Part 2 :
Mari berdoa bersama, semoga yang telah tiada tetap merasa tenang di alam sana tanpa harus merasa terusik saat ceritanya disebar luaskan dan dibaca berulang.
ARE YOU READY?
PUKUL 20.00 Cimol UPDATE
Septiani, anak remaja yang tengah berada di tempat pipil jagung bersama teman teman sebayanya tiba tiba diperintahkan ayahnya untuk segera pulang.
(Sep, cepetan pulang!) teriak Subagyo, ayah Septi dari luar
Septi menoleh dan segera menuruti ucapan ayahnya, ia meremas jari jarinya.
Ia berjalan beriringan dengan sang ayah, sepanjang perjalanan beberapa warga menyapa mereka segan,
Sesampainya dirumah,
*Brakkk...*
Ayahnya membanting pintu, menguncinya rapat rapat dan meraih lengan Septiani, menggeretnya paksa menuju dapur.
Ia sama sekali tak memprotes, dia bungkam karena berontakpun dirasanya akan sia sia
Pak Bagyo mendorong anaknya hingga tersungkur menghantam lantai kayu dapur, Septiani terlihat menahan tangisnya dan mengelap sikunya yang lecet barusan.
“Urusi kui!”
(Urusin itu!)
Septiani menoleh, membalikkan badannya dan betapa terkejutnya dia saat itu. Mulutnya hendak menjerit ketakutan, ia begitu tak menyangka apa yang sedang dilihatnya saat ini.
*Aaaa.. hmpp*
“Mingkemo cangkemu. Lek gak pengen tak pateni koyo bukmu"
Lelaki tua itu menyeringai kejam lalu terkekeh kekeh menertawakan putrinya yang mulai menangis ketakutan tak bersuara dalam genggamannya.
Bagyo melonggarkan cengkeramannya, ia mulai melepaskan putrinya.
“I..Ibuk tangi buk, ibuk ojo tinggalke Septi buk"
(I..Ibuk bangun buk, ibuj jangan tinggalin Septi buk) ucap anak itu penuh kepedihan
Tak ada raut kesedihan sedikitpun di wajah Bagyo, ia justru tersenyum lega karena telah puas membunuh istrinya. Ia berdiri menatap putrinya yang menangis gelagapan itu.
(Ingat ingat ucapanku, ibumu jatuh di kamar mandi, kepalanya terbentur bak air sampai bocor dan mati!
Pria itu melangkah pergi keluar rumah, mencari keberadaan waega sekitar dan,
“Tulong tulong”
Teriak Bagyo dengan lantang
Warga yang mendengar teriakannya segera berlari tergopoh gopoh menghampirinya
(Ada apa Pak Kamituwa?) tanya salah seorang warga
Bagyo mulai menangis, ia bahkan menjatuhkan dirinya seperti orang yang sangat syok.
“Bojoku ninggal bojoku..”
(Istriku meninggal istriku..) ucapnya sambil terus mengeluarkan airmata palsunya
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun"
Para warga begitu kaget mendengar ucapan Bagyo, mereka berhamburan lari memasuki rumah Kamituwanya itu
Begitu pula dengan bapak bapak yang ada diluar,
--
Septiani sadar, ia terbangun karena mendengar orang orang yang tengah mengajikan jasad ibunya. Ia ada di dalam kamarnya bersama beberapa warga yang menjaganya.
Para wanita di sekelilingnya pun ikut menangis dan memeluknya iba
Dia berusaha keluar kamar, berjalan walau kakinya begitu lemas dan tubuhnya ambruk berkali kali, seakan ia tak memiliki daya dan kuasa lagi.
Lagi lagi tangisnya pecah,
Di sudut ruang itu, ayahnya justru sibuk memasang muka kalut, lelaki bernama Bagyo itu justru sibuk menceritakan kejadian siang tadi pada warga.
Ia mengatakan bahwa istrinya baru saja pamit untuk mandi dan menyuruhnya...
Bagyo menurut dan segera menjemput Septiani, namun ketika ia dan anaknya kembali ke rumah justru mendapati kondisi istrinya yang telah terkapar dengan banyak darah menggenangi lantai.
--
Hari hari terus berlalu, Septiani mau tak mau masih harus menjalani kehidupannya seperti biasa, walaupun tanpa kehadiran sang ibu.
Rindunya pada sosok ibu semakin menggebu, ia selalu ingat dahulu ibunya yang kerap menjadi sasaran empuk ayahnya,
Ya, memang pantas disebut lelaki gila. Entah apa yang memicunya hingga menjadi seperti itu, apa yang ia tunjukkan pada orang orang justru berbanding terbalik dengan sosok jati dirinya yang sesungguhnya.
Sebenarnya bisa saja Septiani dan ibunya kabur, atau bahkan menuntut cerai, namun Bagyo selalu mengancam akan dapat menemukan mereka berdua dan membunuhnya tanpa ampun sedikitpun.
Siang itu, sepulang sekolah Septiani segera masuk kedalam kamarnya. Ia merebahkan dirinya sejenak sebelum mengganti pakaiannya lalu mengerjakan seluruh pekerjaan rumah.
Hening, tiada suara seorangpun dirumah ini. Agaknya ayah Septiani belum pulang dari balai desa.
“Sep!!! Gaweno kopi!”
(Sep!!! Buatin kopi!)
