampir sama dengannya, kehilangan orangtua.
Pihak keluarga Agus tak ada yang berkenan untuk mengasuh Merry, mereka justru sibuk merebutkan hak waris, namun berbekal kuasa hukum pihak keluarga Novi, akhirnya Juni berhasil mengamankan seluruh aset yang menjadi hak Merry.
Juni lah yang menjadi wali Merry sampai ia besar nanti, ia juga yang mengasuh serta merawat keponakan satu satunya itu karena ibu tiri Juni memilih untuk menghabiskan masa tuanya dengan menyendiri.

--

END
Suatu hari...

“Mer... “ panggil Juni yang menyusuri ruang tengah rumahnya

“Iya tante.. Merry disini” sahut gadis kecil yang begitu cantik itu, ia memilih untuk selalu memotong sebahu rambutnya, persis seperti mendiang sang ibu
Ia melompat keluar dari dalam lemari yang tadinya tertutup, Juni tak menyangka Merry berada disitu

“Kamu ngapain disitu ih?” tanya Juni heran, ia mengelus pipi Merry

“Merry lagi main, Merry dapet temen baru te" jelasnya begitu ceria
Juni kembali melihat kearah lemari itu, ada Rusin bersembunyi disela sela baju yang tergantung disana...
Halo?? Ini Cimolll

Terimakasih banyak telah membaca tulisan ini dengan senang hati, doain aja Rusin Part 3 bisa ditulis dan diunggah tanpa kendala kedepannya ya temen temen.

Untuk beberapa poin yang sekarang belum bisa cimol jelaskan, mungkin bakal cimol jabarin di part 3. Daaa
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with Cimolll

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!