Jujur penulis tidak serta merta mengalami langsung hal hal yang ditulis saat ini. Cerita didapat dari salah seorang yang mengetahui persis kejadian tersebut, dan memiliki akses kepada orang terdekat pemilik cerita.
Bagi yang belum membaca part 1 :
-
Angin bertiup kencang, langit dipenuhi warna kelabu. Daun daun berguguran ke tanah di sore yang mendung itu
Rontokan daun kering mengisi seluruh halaman rumah. Rumah yang terlihat tua, nampaknya Juni belum pernah merenovasinya sejak pertama mendiami rumah itu lagi
(Jun udah matang nih, ayo makan) teriak temannya dari dalam rumah
Juni yang sedang duduk melamun di teras tersadar oleh teriakan temannya itu, ia bergegas masuk
Kini hidup mereka berdua telah berubah, aman dari gangguan makhluk makhluk disana.
Setidaknya mereka bisa bertahan, untuk saat ini,
~~
Pagi ini mereka bersiap untuk berangkat ke kampus seperti biasa, dalam perjalanan handphone Juni berdering, ia pun segera menepikan mobilnya sejenak.
Ternyata telfon dari kakak tiri Juni yang mengabari bahwa ia akan berkunjung
“Iya Mbak, nanti tinggal masuk ke rumah aja, kunci ada di bawah pot bunga...
“Oke jun” jawab singkat dari kakaknya
Juni yang akan ke kampus kembali melanjutkan perjalanan
~~
Diruang kelas tiba-tiba handphone Juni berdering, terlihat panggilan suara dari Mba Novi.
(Jun aku udah sampe sini nih, nanti aku nginep sehari ya) ucap seorang perempuan dalam telepon
“Nggih Mba mboten nopo nopo, dadi rame kan omahe lek ono sampean"
(Iya Mba gapapa, jadi rame kan rumah kalo ada Mba juga)
“Sep mbakyuku mbe bojone karo anake ate nginep sedino, gapopo kan?"
(Sep kakak tiriku sama suami dan anaknya mau menginap sehari, kamu gapapa kan?) tanya Juni pada wanita di sebelahnya, Septi
(Gapapa lah Jun, oh iya aku lupa belom bilang ke kamu ya kalo aku mau pulang ke rumahku dulu. Soalnya orangtua pada kangen,...
Juni terdiam sejenak menatapnya, nampaknya Septi tahu betul apa yang ada dalam benak Juni saat itu.
"Gapopo Jun, bismillah. Kalo ada apa apa tinggal ngabarin aku apa Pak Adi" lanjutnya kembali
"Iyo Sep, gapopo kok aku gak wedi opo maneh ono Mbak Novi nok kene"
(Iya Sep, gapapa kok aku ga takut apalagi ada Mbak Novi disini) jelas Juni pada Septi
Sore itupun Juni mengantar Septi menuju halte bus, tepat saat sampai sana bus yang akan Septi tumpangi tengah singgah di halte tersebut. Septi berpamitan untuk terakhir.
"Jun aku mantuk sek ya, ojo telat maem"
"Iya awakmu yo sing ati ati"
(Iya kamu yang hati hati)
Mereka berdua berpisah disini, temannya itu segera naik kedalam bus tersebut.
--
Anak itu nampak girang melihat Juni menghampirinya
"Nte.. Nte.. hihihi" ucapnya yang belum lancar bicara
"Merry ikut Tante sini.." ajak Juni
Ia segera menyodorkan tubuhnya dan berpindah ke dekapan Juni dari tangan ibunya
Juni lalu mengulurkan tangan, mencium punggung tangan kakak perempuannya itu, Mbak Novi
(Kok lama banget sih dek tadi katanya mau pulang jam tiga) keluh kakaknya
"Sepurane mbak mau aku leren ngeterke kancaku sing mbendinane ngancani aku nok omah kene, deweke arep bali kampung"
"Loh koncomu onok sing manggon kene ta? Sopo nduk?"
(Loh temenmu ada yang tinggal disini toh? Siapa nduk?)
"Koncoku kuliah mba, jenenge Septi"
(Temenku kuliah mba, namanya Septi)
"Yowis ayo melbu mbak, wes surup"
(Yaudah ayo masuk mbak, udah petang) ajak Juni pada kakaknya
Mereka bertiga pun masuk, Merry masih dalam gendongan Juni. Terlihat seorang laki laki tengah duduk di kasur lantai sambil menyantap makanan dalam piring...
"Assalamualaikum" ucap mereka serentak
"Yayah yayah..." ujar Merry sambil tersenyum megarahkan telunjuknya kearah pria itu
"Waalaikumsalam, loh Jun udah pulang" kata laki laki itu yang kini menengok kearah Juni
Juni melangkahkan kakinya mendekat kearah orang itu, mereka bersalaman.
"Hahaha kaya siapa aja pake acara disambut, Jun Jun" dia mengelus rambut Juni selayaknya ayahnya sendiri
"Jun ndang cepet aduso trus maem. Mbak mau wes masak"
(Jun cepet mandi trus makan gih. Mbak tadi udah masak) perintah kakak Juni yang menyusul putrinya duduk disebelah suaminya itu
Sejujurnya, dalam benak Juni saat ini dipenuhi kehawatiran, ia takut kalau sampai terjadi hal buruk menimpa keluarganya. Jelas ia sangat paham situasi ini,
Setelah selesai merapikan barang, ia meraih handuk yang ada di gantungan dibalik pintu kamar, setelahnya menuju kamar mandi.
Selera makan yang menumpuk tadi seketika hilang, makanan yang barusaja di masak oleh kakaknya terlihat basi berjamur dan dipenuhi oleh belatung
"Setan keparat, wes mulai maneh wae"
Perasaan Juni mulai tak nyaman, bukan tentang dirinya sendiri, tapi tentang keluarganya yang bisa saja tidak betah tinggal disini.
Segera ia ambil makanan itu dan dibuangnya di dekat pohon asem belakang rumah,
Ia kembali ke dapur, mengambil bahan seadanya dari kulkas dan mulai memasak.
--
"Wes maem Jun?" tanya Mbak Novi menghampiri Juni
(Udah mba, maaf tadi masakannya aku buang, kemasukan cicak soalnya) jawabnya pada Novi, ya lebih baik ia menutupinya dengan alasan tersebut, pikir Juni
"Yah, padahal wes tak tutup rapet"
Suara decit lantai kayu terdengar, langkah kaki seseorang mendekat menuju kearah mereka berdua
"Ada apa dek?" tanya Agus pada Novi istrinya
"Gapapa mas, si Juni tadi gasempet makan masakan aku soalnya ada cicak...
"Oooh kirain apaan, yaudah nanti sore kita ke supermarket belanja bahan makanan ya, sama beli popoknya Merry" ajak Agus sambil membuka kulkas untuk mengambil minum
"Iya mba, aku kedepan kalo gitu" jawab Juni langsung berjalan kedepan
"Merry... main sama tante yuk" teriaknya dari kejauhan sebelum sampai di ruang tamu
"Mer..." panggilnya kembali
"Mer... Merry lagi ngumpet ya?" ucap Juni lagi
Tiada jawaban, dimana Merry
Juni memutari seluruh ruang depan, mencari ke setiap sudut bahkan sampai ke bawah meja dan kursi.
Ia berusaha tenang dan tetap mencarinya.
Juni segera berlari masuk kerumah untuk mengambil kunci mobil.