Teriak Bagyo yang baru saja pulang, ia melangkah masuk sambil terus meneriaki putrinya.
Dia berjalan menuju kamar anaknya, membuka pintu dan menemukan Septiani yang masih tertidur pulas.
Septi yang terbangun dikejutkan dengan keberadaan ayahnya yang tengah menindihnya, ia memberontak dan menangis sejadi jadinya hingga ayahnya memukulinya saat itu juga.
Beberapa jam setelahnya, Septi masih saja meringkuk menangis merasakan sakit yang tak terkira di sekujur tubuhnya. Ayahnya kini telah pergi, entah kemana setelah apa yang ia lakukan tadi.
Empat hari berlalu, guru sekolah Septi mendatangi rumah mereka untuk memastikan keberadaan Septi dan menanyakan alasan Septi tak pernah masuk sekolah lagi.
Septi dikurung ayahnya di dalam kamar, Ayahnya menyambut guru itu dengan begitu santun.
Pihak sekolah mengerti dan memberi kelonggaran pada Septi,
Bagyo merasa lega, merasa lebih leluasa
--
Septi mulai masuk sekolah seperti biasa setelah semua lebam di tubuhnya hilang, namun kini ia menjadi lebih dijauhi orang orang karena selalu muram.
Bagyo bertugas membungkam gadis itu,
Gadis itu meronta dan mencoba melepaskan diri, namun sia sia, ia tetap saja tak bisa menghindarinya.
Perutnya seakan tengah dihujam ratusan ujung pisau, sakit, nyeri, perih dan keram, semuanya menjadi satu.
Septi tak dapat bergerak lagi, punggungnya seperti dipatah dan diremukkan.
Masih belum berakhir, ia dipaksa meminum ramuan aneh. Saat ia menolak sudah pasti ia justru dicekoki hingga terbatuk batuk karena tersedak.
--
Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat ayahnya mencongkel...
Hal seperti ini tak hanya sekali dua kali terjadi, bertahun tahun Septiani dijadikan pelampiasan nafsu bejat ayahnya, ia tak bisa berkutik dan hanya bisa menerima nasib buruknya itu.
Belasan kali ia hamil, dan belasan kali pula ia harus merasakan sakit membara...
Saking seringnya, ia sampai tak lagi menganggap hal itu mengerikan, ia bersedia melakukan itu semua seperti sebuah rutinitas.
Hingga untuk yang kedua belas kalinya ia mengandung anak hasil hubungannya dengan ayah kandungnya itu,
Septiani enggan melanjutkan apa yang selama ini dilakukan ayahnya, ia sangat tau bahwa mereka dapat hidup bergelimang harta walaupun ayahnya hanyalah...
Ya, benar, tak ada seorangpun di lingkungan mereka yang menyadari hal itu. Tak ada yang tau bahwa kamituwa mereka, Subagyo, melakukan pesugihan. Ia menyembah makhluk aneh yang mendiami pohon asem tua...
Badan Bagyo mengering, Septiani sama sekali tak merasa iba pada ayahnya itu selayaknya ayahnya memperlakukannya dulu.
“Nduk tulung.. bapak lesu”
(Nak tolong.. bapak lapar) rengek tengkorak hidup itu
“Enak tara? Enak kan? Kepiye rasane disikso alon alon?
(Enak ga? Enak kan? Gimana rasanya disiksa pelan pelan? Ini belom ada apa apanya dibandingkan apa yang selama ini aku alami) ujar Septiani dengan senyum kecut di bibirnya.
--
Septiani kembali ke kamar, tangannya menggenggam sesuatu. Ia berjalan lalu duduk tepat di sebelah ayahnya yang tengah merintih
(Gimana caranya biar Mbok Yem kesini tanpa harus aku kesana) tanya Septiani dengan nada rendah pada ayahnya
Mbok Yem adalah dukun beranak yang selalu diperintahkan ayah Septiani untuk menggugurkan kandungan putrinya.
“Oooh ra gelem ngomong"
(Oh gamau bicara) ulang Septiani
Wanita itu segera membuka genggamannya, ia menyayatkan silet di tangannya itu pada betis ayahnya.
Mata Bagyo berkaca kaca, ia tak kuasa saat Septi menyayat kulitnya perlahan lahan seakan menikmati situasi itu.
Bagyo menangis memohon ampun dan segera menyebutkan...
Septiani segera mencatatnya dan bergegas ke ruang tamu, menuju salah satu meja kecil dengan vas bunga dan telepon kabel diatasnya. Ia meraih gagang telepon itu, lalu menekan beberapa angka pada tombol tombolnya.
“Saya mau bicara dengan Mbok Yem, dukun beranak dekat sana" jelas Septiani langsung
“Iya mbak tunggu sebentar saya panggilkan orangnya di rumahnya"
Telepon dimatikan, sekitar lima belas menit kemudian...
Dering telepon rumah Septiani
Wanita itu segera beranjak dan mengangkatnya
“Halo ini saya Mbok Yem” terdengar suara wanita tua berbicara di telepon
“Aku anake Bagyo, cepeto mrene gausah kakehan takon. Lek nganti ora manut mrene titenono wae"
Mbok Yem ketakutan, gadis yang begitu pendiam dan menyimpan banyak penderitaan itu tiba tiba dengan lantang mengancamnya. Apa yang tengah terjadi?
