, 286 tweets, 39 min read
My Authors
Read all threads
--- SENDU PILU ---

Kisah Hidup Septiani

#ceritahorror #bacahorror
Sebelumnya, sebagai penulis cerita saya secara pribadi memohon maaf apabila ada ketidak nyamanan atau ketidak menarikan dari cerita ini. Mungkin saja cerita tidak sesuai dengan selera pembaca karena tidak sepenuhnya mengangkat kisah yang berhubungan dengan hal spiritual.
Thread kali ini adalah lanjutan dari cerita Rusin. Namun berfokus pada kisah hidup salah satu tokoh. Mohon kebijakan dari para pembaca untuk tidak meniru atau terinspirasi melakukan tindakan tindakan yang tidak terpuji dalam tulisan tulisan dibawah ini.
-Rusin Part 3-

Mari berdoa bersama, semoga yang telah tiada tetap merasa tenang di alam sana tanpa harus merasa terusik saat ceritanya disebar luaskan dan dibaca berulang.

ARE YOU READY?

PUKUL 20.00 Cimol UPDATE
Matahari begitu gencar memancarkan panasnya di siang itu. Musim kemarau datang lebih awal di tahun ini.

Septiani, anak remaja yang tengah berada di tempat pipil jagung bersama teman teman sebayanya tiba tiba diperintahkan ayahnya untuk segera pulang.
“Sep, gekndang bali!”
(Sep, cepetan pulang!) teriak Subagyo, ayah Septi dari luar

Septi menoleh dan segera menuruti ucapan ayahnya, ia meremas jari jarinya.

Ia berjalan beriringan dengan sang ayah, sepanjang perjalanan beberapa warga menyapa mereka segan,
memang ayah Septiani adalah seorang Kamituwa terhormat di daerah tempat tinggal mereka.

Sesampainya dirumah,

*Brakkk...*

Ayahnya membanting pintu, menguncinya rapat rapat dan meraih lengan Septiani, menggeretnya paksa menuju dapur.
Anak itu merintih kesakitan karena cengkeraman tangan ayahnya yang begitu kuat, juga langkah kakinya yang tak dapat mengimbangi derap ayahnya hingga Septiani terjatuh dan terseret berkali kali.

Ia sama sekali tak memprotes, dia bungkam karena berontakpun dirasanya akan sia sia
Kerap kali ayahnya begitu kejam padanya, lebih dari ini.

Pak Bagyo mendorong anaknya hingga tersungkur menghantam lantai kayu dapur, Septiani terlihat menahan tangisnya dan mengelap sikunya yang lecet barusan.

“Urusi kui!”
(Urusin itu!)
Gertak Pak Bagyo sambil menunjuk sesuatu di dekat pintu kamar mandi

Septiani menoleh, membalikkan badannya dan betapa terkejutnya dia saat itu. Mulutnya hendak menjerit ketakutan, ia begitu tak menyangka apa yang sedang dilihatnya saat ini.

*Aaaa.. hmpp*
Ayahnya segera membekap mulut Septiani, meremas wajah dan mulut kecilnya itu agar tak menjerit, jika sampai suaranya terdengar oleh warga maka perbuatan kejinya akan terbongkar dan semuanya kacau balau.

“Mingkemo cangkemu. Lek gak pengen tak pateni koyo bukmu"
(Diamlah mulutmu. Kalo gamau kubunuh seperti ibumu) bisik ayahnya tepat di telinga Septiani

Lelaki tua itu menyeringai kejam lalu terkekeh kekeh menertawakan putrinya yang mulai menangis ketakutan tak bersuara dalam genggamannya.
Tepat di hadapan mereka, istri Pak Bagyo / ibu Septiani telah terkapar menatap suami dan anaknya. Badannya berlumuran darah segar yang mengalir deras dari hidung dan kepalanya. Senggal napasnya terdengar jelas saat maut tiba menghampirinya.
Dia merasa tak rela putri semata wayangnya hidup dengan lelaki sialan seperti suaminya itu. Ia begitu tak terima dengan keadaan ini, mengapa Septiani harus melihat ibunya meregang nyawa akibat perbuatan ayahnya sendiri.
Wanita itu berusaha sekuat tenaga mengangkat tangannya, menggerakkan jari jarinya untuk menarik Septiani dari dekapan suaminya. Ia menangis tak berdaya dan... nyawanya telah pergi.

Bagyo melonggarkan cengkeramannya, ia mulai melepaskan putrinya.
Septiani segera merangkak menghampiri jasad ibunya, ia memeluk tubuh berlumuran darah itu dan mendekapnya erat.

“I..Ibuk tangi buk, ibuk ojo tinggalke Septi buk"
(I..Ibuk bangun buk, ibuj jangan tinggalin Septi buk) ucap anak itu penuh kepedihan
Dada gadis itu begitu sakit, dia tak mau ini terjadi, dia ingin ibunya kembali.

Tak ada raut kesedihan sedikitpun di wajah Bagyo, ia justru tersenyum lega karena telah puas membunuh istrinya. Ia berdiri menatap putrinya yang menangis gelagapan itu.
“Iling iling omonganku, ibukmu tibo seko kamar mandi, sirahe natap bak banyu nganti bocor trus mati! Nek sampe koe ngomong sak liyane kui, titeni"
(Ingat ingat ucapanku, ibumu jatuh di kamar mandi, kepalanya terbentur bak air sampai bocor dan mati!
Kalau sampai kamu bilang selain itu, awas aja) ancam Bagyo pada anaknya

Pria itu melangkah pergi keluar rumah, mencari keberadaan waega sekitar dan,

“Tulong tulong”

Teriak Bagyo dengan lantang
Warga yang mendengar teriakannya segera berlari tergopoh gopoh menghampirinya
“Wonten nopo Pak Wo?”
(Ada apa Pak Kamituwa?) tanya salah seorang warga

Bagyo mulai menangis, ia bahkan menjatuhkan dirinya seperti orang yang sangat syok.

“Bojoku ninggal bojoku..”
(Istriku meninggal istriku..) ucapnya sambil terus mengeluarkan airmata palsunya
Sungguh cocok untuk menjadi aktor, lelaki itu berpura pura kehilangan dan mengerang tiada henti.

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun"

Para warga begitu kaget mendengar ucapan Bagyo, mereka berhamburan lari memasuki rumah Kamituwanya itu
Miris, mereka tak kuasa menahan tangis saat melihat kondisi Septiani yang pingsan keelelahan menangis di sebelah jasad ibunya. Gadis itu begitu terpukul, warga menggotong tubuh Septiani yang berlumur darah ibunya.

Begitu pula dengan bapak bapak yang ada diluar,
mereka membopong Bagyo yang juga bersandiwara pingsan itu kedalam rumah.

--

Septiani sadar, ia terbangun karena mendengar orang orang yang tengah mengajikan jasad ibunya. Ia ada di dalam kamarnya bersama beberapa warga yang menjaganya.
“Ibuk...” ucapnya pilu

Para wanita di sekelilingnya pun ikut menangis dan memeluknya iba

Dia berusaha keluar kamar, berjalan walau kakinya begitu lemas dan tubuhnya ambruk berkali kali, seakan ia tak memiliki daya dan kuasa lagi.
Dia dituntun oleh tetangganya menuju ruang depan, disana, ditengah tengah kerumunan orang orang yang sedang duduk melingkar dan mengaji, jenazah ibunya dibaringkan. Ditutupi sepotong kain putih bersih dan sepotong kain jarik jawa.

Lagi lagi tangisnya pecah,
dia menjerit jerit untuk meluapkan emosinya.

Di sudut ruang itu, ayahnya justru sibuk memasang muka kalut, lelaki bernama Bagyo itu justru sibuk menceritakan kejadian siang tadi pada warga.

Ia mengatakan bahwa istrinya baru saja pamit untuk mandi dan menyuruhnya...
...menjemput Septiani anak mereka yang tengah bermain dengan teman temannya.

Bagyo menurut dan segera menjemput Septiani, namun ketika ia dan anaknya kembali ke rumah justru mendapati kondisi istrinya yang telah terkapar dengan banyak darah menggenangi lantai.
Septiani hanya menatap tajam ayahnya yang tengah bersandiwara itu, dia seperti sedang mendengar naskah drama tanpa bisa meluruskannya.

--

Hari hari terus berlalu, Septiani mau tak mau masih harus menjalani kehidupannya seperti biasa, walaupun tanpa kehadiran sang ibu.
Ayahnya semakin kejam dan semena mena padanya. Setiap harinya acap kali ia dipukul, dilempar barang bahkan tak diberi makan.

Rindunya pada sosok ibu semakin menggebu, ia selalu ingat dahulu ibunya yang kerap menjadi sasaran empuk ayahnya,
dia selalu melindungi Septiani dari lelaki gila itu.

Ya, memang pantas disebut lelaki gila. Entah apa yang memicunya hingga menjadi seperti itu, apa yang ia tunjukkan pada orang orang justru berbanding terbalik dengan sosok jati dirinya yang sesungguhnya.
Ia sangat senang menyiksa istri dan anaknya tak ubahnya seekor hewan tanpa harga.

Sebenarnya bisa saja Septiani dan ibunya kabur, atau bahkan menuntut cerai, namun Bagyo selalu mengancam akan dapat menemukan mereka berdua dan membunuhnya tanpa ampun sedikitpun.
--

Siang itu, sepulang sekolah Septiani segera masuk kedalam kamarnya. Ia merebahkan dirinya sejenak sebelum mengganti pakaiannya lalu mengerjakan seluruh pekerjaan rumah.

Hening, tiada suara seorangpun dirumah ini. Agaknya ayah Septiani belum pulang dari balai desa.
Tak terasa matanya mulai terpejam, karena kelelahan ia tertidur pulas diatas ranjangnya.

“Sep!!! Gaweno kopi!”
(Sep!!! Buatin kopi!)

Teriak Bagyo yang baru saja pulang, ia melangkah masuk sambil terus meneriaki putrinya.
Tak ada jawaban, ia celingukan mencari keberadaan Septiani. Amarahnya memuncak, ia sangat tidak senang jika tak ada yang mendengar ucapannya apalagi tidak menurutinya.

Dia berjalan menuju kamar anaknya, membuka pintu dan menemukan Septiani yang masih tertidur pulas.
Pukul 6 sore, matanya menatap langit dari jendela depan, nampaknya sudah mulai gelap. Entah pikiran kotor dari mana yang membuatnya setega itu, ia masuk ke kamar anaknya dan mengunci pintu rapat rapat. Sebelum itu, ia juga sudah mengunci seluruh akses keluar masuk rumah ini.
Dia mendekat ke ranjang dan melancarkan aksi bejatnya, sungguh hina, pria itu sangat sangat hina.