*Cklekkk...*
Bunyi pintu mobil terbuka
Ia melangkah kembali ke rumah dengan terburu
Didapur nampak kakak iparnya tengah duduk diambang pintu belakang yang terbuka
"Mas.. Merry gak ada mas" ucap Juni setengah berteriak...
Jelas saja Agus terkejut dengan suara Juni, untuk beberapa saat dia mengamati Juni yang terengah engah karena berlarian kesana kemari mencari Merry
"Hah, ada kok tadi di depan" ucap Agus mengernyitkan dahinya
Agus segera berlari kedepan untuk memastikan...
"Onopo dek kok podo getak getakan"
(Ada apa dek kok pada bentak bentakan?) Tanya Novi yang baru saja keluar dari kamar mandi pada Juni, ia melirik Agus yang berlari
"Merry gaonok mbak"
(Merry gaada mbak!) tegas Juni yang berusaha menahan tangis
Juni lanjut mencari Merry di bagian belakang rumah, tiada yang berbeda disini, hanya kepulan asap yang mengepul tebal di tempat pembakaran sampah.
"Mer.. ini tante"
"Merry keluar nak tante mohon"
Teriak Juni di sekeliling halaman belakang, namun sunyi, tak ada jawaban.
Tiba tiba
"Juuuun... Juni...!" teriak kakaknya dari depan terdengar olehnya
"Nggih mbak pripun"
(Ya mbak gimana) tanya Juni
Mata kakak perempuannya itu nampak berlinang air mata, ia menangis kebingungan mencari putrinya.
"Kasih masmu nomor polsek dekat sini" perintahnya padaku
"Gila ya kamu Jun? Keponakan kamu hilang tapi kamu ngelarang kita lapor polisi?!" bentak Agus yang terlihat kesal pada adik iparnya
"Bukan gitu mas..." belum sempat Juni menjelaskan,
"Ga waras ya kamu, atau jangan jangan kamu yang nyuruh orang buat nyulik Merry? Kamu mau jual Merry?!" berondong Novi mencecarnya dengan pertanyaan
"Bukan gitu mbak, maafin Juni. Juni ga ngasih tau dari awal ke kalian"
"Sebenernya rumah ini ga aman buat kalian, maaf Juni ga jujur. Juni yakin Mba Novi paham apa yang Juni maksud" lanjut Juni
Kakak perempuannya itu terhenyak kaget, ia langsung terduduk lemas di lantai. Disini tangis Juni mulai pecah.
"Jangan mas, Juni tau orang yang mungkin lebih bisa bantuin kita buat nemuin Merry. Juni mohon mas" ucap Juni memohon pada iparnya
Agus nampak tak mempercayainya, ia segera meraih kunci mobilnya dan hendak pergi. Namun, kakak Juni menghentikan suaminya itu
"Kita coba dulu mas, kasih Juni kesempatan" pinta Novi
Ya, kakak ipar Juni adalah orang yang sangat sangat...
Gadis itu segera menghubungi orang yang di maksudkan tadi, orang itu, orang yang menolongnya dulu, Pak Adi.
Novi terlihat lesu menunduk di tepian kursi, ia kebingungan tak tau harus berbuat apa.
Tentu saja mereka sangat antusias membantu, di dalam lubuk hati Juni terkadang ia merasa...
--
"Assalamualaikum..."
Mereka semua berdatangan kerumah itu. Ibu Mei dan Ibu Febri yang barusaja masuk langsung menghampiri Novi dan duduk...
"Sabar ya nduk, insyaallah anakmu bakal ketemu. Dulu kita semua juga sudah pernah menghadapi kejadian mengerikan kaya gini" buka Ibu Febri
Novi nampak menengok ke arahnya
(Iya Mbak, dikuatkan ya hatinya, kita semua cari solusinya bersama) sahut Ibu Mei dengan mata berkaca kaca
Memang Ibu Mei persis seperti Juni, ia adalah orang yang sangat sensitif,
"Jun..."
Panggil Agus padanya
Juni mendekat padanya, nampaknya ada yang ingin dia tanyakan pada iparnya itu
"Mereka siapa? Kenapa kamu manggil mereka kesini?" tanyanya setengah berbisik
Ia bertanya tanpa menatap Juni,
"Mereka orang orang yang dulu diamanahin bapak buat jaga aku mas. Mereka seperti keluargaku, lebih dari keluargaku sendiri.
Kakak iparnya itu nampak memproses ucapan Juni, dia menatap heran. Mungkin dia bingung kenapa Juni membandingkan keluarganya sendiri dengan orang orang itu.
"Mbakyumu karo masmu ipe durung ngerti ta masalah kedaden biyen iko?"
(Kakak sama kakak iparmu belom tau soal kejadian yang dulu ya?) tanya Mei penasaran
Yang dimaksud Mei adalah saat dimana awal teror yang menimpa mereka.
Febri menatap Juni tanpa henti, bahkan saat gadis itu balik menatapnya ia pun tak segan segan tetap memandanginya tanpa berpaling.
(Ada apa Feb?) tanya Juni tiba tiba
Ia hanya tersenyum, saat ia akan mengatakan sesuatu tiba tiba Ayah Mei dan Febri datang. Mereka semua sepakat untuk menginap disini malam ini.
Malam mulai larut, mau tak mau mereka harus bersabar menunggu hingga esok hari.
Ketiga anak muda itu menggelar karpet di lantai untuk semua orang beristirahat, kakak Juni lah yang lebih dulu merebahkan dirinya disana sambil terus mengalir air dari matanya.
Ia menyelimuti Novi yang berusaha menutup mata, nafasnya yang tidak teratur karena sesenggukan masih terdengar jelas.
Mei, Ibu Mei dan Ibu Febri, mereka bertiga mengaji di sudut ruang tamu. Entah sudah berapa lama mereka melakukannya.
--
(Kamu gapapa?) celetuknya tiba tiba
Entah apa yang membuatnya tiba tiba menanyakan keadaan Juni, gadis itu mengangguk berat.
"Lha awakmu? Gak wedi ta turu kene maneh?"
(Kalo kamu? Apa ga takut tidur disini lagi?) ucapnya gantian
"Ono sing luih penting ketimbang wedi, manungso wajar ndue roso wedi, sing gak wajar lek sing mbuk wedeni trimo urusan ngeneki, aku pasrah, ijeh ono gusti"
Tubuh kakaknya masih saja melayang, seperti ada sesuatu yang menariknya dari atas.
Gadis itu dengan spontan berdiri dan berniat lari mendekati tubuh kakaknya yang kerasukan, namun ia justru tersungkur sungkur beberapa kali,
Febri membantunya berdiri dan mereka berdua segera meraih tubuh Novi, berusaha sekuat tenaga menariknya kembali berbaring di lantai. Namun ia justru berteriak sangat kencang hingga membuat semua orang kebingungan.
Bukannya mendekat, ia justru beringsut mundur ketakutan akan apa yang dilihatnya. Bapak bapak memegangi Mas Agus, menenangkannya yang begitu syok.
"Piye iki Feb?"
(Gimana nih Feb?) tanya Juni gugup
(Aku ya gatau ini harus digimanain biar mau turun) jawab Febri yang ternyata sama sama gugup
*Aaaaaaaarrrrggghhh*
Kakak Juni kembali menjerit, badannya bergerak tak beraturan dan air liur mulai mengalir keluar dari mulutnya
Malam itu mereka kalang kabut, apalagi tiada seorangpun yang mempunyai kemampuan spiritual untuk menangani hal ini.