Janda tua itu mau tak mau terpaksa menuruti perkataan Septiani untuk datang kesana. Sudah hampir setahun ini dia tak pernah kerumah itu lagi, namun tiba tiba Septiani lah yang menyuruhnya kesana
*Tok tok tok*
Septiani segera membukanya, Mbok Yem telah telah berada disana, ia celingukan menoleh kanan kiri karena khawatir ada yang melihatnya dan curiga.
“Melbu” perintah Septiani
Wanita itu segera masuk dan menunggu Septiani yang sedang...
“Pateni cah iki"
(Bunuh anak ini!) perintah Septiani pada Mbok Yem
“Raiso nduk, gelemo awakmu kudu ngenteni bocah iki lair"
Tak ada pilihan lain, Septiani harus membuat pilihan bijak agar selamat. Ia pun memasukkan tangan kirinya ke dalam kantung kresek di meja,
Uang, segebok uang yang barusan diambil Septiani dari lemari Bagyo, ia memberikannya pada Mbok Yem.
“Urusi aku nganti wayahe lebar, separo iki bayaranmu, separone maneh blanjakno aku sabendino"
Mbok Yem gemetar, ia tak pernah melihat langsung apalagi menyentuh uang sebanyak itu. Mungkin sekitar sepuluh juta, pada tahun tahun itu,
Mulai hari itu ia resmi bekerja disana, mengurus rumah dan memasakkan Septiani setiap harinya hingga beberapa bulan kedepan.
“Tulung...” ucap pria itu lirih
“LAPO KOE NENG KENE?!”
(Ngapain kamu disini?!)
Bentak Septiani dari ambang pintu kamar, ia melotot dengan amarah pada Mbok Yem yang lancang.
“Jarno wong iko mati kelaran, sopo sing ngakon koe nyampuri urusanku!”
(Biarkan orang itu mati menderita, memang siapa yang menyuruhmu ikut campur urusanku ha?!) gertak Septiani kembali
--
“Aaa loru mbok..”
(Aaa sakit Mbok, sakit...) keluhnya pada Mbok Yem yang menggelar selimut dibawah Septiani
“Terus nduk terus...” sahut Mbok Yem yang membenggangkan kaki Septiani, membukanya lebar lebar agar jalan lahirnya terbuka sempurna.
Berhasil, bayi itu berhasil Septiani lahirkan, seketika Septiani tak sadarkan diri karena kelelahan mengejan.
Ya, tubuhnya cacat, tangannya tak sempurna, begitupun dengan kakinya.
Bayi itu tak menangis, ia bahkan sangat nyenyak berada dalam pelukan Mbok Yem, tak seperti bayi biasanya yang akan langsung menangis kencang setelah dilahirkan.
*Crokkk.. crok..*
Suara hantaman cangkul membelah tanah dibawahnya
Jika biasanya orang jawa mengubur sedulur tuo di dekat ambang pintu utama, Mbok Yem untuk kali pertama dan terakhir ini memilih menguburnya di pintu pawon.
Setelahnya, dukun beranak tua itu kembali ke kamar Septiani, ia hendak membangunkan wanita itu dan menyuruhnya menyusui bayinya.
“Gusti pengeran... ojo nduk ojo ngono!...”
(Ya Tuhan... jangan gitu nak jangan gitu!...) teriak Mbok Yem panik
“Ngopo sampean tulungi?! Gowo mrene tak patenane! Anak setan kui pateni wae!”
(Kenapa kamu tolongin?! Bawa sini biar kubunuh! Bunuh saja anak setan itu!)
“Tak openane nduk tak openane, wes cukup semono wae dosaku dosamu dosane bapakmu, jarne bocah iki urip, bocah iki gak ngerti opo opo"
Mbok Yem memohon, meminta setulus hati pada Septiani, seburuk apapun tindakannya,
Itu bayi, bayi nyata, bayi yang baru saja lahir ke dunia ini, bukan seonggok daging janin dalam perut wanita.
Mbok Yem memberinya nama Rusin, tak ada yang spesial dari sepatah nama itu, ia hanya tak memiliki ide lain.
--
Beberapa hari berlalu, Septiani telah pulih, tak perlu waktu lama baginya untuk pulih karena ia telah sering melalui sakit sakit seperti ini. Begitu pula dengan Bagyo, Septiani merasa harus segera melakukan sesuatu,
Ia mendapat bisikan ide entah dari mana, seperti sesuatu yang aneh dan begitu tiba tiba,
Septiani melangkah masuk ke kamar ayahnya, disana pria tua itu tengah tertidur pulas dan tak merasakan kedatangan Septiani yang hendak menghadiahkan ajal padanya.
Wanita itu mencengkeram kedua kaki ayahnya, hingga mata Bagyo membelalak kaget.
“Ampun.. Ampun..”
Rengek Bagyo lirih, namun Septiani sama sekali tidak memperdulikannya.
Septiani menggeletakkan lelaki tua itu di lantai, ia beranjak menuju kamarnya dan kembali dengan sebuah benda tajam di tangannya.
Jarum kasur, ya, jarum yang biasa digunakan untuk menjahit kasur,
“Gak pegel ta pak? Sampean gak kesel tak koyo mengkeneake? Saiki wes wayahe sampean penak, gak ngrasakke loro maneh"
(Gak capek pak? Kamu ga capek aku giniin terus? Sekarang udah saatnya kamu istirahat, gak ngerasain sakit lagi)
Ia membalikkan badan ayahnya dan langsung menusuk cekungan diatas tengkuk ayahnya menggunakan jarum besar itu
*Hooookkk...*
Keluar suara kesakitan dari bibir ayahnya, tak lupa darah pun mulai mengalir dari sana.