Septi yang terbangun dikejutkan dengan keberadaan ayahnya yang tengah menindihnya, ia memberontak dan menangis sejadi jadinya hingga ayahnya memukulinya saat itu juga.
Pria laknat itu menghantam kepala putrinya dengan gelas kaca yang ada di meja sebelah ranjang Septi, menampar wajah gadis itu dan terus menerus menyiksanya hingga tak kuasa bergerak lagi. Ia begitu teganya menyetubuhi putrinya sendiri, gila.
Bahkan hewan pun tak melakukan itu pada keturunannya.

Beberapa jam setelahnya, Septi masih saja meringkuk menangis merasakan sakit yang tak terkira di sekujur tubuhnya. Ayahnya kini telah pergi, entah kemana setelah apa yang ia lakukan tadi.
--

Empat hari berlalu, guru sekolah Septi mendatangi rumah mereka untuk memastikan keberadaan Septi dan menanyakan alasan Septi tak pernah masuk sekolah lagi.

Septi dikurung ayahnya di dalam kamar, Ayahnya menyambut guru itu dengan begitu santun.
Ia menjelaskan bahwa Septi masih begitu terpukul sepeninggal ibunya. Ia mengatakan bahwa putrinya itu menangis setiap malam bahkan hingga mengigau memanggil manggil nama ibunya.

Pihak sekolah mengerti dan memberi kelonggaran pada Septi,
mereka mengijinkan Septi untuk menenangkan diri sampai siap bersekolah kembali.

Bagyo merasa lega, merasa lebih leluasa

--

Septi mulai masuk sekolah seperti biasa setelah semua lebam di tubuhnya hilang, namun kini ia menjadi lebih dijauhi orang orang karena selalu muram.
Empat bulan berlalu, Septiani hamil, perutnya mulai membuncit hingga Bagyo menyadari hal itu. Dia segera mengambil tindakan sebelum semua orang menyadari hal itu dan membuatnya dihukum atas perbuatan hinanya itu.
Di malam hari setelah mengetahui kebenaran akan kehamilan putrinya, ia pergi ke rumah salah seorang dukun beranak yang jauh dari sana, tentu saja agar tiada orang yang mengetahui apa yang sedang ia kerjakan.
Tepat tengah malam, dukun beranak itu beserta Bagyo telah sampai dirumah Bagyo. Dengan mengendap endap agar tak ada yang mendengar kedatangan seseorang di lingkungan itu mereka memasuki kamar Septiani.

Bagyo bertugas membungkam gadis itu,
lalu menali kedua tangan dan kakinya di setiap sudut ranjang, tentu kalian pasti tau apa yang kumaksudkan. Ya, mereka mengaborsi kandungan Septiani.

Gadis itu meronta dan mencoba melepaskan diri, namun sia sia, ia tetap saja tak bisa menghindarinya.
Tubuhnya menegang merasakan sakit yang begitu menusuk, dia menjerit dalam bungkaman kain kain yang dijejalkan ayahnya kedalam mulutnya itu.

Perutnya seakan tengah dihujam ratusan ujung pisau, sakit, nyeri, perih dan keram, semuanya menjadi satu.
Ia menitihkan air mata sedari awal merasakan hal itu. Sebegitu menjijikkan manusia yang ia sebut ayah itu, ia tak menyangka bahwa ia merupakan darah daging pria macam itu.

Septi tak dapat bergerak lagi, punggungnya seperti dipatah dan diremukkan.
Dia tergolek lemas dengan sprei yang basah oleh darah dibawahnya.

Masih belum berakhir, ia dipaksa meminum ramuan aneh. Saat ia menolak sudah pasti ia justru dicekoki hingga terbatuk batuk karena tersedak.

--

Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat ayahnya mencongkel...
...lantai kayu di kamar depan dan mengubur janin itu disana.

Hal seperti ini tak hanya sekali dua kali terjadi, bertahun tahun Septiani dijadikan pelampiasan nafsu bejat ayahnya, ia tak bisa berkutik dan hanya bisa menerima nasib buruknya itu.
Dalam kurun waktu kurang lebih sepuluh tahun, ia dikurung ayahnya, sehari hari ia diberi ijin keluar hanya untuk berbelanja keperluan dan melanjutkan sekolahnya sampai tamat.

Belasan kali ia hamil, dan belasan kali pula ia harus merasakan sakit membara...
...akibat kandungannya yang digugurkan.

Saking seringnya, ia sampai tak lagi menganggap hal itu mengerikan, ia bersedia melakukan itu semua seperti sebuah rutinitas.

Hingga untuk yang kedua belas kalinya ia mengandung anak hasil hubungannya dengan ayah kandungnya itu,
Bagyo mulai sakit sakitan. Pria itu terbaring lemah di ranjangnya dan tak dapat bergerak lagi, disinilah semuanya dimulai.

Septiani enggan melanjutkan apa yang selama ini dilakukan ayahnya, ia sangat tau bahwa mereka dapat hidup bergelimang harta walaupun ayahnya hanyalah...
...seorang tetua desa tidak lain tidak bukan karena sesembahan Bagyo.

Ya, benar, tak ada seorangpun di lingkungan mereka yang menyadari hal itu. Tak ada yang tau bahwa kamituwa mereka, Subagyo, melakukan pesugihan. Ia menyembah makhluk aneh yang mendiami pohon asem tua...
...di pekarangan belakang rumah mereka, entah sejak kapan pohon itu tertanam disana, mungkin puluhan tahun atau bahkan bisa saja hampir ratusan.

Badan Bagyo mengering, Septiani sama sekali tak merasa iba pada ayahnya itu selayaknya ayahnya memperlakukannya dulu.
Ia menertawai pria tua itu dan menyiksanya, membiarkannya mati perlahan karena kelaparan.

“Nduk tulung.. bapak lesu”
(Nak tolong.. bapak lapar) rengek tengkorak hidup itu

“Enak tara? Enak kan? Kepiye rasane disikso alon alon?
Iki durung ono opo opone dibanding opo sing selama iki tak lakoni"

(Enak ga? Enak kan? Gimana rasanya disiksa pelan pelan? Ini belom ada apa apanya dibandingkan apa yang selama ini aku alami) ujar Septiani dengan senyum kecut di bibirnya.
Ia keluar kamar dan mengunci pintu, mengurung ayahnya sendirian dalam kondisi mengenaskan. Seringkali ia mendengar rintihan dan tangisan ayahnya dari balik dinding kamar, pria itu mengerang kesakitan seperti tengah menerima siksaan.

--
Perut Septiani telah begitu besar, kiranya kandungan itu telah memasuki bulan bulan akhir. Ia tak dapat kemana mana lagi untuk membeli persediaan pangannya. Namun bagaimanapun caranya ia harus tetap bertahan untuk hidup sampai ia berhasil mengeluarkan bayi dalam perutnya.
Ia begitu jijik dengan bayi yang sedang dikandungnya itu, merasa muak dan harus menyingkirkannya.

Septiani kembali ke kamar, tangannya menggenggam sesuatu. Ia berjalan lalu duduk tepat di sebelah ayahnya yang tengah merintih
“Piye carane supoyo Mbok Yem mrene tanpo aku moro rono”
(Gimana caranya biar Mbok Yem kesini tanpa harus aku kesana) tanya Septiani dengan nada rendah pada ayahnya

Mbok Yem adalah dukun beranak yang selalu diperintahkan ayah Septiani untuk menggugurkan kandungan putrinya.
Bagyo menatap putrinya dalam diam, ia tak bersuara selain bisik rintihannya menahan sakit.

“Oooh ra gelem ngomong"
(Oh gamau bicara) ulang Septiani

Wanita itu segera membuka genggamannya, ia menyayatkan silet di tangannya itu pada betis ayahnya.
Darah mengucur perlahan dari sana karena kondisi Bagyo yang begitu dehidrasi.

Mata Bagyo berkaca kaca, ia tak kuasa saat Septi menyayat kulitnya perlahan lahan seakan menikmati situasi itu.

Bagyo menangis memohon ampun dan segera menyebutkan...
... satu persatu nomor telepon wartel terdekat rumah Mbok Yem.

Septiani segera mencatatnya dan bergegas ke ruang tamu, menuju salah satu meja kecil dengan vas bunga dan telepon kabel diatasnya. Ia meraih gagang telepon itu, lalu menekan beberapa angka pada tombol tombolnya.
“Halo?” ucap seseorang dalam telepon

“Saya mau bicara dengan Mbok Yem, dukun beranak dekat sana" jelas Septiani langsung

“Iya mbak tunggu sebentar saya panggilkan orangnya di rumahnya"

Telepon dimatikan, sekitar lima belas menit kemudian...
*Kring kring kring kring*

Dering telepon rumah Septiani

Wanita itu segera beranjak dan mengangkatnya

“Halo ini saya Mbok Yem” terdengar suara wanita tua berbicara di telepon

“Aku anake Bagyo, cepeto mrene gausah kakehan takon. Lek nganti ora manut mrene titenono wae"
(Aku anaknya si Bagyo, cepatlah kesini gausah banyak tanya. Kalo sampe ga nurut kesini, awas aja) ancam Septiani di telepon

Mbok Yem ketakutan, gadis yang begitu pendiam dan menyimpan banyak penderitaan itu tiba tiba dengan lantang mengancamnya. Apa yang tengah terjadi?
Dimana Pak Bagyo?

Janda tua itu mau tak mau terpaksa menuruti perkataan Septiani untuk datang kesana. Sudah hampir setahun ini dia tak pernah kerumah itu lagi, namun tiba tiba Septiani lah yang menyuruhnya kesana

*Tok tok tok*
Ketukan pintu terdengar dari arah depan

Septiani segera membukanya, Mbok Yem telah telah berada disana, ia celingukan menoleh kanan kiri karena khawatir ada yang melihatnya dan curiga.

“Melbu” perintah Septiani

Wanita itu segera masuk dan menunggu Septiani yang sedang...
... menutup pintu. Raut wajahnya tampak cemas, tak ada ketenangan tersirat sama sekali. Telapak tangannya berkeringat, meremas kain jarit yang melilit tubuhnya dari pinggang sampai mata kaki, dia mengenakan kebaya lusuh dan menyanggul rambutnya.
Septiani mendekat, Mbok Yem mengamati perut gadis itu, ia tak menyangka bahwa Septiani hamil sebesar ini dan kenapa Bagyo tak menghubunginya untuk menggugurkan bayi itu.

