“Mau dia apa pak?” tanya Juni
“Kenapa kamu gak tanya sendiri saja langsung?” jawab pria itu
“Saya aja baru tau hari ini kalo ada dia pak, saya yakin dia bakal kabur kalo kita dekati" jelas Juni
Pak Adi diam mendengarkan cerita Juni yang panjang lebar, ia mencoba menyambungkan kepingan demi kepingan kemungkinan.
Juni membenarkan semuanya, ia pun bingung karena belum terlalu berpengalaman, ibarat kata ia masih balita.
Mereka pun menyetujui usulan tersebut.
“Saya coba bantu sebisa saya ya, atas izin Allah" celetuk Pak Adi yang duduk dibelakang
Sampailah mereka di tujuan utama, kediaman Juni. Disana ada Yayik yang menjaga Merry, meskipun hanya dari kejauhan karena Merry tak mau didekati siapapun.
--
Mereka semua membahas banyak hal, dari awal menempati rumah ini hingga siang tadi, tak ada yang spesial,
Arwah Septiani masih sering menampakkan diri, walau hanya sesekali, mungkinkah dendam dendamnya telah terbalaskan seluruhnya? Entahlah tak ada yang tau pastinya.
--
Merry dan Septi telah pulas dalam tidurnya, anak itu lelap dalam pelukan Septi. Sedang yang lain tetap terjaga
Raut wajahnya tak bisa berbohong, sekuat apapun ia menahan kesedihan itu seorang diri,
Ia menjelaskan pula bahwa ia telah mendapat kemampuan untuk melihat masalalu seperti Pak Adi sejak dua tahun kebelakang. Namun, ia tak pernah ingin menggunakan hal itu lagi,
Pak Adi hanya menatap Juni seakan sudah mengerti dan tau tanpa harus diberitahu, berbanding terbalik dengan Febri, laki laki itu terkejut mendengar pernyataan Juni
“Gekndang netes gekndang netes, teles teles hawane anyes"
(Cepatlah menetas cepatlah menetas, basah basah hawanya dingin)
Juni yang hendak beranjak menyadarkan Merry pun segera ditahan oleh Pak Adi,
Rusin kini tak lagi berusaha menghentikan tindakan Merry seperti semalam, ia justru memilih duduk berjauhan dan hanya mengamati.
Dari pandangan Juni dan Pak Adi, diluar rumah ini telah berkumpul ratusan makhluk yang entah datang dari mana,
“Pak...” panggil Juni yang mulai khawatir
Pak Adi hanya mengodenya untuk tetap diam.
Septi mulai tak nyaman, ia berkeringat begitu deras, sedikit demi sedikit ia menggerakkan badannya
*Aaaa..*
Gadis itu menjerit kesakitan, ia mengulir ulir seakan telah terjadi sesuatu pada perutnya.
Pak Adi mengajak mereka untuk segera bertindak, Febri membantu Septi, sedang Juni dan dirinya menyadarkan Merry
Makhluk makhluk rendahan yang sedari tadi ada diluar merasa kesal dan semakin emosi saat tak bisa masuk secara paksa, mereka meninggikan suara dan mencakar cakar dinding rumah Juni.
Septi dibangunkan paksa oleh Febri atas perintah Pak Adi,
Ia tersadar namun masih dalam keadaan menahan sakit, perutnya nyeri dan ia terus merintih. Perlahan ia mulai bisa fokus, melihat sekelilingnya. Kedua mata itu melihat sendiri bagaimana rupa makhluk yang menguntitnya.
Tak ada jawaban, jin perempuan itu menunduk malu dan mencoba menyembunyikan wajahnya
“Nak Febri, bawa Septi kesini" perintah pria itu
Febri segera menurutinya dengan membantu Septi berjalan mendekat ke Pak Adi
“Coba kamu lihat..” ucapnya pada Septi
“Lihat dia, kamu kenal?” lanjut Pak Adi
Septi mencoba mengenali makhluk itu, namun ia tidak ingat sama sekali, ia pun menggeleng gelengkan kepalanya.