Tubuh Bagyo mengejang, bergetar hebat seperti seseorang yang tengah diserang stroke. Perlahan demi perlahan,
--
Kakinya melangkah perlahan keluar rumah, jalannya gontai dibuat buat
“Tulung.. tulung pak buk..” teriaknya diluar rumah, ia menangis menjerit meminta pertolongan warga
Orang orang di sekitar rumahnya begitu terkejut dan menghampirinya,
“Tulung pak bu!... bapake kula.. bapake kula mpun mboten wonten"
(Tolong pak bu!.. bapak saya.. bapak saya udah gaada) jelas Septiani terbata bata
Mereka yang terkejut akan hal itu pun segera diajak masuk oleh Septiani, ia menjelaskan bahwa ayahnya telah lama sakit dan tak bisa bergerak kemanapun selain diatas ranjang, sejak memutuskan lepas tugas dari pekerjaannya.
“Duh Gusti..”
“Mbak Septi, iki kepiye bapake kok bisa kaya mengkene...”
“Kula nggih mboten ngertos pak.. tepak badhe kula tiliki malah sampun ngeten"
(Saya juga gatau pak... tepat waktu mau saya periksa malah sudah kaya gini) jelas Septiani
--
Hidupnya bebas, bagai burung dalam sangkar yang baru saja dapat melepaskan diri, memulai keseharian barunya.
--
Wanita itu mengendarai motor peninggalan ayahnya, menyusuri setiap daerah dikotanya, mencari pekerjaan yang mungkin bisa ia lakoni.
Laju roda kendaraan itu membawanya ke sudut kota, tempat dimana orang2 mencari hiburan dunia.
Wanita itu tetap tenang, ia sama sekali tak merasa takut. Hidup sepahit itu pun telah pernah ia jalani, semua hal itu menempanya menjadi orang tak kenal rasa takut.
Septiani tak menjawab, hanya menatap diam
“Heh koe, mrene ewangi"
(Hei kamu, sini bantuin!) panggil gadis itu pada beberapa orang pria...
“Gapapa kok mbak saya gaada niat jahat, mending sekarang saya bantuin abis itu mbaknya pulang" jelas gadis itu
Pria yang tadi di panggilnya pun mendekati kedua wanita itu, memeriksa kendaraan Septiani.
“Bensine ntek, sek enteni"
(Bensinnya habis, tunggu bentar) ujarnya pada gadis yang dikenalnya
Bukannya beranjak pulang, Septiani justru mengikuti langkah gadis yang menolongnya itu.
Semakin masuk kedalam, ia menemukan pintu paling ujung yang menjadi...
Namun tampaknya Septiani salah, dibaliknya terdapat area luas terpisah, struktur bangunannya terlihat lebih mirip dengan kontrakan kontrakan minimalis yang pernah ia jumpai, ada banyak wanita disetiap sudutnya.
“Saya ngikutin kamu, ini tempat apa?” tanya Septiani dengan polosnya
Gadis itu menarik tangan Septiani menyingkir, menjauh ke sudut yang tak terlalu ramai
“Kenapa mbak?” gadis itu membuka pembicaraan lagi
Terhenyak, gadis itu menatap heran pada wanita di depannya
“Kamu yakin? Hahaha” tanya gadis itu sambil menertawakan Septiani
Ia hanya mengangguk, tak peduli pekerjaan apa yang akan ia terima.
Ia mengajak Septiani memasuki rumah yang paling besar, disana ia menyuruhnya untuk mandi dan berganti pakaian.
Ia tak selamanya tinggal disana,
Septiani malah makin menjadi pribadi yang baik dan normal dimata para tetangganya. Tak seperti saat ayahnya masih hidup dulu, ia begitu anti sosial.
--
Di gelapnya fajar, kebetulan saat ia sedang ada dirumah datanglah Mbok Yem, ia menggendong seorang anak yang ia tutupi seluruh badannya dengan kain jarik tua miliknya. Ia hendak mengembalikan anak itu kepada ibunya,
“Nduk, Mbok wes ra kiat maneh, titip anakmu yo, tulung diopeni sing apik, mesakke bocah iki orak salah opo opo. Jenenge Rusin"
Septiani terlihat menahan amarahnya
(Maksudmu apa! Kamu sendiri yang dulu ngelarang aku bunuh anak ini, tapi sekarang kamu malah nyuruh aku ngurus dia? Gak sudi aku!) bentak Septiani
Keesokan harinya, saat Septiani hendak kembali ke tempatnya bekerja, ia dikejutkan dengan keberadaan anaknya
Septiani segera menggendong balita itu masuk ke rumah sebelum ada tetangganya yang melihat.
Kini, mau tak mau Septiani harus merawat anak itu. Ia tak dapat lagi pulang seminggu sekali karena harus memberi makan aib keluarganya itu, juga harus lebih rapat menyembunyikan kehadiran anak itu dirumahnya,
Dia tak pernah sekalipun memandikan Rusin, ia hanya mengguyuri tubuh putranya itu dengan bergayung gayung air tanpa menggosoknya dengan sabun, dan membiarkannya tak mengenakan baju, tak peduli anak itu akan kedinginan atau kepanasan.