"Bismillahirrahmanirrahim, sepurane ibuk yo nduk" ucapnya yang sebenarnya tidak tega melakukan itu
(Juni minta tolong, sudah gakuat lagi) ucap Juni pada ayah Mei dan ayah Febri
Rasanya tubuh kakak Juni itu seperti makin ditarik keatas, Juni dan Febri yang berusaha menahannya mulai kualahan.
*Gedebugggg* suara badan itu membentur lantai kayu
Mas Agus masih meringkuk di sudut ruangan, merengkuh seluruh ketakutannya.
Adik iparnya sebenarnya merasa prihatin namun secara bersamaan hilang simpati padanya, saat istrinya dalam kondisi yang begitu buruk...
Lelaki itu sangat rasional, selama ini baginya dibalik segala hal tak wajar pasti ada penjelasan yang masuk akal. Namun kenyataan yang baru saja ia lihat sangat berbanding terbalik dengan cara otaknya bekerja.
Sesungguhnya Agus sadar adik iparnya sedang berjalan mendekat padanya, namun tubuh yang terkalahkan oleh rasa takut itu tak dapat ia kendalikan secara sempurna. Badannya terus saja gemetar, agaknya ia tak kuasa melihat istri...
Goncangan hebat dari tangan Juni yang mendarat di pundaknya tetap saja tak mampu menyadarkannya. Pandangannya tetap mengarah ke bayangan tubuh istrinya yang kini melemas tak berdaya.
Tamparan mendarat di pipi Agus, ia merasakan panas menyayat kulit akibat hal itu.
Juni menampar Agus untuk menyadarkannya, namun pandangan mata Agus justru mengabur, dia pingsan dalam posisi meringkuk.
(Jun kenapa masmu kamu tampar kenceng kaya gitu sampe dia pingsan) Mei memarahi Juni yang kebingungan saat Agus tergeletak akibat tamparannya tadi
Pakdhe dan Paklik (ayah Febri dan ayah Mei) beserta Febri diminta oleh Budhe untuk keluar ke teras dulu karena...
"Mei tulung godokke banyu ya nduk kanggo nyibini Mbak Novi"
(Mei tolong rebusin air ya nak untuk membersihkan tubuh Mbak Novi ini) perintah ibu Mei pada anaknya
(Iya buk sebentar) jawab Mei sembari membantu Juni membenarkan posisi kakak iparnya yang tak sadarkan diri
Setelahnya, ia segera mengerjakan apa yang ibunya perintahkan. Ia merebus air di dapur sendirian.
Mei tetap berdiri di depan kompor, menunggu air rebusannya mendidih.
Nyala api kompor gas itu kini telah ia padamkan, ia berjalan menuju kamar mandi, disana terdapat ember kosong yang akan ia isi dengan air dingin dari bak mandi.
Setelah mengisi setengah air dingin kedalam ember itu, ia menuangkan air mendidih tadi kedalamnya, mencampurnya lalu dibawanya kedepan
"Niki bu" katanya sambil meletakkan ember penuh air itu didekat Novi yang tergolek lemas
Juni yang sedari tadi duduk mematung, beranjak pergi menuju kamarnya, ia membaringkan tubuhnya disana.
Dia tahu dahulu arwah gentayangan ibunya mengganggu Febri karena kesalahannya, karena ia menyuruh Febri untuk menempati kamar mendiang ibunya. Namun Mba Novi kali ini?
Tak terasa satu jam berlalu dan dia belum juga tidur.
Pakaian Mbak Novi nampak sudah diganti, Bulik dan Budhe mengapitnya di tengah. Mei tidur di sisi ibunya, Bulik.
Gemeratak air hujan perlahan turun beradu dengan atap rumah, mengguyur seluruh lingkungan itu. Hawa dingin menyerbak ke seisi ruang melalui celah celah yang ada.
(Dingin banget ya bang) ucap Paklik mengobrol dengan ayah Febri
"Mongso ketigo ngene sekaline udan yo atis"
(Musim kemarau gini sekalinya hujan ya pasti sangat dingin) jawab Pakdhe
"Menurute sampean awak dewe kudu piye kang?"
(Menurut abang kita harus gimana?) tanya Paklik kembali
"Awakmu ngerti gak sopo biyen kamituwo sik paling diajeni nok kene?"
(Kamu tau ga siapa tetua yang dulunya paling disegani disini?) tanya Pakdhe
"Sinten kang?"
(Siapa bang?)
"Pak Bagyo, yo iku mbahe Juni. Aku gak nyongko lek ternyata asline deweke bejat ngono"
(Pak Bagyo, ya kakeknya si Juni. Aku gak nyangka kalau ternyata aslinya dia sebejat itu)
"Alon alon kang, sampean lali po iki omahe sopo. Tur maneh awak dewe yo durung mbuktikke omongane Pak Adi, iso bener tapi yo iso wae salah. Yen dipikir opo yo ono manungso iso ngerti kedaden lawas opomaneh deweke ra kenal Pak Bagyo"
Berbeda dengan Paklik, Pakdhe (ayah Febri) lebih memilih untuk meyakini ucapan Pak Adi dahulu saat menolong anak anak mereka yang diganggu bangsa lelembut dirumah ini.
Dia memutuskan untuk mengambil obat tidur dan meminumnya, barangkali itu bekerja.
--
Dia tak sadar bahwa kini tengah berada dalam buaian mimpi. Agus, merasa dirinya tengah terduduk sendirian diteras rumah Juni.
Agus merasakan kehadiran seseorang, ketika menengok ke sebelah rumah, tampak bayangan seorang anak seusia anaknya.
Bocah itu menggunakan pakaian yang sama persis seperti yang terakhir kali Merry pakai sore itu.
Bocah itu tak menggubrisnya, ia bahkan terlihat seperti tak mendengar suara Agus sama sekali. Bukannya menengok, Merry justru berlari menjauh menuju halaman belakang rumah.
"Merry mau kemana nak.. tunggu Ayah"
Gadis kecil itu tertawa riang seperti ada yang menemaninya bermain. Agus berjingkat jingkat karena berlari tanpa memakai alas kaki. Kini sampailah ia di halaman belakang rumah, gelap...
Agus mengangkat satu kakinya, agaknya ia telah menginjak sesuatu. Barusan kakinya bersentuhan dengan benda benda aneh yang terasa hangat.
Ia kembali melangkahkan kakinya yang terasa sedikit risih,
Agus menghentikan langkahnya, ia mengamati setiap sudut tempat itu,
Ia mendekati pohon asem besar yang telah tumbuh puluhan tahun disana, pohon itu begitu rindang dan tampak suram karena jarang ditebasi, maklum hanya Septi dan Juni yang tinggal disana, tak mungkin kedua perempuan itu yang melakukannya.
Mungkinkah Merry berlari kesana?
Langkahnya kembali berlanjut, Agus bingung harus melangkah kemana lagi. Ini bukan tempat seperti tempat tempat yang biasa ia kunjungi, ia sama sekali tak pernah menjamah hutan, karena sedari kecil kesibukannya hanya...
Mungkin memang tubuhnya kekar berotot, namun itu semua ia peroleh dari tempat pelatihan fisik, ia tak pernah benar benar ditimpa oleh nasib. Bukan hanya fisik, bahkan ia malu dengan kejadian yang baru saja terjadi,
Tak terasa air mata mengalir di pipinya,
“Mer... Merry dimana nak” teriaknya
Dia terus berjalan semakin jauh, semakin dalam menyusuri tanah lembab dibawahnya
“Yaaaah...” suara teriakan terdengar menggema dari segala arah
“Iya Merry ini ayah, Merry dimana nak” teriak Agus kembali
Hening, tiba tiba suasananya sangat berbeda. Perasaannya ganjil, ia merasa aneh berada disini,
“Yah..” suara itu terdengar kembali
Agus berbalik badan, ia merasakan ketakutan yang sejadi jadinya.