“Pateni cah iki"
(Bunuh anak ini!) perintah Septiani pada Mbok Yem
Mata wanita tua itu membelalak, mana mungkin bisa bayi yang sebentar lagi lahir itu dibunuh saat ini juga, mau tak mau mereka harus membiarkannya lahir dari perut dengan sendirinya, atau nyawa Septiani akan terancam.

“Raiso nduk, gelemo awakmu kudu ngenteni bocah iki lair"
(Gabisa nak, walau gamau, kamu harus nunggu anak ini lahir) jelas Mbok Yem berusaha meyakinkan

Tak ada pilihan lain, Septiani harus membuat pilihan bijak agar selamat. Ia pun memasukkan tangan kirinya ke dalam kantung kresek di meja,
meraih sesuatu dari dalam sana dan menyodorkan benda itu pada Mbok Yem.

Uang, segebok uang yang barusan diambil Septiani dari lemari Bagyo, ia memberikannya pada Mbok Yem.

“Urusi aku nganti wayahe lebar, separo iki bayaranmu, separone maneh blanjakno aku sabendino"
(Urus aku sampai waktunya selesai nanti, separuh itu bayaranmu, separuhnya lagi belanjakan aku tiap hari) ujar Septiani

Mbok Yem gemetar, ia tak pernah melihat langsung apalagi menyentuh uang sebanyak itu. Mungkin sekitar sepuluh juta, pada tahun tahun itu,
uang sepuluh juta merupakan nominal yang cukup besar. Dukun beranak itu mengangguk angguk setuju dengan ucapan Septiani.

Mulai hari itu ia resmi bekerja disana, mengurus rumah dan memasakkan Septiani setiap harinya hingga beberapa bulan kedepan.
Ia bertanya tanya, dimanakah keberadaan Bagyo? Namun rasa penasarannya itu segera menemukan titik ujung, ia mendengar rintihan lirih dari kamar Bagyo dan mengintipnya. Betapa terkejutnya ia mendapati tubuh kurus kering yang kesusahan menjemput ajalnya terbaring disana.
Mbok Yem mendekati pria itu, pria yang begitu dikenalnya, pria gila dengan dua muka.

“Tulung...” ucap pria itu lirih

“LAPO KOE NENG KENE?!”
(Ngapain kamu disini?!)

Bentak Septiani dari ambang pintu kamar, ia melotot dengan amarah pada Mbok Yem yang lancang.
Septiani segera menarik tangan Mbok Yem, menyeretnya keluar kamar.

“Jarno wong iko mati kelaran, sopo sing ngakon koe nyampuri urusanku!”
(Biarkan orang itu mati menderita, memang siapa yang menyuruhmu ikut campur urusanku ha?!) gertak Septiani kembali
Mbok Yem hanya diam ketakutan, namun sejatinya ia tetap saja memberi Bagyo makan diam diam saat Septiani sedang mandi atau tidur. Itulah sebabnya Bagyo tetap hidup dan tak kunjung mati meskipun dalam kondisi seperti itu.

--
Malam itu Juni mulai merasakan kontraksi, perutnya nyeri dan begitu sakit menghujam. Septiani mengerang kesakitan, wajahnya pucat dengan baju yang basah oleh keringat

“Aaa loru mbok..”
(Aaa sakit Mbok, sakit...) keluhnya pada Mbok Yem yang menggelar selimut dibawah Septiani
Darah dan air ketuban merembes disana, membasahi selimut dan sprei itu.

“Terus nduk terus...” sahut Mbok Yem yang membenggangkan kaki Septiani, membukanya lebar lebar agar jalan lahirnya terbuka sempurna.
“Aku gak kuat Mbok!!!” teriak Septiani sambil menjambak apapun yang ada disekelilingnya, ia meronta ronta tak kuasa, diapun memukul mukul perutnya sendiri

Berhasil, bayi itu berhasil Septiani lahirkan, seketika Septiani tak sadarkan diri karena kelelahan mengejan.
Mbok Yem mendekap bayi itu, ia hingga kehabisan kata kata, tak tahu harus bagaimana, bayi tak berdosa yang lahir dari hubungan tak lazim itu memiliki banyak kekurangan.

Ya, tubuhnya cacat, tangannya tak sempurna, begitupun dengan kakinya.
Dengan cepat Mbok Yem menggunting tali pusar yang menyambung diperut anak Septiani itu.

Bayi itu tak menangis, ia bahkan sangat nyenyak berada dalam pelukan Mbok Yem, tak seperti bayi biasanya yang akan langsung menangis kencang setelah dilahirkan.
Tak lupa Mbok Yem menarik keluar ari ari yang tak kunjung keluar dengan sendirinya, gadis itu masih terkapar lemas tak sadarkan diri. Terpaksa Mbok Yem menariknya dengan memasukkan tangan untuk mengambil langsung benda itu dari perut Septiani.
Mbok Yem segera membersihkan bayi itu dan menidurkannya disebelah ibunya, tak lupa ia pun sekalian membersihkan tubuh Septiani yaang masih tak sadarkan diri, menyekanya dengan air hangat, mengganti baju, serta memasang gurita agar perutnya kembali pada ukuran seperti sedia kala.
Lalu ia membungkus ari ari bayi itu dalam kain jarik penuh darah bekas Septiani bersalin tadi, tangan kirinya membawa buntalan kain itu dan tangan kanannya membawa cangkul.

*Crokkk.. crok..*

Suara hantaman cangkul membelah tanah dibawahnya
Ia melubangi tanah agak dalam, memasukkan bungkusan penuh darah itu dan menguburnya.

Jika biasanya orang jawa mengubur sedulur tuo di dekat ambang pintu utama, Mbok Yem untuk kali pertama dan terakhir ini memilih menguburnya di pintu pawon.
Memang menyalahi aturan, namun ini semua demi menjaga kerahasiaan keluarga Bagyo.

Setelahnya, dukun beranak tua itu kembali ke kamar Septiani, ia hendak membangunkan wanita itu dan menyuruhnya menyusui bayinya.
Namun betapa terkejutnya, matanya menangkap keadaan Septiani yang telah sadar mencoba untuk mencekik bayi itu.

“Gusti pengeran... ojo nduk ojo ngono!...”
(Ya Tuhan... jangan gitu nak jangan gitu!...) teriak Mbok Yem panik
Ia merangsek masuk dan menghentikan perbuatan Septiani, ia menarik paksa bayi itu.

“Ngopo sampean tulungi?! Gowo mrene tak patenane! Anak setan kui pateni wae!”
(Kenapa kamu tolongin?! Bawa sini biar kubunuh! Bunuh saja anak setan itu!)
Ujar Septiani pada Mbok Yem yang semakin menjauh, mundur langkah demi langkah menghindari Septiani

“Tak openane nduk tak openane, wes cukup semono wae dosaku dosamu dosane bapakmu, jarne bocah iki urip, bocah iki gak ngerti opo opo"
(Biar aku rawat nak biar aku yang rawat, sudah cukup segitu saja dosaku dosamu dosa bapakmu, biarkan anak ini hidup, anak ini gak tau apa apa)

Mbok Yem memohon, meminta setulus hati pada Septiani, seburuk apapun tindakannya,
sehina apapun pekerjaannya selama ini tapi ia tak akan tega membiarkan bayi itu dibunuh.

Itu bayi, bayi nyata, bayi yang baru saja lahir ke dunia ini, bukan seonggok daging janin dalam perut wanita.
Septiani memalingkan wajahnya, bersamaan dengan Mbok Yem yang undur diri, ia pamit dari tugasnya yang telah usai dengan membawa bayi laki laki cacat itu.

Mbok Yem memberinya nama Rusin, tak ada yang spesial dari sepatah nama itu, ia hanya tak memiliki ide lain.
Rusin yang berarti Lusin, anak ke selusin.

--

Beberapa hari berlalu, Septiani telah pulih, tak perlu waktu lama baginya untuk pulih karena ia telah sering melalui sakit sakit seperti ini. Begitu pula dengan Bagyo, Septiani merasa harus segera melakukan sesuatu,
pria tua itu tak boleh dibiarkan hidup lebih lama lagi. Kadang ia merasa heran, mengapa ayahnya bisa bertahan hidup begitu lama, mengapa ayahnya tak segera pergi ke neraka saja...
Ia mendapat bisikan ide entah dari mana, seperti sesuatu yang aneh dan begitu tiba tiba,
namun menarik untuk dicoba.

Septiani melangkah masuk ke kamar ayahnya, disana pria tua itu tengah tertidur pulas dan tak merasakan kedatangan Septiani yang hendak menghadiahkan ajal padanya.

Wanita itu mencengkeram kedua kaki ayahnya, hingga mata Bagyo membelalak kaget.
Dengan sigap Septiani menarik kaki kurus kering itu hingga seluruh badan ayahnya terjatuh ke lantai, terbanting begitu keras menghantam kayu kayu rata dibawahnya.

“Ampun.. Ampun..”

Rengek Bagyo lirih, namun Septiani sama sekali tidak memperdulikannya.
Ia begitu menikmati sensasi bahagia dalam hatinya ketika menyiksa sang ayah.

Septiani menggeletakkan lelaki tua itu di lantai, ia beranjak menuju kamarnya dan kembali dengan sebuah benda tajam di tangannya.

Jarum kasur, ya, jarum yang biasa digunakan untuk menjahit kasur,
ia mendekati ayahnya...

“Gak pegel ta pak? Sampean gak kesel tak koyo mengkeneake? Saiki wes wayahe sampean penak, gak ngrasakke loro maneh"

(Gak capek pak? Kamu ga capek aku giniin terus? Sekarang udah saatnya kamu istirahat, gak ngerasain sakit lagi)
ucap Septiani yang disusul dengan tawa jahatnya

Ia membalikkan badan ayahnya dan langsung menusuk cekungan diatas tengkuk ayahnya menggunakan jarum besar itu

*Hooookkk...*

Keluar suara kesakitan dari bibir ayahnya, tak lupa darah pun mulai mengalir dari sana.
Septiani kegirangan, ia makin menjadi jadi dan menancapkan jarum itu lebih dalam dan dalam lagi, hingga seluruhnya terbenam disana.

Tubuh Bagyo mengejang, bergetar hebat seperti seseorang yang tengah diserang stroke. Perlahan demi perlahan,
jasad itu melemas dan menghentikan gerakannya, Septiani segera memastikan apakah rencananya berhasil, ternyata berhasil, ayahnya telah mati. Ia mengelap sisa sisa darah di leher ayahnya itu dan menunggu hingga alirannya berhenti.

--
Septiani tersenyum lebar, dengan bangga ia menyanjung dirinya sendiri yang telah dapat membebaskan dirinya dari eksploitasi diri begitu kejam yang dilakukan oleh ayahnya.