--
Di suatu malam dari ratusan malam yang ia jalani di tempat kerjanya, ia kedatangan tamu istimewa.
Septiani menjadi wanita simpanannya, di bulan ketiga, dia baru menyadari kehamilannya.
Di sisi lain, Septiani harus memikirkan cara untuk menghapus masa lalu kelamnya, ia tak mau jika sampai ayah dari anak yang sedang dikandungnya itu mengetahui borok borok perjalanan hidup Septiani.
Dia berjalan menghampiri Rusin yang tengah duduk di dalam lemari, lemari tempat Septiani biasa mengurungnya.
Badan Rusin menggeliat geliat dibawah sana, dari matanya terlihat jelas air mata mengalir tanpa henti.
Dia kembali dan segera mencongkel geladak geladak kayu dibawah ranjang
*Klatakkk..*
Septiani terlebih dahulu memutilasi tubuh balita itu, ia menggenggam erat dan mengangkat gagang cangkulnya tinggi tinggi.
Ayunan mata pisau cangkul itu mendarat tepat di leher Rusin hingga kepalanya menggelinding, bergulung gulung ke sudut ruangan.
Daster, wajah dan badan Septiani dipenuhi oleh muncratan darah segar putranya
*Crokkk..*
Septiani menggali lubang dan memasukkan seluruh bagian tubuh Rusin, menutupnya kembali dan memaku papannya dari atas.
Ia menatap kaca, melihat dirinya sendiri yang berlumuran darah sambil mengelus perutnya.
--
--
Sedangkan saat itu Septiani tengah melarikan diri, bersembunyi menghindari rasa takut dan bersalah yang menghampirinya. Baru baru, sosok arwah seorang anak yang telah dibunuhnya dahulu sering muncul,
Arwah anak anaknya yang merasa tak mendapatkan keadilan akhirnya mulai menyerang pertahanan hati Septiani...
Begitupun dengan rasa bersalahnya pada Handoko suaminya dan Juni putrinya, ia merasa hina, merasa kotor, ia adalah manusia berlumur dosa yang tak dapat diampuni begitu saja.
--
Saat hilang dulu, ia sebenarnya pergi menemui sahabatnya,
Ia hendak menitipkan Juni pada Desi, ia sangat mempercayai Desi. Ia yakin seburuk apapun sahabatnya itu, sehina apapun pekerjaan yang digelutinya, gadis itu akan menjaga putrinya dengan baik.
“Dek aku arep nyuwun tulung karo awakmu"
(Dek aku mau minta tolomg ke kamu) ucap Septiani membuka pembicaraan
Desi menoleh, ia serius mendengarkan kata kata Septiani
(Aku mau kamu nemuin mas Han, aku pengen kamu yang ngurus Juni) ucap Septiani tiba tiba
Desi yang tengah merokoķ tersedak karena ucapan Septiani barusan, ia tak mengerti arah pembicaraan itu.
Tiba tiba saja Septiani datang dengan barang barangnya dan bilang ingin menumpang untuk sementara,
Awalnya Desi berpikir mungkin ini masalah sepele, ia kira Septi tengah bertengkar dengan Handoko dan memutuskan kabur tanpa membawa anak mereka, namun ternyata semuanya salah.
(Hah?! Maksudmu apa? Aku ngurusin anakmu mbak? Apa apaan bapak ibunya masih pada hidup ko nyuruh aku ngasuh) ujar Desi seakan tak percaya mendengar kata kata Septiani barusan
(Aku serius dek, aku bener bener minta tolong ke kamu. Besok tolong kamu temuin mas Han, bilang aja aku yang nyuruh kamu) pungkas Septiani
Desi masih kebingungan, ia merasa berat harus meninggalkan pekerjaannya, apalagi untuk menjadi pengasuh.
Beberapa hari setelahnya Septiani pamit, ia memeluk Desi erat
“Awakmu tulung iling iling panyuwunku winginane ya dek, aku pamit sek”
“Sampean ki lho jane are ngendi si, wong kok rak gelem nderok"
(Kamu tuh sebenernya mau kemana sih, jadi orang kok gamau tinggal diem) gerutu Desi padanya
“Hahaha, lungo adoh"
(Hahaha, pergi jauh) tutup Septiani yang segera beranjak
--
Entah tinggal dimana lagikah Septiani setelah meninggalkan tempat kerjanya dahulu, tak ada yang tau.
Julianti, ya, perempuan itu menggunakan telik sandi untuk mengawasi setiap gerak langkah madunya
Ia menyuruh orang orang itu mengikuti kemanapun Septiani pergi
Setiap pagi ia mengirimkan foto foto hitam putih, foto dimana memperlihatkan Juni yang telah berada di kediaman nyonya besar Handoko. Ya memang saat itu Juni telah tinggal disana setelah dijemput oleh Handoko dan Desi.
--
Beberapa bulan berlalu, dan Juliyanti mengirimkan peringatan terakhirnya.
Saat tengah malam tiba, ia kembali untuk mengenang lagi banyak kisah yang terjadi di rumah itu, rasa bersalah, pilu menghantam hatinya. Tak ada lagi yang bisa ia perbuat untuk menebus dosa dosanya
Gelap, begitu gelap, namun ia enggan menghidupkan penerangan. Ia berjalan memasuki rumah tuanya.
Bau debu, entah berapa bulan rumah ini dibiarkan kosong.