“Khe khe khe...” tawa makhluk itu memecah keheningan dan kesadaran Agus
“Mas bangun mas, sadar mas" bentak Febri pada Agus yang belum pulih
Bibirnya masih meracau dan badannya kejang kejang tanpa sebab, wajahnya begitu pucat begitu pula dengan bajunya yang bau karena keringat membasahi seluruh tubuhnya
Juni menyiramkan air pada wajah kakak iparnya itu, akhirnya Agus membuka mata. Napasnya memburu, jantungnya memompa lebih ekstra dari biasanya. Dia sampai terbatuk batuk karena kesusahan bernapas, selayaknya maling yang kelelahan berlari dikejar warga, ngos ngosan.
Semua orang kebingungan, bertanya tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Agus.
Waktu subuh hampir tiba, namun tak ada seorangpun dari mereka yang dapat tidur dengan tenang, Juni bahkan merasa kesal hingga dia berani menyiram wajah iparnya tadi.
Ia celingukan melempar pandang kesana kemari, entah apa yang ia cari sepagi itu.
Matanya tak berkedip sama sekali ketika ia menemukan apa yang dicarinya.
Agus ingin mengikuti sosok anaknya itu, namun ia ragu, sangat sangat ragu setelah memori akan mimpinya terlintas kembali.
Agus membuang rokok yang baru dihisapnya setengah, dia segera memakai sandal karena ia ingat dalam mimpi kakinya tak menggunakan alas sama sekali.
Ada, ada celah disana, dia mengamati lubang itu untuk beberapa saat. Rerimbunan disana terlihat basah, mungkin karena semalam turun hujan. Ia menunduk mengintip kebun kosong didepannya melalui celah itu,
Agus menelan ludah dalam dalam, tangannya mengepal mencoba meyakinkan diri bahwa ia berani menghadapi apapun yang akan terjadi selanjutnya. Ia mulai masuk ke sana, lagi lagi tubuh itu tergores gores oleh semak beduri
Mulutnya komat kamit membaca doa apapun yang ia bisa,...
*Khe..Khe..Khe..*
Tiba tiba sosok itu menjatuhkan diri menimpa Agus.
“Loh loh Agus mlayu ngendi mau kang?”
(Loh loh Agus lari kemans tadi bang?) ucap Paklik geragapan
(Lah bukannya tadi di teras toh. Kamu gimana sih disuruh ngawasin aja ga bisa) ucap Pakdhe yang justru menyalahkan ayah Mei itu
“Kok aku, lhawong sampean yo melu barang"
(Kok aku, kan kamu juga) sanggahnya
(Dahlah ayo cepet cari sebelum dia kenapa napa) gerutu Pakdhe mengakhiri perdebatan mereka berdua
Mereka lari tergopoh gopoh bingung hendak mencari Agus dimana
(Pak kamu mau kemana?) teriak ibu Febri dari dalam rumah
“Goleki Agus, ucul wonge"
(Nyari Agus, anaknya lepas) jawab Pakdhe buru buru
“Masyaallah...” perempuan tua itu berjalan ke teras, menyaksikan suaminya dan tetangganya mencari Agus
“Kang kang iki ono bekas sandale, koyone parake mengguri"
(Bang bang ini ada jejak sandalnya, kayanya mengarah kebelakang) Ayah Mei berhasil menemukan petunjuk pertama mereka
(Iya pasti ni, ayo cepat susul) ajak ayah Febri
Merekapun segera berlari ke buritan, mengikuti jejak kaki Agus. Ya, jejak itu nampak jelas karena halaman samping rumah hingga area belakang rumah Juni tidak berpaving seperti pekarangan depan
“Loh kok gaono maneh kang”
(Loh kok gaada lagi bang) Paklik tambah bingung karena jejak itu berakhir di sekitar tempat pembakaran sampah
“Suoro opo kae..?”
(Suara apa tuh)
Mereka berdua kaget, namun segera mencari asal suara itu. Suara yang terdengar seperti seseorang yang ingin muntah, seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya.
(Dari sana dari sana, coba kamu yang lihat) perintah Pakdhe sambil menunjuk ke kebun belakang
“Lah aku nek niliki lewat ndi wong raono dalan ngene"
(Trus aku liatnya darimana orang gaada jalan) keluh Paklik mulai kesal...
Ia mengalah dan berputar putar di sekitar semak batas tanah, mencari jalan untuk masuk ke sana. Paklik pun menemukan celah itu, celah yang nampaknya telah dilewati seseorang.
(Bang kesini bang, ada jalan babi hutan) teriak Paklik
Pakdhe segera menghampirinya, menengok apa yang ayah Mei maksudkan
Ya, orang orang daerahnya menyebut celah atau jalan jalan sempit seperti itu jalan celeng,...
“Incengen"
(Coba kamu intip) lagi lagi Pakdhe bersikap senioritas, karena ia lebih tua ia berkali kali menyuruh Paklik ini dan itu
(Gamau masa aku mulu. Abang aja!) nampaknya Paklik merasa kesal, ia menolak
Mereka beradu tatap, Pakdhe menarik napas panjang, mau tak mau ia yang kini harus melakukannya.
Ia mulai memasuki celah itu
(Aduh aduh sakitnya ya Tuhan) ia mengaduh mengeluh
“Ngopo kang?”
(Kenapa bang?) Paklik bertanya tanya kenapa Pakdhe terus menerus mengaduh
Sesampainya Pakdhe di ujung, ia segera memanggil Paklik
"Kurang ajar wong tuo dikerjani" gerutunya
(Gaada apa apa, kesini, gaada apa apa, cepet) serunya kini
Paklik tak pikir panjang langsung melewati jalan itu setelah Pakdhe, ia pun merasa kesakitan karena semak semak itu.
“Kae lho kae Agus kae"
(Itu loh itu Agus itu) seru Pakdhe yang tak menyangka...
Pria itu tengah mengerang, tubuhnya memberontak kesakitan, tangannya seperti tengah mencekik lehernya sendiri, mulutnya menganga lebar seperti tengah dijejali sesuatu.
Paklik dan Pakdhe segera berlari tergopoh gopoh menghampiri Agus, membantu menyadarkannya
“Kudu dipiyekke iki kang"
(Harus digimanain ini bang?) Mereka berdua saling tatap, keduanya gugup
(Kamu cepatlah ambil parang, cepat untuk membabat jalan. Anak ini biar aku temani) jelas ayah Febri
Paklik pun mengangguk setuju, ia segera melakukan apa yang diperintahkan Pakdhe.
Kini disana hanya ada Pakdhe dan Agus yang tergolek lemas disampingnya. Pria tua itu bingung dengan semua yang terjadi kali ini. Mengapa hantu hantu sialan itu mengganggu mereka tiada henti.
Tak berselang lama, Paklik datang membawa golok dan parang, mereka membuka jalan, akses keluar masuk kebun ini dari halaman Juni.
Segera diangkatnya tubuh Agus, walau sudah berumur namun keduanya sangat kuat, maklum saja ayah Mei adalah seorang perhutani, tentu saja fisiknya telah terasah.
Mei beserta Juni yang tengah memasak sarapan terhenyak kaget melihat mereka bertiga, entah datang dari mana hingga begitu kotor,
Mereka bertiga masuk kedalam kamar mandi dan membersihkan diri, entah bagaimana cara mereka berdua membersihkan tubuh Agus yang tergeletak itu.