Kakinya melangkah perlahan keluar rumah, jalannya gontai dibuat buat
ia mempersiapkan dirinya untuk menampilkan kebolehannya bersandiwara.

“Tulung.. tulung pak buk..” teriaknya diluar rumah, ia menangis menjerit meminta pertolongan warga

Orang orang di sekitar rumahnya begitu terkejut dan menghampirinya,
menanyakan apa yang telah menimpa Septiani yang belasan tahun menjadi orang anti sosial diantara mereka.

“Tulung pak bu!... bapake kula.. bapake kula mpun mboten wonten"
(Tolong pak bu!.. bapak saya.. bapak saya udah gaada) jelas Septiani terbata bata
Ia menangis begitu histeris pada warga

Mereka yang terkejut akan hal itu pun segera diajak masuk oleh Septiani, ia menjelaskan bahwa ayahnya telah lama sakit dan tak bisa bergerak kemanapun selain diatas ranjang, sejak memutuskan lepas tugas dari pekerjaannya.
Bahkan ayahnya menolak jika ada tamu yang hendak mengunjunginya, begitupun dengan nafsu makannya yang selalu menghilang, Septiani mengarang bahwa ayahnya tak pernah mau makan hingga badannya berubah sekurus itu.
Para warga terkejut melihat jasad Bagyo, mereka tak menyangka Kamituwa yang mereka hormati mati dalam keadaan seperti itu, badannya menjadi sama sekali tak berdaging. Namun sayang beribu sayang, tak ada dari mereka yang menyadari tusukan yang ada pada tengkuk Bagyo,
kerna saat itu rambut lelaki tua tersebut gondrong tak terawat, menutup keberadaan luka itu, maklum saja Septiani tak pernah mengurus dan selalu menyiksanya sejak Bagyo terbaring sakit.

“Duh Gusti..”

“Mbak Septi, iki kepiye bapake kok bisa kaya mengkene...”
(Mbak Septi, ini gimana bapaknya kok bisa kaya gini...) tanya salah seorang warga

“Kula nggih mboten ngertos pak.. tepak badhe kula tiliki malah sampun ngeten"

(Saya juga gatau pak... tepat waktu mau saya periksa malah sudah kaya gini) jelas Septiani
Tak memakan banyak waktu, semua prosesi pemakaman selesai mereka laksanakan. Kini Bagyo telah mangkat, tinggalah Septiani sebatang kara, warga begitu iba padanya.

--

Hidupnya bebas, bagai burung dalam sangkar yang baru saja dapat melepaskan diri, memulai keseharian barunya.
Namun, mau tak mau ia harus mencari kerja diluar untuk memenuhi kebutuhannya suatu saat nanti, karena tak dapat dipungkiri harta benda ayahnya bisa habis kapan saja tanpa ia duga, apalagi ia tak mau mengambil resiko untuk melanjutkan pesugihan ayahnya,
ia tak sudi menjadi pribadi segila ayahnya.

--

Wanita itu mengendarai motor peninggalan ayahnya, menyusuri setiap daerah dikotanya, mencari pekerjaan yang mungkin bisa ia lakoni.

Laju roda kendaraan itu membawanya ke sudut kota, tempat dimana orang2 mencari hiburan dunia.
Dan sialnya, mesin besi itu harus mati karena kehabisan bahan bakar.
Wanita itu tetap tenang, ia sama sekali tak merasa takut. Hidup sepahit itu pun telah pernah ia jalani, semua hal itu menempanya menjadi orang tak kenal rasa takut.
“Kenapa mbak? Mogok ya?” tanya seorang gadis cantik menghampirinya, terselip sebatang rokok di jarinya, sesekali gadis itu menghisapnya

Septiani tak menjawab, hanya menatap diam

“Heh koe, mrene ewangi"
(Hei kamu, sini bantuin!) panggil gadis itu pada beberapa orang pria...
...yang tengah berkerumun menenggak minuman mereka di depan tempat itu

“Gapapa kok mbak saya gaada niat jahat, mending sekarang saya bantuin abis itu mbaknya pulang" jelas gadis itu

Pria yang tadi di panggilnya pun mendekati kedua wanita itu, memeriksa kendaraan Septiani.
Sesekali ia mencuri pandang, melirik wajah ayu tanpa polesan Septiani, ia tak pernah melihat gadis ini disekitar sana sebelumnya.

“Bensine ntek, sek enteni"

(Bensinnya habis, tunggu bentar) ujarnya pada gadis yang dikenalnya
Ia pergi, memasuki tempat parkir yang ada di area dalam tempat itu dan kembali dengan mengendarai sebuah motor, menyalurkan bensin yang ada di tangki motornya ke motor Septiani.

Bukannya beranjak pulang, Septiani justru mengikuti langkah gadis yang menolongnya itu.
Matanya mengamati seluruh area yang tak ia ketahui tersebut, ada banyak lampu didalam namun semuanya tak begitu terang, disanalah tempat dimana ia akan banyak menerima pelajaran nantinya.

Semakin masuk kedalam, ia menemukan pintu paling ujung yang menjadi...
...batas terakhir bangunan itu.

Namun tampaknya Septiani salah, dibaliknya terdapat area luas terpisah, struktur bangunannya terlihat lebih mirip dengan kontrakan kontrakan minimalis yang pernah ia jumpai, ada banyak wanita disetiap sudutnya.
“Loh mbak kok bisa ada disini?” tanya gadis barusan

“Saya ngikutin kamu, ini tempat apa?” tanya Septiani dengan polosnya

Gadis itu menarik tangan Septiani menyingkir, menjauh ke sudut yang tak terlalu ramai

“Kenapa mbak?” gadis itu membuka pembicaraan lagi
“Saya mau cari kerja, saya mau kerja disini" jawab jujur Septiani

Terhenyak, gadis itu menatap heran pada wanita di depannya

“Kamu yakin? Hahaha” tanya gadis itu sambil menertawakan Septiani

Ia hanya mengangguk, tak peduli pekerjaan apa yang akan ia terima.
“Yaudah kamu langsung kerja, gausah pulang aja malem ini. Nanti kalo ada tamu tak kasih tau" perintah gadis itu

Ia mengajak Septiani memasuki rumah yang paling besar, disana ia menyuruhnya untuk mandi dan berganti pakaian.
Malam itu dan malam malam berikutnya, tak terhitung entah berapa kali Septiani melayani tamu tamu mereka. Ia memiliki banyak teman baru, kehidupan baru, pengalaman baru, dan banyak hal yang sebelumnya sangat terbatas untuk ia ketahui. Perempuan itu berubah drastis.
Dan, gadis yang menolongnya dulu sekarang menjadi sahabat baiknya, namanya Desi, anak dari pemilik tempat tersebut. Jarak usia mereka terbilang lumayan, Desi menganggap Septiani sebagai kakak perempuannya sendiri.

Ia tak selamanya tinggal disana,
ia tetap pulang sekitar seminggu sekali untuk mengurangi kecurigaan warga.

Septiani malah makin menjadi pribadi yang baik dan normal dimata para tetangganya. Tak seperti saat ayahnya masih hidup dulu, ia begitu anti sosial.

--
Setelah beberapa tahun...

Di gelapnya fajar, kebetulan saat ia sedang ada dirumah datanglah Mbok Yem, ia menggendong seorang anak yang ia tutupi seluruh badannya dengan kain jarik tua miliknya. Ia hendak mengembalikan anak itu kepada ibunya,
berharap Septiani sendiri lah yang akan mengasuhnya karena Mbok Yem mulai sakit sakitan, ia merasa waktunya tak akan lama lagi.

“Nduk, Mbok wes ra kiat maneh, titip anakmu yo, tulung diopeni sing apik, mesakke bocah iki orak salah opo opo. Jenenge Rusin"
(Nak, Mbok sudah tidak kuat lagi, titip anakmu ya, tolong dirawat sebaik mungkin, kasihan anak ini nggak salah apa apa. Namanya Rusin) ucap Mbok Yem memelas

Septiani terlihat menahan amarahnya
“Lha karepmu piye! Koe dewe sing biyen ra ngolehi aku mateni bocah iki tapi saiki malah arep mbok kon ngopeni aku? Ora sudi aku!”

(Maksudmu apa! Kamu sendiri yang dulu ngelarang aku bunuh anak ini, tapi sekarang kamu malah nyuruh aku ngurus dia? Gak sudi aku!) bentak Septiani
Mbok Yem merasa dadanya semakin sesak, ia membawa Rusin pulang. Balita itu tak dapat berkomunikasi selayaknya anak anak normal, ia gagu, dan hanya diam menatap ibunya.

Keesokan harinya, saat Septiani hendak kembali ke tempatnya bekerja, ia dikejutkan dengan keberadaan anaknya
di depan pintu rumah. Anak itu tak bersuara, hanya duduk di emperan dengan salah satu tangannya yang normal menggenggam kue rangin, wajahnya terlihat belepotan kelapa dari makanan itu.

Septiani segera menggendong balita itu masuk ke rumah sebelum ada tetangganya yang melihat.
Dia mencoba menelpon kembali wartel dekat rumah Mbok Yem, ia hendak mendamprat wanita tua itu, namun tampaknya Mbok Yem benar benar menyambut ajalnya. Pemilik wartel mengatakan bahwa baru saja Mbok Yem ditemukan meninggal dirumahnya sepulang dari perjalanan.
Wanita tua itu dikatakan telah mengidap gagal ginjal sejak lama.

Kini, mau tak mau Septiani harus merawat anak itu. Ia tak dapat lagi pulang seminggu sekali karena harus memberi makan aib keluarganya itu, juga harus lebih rapat menyembunyikan kehadiran anak itu dirumahnya,
untunglah anaknya gagu.

Dia tak pernah sekalipun memandikan Rusin, ia hanya mengguyuri tubuh putranya itu dengan bergayung gayung air tanpa menggosoknya dengan sabun, dan membiarkannya tak mengenakan baju, tak peduli anak itu akan kedinginan atau kepanasan.
Begitupun dengan makan, ia hanya memberi Rusin makan satu kali dalam sehari karena ia hanya dapat pulang beberapa jam setiap harinya.

--

Di suatu malam dari ratusan malam yang ia jalani di tempat kerjanya, ia kedatangan tamu istimewa.
Ibu Desi sengaja merekomendasikan Septiani pada pria itu, karena saat itu memang Septiani lah yang memiliki bandrol paling tinggi dan merupakan aset kesayangan ibu Desi. Dia tak seperti pekerja kebanyakan, ia hanya melayani tamu dengan dompet tebal dan mobil mewah.
Dimulai dari malam itu, di malam malam berikutnya pria itu selalu datang, nampaknya mereka berdua mulai memiliki perasaan satu sama lain. Meskipun cukup berumur namun paras tampannya masih tersirat jelas di wajah pria itu, ia gagah dan bersih.
Hingga pada akhirnya Septiani resmi keluar dari sana, tak lain tak bukan karena pria itu tak mau Septiani menjadi objek kepuasan pria lain.