*Sreekk.. sreek...*
Sosok yang membuatnya merasa pedih dan pilu diselimuti perasaan tak beraturan.
Ia mencari tali apapun yang ada di rumahnya. Ia mengikat tali itu di palangan atas dan bersiap untuk menemui ajalnya.
Note : Penulis gak tau gimana cara gugurinnya dan cuma dikasih penjelasan kaya gitu, katanya Bagyo punya semacam ketertarikan tertentu / Fetish sama wanita hamil.
*Praaaang..*
Suara kaleng jatuh menghantam lantai kayu dibawahnya. Dada Juni begitu sesak hingga ia kesulitan bernapas.
Tubuhnya terduduk lemas di tepian ranjang, didepannya berdiri sesosok makhluk mengerikan yang sejatinya
*Hwokkk.....*
Juni memuntahkan nasi goreng yang baru saja ia lahap tadi pagi. Sungguh menjijikkan jika harus melihat semua hal itu, melihat seorang lelaki yang harusnya ia sebut dengan panggilan kakek itu menggauli anak perempuannya sendiri.
Melihat anak anak hubungan terlarang yang dibunuh dan dikubur dibawah ranjangnya itu, serta bagaimana cara ibunya membunuh Rusin sangat sangat
Pandangan Juni memburam, denyutan dikepalanya semakin terasa berat dan menyiksa, tubuhnya pun ambruk pingsan dalam kondisi syok.
Mohon maaf cerita mengenai ibu Juni hanya sesingkat ini, jujur ceritanya sangat sangat rumit bahkan sampai saya kebingungan untuk menceritakan ulang kisah ini.
Banyak poin yang saya kurangi, banyak kisah yang menurut saya tak perlu dituliskan
Tapi ada sedikit cerita lanjutan dari Juni dan Septi, berminat? Kalau iya, saya lanjut sekarang
⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️
Ya, Septi sahabatnya tengah berusaha membangunkan Juni, menyadarkannya karena sedari tadi Merry menangis disamping tubuh Juni, nampaknya bocah itu ketakutan melihat tantenya tak bergerak.
Septi menepuk nepuk pipi Juni, berharap temannya segera sadar
Perlahan akhirnya Juni membuka mata, matanya pedih menatap silau lampu yang ada diatasnya.
“Wakmu ki loh yo, gak mesakke ponakanmu ta kepiye, kenopo gak ngabari aku, wes gak nganggep aku konco maneh?”
Protes Septi dengan keras, tangisnya pun serta merta mengiringi omelannya pada Juni. Ia segera kembali ke rumah sahabatnya itu setelah di kampus ia tak sengaja bertemu...
“Aku.. aku..” ucap Juni terbata bata tak tau harus berkata apa
Septi segera memeluk sahabatnya erat, ia mendekap tubuh itu dan mereka berdua larut dalam tangisnya.
Ternyata Juni pingsan cukup lama, jika ia tak sadar sewaktu masih pagi, ia baru sadar saat menjelang maghrib. Dan selama itu Merry ada disampingnya,
--
“Sepurane aku ya Jun"
(Maafin aku ya Jun) celetuk Septi tiba tiba
Juni menatap kawannya itu, ia tersenyum, entah apa yang ada di benaknya.
“Awakmu kenopo mau sore? Loro ta? Kepiye awak dewe prikso?”
(Kamu kenapa tadi sore? Sakit ya? Gimana kalo kita periksa ke dokter?) cecar Septi pada Juni dengan pertanyaan
Ia mengangkat jarinya, menunjuk salah satu sudut diatas sana.
“Neng kono kae ono sing senengane tongkang tongkang, nok cedak lawang kae ono sing senengane ngamping jendelo,
(Diatas sana ada yang selalu mengayunkan kakinya, di dekat pintu ada yang senang mengintip orang dari jendela, di pojok sana ada jimat yang ditanam kakekku) oceh Juni sambil menunjuk setiap tempat yang disebutkannya tadi
“Loh..” ucap Septi
Juni tersenyum kembali, ia akhirnya menjelaskan bakat baru yang ia dapat
“Heem, aku iso ngeti opo sing iso mbuk ingeti biyen"
Septi masih bertanya tanya, bagaimana bisa?
“Pak Adi sing gawe, lek awakmu takon kenopo gak ditutup maneh, iku karepku dewe"
(Pak Adi yang melakukan ini, kalo kamu tanya kenapa...
Septi masih terdiam, mencerna kata kata Juni
“Lek mau, aku saiki yo isok ndeleng masalalu, koyo wakmu"
(Trus soal tadi, aku sekarang juga bisa ngelihat masalalu, kaya kamu)
Septi masih tercengang kagum pada Juni, ia saja yang memiliki bakat itu dari lahir tak cukup hebat setara dengan Juni.
“Berarti awakmu wes gak jereh maneh no Jun siki?
(Berarti sekarang kamu uda ga penakut lagi dong Jun?) tanya Septi
“Ibukmu?” tanya Septi kembali
“Heem, aku ya wes ngerti wujude koyo piye, deweke serek ngeruhi aku"
Sesungguhnya ia jadi membenci ibunya, karena dendam dendam ibunya itu entah berapa banyak nyawa yang harus melayang.
Yang namanya aib, memang sudah seharusnya ditutup rapat tanpa diungkit kembali.