Juni tak mempedulikan kakak iparnya itu, ia melanjutkan masakannya. Sebenarnya hari masih gelap, matahari masih jauh bersembunyi,
Saat keluar dari kamar mandi, ternyata Agus sudah sadar. Pandangannya kosong, begitupun wajahnya begitu pucat. Mereka berkumpul lagi di ruang tamu.
Dering telepon rumah membuyarkan lamunan mereka, jujur saja mereka tengah memikirkan hal yang sama, hal hal yang digali dalam dan dibeberkan oleh Pak Adi dulu. Tak ada yang tahu kebenarannya karena tak ada saksi mata maupun orang yang membuktikannya.
“Halo?” ucap Juni mengangkat telepon
Juni mengangguk dan segera mencatat seluruh keperluan itu.
“Assalamualaikum”
Suara seorang pria mengucap salam dari ambang pintu. Saat itu memang pintu mereka biarkan terbuka
Belum genap pukul enam pagi, udara dingin semakin menusuk orang orang hingga ke tulang tulang. Pak Adi yang baru sampai pun terlihat kedinginan hingga ujung ujung kuku dan bibirnya membiru.
“Nak Febri bapak boleh minta tolong?” ucapnya tiba tiba
“Tolong isi genuk air yang bapak minta tadi” jawab Pak Adi sambil melirik Agus yang duduk bersandar dinding sambil memeluk lututnya erat erat.
“Nak Mei, bapak boleh minta tolong juga ke sampean?” senyum Pak Adi mengambang
“Tolong buatkan bapak tali panjang dari sabut kelapa yang bapak minta tadi ya”
“Baik pak” sanggup Mei yang segera menyusul Febri ke belakang, ia mengambil dingklik untuk alasnya duduk dan...
*Cit cit cit cit...*
Bising suara decit tikus dan curut terdengar riuh. Hewan hewan pengerat itu seakan tengah berparade,
Mei menjerit ketakutan melihat rombongan tikus itu, ia tak menyangka ada tikus sebanyak itu di rumah ini.
Samar samar terlihat bayangan seseorang yang tengah berdiri menatap mereka dari ambang pintu belakang, saat itu pintunya memang terbuka.
Awalnya hanya Mei seorang yang melihat makhluk itu, namun Febri yang merasakan gelagat aneh dari Mei yang mematung segera menengok ke arah mana mata Mei menatap hingga terpaku seperti itu.
Ia mengambil segayung air lalu dengan cepat menyiramkannya pada bayangan itu,
-Di ruang depan -
Pak Adi menghampiri Novi, melihatnya lebih dekat lalu duduk bersila tepat disebelahnya. Wanita itu tak bergerak sama sekali,
“Permisi ya Jun” ucap Pak Adi pada Juni, ia meminta izin dahulu sebelum menyingkap selimut pada tubuh Novi. Orang orang yang ada disana merasa terkejut melihat apa yang ada dibalik selimut. Tubuh Novi memar memar oleh bekas gigitan,
“RUSIN...” celetuk keluar dari bibir Juni
Mereka segera mendekati tubuh Novi, memastikan apa yang baru saja mereka lihat.
“Septiani binti Subagyo” kedua nama itu keluar dari mulut Pak Adi, orang orang menatapnya terkejut
Tiba tiba saja mata Novi terbuka, ia tersenyum lebar namun masih menahan suara tawanya.
“Septiani binti Subagyo” kali terakhir Pak Adi mengucapkannya,
Novi bangun dari posisi tidurnya, ia kini duduk berhadapan dengan Pak Adi. Masih mempertahankan senyum sinis yang sama, ia mengamati seluruh orang yang ada di ruangan itu.
Teriak Novi yang terlihat kegirangan, ia tertawa terkekeh kekeh
Juni yang berada di sebelah Pak Adi memundurkan badannya, hatinya bergejolak saat ini. Arwah ibunya tengah merasuki kakak tirinya.
Novi merengek, memohon pertolongan pada Agus yang berkeringat dingin melihat istrinya itu.
“Nov..Novi..” nampaknya Agus terbuai kata kata makhluk laknat itu, Pak Adi segera mengeluarkan kembali sosok yang merasuki Novi
Terang Pak Adi, namun hati Agus terlanjur hampa, entah apa yang dipikirkannya, ia nampak tak menghiraukan Pak Adi sama sekali
Pak Adi terbanting ke lantai, kepalanya beradu dengan kayu dibawahnya. Novi, wanita itu kini menginjak tubuh Pak Adi, pria itu dibantingnya dan ia injak sembari berjongkok diatasnya. Matanya mendelik menatap tajam kebawah memandang mata pria yang tengah disiksanya.
Kepala Novi bergerak gerak ke kiri ke kanan tak beraturan, persis seperti seekor hewan,...
“Enak saja kamu datang tanpa permisi mau pulang juga tanpa pamitan? Aku tahu pasti ada yang kamu inginkan. Cepat bicara"
“Aku lapar, kamu tahu apa yang aku mau. Biar kutukar anak dari wanita ini dengan tumbal darimu"
Mata Pak Adi membelalak
“Oh ternyata kamu yang nyuri anak mereka, baik, apa yang kamu minta?" tanya pria itu terdesak
Ia segera meninggalkan tubuh Novi tanpa basa basi lagi. Kini Novi terkapar lemas di lantai, layaknya selongsong kosong tanpa peluru di dalamnya. Ya, jiwanya entah digiring kemana oleh penghuni sana
Tak banyak bicara mereka selalu cekatan, mereka segera berangkat ke pasar hewan untuk mencari kambing yang diperlukan.
Pak Adi melempar pandang kearah Agus berada, agaknya ia dapat membaca apa isi kepala pria itu. Agus berpikir bahwa mungkin dirinya bisa menyelamatkan Novi dan Merry dengan mengorbankan Juni.
Mereka semua duduk berkumpul diruang tamu sembari menunggu kambingnya tiba, menyantap sarapan yang tadi dimasak oleh Mei dan Juni.
Tepat saat selesai sarapan, kambing yang akan ditumbalkan oleh Pak Adi tiba. Pakdhe berjalan mendahului, dibelakangnya nampak seekor kambing jantan yang masih muda dikewer oleh Paklik.
Mereka berbondong bondong menuju pohon asem tempat makhluk yang katanya menyembunyikan Merry. Kecuali Mas Agus, ia tetap berada disamping istrinya yang jiwanya entah ada dimana itu.
“Boleh saya pinjam parangnya?” tanya Pak Adi pada Paklik
Paklik segera menyerahkan parang yang ada di selipan pinggangnya itu.
Pak Adi meminta maaf pada mereka semua, ia menjelaskan bahwa tak ada cara lain. Dalam hatinya ia enggan menuruti setan itu.
Dia membiarkan jasad kambing itu tergeletak tepat di bawah pohon, darahnya mengucur deras terserap tanah dan akar pohon itu.
Ia meminta orang orang untuk kembali ke dalam, membantunya mencari Merry.
“Ada apa lagi, bukankah anak itu sudah ku kembalikan?” tanya penghuni pohon asem itu
Penunggu pohon itu tertawa terkekeh kekeh, ternyata Pak Adi telah terperdaya olehnya.
“Trus dimana jiwanya?”
“Adi Adi.. kau pasti tau siapa yang ku maksud. Wanita pembuat onar itu" tandas penunggu pohon tersebut
Sosok itu mulai menghilang dari pandangan Pak Adi, kembali ke alamnya
Tak ada satupun yang mengajak Agus bicara, mereka tau bahwa pria itu membutuhkan waktu untuk sendiri.
