My Authors
Read all threads
Umak cerita, dulu pas di SMP ada temannya yang hilang di hutan 3 malam. Kejadian sekitar 1985, di belantara Kalimantan.

🌳🌳SUARA DARI RIMBA🌳🌳

A thread

@bacahorror
#bacahorror
#threadhorror
Tanda-tandain dulu dah tuh ya, ini ceritanya selow. Retweet dan like dulu boleh. Yang sabar ya teman-teman.
Buat yang belum tau, "umak" itu panggilan saya ke ibu ya. Itu panggilan dalam bahasa melayu Kapuas Hulu. Jadi di Kapuas Hulu itu malah banyak yang bersuku melayu. Uniknya, melayu di Kapuas Hulu budayanya adalah hasil asimilasi antara melayu dan dayak.
Melayu bahkan menjadi identitas "islam" di sana. Jadi kalau ada orang dayak yang memeluk islam, orang-orang dulu menyebutnya masuk melayu.
Sudah itu saja trivia pembuka. Kita masuk ke ceritanya saja. Oke?
1985, Usia umak waktu itu sekitar 16 tahun. Tapi karena zaman dulu emang anak-anak kebanyakan telat sekolah jadi Umak waktu itu masih SMP. Nah suatu hari kampung umak dikagetkan oleh 3 anak yang hilang. 3 anak itu adalah teman sekelas umak.
Itu adalah suatu petang di akhir bulan Desember. Sudah musim penghujan. Air sungai deras. Tapi yang lebih penting dari itu, itu sudah memasuki musim Durian. Ada tradisi unik di sana, "ngelayah" alias menunggu durian yang jatuh.
Timur, Sulaiman, dan Zubaidah sudah menunggu waktu itu. Ayah Zubaidah pernah berjanji akan mengajak mereka bertiga ngelayah bila sudah tiba musim durian. Tapi sedihnya, 3 bulan sebelumnya ayah Zubaidah meninggal karena tertimpa kayu yang ia tebang.
Di sana, biasanya pohon-pohon durian ada di tengah hutan. Ada tempat-tempat yang bebas, artinya semuanya boleh ngelayah. Ada juga yang sudah diklaim atau hanya boleh diambil oleh pemiliknya.
Ayah Zubaidah memiliki satu kebun durian di tengah hutan. Sayangnya, tak ada yang ngelayah tahun ini. Ayahnya sudah tiada. Sedangkan Zubaidah yang biasa dipanggil Zubai itu hanya tinggal bersama ibunya.
Maka ketika musim durian tiba, Zubai memohon pada ibunya agar boleh pergi ngelayah bersama Timur dan Sulaiman atau yang biasa dipanggil Eman. Ibunya tentu keberatan mengingat Zubaidah adalah putri satu-satunya.
Eman pernah ikut ayahnya, Pak Wa Bakar, ngelayah durian. Timur sudah sering keluar masuk hutan. Usia Timur juga sudah cukup tua, 19 tahun. Itu jadi senjata Zubai meminta izin pada ibunya.
"Eman, Timur! Jaga Zubai. Awas kalau sampai Zubai kenapa-napa" kata Ibu Zubaidah kepada Eman dan Timur sore itu sebelum mereka berangkat. Sudah dibekalkan makanan dan berbagai keperluan. Juga obat nyamuk untuk menghalau nyamuk di hutan.
Rencananya mereka hanya akan ngelayah semalam. Besok pagi mereka akan pulang membawa durian. Lalu besok sore mereka akan berangkat lagi. Kebun itu memang tidak terlalu jauh. Setengah jam naik perahu dilanjutkan dengan jalan kaki selama setengah jam.
Untuk anak kampung seperti mereka, itu hal yang biasa. Di usia itu saja Umak sudah sering keluar masuk hutan untuk mencari Rotan.