“Jun, aku njaluk tulung buka maneh”
Juni tak tahu apa yang Septi maksudkan
“Mata batinku" lanjut Septi
--
“Yik.. yik.. Yayik.. Merry mau nemu iki"
(Nek.. nek.. nenek.. Merry tadi nemuin ini)
Ya, Merry memanggil perempuan itu dengan sebutan Yayik (Nenek) dan ayah Febri Akung (Kakek)
Kain jarik batik jawa yang begitu lusuh, bahkan hampir sudah tidak berupa lagi. Serat serat kainnya telah rapuh,
“Merry cepet men toh mlayune"
(Merry cepet banget sih larinya) ucap Juni menyusul keponakannya itu
"Jun..” panggil ibu Febri pada Juni
Ia meraih kain itu dari tangan Merry dan menunjukkannya pada Juni
Bahkan jarum yang dulunya digunakan oleh ibunya untuk membunuh sang kakek masih tersimpan rapi di kotak itu.
“Juni pamit riyen nggih Budhe, Juni titip Merry nggih"
Ia sejenak menatap Merry dan mengelus rambutnya, kemudian segera berlalu. Ia kembali ke rumah dan memanggil Septi yang masih siap siap di dalam.
(Sep ayo cepetan) seru Juni yang kini membuka sebelah pintu mobil, terlihat ia hendak memanasi mesinnya sejenak sebelum berangkat
“Sialan!”
Teriak Septi dari dalam rumah, ia dikejutkan oleh sesuatu, Juni yang mendengar itu buru buru masuk kedalam rumah
Meski telah bertahun tahun mereka tinggal disini, tak dapat dipungkiri bahwa mereka berdua juga tetap saja dapat terkejut jika tiba tiba muncul sosok sosok itu...
Bahkan tak hanya mereka berdua, warga sekitar yang melewati rumah Juni pun biasanya diganggu dengan penampakan penampakan mengerikan.
Saat ditinggali, bukannya makin aman justru malah semakin ramai.
“Hahaha ngopo koe"
(Hahaha kenapa kamu) tanya Juni yang tertawa melihat Septi
(Anjing emang, aku tadi mau nyari tasku didalem sana malah ga sengaja megang kepalanya. Sengaja pasti dia mau ngagetin aku) gerutu Septi
Juni mendekati lemari itu dan menyingkap baju baju yang tergantung didalamnya, tak ada apa apa disana, tampaknya makhluk yang tadi mengageti Septi telah pergi
“Gusti.. kaget aku" sentak Juni yang dikejutkan olehnya
“Aku kadang bingung iki omah opo kuburan kok singit men akeh sing moro mampir koyo koyo omahe dewe”
(Aku kadang bingung, sebenarnya ini rumah atau kuburan,
Juni tetap menatap kearah jendela itu, namun pria yang tadi ada disana sudah pergi. Ia adalah anjing berkepala manusia yang seringkali mampir ke rumah Juni,
“Wes ayo mangkat"
(Udah ayo berangkat) ajak Septi pada Juni
Juni mengangguk dan segera mengikuti langkah kaki Septi, ia mengunci pintu saat hendak berangkat.
--
“Eh, kae kok gak dijak mrene?”
(Eh, itu kok gak diajak kesini?) tanya Merry tetiba pada teman temannya yang tengah bermain pelepah pisang bersamanya,
Mereka membuat pelepah bekas itu menjadi tunggangan, seperti bermain kuda kudaan. Merry menunjuk ke arah depan, jauh diluar pagar
(Apa sih Mer, mana mana?) tanya salah satu teman Merry
Semua anak anak itu fokus menatap kearah yang ditunjuk oleh jari jari mungil Merry
“Merry bliduk, Merry bliduk.. ayo di iliki ayo”
(Merry boong, Merry boong ayo digelitikin ayok..) seru temannya
Budhe (ibu Febri) hanya menatap cemas dari kejauhan, ia sedari tadi memang tak melepas pandangannya dari Merry.
Karena tak kunjung mendapat jawaban, orang itu pun mengulangi ucapannya
“Dhe..” panggilnya kembali yang kini membuat budhe terkejut
“Njenengan kenopo dhe?”
(Anda kenapa?) tanya tetangganya itu
Sebenarnya saat itu, Merry untuk pertama kalinya secara sadar melihat sosok Rusin. Rusin yang berdiri diluar pagar rumah Febri sembari menatap Merry dan kawan kawannya yang kelihatan begitu asyik bermain.
“Assalamualaikum..”
ucap Febri yang baru saja pulang kerja, ia pulang pagi karena semalam adalah bagiannya mendapat shift malam
Dia masuk ke perusahaan itu bahkan sejak masih bersekolah dulu, dia memang diminta almarhum ayah Juni untuk bekerja disana, lumayan juga bekerja tapi tetap dapat bersekolah.
(Waalaikumsalam, cepetan mandi trus tidur nak) jawab ibu Febri yang kasihan melihat anaknya kelelahan
Ia mengangguk dan hendak melangkah masuk kedalam rumah, namun Merry tiba tiba menghampirinya
Anak itu memang sangat lengket dengan Febri, ia sering diajak jalan jalan olehnya, mengelilingi lingkungan mereka, bersepeda bahkan hingga ke sawah tempat Akung nya biasa bekerja.
“Temen sinten dek?”
(Temen siapa dek?) Febri menanggapinya santai, mungkin memang ada anak baru di lingkungan mereka.