“Ibu ibu saya minta tolong jaga nak Merry disini, kalau berkenan silahkan mengaji di sebelah nak Merry jangan sampai ditinggal ya. Bapak bapak, saya juga minta tolong angkat Mbak Novi nya ke belakang” pintanya pada mereka
“Kakak saya mau diapain pak?” Juni penasaran
Pak Adi masih terdiam, ia mengode Juni untuk tetap tenang. Ia takkan melakukan sesuatu yang membahayakan
“Iya pak ini silahkan" Mei menyodorkan tali dari sabut yang barusan rampung ia buat. Tali itu sangat kasar dan lumayan kuat.
Bibir kering tuanya berkomat kamit, entah apa yang ia rapalkan hingga dalam sekejap mata Novi terbangun dari tidur panjangnya.
Dia semakin menenggelamkan kepalanya sampai batas bawah mata. Matanya melirik, membaca situasi disekitarnya.
Pak Adi menarik tali kekang itu, Novi menjerit kesakitan,
“Hahahahaha...” aneh, setelah kesakitan sedemikian rupa namun ia kini tertawa keras
“Goblok, koe ate ngapakke aku koyo piye wae yo bocah iki ngrasakne"
Ia meludah ke arah Pak Adi, syukurlah pria itu sempat mengelak.
Pak Adi kembali menarik tali itu dengan lebih kencang, Novi pun menjerit lebih keras,
Paklik dan Pakdhe sedikit memundurkan kakinya, menjauh dari pertunjukan yang sedang dilihatnya itu. Tak pernah sekalipun terpikir oleh mereka hal semenakjubkan ini akan nyata terjadi
(Ngapain kamu nyampurin urusanku?! Gaakan aku biarin anak temurunnya Julianti hidup normal, semuanya harus jadi mayat hidup...
*Julianti adalah ibu tiri Juni / istri pertama ayah Juni / ibu Novi
Pak Adi mendecakkan lidahnya, ia meremehkan ucapan roh jahat itu
“Kamu kira saya bakal biarin hal itu terjadi?”
“Mas Agus tolong adek mas, adek disiksa mas" rintih Novi
Ia terus menerus merintih dan menangis, memohon pertolongan kepada Agus yang ternyata sedari awal mengintip dari batas dapur dan ruang tengah
Tangan kanannya meraih pisau besar dan tajam yang ada di atas meja dapur.
“Sadar mas sadar !!!” bentak Febri pada Agus yang kesetanan
Darah merembes keluar dari bekas tusukan itu, begitupun dengan pisaunya yang berlumuran darah. Agus yang melihat darah semakin menjadi jadi, ia mengayunkan pisau itu kearah Pakdhe,
*Klotak*
Pisau itu terlepas dari genggaman Agus, terlempar jauh hingga menghantam dinding kamar mandi. Febri dan Pakdhe segera membekuknya, menyeret Agus ke dalam kamarmandi serta merta menguncinya
Juni segera mengantar mereka dengan mobilnya menuju puskesmas. Sepanjang perjalanan Juni yang begitu diliputi rasa bersalah terus saja menangis dan...
“Ngapuntene Juni Paklik ngapuntene"
(Maafin Juni om maafin Juni) Juni terus saja menangis
Ibu Mei memeluk Juni
“Jun Paklikmu gapopo nduk, ojo kuatir nggih saiki awakmu mantuk sek mesakke budhe dewean"
Juni enggan untuk pulang, namun ibu Mei memaksanya mengingat hanya Ibu Febri seorang dirilah yang menjaga Merry kini
--
“Lepasin sialan! Keparat! Bajingan buka pintunya!”
Terdengar jelas teriakan pria itu, ia meronta ronta meminta untuk dilepaskan dan tak dikurung.
Agus semakin menjadi jadi, kakinya mendobrak dobrak pintu kamar mandi yang hanya terbuat dari atom itu hingga jebol.
Ia berhasil lolos dan mengamuk kembali hingga membuat tiga pria yang menghadangnya kualahan.
Entah asupan energi darimana yang ia dapatkan hingga bisa melawan tiga orang sekaligus, namun tetap saja, ia dapat dikalahkan.
Agus segera diikat tali tambang oleh mereka kemudian dimasukkan ke genuk satunya, Febri yang begitu kesal segera mengguyurnya bertubi tubi dengan berember ember air.
Entah apa yang dilakukan mereka berdua di alam sana, tak ada yang tahu pastinya.
“Baru induknya, kau tak akan kubiarkan menemukan anaknya" ucap lantang arwah ibu Juni
Agus yang sama sama berada di dalam genuk bersebelahan dengan genuk istrinya pun ikut menangis setelah menyaksikan semuanya. Ia tak menyangka istrinya bisa selamat,
*Jleg...*
Suara pintu mobil ditutup, Juni telah sampai rumah.
Dia memeluk tubuh Merry, menangis sesenggukan di dada keponakannya itu.
Ia menganggap gadis itu selayaknya putrinya sendiri, begitu iba melihat Juni yang harus menyaksikan kematian orang orang yang...
Tiba tiba Febri memasuki ruang depan sambil membopong wanita yang basah kuyup, kakak Juni.
Novi masih tersadar, namun tubuhnya begitu lemas dan sampai tak mampu mengangkat tangannya sendiri.
Langkah Febri diikuti oleh Pak Adi dan Pakdhe yang masing masing mengangkat lengan Agus, mereka membantunya berjalan.
Juni terlihat menyuapi kakaknya yang duduk bersandar di dinding, wajahnya masih pucat dan begitu sedih menatap putrinya yang belum juga dapat diselamatkan.
“Buka mata batin saya pak, ajari saya ngerogo sukmo, biar saya sendiri yang cari Merry"
Pak Adi bimbang, di satu sisi ini adalah ide bagus untuk memancing arwah ibu Juni, memintanya menukar sukma Merry dengan Juni, namun saat Merry telah ia kembalikan ke tubuhnya, Juni harus segera menyelamatkan dirinya sendiri dan kabur dari sana.
Akhirnya mereka terpaksa menyepakati rencana itu. Satu hari satu malam Juni diajari berbagai ilmu untuk menggali kemampuan alaminya.
Memang benar bakat keturunan itu nyata adanya, pastilah Juni memiliki bakat ini dari kakeknya,
--
Pukul dua belas malam, Juni dan Pak Adi merebahkan diri mengapit Merry di kedua sisi,
Sebelumnya ia menyuruh semua orang tetap terjaga dan menunggu tubuh mereka bertiga bangun.
--
Saat sukma Pak Adi mulai meninggalkan tubuhnya, Juni pun dapat melihatnya dengan jelas bagaimana jiwa dan raga itu memisahkan diri.
Juni pun mulai terpejam, perlahan jiwanya keluar, ia merasa begitu ringan, ia tak menyangka dapat melakukan ini.
Pak Adi meraih tangan Juni, menggandengnya menuju kamar ibu Juni. Disana, diatas ranjang kamar itu terduduk seorang wanita dengan paras cantik serta rambut panjangnya.
Perempuan itu tersenyum manis menyambut putrinya yang melangkah menghampirinya. Air mata Juni tak dapat dibendung lagi, ia tak tahu harus bereaksi seperti apa, pun dengan hatinya,
“Ibuk...” keluar kata dari bibir Juni yang terasa kelu
Arwah perempuan gila itu mengangkat jarinya, menunjuk ke arah belakang. Pak Adi segera berlari menjauh dari sana, mencari sukma Merry. Ternyata kedatangannya memang telah ditunggu oleh dua orang anak kecil di kebun sengit belakang rumah itu.