Septiani menjadi wanita simpanannya, di bulan ketiga, dia baru menyadari kehamilannya.
Pria itu menyambut kehamilan Septiani dengan sangat gembira.

Di sisi lain, Septiani harus memikirkan cara untuk menghapus masa lalu kelamnya, ia tak mau jika sampai ayah dari anak yang sedang dikandungnya itu mengetahui borok borok perjalanan hidup Septiani.
Dalam kondisi hamil, dia tega melancarkan kekejiannya, tak peduli balasan apa yang akan ia terima di kehidupan lain nanti.

Dia berjalan menghampiri Rusin yang tengah duduk di dalam lemari, lemari tempat Septiani biasa mengurungnya.
Anak itu tengah tertidur pulas disana, mungkin baginya ruang gelap dan sempit adalah tempat yang nyaman, karena ia telah terbiasa merasakan sunyi tanpa kehadiran ibunya. Sesekali anak itu menangis saat merasa rindu pada Mbok Yem.
Septiani menjambak rambut balita itu, ia meronta karena terkejut dengan cengkeraman tangan ibunya. Wajahnya memerah, tangisnya hampir saja pecah, namun tanpa rasa peduli dengan sengaja Septiani membenturkan kepala itu ke dinding hingga anaknya begitu kesakitan.
Lalu ia pun mencekik leher Rusin, melilitnya erat hingga nafas putranya tersenggal senggal. Belum merasa puas, Septiani membanting anak itu ke lantai hingga darah bercucuran dari setiap lubang di kepalanya. Dan yang paling miris,
Septiani melakukan hal sekejam itu pada darah dagingnya sendiri dengan wajah datar, tak ada raut ekspresi apapun disana.

Badan Rusin menggeliat geliat dibawah sana, dari matanya terlihat jelas air mata mengalir tanpa henti.
Septiani melangkah pergi, menuju dapur dan mengambil linggis beserta cangkul yang biasa digunakan ayahnya untuk mengubur anak anak hasil hubungan mereka.

Dia kembali dan segera mencongkel geladak geladak kayu dibawah ranjang

*Klatakkk..*
Bunyi paku paku yang terangkat dari papan papan itu. Segera ia menggeret Rusin lebih dekat dengan makam para saudaranya, namun tak langsung menguburnya.

Septiani terlebih dahulu memutilasi tubuh balita itu, ia menggenggam erat dan mengangkat gagang cangkulnya tinggi tinggi.
*Crokkk..*

Ayunan mata pisau cangkul itu mendarat tepat di leher Rusin hingga kepalanya menggelinding, bergulung gulung ke sudut ruangan.

Daster, wajah dan badan Septiani dipenuhi oleh muncratan darah segar putranya

*Crokkk..*
Lagi lagi ayunan tangannya berhasil membelah pilah anaknya hingga terpotong potong menjadi beberapa bagian, lengan, kaki, perut, dada dan kepala, setelahnya ia baru mengubur hasil belahan tangannya itu.
Jeroan anak tak berdosa tersebut ikut hancur berantakan, bahkan sisa sisa makanan yang masih diproses dalam lambungnya pun berceceran macam muntahan.

Septiani menggali lubang dan memasukkan seluruh bagian tubuh Rusin, menutupnya kembali dan memaku papannya dari atas.
Bukan rasa bersalah, Septi justru merasa puas dan lega karena tak perlu lagi memusingkan apapun.

Ia menatap kaca, melihat dirinya sendiri yang berlumuran darah sambil mengelus perutnya.

--
Sorry badan gua udah gemeter, gakuat lagi demi Allah. Mohon pengertiannya, besok cimol lanjut lagi
Beberapa bulan berlalu setelah pembunuhan itu, Septiani juga telah resmi menjadi istri kedua kekasihnya. Mereka berdua diam diam melangsungkan pernikahan sah di belakang istri pertama Handoko. Ya, nama pria itu adalah Handoko, pengusaha kaya yang kelak menjadi ayah Juni.
Istri pertamanya bernama Julianti, awalnya memang Julianti tak mengetahui apapun tentang permainan gila sang suami bersama wanita lain di belakangnya. Namun, lambat laun ia mengetahui kenyataan pahit itu, ia begitu kacau dan merasa harus membalaskan dendam.
Saat Juni berusia setahun, Julianti pernah menyuruh beberapa orang untuk menculik anak itu dan menghabisi Septiani, namun semuanya gagal karena Handoko selalu menggagalkan niat buruk istrinya.
Tak hanya sekali dua kali ia meneror, mengancam dan hendak berbuat buruk, menurutku wajar karena itu sangat manusiawi, mana ada seseorang yang ikhlas dibohongi dan suaminya direbut seperti itu.

--
Apakah kalian tahu penyebab utama Septiani bunuh diri saat anaknya Juni berusia 9 tahun dulu? Tentu karena ia mendapat ancaman dari Julianti, perempuan itu mengancam akan membunuh Juni jika madunya tak segera mati. Bukan hal sulit bagi ibu tiri Juni untuk membunuh Juni.
jelas sangat mudah karena anak itu tak ada dalam pengawasan Septiani.
Sedangkan saat itu Septiani tengah melarikan diri, bersembunyi menghindari rasa takut dan bersalah yang menghampirinya. Baru baru, sosok arwah seorang anak yang telah dibunuhnya dahulu sering muncul,
dan menghantuinya. Kenapa tak dari dulu saja Septiani dihantui arwah Rusin? Karena baru saat Juni mulai tumbuh besar saja Septiani menjadi berubah, ia jadi memiliki perasaan keibuan yang teramat sangat,
ia yang dulu begitu keji dan tak memiliki hati karena apa yang sejak awak tertanam di dalam hatinya itu berubah menjadi wanita lemah lembut yang mengerti arti keluarga.

Arwah anak anaknya yang merasa tak mendapatkan keadilan akhirnya mulai menyerang pertahanan hati Septiani...
... yang melemah.

Begitupun dengan rasa bersalahnya pada Handoko suaminya dan Juni putrinya, ia merasa hina, merasa kotor, ia adalah manusia berlumur dosa yang tak dapat diampuni begitu saja.
Ia merasa telah membodohi suaminya yang tak tahu menahu perihal kekejiannya di masa lampau. Ia pun memilih menyingkir dari kehidupan kedua orang yang begitu disayanginya.

--

Saat hilang dulu, ia sebenarnya pergi menemui sahabatnya,
gadis yang ia anggap saudara perempuannya sendiri, tentu saja Desi.

Ia hendak menitipkan Juni pada Desi, ia sangat mempercayai Desi. Ia yakin seburuk apapun sahabatnya itu, sehina apapun pekerjaan yang digelutinya, gadis itu akan menjaga putrinya dengan baik.
Ia tak akan khawatir Juni menjadi wanita penghibur atau apalah.

“Dek aku arep nyuwun tulung karo awakmu"
(Dek aku mau minta tolomg ke kamu) ucap Septiani membuka pembicaraan

Desi menoleh, ia serius mendengarkan kata kata Septiani
“Aku pengen awakmu nemoni mas Han, aku pengen awakmu ngurusi Juni”
(Aku mau kamu nemuin mas Han, aku pengen kamu yang ngurus Juni) ucap Septiani tiba tiba

Desi yang tengah merokoķ tersedak karena ucapan Septiani barusan, ia tak mengerti arah pembicaraan itu.
Lagipula, sejak Septiani datang dan menumpang ditempatnya, Septiani tak pernah menjelaskan mengapa ia datang ke kediaman Desi walau Desi menanyakan alasan itu ratusan kali.

Tiba tiba saja Septiani datang dengan barang barangnya dan bilang ingin menumpang untuk sementara,
ia juga melarang Desi memberi tahu suaminya jika Septiani ada disana.

Awalnya Desi berpikir mungkin ini masalah sepele, ia kira Septi tengah bertengkar dengan Handoko dan memutuskan kabur tanpa membawa anak mereka, namun ternyata semuanya salah.
“Hah?! Maksudmu opo? Aku ngurusi anakmu mbak? Yaopo bapak ibune iseh podo urip kok ngakon aku momong"

(Hah?! Maksudmu apa? Aku ngurusin anakmu mbak? Apa apaan bapak ibunya masih pada hidup ko nyuruh aku ngasuh) ujar Desi seakan tak percaya mendengar kata kata Septiani barusan
“Aku tenan dek, aku temen temen nyuwun tulung awakmu. Kesok tulung awakmu nemoni mas Han, ngomong wae aku sing ngakon awakmu"

(Aku serius dek, aku bener bener minta tolong ke kamu. Besok tolong kamu temuin mas Han, bilang aja aku yang nyuruh kamu) pungkas Septiani
Ia menyuruh Desi untuk menemui dan bekerja pada suaminya. Menggantikan posisinya dalam mengasuh dan menjaga Juni, mengisi kekosongan sosok ibu pada hari hari Juni.

Desi masih kebingungan, ia merasa berat harus meninggalkan pekerjaannya, apalagi untuk menjadi pengasuh.
Ia tak bisa membayangkan bagaimana jadinya saat ia tak dapat lagi bersenang senang seperti sekarang yang selalu ia lakukan tiap harinya.

Beberapa hari setelahnya Septiani pamit, ia memeluk Desi erat

“Awakmu tulung iling iling panyuwunku winginane ya dek, aku pamit sek”
(Kamu tolong ingat ingat permintaanku kemarin ya dek, aku pamit dulu) ucap Septiani saat itu

“Sampean ki lho jane are ngendi si, wong kok rak gelem nderok"

(Kamu tuh sebenernya mau kemana sih, jadi orang kok gamau tinggal diem) gerutu Desi padanya
Septiani tertawa kecil, senyum merekah di bibirnya

“Hahaha, lungo adoh"

(Hahaha, pergi jauh) tutup Septiani yang segera beranjak

--

Entah tinggal dimana lagikah Septiani setelah meninggalkan tempat kerjanya dahulu, tak ada yang tau.
Oh tidak, salah, sebenarnya ada satu orang, hanya satu, dan satu satunya yang mengetahui persis keberadaan Septiani.

Julianti, ya, perempuan itu menggunakan telik sandi untuk mengawasi setiap gerak langkah madunya

Ia menyuruh orang orang itu mengikuti kemanapun Septiani pergi
tanpa sepengetahuan suami mereka.