Merry tetap diam mengunyah nasi yang memenuhi rongga mulutnya, ia sama sekali tak merespon pertanyaan Febri.
Setelah makan Febri merebahkan diri di kasur lantai tempatnya dan Merry duduk sejak tadi,
Tak terasa jam dinding telah menunjukkan pukul setengah sebelas, ini adalah saat saat dimana Merry mulai mengantuk. Ia berjalan ke teras, mencari Yayik nya, namun tak ada seorangpun disana.
“Yiiik.. Yiiik.. Yayik" panggil Merry pada ibu Febri yang tak dapat ditemukannya
Ia berinisiatif untuk mencari Yayik nya di dapur, barangkali orang tua itu tengah memasak
Ia melangkah lebih jauh, mencari ke segala area disana. Merry berhenti di dekat meja makan, ia mematung
Bukan Yayik yang ia temui, namun seseorang yang tadi dilihatnya di balik pagar rumah Febri.
(Kamu siapa sih?)
Tanya Merry pada anak didepannya itu, Rusin yang tengah duduk bersimpuh dibawah meja makan.
Anak itu tersenyum pada Merry, ia senang Merry bisa melihatnya dan mau mengajaknya bicara
“Koe eroh Yayikku gak?”
(Kamu tau nenekku gak?)
Merry bertanya pada teman barunya itu, ia merengek dan hampir menangis, sedih karena tak menemukan Yayiknya
Rusin menunjuk salah satu kamar dengan tangannya yang normal,
Ia membuka gorden kamar yang Rusin maksud, benar saja Yayiknya tengah tertidur pulas pula diatas ranjang dalam kamar sana.
*Sreeet.. sreeettt*
Bunyi gesekan pada lantai
*Sssstt...*
Merry mendesis dan menempelkan jari telunjuk pada bibirnya sendiri, ia mengisyaratkan agar Rusin tetap diam,
Merry melihat dot susunya yang berada diatas meja sebelah tempat tidur Yayik, akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya.
Gadis pintar itu segera meraih botol dot itu dan membawanya kembali ke depan tv,
Mereka tidur hingga sore, dimana waktunya bagi Juni untuk pulang.
Sepulang dari kampusnya, Juni langsung saja menuju ke rumah Febri, ia hendak membawa pulang Merry.
“Assalamualaikum...” ucap Juni sambil memasuki rumah Febri
“Waalaikumsalam.. melbu nduk, budhe nok pawon"
(Waalaikumsalam, masuk nak, budhe di dapur)
Juni segera melangkah ke dapur, melewati Merry dan Febri tanpa menengok. Pakdhe terlihat tengah menyantap makanannya di meja makan dapur, dan budhe tengah memasak makan malam untuk mereka.
(Lha kok sendirian? Septi dimana? Ajak kesini sekalian, budhe masak banyak) ujar ibu Febri pada Juni
Gadis itu segera menuruti perintah budhenya, ia hendak kembali ke rumah untuk memanggil Septi
Mata Juni membelalak, kenapa hantu sodaranya itu ada disini. Ia beradu tatap dengan Rusin, Rusin yang sesekali melirik Merry.
Sepulang dari rumah Febri...
“Mer... “ panggil Juni
Ia melompat keluar dari dalam lemari yang tadinya tertutup, Juni tak menyangka Merry berada disitu
“Merry lagi main, Merry dapet temen baru te" jelasnya begitu ceria
Juni kembali melihat kearah lemari itu, ada Rusin bersembunyi disela sela baju yang tergantung disana.
--
Hari demi hari Juni lalui dengan penuh kesabaran, bagaimana tidak, semakin aneh tingkah Merry semakin banyak pula...
--
“Gekndang netes gekndang netes, teles teles hawane anyes"
Samar samar terdengar suara seseorang tengah bergumam setengah bernyanyi, entah berapa kali ukara ukara itu terdengar sejak tadi
Juni pun terbangun karenanya, ia mengucek ucek matanya yang kesusahan untun terbuka
Matanya perlahan menangkap bayangan dari benda benda di sekitarnya, Septi juga tampaknya mulai terganggu karena nyanyian itu.
“Mer...” panggil Juni
Posisi tidur mereka bertiga adalah Merry ditengah diapit kedua orang itu, dan saat ini Merry tak ada di tempatnya, ia menindih badan Septi.
Juni sigap menarik badan Merry, namun aneh, badan anak itu terasa sangat berat seukuran orang dewasa
Dia yang sudah banyak berpengalaman itu menjambak rambut Merry hingga terjatuh dikasur, mencoba menyadarkan Merry yang meronta ronta.
Entah apa lagi yang dilakukan Juni sehingga membuat Merry melemas dan pingsan.
Septi begitu syok, dia menoleh dan masih ada Rusin di sebelahnya. Anak itu diam menatap Septi lalu berganti menatap Juni.
“Ono opo?”
(Ada apa?) Tanya Juni pada Rusin
“Assalamualaikum Pak Adi" salam Juni
“Waalaikumsalam, loh Septi Juni tumben kesini" sambut Pak Adi pada mereka
“Pasti ada apa apa lagi ya? Itu kenapa ada yang ngikutin kalian?” tanya Pak Adi tiba tiba
“Itu disana" beritahu Pak Adi menunjuk sesuatu dibalik tembok, makhluk itu mengintip mereka dengan sebelah mata tanpa menunjukkan tubuhnya