Anak itu menggandeng tangan Merry, menunggu Pak Adi datang untuk menjemput teman mainnya beberapa hari ini.
“Da da...” ucap Merry yang melambaikan tangan pada Rusin
Rusin membalas lambaian tangan itu, ia tersenyum ceria layaknya anak seusianya. Ternyata selama ini Merry di sembunyikan disana, tapi mengapa Pak Adi tak dapat menemukannya?
Ia melangkah pergi, karena jalur yang ia lalui harus melewati pohon asem, ia tak sengaja melirik dan mendapati keadaan didalam sana,
Ia adalah Pak Bagyo, kakek Juni. Pak Adi dapat mengenalinya dalam sekali pandang karena dulu ia pernah melihat wajah itu di kilasan kejadian masalalu yang ia lihat dalam rumah ini.
“Mamah.. Yayah..” panggil balita itu pada kedua orangtuanya
Mereka semua terkejut ketika Merry tiba tiba terbangun, tandanya misi Pak Adi untuk mengembalikan jiwa anak itu berhasil.
Di sisi lain...
“Jun bangun Jun bangun...” teriak Pak Adi yang melompat keatas ranjang lalu menarik...
Juni segera terbangun namun tak kunjung menyadari bahwa perempuan di depannya adalah sosok yang sama yang selama ini mengganggu ketrentaman hidupnya dan orang orang disekitarnya.
“Ayo cepat kita pergi, ikut bapak pergi dari sini!!!” tegas Pak Adi
Hati Juni bimbang, ia menangis tak rela meninggalkan ibunya.
Seluruh bola matanya berubah hitam pekat, wajahnya memerah seperti bara hingga mengeluarkan bau tak sedap. Ia menjerit hingga Juni ketakutan.
Juni dan Pak Adi segera kabur meninggalkan kamar itu, namun kaki Juni tertahan, ia ditarik oleh tangan hitam berkuku panjang. Kakinya tergores kuku kuku itu, kulitnya hingga mengelupas dan mengeluarkan darah.
Juni sekuat tenaga menarik kakinya dibantu Pak Adi. Banyak sekali makhluk lain yang mengerumuni mereka, tak ada niat ikut campur ataupun membantu, mereka hanya menatap dan memperhatikan.
“Balikno Juni nang aku!”
(Kembalikan Juni padaku!) gertak arwah Septiani itu
(Buk, ibuk sudah beda alam dengan Juni buk. Juni masih harus melanjutkan jalan hidup Juni. Juni sayang sama ibuk tapi jangan gini caranya)
Orang orang di sekitarnya begitu iba melihat Juni, mereka tak tau dengan siapakah Juni bicara saat ini.
Angin perlahan berhenti bertiup, wajah arwah ibu Juni tak lagi setegang tadi. Di depan anak wanita yang kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa itu Septiani meluluh,
“Lek ngono ojo alangi aku mbales loro atiku, aku pengen bocah iku mati"
(Baiklah kalau begitu jangan halangi aku balas dendam, aku ingin anak itu mati)
Ia begitu dendam dengan Julianti, ibu Novi sekaligus istri pertama ayah Juni. Ia tak rela kebahagiaannya dihancurkan begitu saja bahkan ia belum sempat memeluk putrinya untuk terakhir kali sebelum mati
“Sudahlah, urungkan saja niat burukmu itu. Semuanya telah berlalu" ucap Pak Adi mencoba membujuk arwah itu
Pria itu sama sekali tak dihiraukan olehnya
Juni masih saja bersimpuh di lantai diiringi tangisnya yang tak kunjung usai. Budhe memeluk tubuh gadis itu dan terhanyut bersama dalam kesedihan.
--
Dimatanya, hantu hantu itu kini tak ubahnya manusia yang juga hidup berdampingan dengannya.
Dia merawat ayah sahabatnya itu selayaknya ayah sendiri, dia begitu telaten dan sabar
Dua minggu telah berlalu sejak kegaduhan itu terjadi, pagi itu Juni bersiap menjemput Paklik yang telah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit oleh dokter.
“Arep ngendi dek?”
(Mau kemana dek?) tanya Novi yang sedang menyapu rumah. Ia melihat Juni tengah memakai sepatu.
(Jemput Paklik mbak, tadi aku ditelfon pihak rumah sakit, katanya Paklik udah boleh pulang) jelas Juni padanya
“Paklik?” Novi tak mengerti siapakah orang yang Juni bicarakan
(Paklik, ayahnya Mei, yang dulu juga disini)
Kelar menali sepatunya, Juni berdiri dan mengambil tasnya
“Oh sing iko, mange deweke kenopo?”
(Oh yang itu, emangnya dia kenapa?) lanjut Novi karena penasaran
“Mpun nggih mbak tak mangkat"
(Udah ya mbak aku mau berangkat) pungkas Juni meraih tangan kakaknya untuk berpamitan
Agaknya tak ada yang memberi tahu Mba Novi tentang apa saja yang telah terjadi selama ia tak sadarkan diri.
--
Juni mengajak ayah Mei pulang ke rumah Juni, agar gadis itu dapat merawatnya sebelum Bulik dan Mei pulang kerja.
“Waalaikumsalam..” senyum mengambang di wajah Novi, ia segera membantu Juni menggandeng pria itu, mendudukkannya di sofa
Juni berlalu, mengambil barang barang Paklik dari bagasi dan membawanya masuk.
Dia mendekati Paklik, meminta maaf secara langsung padanya
“Pak saya mohon maaf sebesar besarnya, saya salah, saya keterlaluan, maaf karena sudah membuat bapak seperti ini" buka Agus
“Endi yo mbak Novi"
(Mana ya mbak Novi) gumam Juni, ia menuju kamar tamu yang ditempati kakaknya
Ia melangkahkan kaki memasuki kamar itu, terdengar suara Merry yang sedang bernyanyi nyanyi, liriknya sedikit tidak jelas karena ia masih belum lancar bicara.
“Loh mbak..” celetuk Juni
Kakaknya berbalik
“Nte Du Ni..”
(Tante Ju Ni..) sapa Merry padanya
“Mbak arep balik saiki? Kok mau gak ngomong disit?”
Wajahnya cemberut tak merelakan kakaknya pergi, ia meraih Merry yang tadi bermain di meja rias
Juni terdiam, mungkin ia merasa masih ingin ditemani di rumah itu.
“Pak Bu, kula titip Juni nggih"
(Pak Bu, saya titip Juni ya) pinta Novi saat berpamitan, ia memeluk ibu Febri erat
(Iya mbak, bakal saya jaga adik mbak sama kaya anak anak saya sendiri) jawab ibu Febri
Ibu Mei pun memeluk Novi bergiliran, ia juga mengatakan akan merawat Juni sesuai mandat ayahnya dulu
Novi hanya mengangguk, untuk terakhir dia memeluk Juni, meminta maaf pada adiknya itu.
“Dek, ngapurane mbak yo lek mbak ono lupute. Awakmu jaga diri, mbak sayang awakmu"
Ucapan Novi itu membuat hati Juni seketika runtuh, ia tak tau apa gerangan yang membuat hatinya terasa begitu merasa kehilangan. Padahal ia akan terus bisa menjumpai kakaknya sewaktu waktu,
Novi melangkah menuju mobil, mengambil Merry dari gendongan suaminya yang berdiri di dekat sana. Untuk terakhir sebelum berangkat,
Mobil melaju semakin jauh melewati halaman depan dan keluar dari gang menuju jalan raya. Semua orang kembali ke rumahnya masing masing, kini hanya Juni sendirilah yang ada di rumahnya.