Setiap pagi ia mengirimkan foto foto hitam putih, foto dimana memperlihatkan Juni yang telah berada di kediaman nyonya besar Handoko. Ya memang saat itu Juni telah tinggal disana setelah dijemput oleh Handoko dan Desi.
Julianti mengancam akan membunuh Juni yang kini ada dalam genggaman Juliyanti jika Septiani tak kunjung mati juga. Harus ada yang mati, salah satu antara mereka berdua.

--

Beberapa bulan berlalu, dan Juliyanti mengirimkan peringatan terakhirnya.
Mau tak mau Septiani harus menuruti permintaan gila istri tua suaminya tersebut.

Saat tengah malam tiba, ia kembali untuk mengenang lagi banyak kisah yang terjadi di rumah itu, rasa bersalah, pilu menghantam hatinya. Tak ada lagi yang bisa ia perbuat untuk menebus dosa dosanya
Ia melangkah perlahan, memasuki halaman rumahnya yang terlihat begitu tak terawat, sangat berbeda dengan saat pertama kali ia meninggalkan rumah itu. Ia tersenyum, namun air mata mengalir di pipinya.
Langkahnya semakin dalam, kini ia tepat berada di depan pintu utama. Pintu kayu besar tempat dimana ayahnya dulu sering menghukumnya dengan menjepitkan jari jari mungilnya saat masih anak anak, lagi lagi perih merambati dirinya mengingat hal hal itu.
Ia memasukkan kunci rumah yang digenggamnya, membuka pintu itu.

Gelap, begitu gelap, namun ia enggan menghidupkan penerangan. Ia berjalan memasuki rumah tuanya.

Bau debu, entah berapa bulan rumah ini dibiarkan kosong.

*Sreekk.. sreek...*
Suara gesekan pada lantai membuatnya terkejut, ia menoleh ke asal suara. Disana nampak sosok seorang anak yang selalu menghantuinya kemanapun langkak kaki itu pergi membawanya.

Sosok yang membuatnya merasa pedih dan pilu diselimuti perasaan tak beraturan.
Ia tak pernah menyangka setelah mendapatkan hidup sempurna seperti yang ia inginkan, setelah ia menjadi manusia normal seperti wanita lainnya, setelah banyak kebahagiaan yang ia peroleh sepuluh tahun ke belakang ini, mengapa baru kini mereka menampakkan diri pada Septiani...
Ia meringkuk, terjatuh dan menangis sejadi jadinya. Ia memang harus menerima hukuman dari Tuhan, agaknya ia pun harus mati sesuai apa yang diinginkan Julianti

Ia mencari tali apapun yang ada di rumahnya. Ia mengikat tali itu di palangan atas dan bersiap untuk menemui ajalnya.
Di bawah kursi yang tengah dipijaknya untuk mencapai tali tambang yang menggantung diatasnya, ia melihat seorang anak dan sebelas sosok bayi dalam pandangannya. Pastilah mereka anak anak yang dahulu dibunuh, digugurkan dan dikubur oleh ia dan ayahnya.
Ya, ada beberapa anak yang baru digugurkan saat menginjak enam atau tujuh bulan.

Note : Penulis gak tau gimana cara gugurinnya dan cuma dikasih penjelasan kaya gitu, katanya Bagyo punya semacam ketertarikan tertentu / Fetish sama wanita hamil.
Septiani meregang nyawa dengan tangannya sendiri, warga menemukan jasadnya tergantung saat pagi menjelang. Awalnya beberapa orang merasa curiga karena pintu rumah Septiani terlihat terbuka lebar, dikira maling tapi ternyata pemilik rumah yang bunuh diri.
Arwah Septiani tak diterima di kehidupan selanjutnya, ia terus bergentayangan di rumahnya. Sebenarnya pada saat dimana Juni melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa ibunya mati terjerat tali diatas sana, Septiani tengah berada persis di depan Juni.
Bertatap muka dengan putrinya itu dan bersedih karena putrinya tak mampu melihatnya, justru melihat kondisi yang tak sepatutnya bocah itu lihat.

*Praaaang..*

Suara kaleng jatuh menghantam lantai kayu dibawahnya. Dada Juni begitu sesak hingga ia kesulitan bernapas.
Matanya merah sembab karena entah sejak bila ia menangis. Itulah segala kilas balik yang dilihat Juni dari masalalu ibunya. Gambaran gambaran kejadian yang sempurna dan runtut membuat perutnya serasa diaduk aduk dan dibuat ingin segera muntah.
Ia begitu tak kuasa melihat semua hal itu, bukan kehendaknya, ia tak pernah ingin mengetahui masalalu ibunya, kerna ia sadar ia tak akan sanggup menerima semua kenyataan itu.

Tubuhnya terduduk lemas di tepian ranjang, didepannya berdiri sesosok makhluk mengerikan yang sejatinya
adalah arwah ibunya.

*Hwokkk.....*

Juni memuntahkan nasi goreng yang baru saja ia lahap tadi pagi. Sungguh menjijikkan jika harus melihat semua hal itu, melihat seorang lelaki yang harusnya ia sebut dengan panggilan kakek itu menggauli anak perempuannya sendiri.
Melihat pekerjaan yang dilakukan ibunya dahulu, apapun alasannya tetap saja Juni tak membenarkan hal itu.

Melihat anak anak hubungan terlarang yang dibunuh dan dikubur dibawah ranjangnya itu, serta bagaimana cara ibunya membunuh Rusin sangat sangat
membuatnya menyesali kemampuannya menengok masa lalu.

Pandangan Juni memburam, denyutan dikepalanya semakin terasa berat dan menyiksa, tubuhnya pun ambruk pingsan dalam kondisi syok.
--- SENDU PILU END ---

Mohon maaf cerita mengenai ibu Juni hanya sesingkat ini, jujur ceritanya sangat sangat rumit bahkan sampai saya kebingungan untuk menceritakan ulang kisah ini.

Banyak poin yang saya kurangi, banyak kisah yang menurut saya tak perlu dituliskan
tak lain tak bukan karena menimbang ketentraman pembaca.

Tapi ada sedikit cerita lanjutan dari Juni dan Septi, berminat? Kalau iya, saya lanjut sekarang
Lanjut tambahan cerita Juni dan Septi? Ceritanya udah siap tinggal up tapi terserah kalian minat baca atau ngga
Yaudah lanjut aja ya

⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️
“Juni.. Juni..!” samar samar terdengar suara memanggil manggil namanya

Ya, Septi sahabatnya tengah berusaha membangunkan Juni, menyadarkannya karena sedari tadi Merry menangis disamping tubuh Juni, nampaknya bocah itu ketakutan melihat tantenya tak bergerak.
*Puk puk...*

Septi menepuk nepuk pipi Juni, berharap temannya segera sadar
Perlahan akhirnya Juni membuka mata, matanya pedih menatap silau lampu yang ada diatasnya.

“Wakmu ki loh yo, gak mesakke ponakanmu ta kepiye, kenopo gak ngabari aku, wes gak nganggep aku konco maneh?”
(Kamu tuh ya, gak kasian apa sama keponakanmu, kenapa gak ngabarin aku, udah gak nganggep aku temenmu lagi?)
Protes Septi dengan keras, tangisnya pun serta merta mengiringi omelannya pada Juni. Ia segera kembali ke rumah sahabatnya itu setelah di kampus ia tak sengaja bertemu...
...dengan Pak Adi, dan pria itupun menceritakan segalanya pada Septi.

“Aku.. aku..” ucap Juni terbata bata tak tau harus berkata apa

Septi segera memeluk sahabatnya erat, ia mendekap tubuh itu dan mereka berdua larut dalam tangisnya.
Merry yang melihat mereka berdua pun ikut menangis dan semakin keras lagi.

Ternyata Juni pingsan cukup lama, jika ia tak sadar sewaktu masih pagi, ia baru sadar saat menjelang maghrib. Dan selama itu Merry ada disampingnya,
menangis hingga kelelahan dan tertidur lalu bangun dan menangis lagi karena merasa kehausan serta kelaparan. Sekeras apapun ia menangis, tantenya tak bergerak sedikitpun hingga Merry ketakutan dan menangis sembari memeluk tubuh Juni.

--
Mereka makan malam bersama setelah Juni memandikan Merry, menyuapinya dan memberinya sebotol susu. Balita itu tertidur dengan pulas.

“Sepurane aku ya Jun"
(Maafin aku ya Jun) celetuk Septi tiba tiba

Juni menatap kawannya itu, ia tersenyum, entah apa yang ada di benaknya.
Mereka berdua berbaring di tikar, mengapit Merry yang pulas di kedua sisi

“Awakmu kenopo mau sore? Loro ta? Kepiye awak dewe prikso?”

(Kamu kenapa tadi sore? Sakit ya? Gimana kalo kita periksa ke dokter?) cecar Septi pada Juni dengan pertanyaan
Juni menggelengkan kepalanya, ia terdiam sejenak menatap langit langit rumah.

Ia mengangkat jarinya, menunjuk salah satu sudut diatas sana.

“Neng kono kae ono sing senengane tongkang tongkang, nok cedak lawang kae ono sing senengane ngamping jendelo,
nok pojok kono ono pemakon sing ditandur mbahku"

(Diatas sana ada yang selalu mengayunkan kakinya, di dekat pintu ada yang senang mengintip orang dari jendela, di pojok sana ada jimat yang ditanam kakekku) oceh Juni sambil menunjuk setiap tempat yang disebutkannya tadi
Septi tersentak heran, ia mengerutkan dahinya seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Loh..” ucap Septi

Juni tersenyum kembali, ia akhirnya menjelaskan bakat baru yang ia dapat

“Heem, aku iso ngeti opo sing iso mbuk ingeti biyen"
(Iya, aku bisa lihat apa yang pernah bisa kamu lihat dulu) jelas Juni pada Septi

Septi masih bertanya tanya, bagaimana bisa?

“Pak Adi sing gawe, lek awakmu takon kenopo gak ditutup maneh, iku karepku dewe"

(Pak Adi yang melakukan ini, kalo kamu tanya kenapa...
...gak ditutup kembali, itu kemauanku sendiri) lanjut Juni
Septi masih terdiam, mencerna kata kata Juni

“Lek mau, aku saiki yo isok ndeleng masalalu, koyo wakmu"

(Trus soal tadi, aku sekarang juga bisa ngelihat masalalu, kaya kamu)
Tak berhenti disitu saja, Juni juga menceritakan bahwa banyak yang sekarang bisa ia lakukan, bahkan ia bisa merogo sukmo.

Septi masih tercengang kagum pada Juni, ia saja yang memiliki bakat itu dari lahir tak cukup hebat setara dengan Juni.
Perbedaan mereka adalah Juni dapat melihat keseluruhan gambaran masa lalu itu sepenuhnya dan secara runtut, tak seperti Septi yang hanya melihat potongan acak.