“Itu kan yang kamu inginkan? Kamu mau itu kan?” tanya Pak Adi pada makhluk aneh itu walau ia tau ia tak akan mendapat jawaban
Isi? Septi bertanya tanya apa maksud ucapan pria itu.
“Dia ingin menitipkan anaknya di perut nak Septi, dia tau kalau
Ia menjelaskan bahwa memang sebagian jin suka menitipkan bayinya di rahim manusia, mereka akan mengambilnya lagi saat bayinya dilahirkan bersama bayi manusia itu sendiri, yang biasa menyadari hal itu adalah dukun beranak dan wanita yang menjadi inang itu
Diluar itu semua, ada kenyataan yang justru begitu penting dan sangat mengejutkan,
Juni yang mendengarnya pun seakan tak percaya, ia syok mendengar kabar kehamilan kawannya, apalagi itu dari mulut orang lain.
“Sep..?” Juni menegang, alisnya menyatu dan matanya menatap tajam Septi
Kalau yang hamil saja tak sadar akan kehamilannya, apalagi orang orang disekitarnya...
Pak Adi mengangguk, Febri pun perlahan melonggarkan pegangan tangannya dari lengan Septi.
Juni menangis, ia menangis histeris, ia merasa begitu gagal.
Juni segera membaringkan keponakannya di bawah, ia merangkak lebih dekat pada Septi.
“Sopo bapake?”
(Siapa ayahnya?) Tanya Juni
Septi terus saja mematung, Juni mulai tak sabar, ia mengguncang guncangkan bahu Septi
“Sep.. Septi jawab Sep" ucap Juni tak kuasa
--
Pak Adi menyuruh makhluk makhluk diluar rumah Juni untuk segera kembali pada kediaman mereka sendiri, tak lupa ia lebih dahulu membebaskan wanita itu.
--
Juni dan Febri lah yang menjelaskan pada orangtua Septi mengenai kebenarannya, Juni menangis memohon maaf, ia begitu merasa bersalah karena tak dapat menjaga Septi denganbaik
Mereka sama sekali tak menyalahkan Juni, bahkan sangat berterimakasih pada Juni karena telah merawat Septi selayaknya saudara sendiri
Akhirnya Septi menikah dan meninggalkan rumah Juni untuk tinggal bersama keluarga barunya.
Makasih ya uda mau baca tulisan tulisan cimol. Sampai jumpa di kisah berikutnya ho ho ho
"Kenapa judulnya Rusin padahal ceritanya ga fokus ke Rusin?"
Hmm karna waktu denger cerita ini cimol langsung iba sama sosok Rusin, dan satu satunya nama yang gak cimol ubah di cerita ini ya cuma nama dia.
"Endingnya gajelas"
Iya tau ko :) karena jujur cimol nulisnya sambil ketakutan, ga lagi ngarang, cerita aslinya lebih rumit dan buat ngeringkas sebegininya tuh susah banget
Gua yang tau cerita aslinya nyesel banget 🤧 gamau lagi denger yang tragis
Anaknya berapa? 1 doang trus gak lama Juni meninggal
Meninggal kenapa? Hmm sedih juga, Bu Juni sakit, pokonya masalah otak, cimol gatau istilah medisnya apaan
Ada yang mau ditanyain lagi?
Itulah segala kebusukan yang selalu kami simpan rapat rapat tanpa ada yang mengetahui banyak fakta dibalik keluarga mendiang istri saya, doakan mereka yang berhak mendapat ketenangan di alamnya.
Terlepas hubungan darah, istri saya tetaplah istri saya.
Sekedar memberi tahu, saya melamarnya di hari kelulusannya, masih terasa jelas hingga sekarang betapa gugupnya pria memalukan ini dihadapan wanita sederhana itu.