--
Jarak rumah mereka dengan rumah Juni sedikit jauh, mungkin satu setengah jam perjalanan dan harus melewati jalan besar yang sangat ramai oleh kendaraan muatan berat.
Novi memangku putrinya dan mendekapnya, anak itu tampak sudah mengantuk. Begitu nikmatnya berkendara ditambah dengan angin sepoi sepoi yang masuk melewati jendela membuat terasa nyaman.
Pria yang duduk di sebelahnya terlihat begitu tegang, wajahnya pucat dan tangannya mulai gemetar. Ia memang selalu gemetar saat ketakutan.
“Kok aku ga liat sih mas.. mana sih?” Novi bingung, nampaknya ia tak melihatnya
“Tadi itu tadi.. masa kamu ga liat!” tegas suaminya
Beberapa kilometer mereka lalui, Agus membelokkan mobilnya ke SPBU. Ia mengisi bahan bakar mobilnya, sedangkan Novi mengajak putri mereka ke kamar mandi.
Selesai dari kamar mandi, Novi segera masuk mobil
“Loh dek, Merry mana?!” ia sadar saat matanya tak sengaja menatap gendongan milik putrinya itu
“Maafin aku mas aku mohon maafin aku" ucap istrinya memohon
“MAAF MAS...” ucap istrinya meraih tangan suaminya itu beberapa saat sebelum
*Bressss.... Brak...*
Truk gandeng besar menabrak body belakang mobil mereka, menggeretnya hingga beberapa belas meter
Kendaraan besar dari lawan arah menggilasnya kembali
Begitu miris nasib kedua manusia itu, mereka menghadap maut secara bersamaan dengan cara yang sebegitu mengenaskan.
--
*Dug... Dug... Dug*
Juni menghentikan tangannya yang tengah menggosok piring piring di hadapannya, ia menengok ke belakang.
Posisi mereka beradu punggung, Juni sangat mengenali perawakan itu. Gadis muda itu beranjak dari tempatnya, menghampiri si pria.
“Mas Agus?”
“Mas...”
Ya, ia melihat sosok Agus disana, namun ia sama sekali tak menjawab panggilan Juni. Ia masih mengenakan baju yang sama seperti saat ia dan kakak Juni pamit pulang sore tadi. Kaus hitam polos dan celana cargo lengkap dengan ikat pinggang.
Tangan Juni mendarat di lengannya, memutar badan Agus.
Betapa terkejutnya gadis itu menatap sosok Agus yang begitu mengenaskan, wajahnya berlumur darah, perut dan pahanya tertusuk pecahan kaca
*Kring kring kring* handphone Juni yang tergeletak di meja terdengar berdering
Hp nya kembali berdering untuk yang kedua kali, Juni mengangkatnya.
Juni memarkirkan mobilnya di area kantor, ia segera keluar dari dalam mobil. Suara tangis dari dalam ruangan terdengar hingga tempat dimana Juni parkir
Ia berlari memasuki kantor itu, meraih tubuh Merry yang tengah digendong seseorang, mencoba menenangkan balita itu. Wajah Juni memerah karena tangisnya.
Balita itu memeluk erat tantenya seakan ketakutan akan ditinggalkan sendirian lagi, disana tak ada yang ia kenali selain Juni.
“Iya nak, Merry nak ini tante nak, Merry tenang ya sayang” ucap Juni yang juga sesenggukan,
Dia melonggarkan peluknya, mengarahkan kepala Merry agar menatap wajahnya.
“Cup cup cup sayang tante disini nak jangan nangis lagi ya"
Tangan Juni mengelap sisa sisa air mata di pipi keponakannya, ia mendekatkan kepalanya ke kepala Merry, membungkusnya hangat dalam dekapan. Anak itu terlelap dalam pelukan Juni dengan begitu pulasnya
“Pak.. ini mobil kakak saya, kenapa ada disini pak, kenapa bisa kaya gini" tanya Juni yang merasa tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat
“Mbak keluarga korban? Mari saya antar ke rumah sakit, koban sudah dibawa kesana” ucap salah seorang polisi muda yang ada disana
Juni segera diarahkan ke kamar mayat, kakaknya telah terbujur kaku bersebelahan dengan suaminya yang juga telah pergi untuk selama lamanya.
Merry ia titipkan pada pria itu, ia berlari meringsek ketubuh jenazah kakak perempuannya.
Dia menggoncang goncangkan jenazah Novi, berteriak memanggil nama Novi untuk membangunkan kakak perempuannya. Dada Juni benar benar sakit, seluruh darah dalam tubuhnya serasa memenuhi kepalanya.
(Mbak.. mbak Novi bangun mbak jangan biarin Juni sendirian mbak, jangan tinggalin Juni mbak) isaknya tak karuan sembari memeluk kakaknya
“Mbak.. Juni nyuwun tulung sampean tangi mbak..”
Juni begitu frustasi, seakan dunianya kiamat dalam sekejap
*Aaaaaaaa...*
Gadis malang itu berteriak dan memukuli dadanya dengan begitu keras, tak hanya itu ia pun menjambak jambak rambutnya dan menampari pipinya sendiri,
Beberapa perawat yang mendengar kegaduhan itu segera menghampiri Juni, memegangi tangan dan kaki Juni agar ia tak lagi menyakiti dirinya sendiri.
Pihak keluarga Agus datang ke rumah sakit itu segera, mereka dikabari oleh pihak berwajib, begitu pula dengan Julianti, ibu Novi.
Merry yang tak tahu apapun semakin ketakutan melihat neneknya mengamuki tantenya, ia memeluk Juni erat diatas ranjang kamar rawat pasien.
Pandangan Juni kosong, telinganya seakan tuli, ia tak lagi menghiraukan ucapan ibu tirinya, memandangnya saja pun ia enggan. Tangan kirinya memeluk Merry,
Juni mengabari Mei dan Febri, meminta mereka untuk membantunya menjaga Merry malam ini juga.
Dua jam berlalu, Febri dan Mei beserta ibu mereka berdua telah datang ke rumah sakit. Mereka semua tak percaya dengan apa yang terjadi, apakah ini sebabnya Novi berpamitan seaneh itu pada mereka tadi sore.
Sebelum jenazah dikirim ke rumah duka, pihak berwajib menjelaskan semuanya secara detil pada keluarga.
Keduanya meninggal di tempat kejadian, tempurung kepala Agus mengalami keretakan serius, sedang tulang leher Novi patah dan ditemukaan beberapa pecah kaca menusuk jasad mereka.
--
END
“Mer... “ panggil Juni yang menyusuri ruang tengah rumahnya
“Iya tante.. Merry disini” sahut gadis kecil yang begitu cantik itu, ia memilih untuk selalu memotong sebahu rambutnya, persis seperti mendiang sang ibu
“Kamu ngapain disitu ih?” tanya Juni heran, ia mengelus pipi Merry
“Merry lagi main, Merry dapet temen baru te" jelasnya begitu ceria
Terimakasih banyak telah membaca tulisan ini dengan senang hati, doain aja Rusin Part 3 bisa ditulis dan diunggah tanpa kendala kedepannya ya temen temen.
Untuk beberapa poin yang sekarang belum bisa cimol jelaskan, mungkin bakal cimol jabarin di part 3. Daaa