“Berarti awakmu wes gak jereh maneh no Jun siki?
(Berarti sekarang kamu uda ga penakut lagi dong Jun?) tanya Septi
Juni menggeleng dan tersenyum, entah berapa bulan sejak mata batinnya terbuka, ia tak lagi menjadi penakut seperti dulu.

“Ibukmu?” tanya Septi kembali

“Heem, aku ya wes ngerti wujude koyo piye, deweke serek ngeruhi aku"
(Iya, aku juga sudah tau wujudnya seperti apa, dia bahkan sering menunjukkan diri padaku) jawab Juni perlahan

Sesungguhnya ia jadi membenci ibunya, karena dendam dendam ibunya itu entah berapa banyak nyawa yang harus melayang.
Namun, ia tetap memendam sendiri masalalu keluarganya dan rumah ini. Ia tak ingin ada orang luar yang mengetahui kisah pilu mereka.

Yang namanya aib, memang sudah seharusnya ditutup rapat tanpa diungkit kembali.

“Jun, aku njaluk tulung buka maneh”
(Jun, aku minta tolong kamu buka lagi) ucap Septi tiba tiba

Juni tak tahu apa yang Septi maksudkan

“Mata batinku" lanjut Septi

--
Dua tahun berlalu begitu saja, Septi masih tinggal bersama Juni dan Merry. Dan ya, Merry kini telah lancar bicara, ia juga begitu cerdas dan tanggap. Anak kecil itu tak pernah kekurangan kasih sayang, Juni merawatnya penuh kasih seperti orangtuanya sendiri.
Ia juga akrab dengan para tetangga, terutama keluarga Mei dan keluarga Febri. Saat Juni pergi kuliah, ia dititipkan dirumah Febri, tentu saja ibu Febri lah yang mengasuhnya.

“Yik.. yik.. Yayik.. Merry mau nemu iki"

(Nek.. nek.. nenek.. Merry tadi nemuin ini)
ucap Merry sembari menyodorkan sepotong kain pada ibu Febri

Ya, Merry memanggil perempuan itu dengan sebutan Yayik (Nenek) dan ayah Febri Akung (Kakek)

Kain jarik batik jawa yang begitu lusuh, bahkan hampir sudah tidak berupa lagi. Serat serat kainnya telah rapuh,
entah dari mana ia mendapat kain itu.

“Merry cepet men toh mlayune"
(Merry cepet banget sih larinya) ucap Juni menyusul keponakannya itu

"Jun..” panggil ibu Febri pada Juni
Ia meraih kain itu dari tangan Merry dan menunjukkannya pada Juni
Juni menatap kain itu kemudian matanya beradu tatap dengan ibu Febri. Namun ia hanya membiarkannya, tak membahas sedikit pun tentang kain apakah itu. Lagi pula, ia juga sudah menemukannya lebih dulu dua tahun lalu, dan kini entah bagaimana bisa Merry menemukannya.
Juni menemukan kain itu di dalam kotak besi tua yang berisi barang barang aneh peninggalan ibunya yang ada diatas lemari kamarnya, dua tahun lalu. Salah satunya adalah kain itu, Juni tau bahwa kain itu adalah sobekan jarik yang menjadi kemben terakhir Rusin pemberian Mbok Yem,
sesuai apa yang ia lihat dari kilasan masalalu.

Bahkan jarum yang dulunya digunakan oleh ibunya untuk membunuh sang kakek masih tersimpan rapi di kotak itu.

“Juni pamit riyen nggih Budhe, Juni titip Merry nggih"
(Juni pamit dulu ya Budhe, Juni titip Merry ya) ucap Juni sembari meraih punggung tangan ibu Febri dan menciumnya

Ia sejenak menatap Merry dan mengelus rambutnya, kemudian segera berlalu. Ia kembali ke rumah dan memanggil Septi yang masih siap siap di dalam.
“Sep gek ndang age"

(Sep ayo cepetan) seru Juni yang kini membuka sebelah pintu mobil, terlihat ia hendak memanasi mesinnya sejenak sebelum berangkat

“Sialan!”

Teriak Septi dari dalam rumah, ia dikejutkan oleh sesuatu, Juni yang mendengar itu buru buru masuk kedalam rumah
...untuk menghampiri kawannya, ternyata Septi dikagetkan oleh makhluk makhluk jahil yang menghuni rumah Juni.

Meski telah bertahun tahun mereka tinggal disini, tak dapat dipungkiri bahwa mereka berdua juga tetap saja dapat terkejut jika tiba tiba muncul sosok sosok itu...
...yang sengaja ingin mengganggu Juni dan Septi.

Bahkan tak hanya mereka berdua, warga sekitar yang melewati rumah Juni pun biasanya diganggu dengan penampakan penampakan mengerikan.

Saat ditinggali, bukannya makin aman justru malah semakin ramai.
Ya benar, ramai oleh kehadiran makhluk makhluk tak kasat mata seperti mereka. Untunglah Juni dan Septi terbiasa dapat melihat mereka selayaknya melihat manusia pada umumnya.

“Hahaha ngopo koe"
(Hahaha kenapa kamu) tanya Juni yang tertawa melihat Septi
“Jan kirek, aku arep goleti tas nok jero kono malah ra sengojo ndumuk ndase. Sengojo yak e ate gawe wong kaget"

(Anjing emang, aku tadi mau nyari tasku didalem sana malah ga sengaja megang kepalanya. Sengaja pasti dia mau ngagetin aku) gerutu Septi
Ia merasa sangat kesal sembari menunjuk lemari di kamar Juni
Juni mendekati lemari itu dan menyingkap baju baju yang tergantung didalamnya, tak ada apa apa disana, tampaknya makhluk yang tadi mengageti Septi telah pergi
Ia menutup lemari itu dan berbalik, menengok kearah Jendela, betapa kagetnya dia melihat sebuah kepala seorang lelaki ada disana, melihat mereka sambil menjulurkan lidahnya.

“Gusti.. kaget aku" sentak Juni yang dikejutkan olehnya
Kini gantian Septi yang tertawa terbahak bahak setelah sebelumnya ialah yang ditertawai oleh Juni

“Aku kadang bingung iki omah opo kuburan kok singit men akeh sing moro mampir koyo koyo omahe dewe”

(Aku kadang bingung, sebenarnya ini rumah atau kuburan,
kok angker banget banyak yang datang, mampir seakan akan ini rumahnya sendiri) ucap Septi

Juni tetap menatap kearah jendela itu, namun pria yang tadi ada disana sudah pergi. Ia adalah anjing berkepala manusia yang seringkali mampir ke rumah Juni,
entah apa tujuan makhluk makhluk itu datang kesini. Akankah mereka mempunyai kerabat disini?

“Wes ayo mangkat"
(Udah ayo berangkat) ajak Septi pada Juni

Juni mengangguk dan segera mengikuti langkah kaki Septi, ia mengunci pintu saat hendak berangkat.

--
Dirumah Febri, Merry tengah bermain bersama teman teman sebayanya. Memang disana banyak anak anak tetangga yang biasa berkumpul bersama ibunya masing masing. Ibu ibu itu bercengkerama, memotong sayur sayuran atau apapun yang dapat mereka kerjakan sembari mengobrol dan...
... mengawasi anak anak mereka. Semuanya balita yang tentunya belum sekolah.

“Eh, kae kok gak dijak mrene?”
(Eh, itu kok gak diajak kesini?) tanya Merry tetiba pada teman temannya yang tengah bermain pelepah pisang bersamanya,
pelepah pohon pisang sebelah rumah yang tadi sore ditebas oleh Febri karena buahnya hampir matang

Mereka membuat pelepah bekas itu menjadi tunggangan, seperti bermain kuda kudaan. Merry menunjuk ke arah depan, jauh diluar pagar
“Opo se Mer, endi endi?"
(Apa sih Mer, mana mana?) tanya salah satu teman Merry

Semua anak anak itu fokus menatap kearah yang ditunjuk oleh jari jari mungil Merry

“Merry bliduk, Merry bliduk.. ayo di iliki ayo”
(Merry boong, Merry boong ayo digelitikin ayok..) seru temannya
Merry berlarian tertawa riang karena dikejar oleh teman temannya yang hendak menggelitikinya karena menganggap Merry mengerjai mereka.

Budhe (ibu Febri) hanya menatap cemas dari kejauhan, ia sedari tadi memang tak melepas pandangannya dari Merry.
“Dhe..” panggil seorang tetangganya yang sedang duduk bersama budhe di teras

Karena tak kunjung mendapat jawaban, orang itu pun mengulangi ucapannya

“Dhe..” panggilnya kembali yang kini membuat budhe terkejut

“Njenengan kenopo dhe?”
(Anda kenapa?) tanya tetangganya itu
Budhe hanya menggeleng dan tersenyum menutupi apa yang ada di benaknya

Sebenarnya saat itu, Merry untuk pertama kalinya secara sadar melihat sosok Rusin. Rusin yang berdiri diluar pagar rumah Febri sembari menatap Merry dan kawan kawannya yang kelihatan begitu asyik bermain.
Merry yang tersadar ada seseorang disana pun memberi tahu temannya, namun tak ada seorangpun dari mereka yang dapat melihat keberadaan Rusin.

“Assalamualaikum..”

ucap Febri yang baru saja pulang kerja, ia pulang pagi karena semalam adalah bagiannya mendapat shift malam
Ya, dia bekerja sebagai di salah satu perusahaan milik keluarga Handoko, ayah Juni

Dia masuk ke perusahaan itu bahkan sejak masih bersekolah dulu, dia memang diminta almarhum ayah Juni untuk bekerja disana, lumayan juga bekerja tapi tetap dapat bersekolah.
Pak Handoko memberikannya jabatan penting, bukan tanpa sebab, ia sangat mengenal sahabat putrinya itu. Febri adalah pria yang tidak neko neko, tidak banyak bicara, tekun, ulet dan pastinya seorang yang amanah.
Sebenarnya sejak lama Handoko telah sepakat menjodohkan Febri dengan Juni bersama orangtua Febri tanpa sepengetahuan kedua anak mereka itu, lebih tepatnya sejak kepergian ibu Juni. Ia tak ingin anak perempuannya jatuh ke tangan pria yang salah.
“Waalaikumsalam, ndang cepet adus trus turu nak"

(Waalaikumsalam, cepetan mandi trus tidur nak) jawab ibu Febri yang kasihan melihat anaknya kelelahan

Ia mengangguk dan hendak melangkah masuk kedalam rumah, namun Merry tiba tiba menghampirinya
“Om Feb.. gendong" ucap Merry sembari memeluk kaki jenjang Febri

Anak itu memang sangat lengket dengan Febri, ia sering diajak jalan jalan olehnya, mengelilingi lingkungan mereka, bersepeda bahkan hingga ke sawah tempat Akung nya biasa bekerja.
Febri yang tidak tega segera menggendong Merry, ia mengajaknya kedalam rumah untuk makan bersama. Mereka makan sepiring berdua, Febri menyuapi gadis kecil itu yang tengah menonton tv bersamanya.
“Om Feb Merry punya temen baru" ucap anak itu tanpa menoleh, matanya terfokus pada acara kesayangannya

“Temen sinten dek?”
(Temen siapa dek?) Febri menanggapinya santai, mungkin memang ada anak baru di lingkungan mereka.
Maklum Febri tak terlalu memperhatikan orang orang disana.

Merry tetap diam mengunyah nasi yang memenuhi rongga mulutnya, ia sama sekali tak merespon pertanyaan Febri.

Setelah makan Febri merebahkan diri di kasur lantai tempatnya dan Merry duduk sejak tadi,
ia hendak beristirahat dan melepas kantuknya.

Tak terasa jam dinding telah menunjukkan pukul setengah sebelas, ini adalah saat saat dimana Merry mulai mengantuk. Ia berjalan ke teras, mencari Yayik nya, namun tak ada seorangpun disana.
Nampaknya kawan kawannya tadi telah pulang kerumahnya masing masing.

“Yiiik.. Yiiik.. Yayik" panggil Merry pada ibu Febri yang tak dapat ditemukannya

Ia berinisiatif untuk mencari Yayik nya di dapur, barangkali orang tua itu tengah memasak
“Yiiik..” panggilnya kembali saat sampai di pintu dapur namun tak ada jawaban

Ia melangkah lebih jauh, mencari ke segala area disana. Merry berhenti di dekat meja makan, ia mematung

Bukan Yayik yang ia temui, namun seseorang yang tadi dilihatnya di balik pagar rumah Febri.
“Kue sopo nu?”
(Kamu siapa sih?)

Tanya Merry pada anak didepannya itu, Rusin yang tengah duduk bersimpuh dibawah meja makan.
Anak itu tersenyum pada Merry, ia senang Merry bisa melihatnya dan mau mengajaknya bicara
“Sin.. Sin..” jawabnya terbata

“Koe eroh Yayikku gak?”
(Kamu tau nenekku gak?)

Merry bertanya pada teman barunya itu, ia merengek dan hampir menangis, sedih karena tak menemukan Yayiknya

Rusin menunjuk salah satu kamar dengan tangannya yang normal,
Merry yang mengerti pun segera berlari mencari Yayik.

Ia membuka gorden kamar yang Rusin maksud, benar saja Yayiknya tengah tertidur pulas pula diatas ranjang dalam kamar sana.

*Sreeet.. sreeettt*

Bunyi gesekan pada lantai
Merry dibuat menoleh oleh suara itu, ia menatap Rusin yang menyusulnya, mengesot dari dapur hingga ke depan kamar.

*Sssstt...*

Merry mendesis dan menempelkan jari telunjuk pada bibirnya sendiri, ia mengisyaratkan agar Rusin tetap diam,
Merry tak mau mengganggu tidur Yayik nya.

Merry melihat dot susunya yang berada diatas meja sebelah tempat tidur Yayik, akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya.

Gadis pintar itu segera meraih botol dot itu dan membawanya kembali ke depan tv,
ia tidur di sebelah Febri sambil terus menyedot isi botol itu dan tertidur sendirinya.

Mereka tidur hingga sore, dimana waktunya bagi Juni untuk pulang.

Sepulang dari kampusnya, Juni langsung saja menuju ke rumah Febri, ia hendak membawa pulang Merry.
Ia merasa tak enak jika menitipkan Merry seharian penuh disana, takutnya merepotkan budhe.

“Assalamualaikum...” ucap Juni sambil memasuki rumah Febri

“Waalaikumsalam.. melbu nduk, budhe nok pawon"
(Waalaikumsalam, masuk nak, budhe di dapur)
sahut seseorang dari belakang, nampaknya itu adalah suara pakdhe

Juni segera melangkah ke dapur, melewati Merry dan Febri tanpa menengok. Pakdhe terlihat tengah menyantap makanannya di meja makan dapur, dan budhe tengah memasak makan malam untuk mereka.
“Lha kok dewean? Septi ngendi? Jak mrene pisan budhe masak akeh"

(Lha kok sendirian? Septi dimana? Ajak kesini sekalian, budhe masak banyak) ujar ibu Febri pada Juni

Gadis itu segera menuruti perintah budhenya, ia hendak kembali ke rumah untuk memanggil Septi
namun saat ia melewati Merry dan Febri kembali, ia mendapati keberadaan Rusin disana.

Mata Juni membelalak, kenapa hantu sodaranya itu ada disini. Ia beradu tatap dengan Rusin, Rusin yang sesekali melirik Merry.
Juni pun berlalu, ia kembali untuk memanggil Septi. Dan saat telah sampai dirumah Febri, Septi pun menatap heran Rusin yang terus saja menunggui Merry. Perasaan Juni dan Septi mulai tak enak sejak saat itu

Sepulang dari rumah Febri...

“Mer... “ panggil Juni
“Iya tante.. Merry disini” sahut gadis kecil yang begitu cantik itu, ia memilih untuk selalu memotong sebahu rambutnya, persis seperti mendiang sang ibu

Ia melompat keluar dari dalam lemari yang tadinya tertutup, Juni tak menyangka Merry berada disitu
“Kamu ngapain disitu ih?” tanya Juni heran, ia mengelus pipi Merry

“Merry lagi main, Merry dapet temen baru te" jelasnya begitu ceria

Juni kembali melihat kearah lemari itu, ada Rusin bersembunyi disela sela baju yang tergantung disana.

--
Beberapa minggu setelahnya, orang orang di sekitar Merry mulai merasakan keanehan pada bocah itu, ia semakin sering bermain hanya berdua dengan Rusin. Tampaknya ia begitu bergantung pada bocah laki laki itu.
Ia tak pernah mau lagi bermain bersama teman teman lamanya, daripada dititipkan di rumah Febri, ia lebih senang mengurung diri di kamar Juni, dan pada saat dipaksa untuk keluar ia hanya akan mengamuk, menangis, menendang, bahkan mencakar Juni.
Tak jarang Yayiknya sampai mengajak para teman Merry untuk datang ke rumah Juni dan mengajak Merry main, namun anak itu menolak mentah mentah, ia semakin mengurung diri. Merry saat itu bukanlah Merry yang biasa mereka lihat.
Para tetangga mulai mencium keanehan, karena kerap kali saat Merry berada sendirian dirumah ia seperti berlarian kesana kemari layaknya tengah bermain dengan seseorang, padahal nyatanya tak ada siapa siapa disana. Mungkinkah ada sesuatu yang dilihatnya namun tak dapat warga lihat
Semua orang mulai khawatir, bagaimana jika sampai hal buruk menimpa Merry mereka. Entah apa tujuan Rusin sampai sampai membuat Merry seperti itu.
Hari demi hari Juni lalui dengan penuh kesabaran, bagaimana tidak, semakin aneh tingkah Merry semakin banyak pula...
... makhluk makhluk aneh yang mengunjungi rumahnya. Namun anehnya, selama mendapat pengaruh dari Rusin, Merry hanya tunduk dan menurut pada perkataan Septi, anak itu tak pernah sekalipun kasar pada Septi

--

“Gekndang netes gekndang netes, teles teles hawane anyes"
(Cepatlah menetas cepatlah menetas, basah basah hawanya dingin)

Samar samar terdengar suara seseorang tengah bergumam setengah bernyanyi, entah berapa kali ukara ukara itu terdengar sejak tadi

Juni pun terbangun karenanya, ia mengucek ucek matanya yang kesusahan untun terbuka
Lampu kamar masih mati seperti terakhir kali ia beranjak tidur, tapi suara siapa ini?

Matanya perlahan menangkap bayangan dari benda benda di sekitarnya, Septi juga tampaknya mulai terganggu karena nyanyian itu.

“Mer...” panggil Juni
Mata Juni melihat Merry yang tengah duduk di Paha Septi dan meraba raba perut Septi

Posisi tidur mereka bertiga adalah Merry ditengah diapit kedua orang itu, dan saat ini Merry tak ada di tempatnya, ia menindih badan Septi.
Septi terkejut mendapati Merry yang ada diatasnya, terlebih lagi Rusin yang memengangi tangan Merry, mencoba menghentikan gerakannya agar tak terus menerus mengelusi perut Septi.

Juni sigap menarik badan Merry, namun aneh, badan anak itu terasa sangat berat seukuran orang dewasa
Juni menyadari hal itu, pasti saat ini ada yang merasuki Merry.

Dia yang sudah banyak berpengalaman itu menjambak rambut Merry hingga terjatuh dikasur, mencoba menyadarkan Merry yang meronta ronta.

Entah apa lagi yang dilakukan Juni sehingga membuat Merry melemas dan pingsan.
Mungkin makhluk yang merasukinya telah pergi...

Septi begitu syok, dia menoleh dan masih ada Rusin di sebelahnya. Anak itu diam menatap Septi lalu berganti menatap Juni.

“Ono opo?”
(Ada apa?) Tanya Juni pada Rusin
Rusin tak menjawab namun menunjuk perut Septi, ia menunjukknya begitu lama hingga Septi dan Juni kebingungan. Akhirnya, mereka berencana untuk mencari Pak Adi dan meminta bantuannya, kedua gadis muda itu ternyata kesulitan menerka nerka kejadian kejadian itu.
Saat tiba di kampus, Juni dan Septi segera menuju ke kantin tempat Pak Adi biasanya bekerja, telah lama mereka tak menjumpai pria itu.

“Assalamualaikum Pak Adi" salam Juni

“Waalaikumsalam, loh Septi Juni tumben kesini" sambut Pak Adi pada mereka
Namun tak lama dari senyum yang mengambang di wajahnya tampak guratan wajah curiga, ia mempersilahkan kedua wanita itu untuk segera duduk

“Pasti ada apa apa lagi ya? Itu kenapa ada yang ngikutin kalian?” tanya Pak Adi tiba tiba
Juni dan Septi kebingungan, apa yang dimaksud Pak Adi? Siapa yang mengikuti mereka? Keduanya celingukan mencari orang yang menguntitnya

“Itu disana" beritahu Pak Adi menunjuk sesuatu dibalik tembok, makhluk itu mengintip mereka dengan sebelah mata tanpa menunjukkan tubuhnya
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with Cimolll

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!