Hanya saja, Ibunya Zubaidah khawatir karena anaknya harus menginap di tengah hutan rimba.
Menjelang pukul 5 mereka bertiga sudah dalam perjalanan menuju "pongkal", gubuk kecil di tengah kebun untuk menunggu durian jatuh. Perahu mereka tambatkan di tepi sungai.
Langit memerah, setelah siang tadi turun hujan lebat. Mereka berjalan dengan posisi Timur di depan memegang parang. Jalanan itu sering dilalui manusia karena banyak kebun di sana. Walau begitu, Sesekali Timur harus menebas semak belukar yang menghalangi jalan.
Di keheningan senja, Zubai dapat mendengar suara hutan. Ada suara burung-burung juga kelelawar yang keluar sarang. Tapi ia mendengar suara lain, suara perempuan sedang berbisik. "Pulang, pulang" bisik suara itu pelan.
Zubai ingin bertanya pada Timur dan Eman. Tapi ia takut hanya akan membuat mereka merasa takut. Mereka sudah dekat.
Zubai berusaha menahan rasa takutnya. Sementara suara itu seperti semakin dekat ke telinganya. Hingga ketika mereka melihat Pongkal di kejauhan, suara itu menghilang.
Lanjut nanti lagi ya. Mau makan rendang dulu.
Jadi "ngelayah durian" itu aturannya sederhana. Mereka akan bergadang di Pongkal, lalu saat mendengar suara durian jatuh mereka akan mencari sumber suara dan mengambil durian yang jatuh.
Durian yang baru jatuh luar biasa enaknya. Apalagi ia tumbuh liar, daging buahnya harum dan nikmat. Zubai tak sabar mencicipi durian pertamanya malam itu. Rasa takut yang sejak tadi menghantuinya perlahan hilang.
Pongkal milik Ayah Mira berada di tengah kebun. Tak ada dinding, hanya atap kayu dan lantai yang berjarak 1 meter dari tanah. Di tengahnya sebuah lentera tergantung. Sengaja ditinggal Ayah Zubai di situ. Zubai menyalakan lentera dengan korek yang ia bawa.
"Kau istirahatlah. Aku dan Eman mau keliling dulu" kata Timur pada Zubai. "Untuk apa?" Tanga Zubai.
"Barangkali ada durian yang jatuh kemarin atau tadi siang. Sekalian mengenali kebun ini" jawab timur.
Eman dan Timur membawa obor masing-masing. Rimba begitu berisik oleh suara hewan-hewan nocturnal yang mulai mencari makan. "Kau ke arah sana, aku ke arah situ" kata Timur mengajak Eman berpencar.
"Kita berpisah?" Tanya Eman.
"Iya, lebih efektif" kata Timur.
"Tapi..."
"Tapi apa? Kamu takut?" Tanya Timur. Eman tak menjawab.
"Bacalah doa sebanyak2nya. Kau sudah khatam alquran kan?" Kata Timur sambil berjalan menjauh.
Eman bergidik ngeri. Ia ingat tadi sore waktu mereka di jalan. Jelas sekali Eman mendengar suara berbisik. "Pulang! Pulang!" Bisik suara itu. Eman tak berani bercerita, ia takut Zubai memandangnya sebagai laki-laki yang pengecut.
Timur juga masih ingat suara itu, suara yang menyuruhnya pulang. Suara yang entah dari mana datangnya. Ia ingin bercerita pada Eman dan Zubai. Tapi ia kasihan kalau mereka jadi ketakutan. Lagipula ia pernah mendengar sesuatu yang lebih seram dari itu.
Timur pernah mendengar suara perempuan menangis di tengah hutan. Di siang hari. Pulangnya, Timur demam panas.
Timur merasakan kakinya tersandung sesuatu. Sakit sekali. Jelas sekali ia tak sengaja menendang buah durian. Ia tak fokus. Diangkatnya durian itu lalu digoyang2nya. Durian itu sedikit retak, aromanya menyergap hidung Timur.
Timur membawa durian itu ke pongkal dengan riang. Durian pertama malam itu.
Zubai masih telentang. Ia kembali memikirkan suara yang menyuruhnya pulang. Ia bergidik ngeri. Di Pongkal ia sendirian. Ia merasa ada sesuatu yang mengintai dari balik kegelapan. Ia sedikit menyesal tidak ikut berjalan di sekitar besama Timur atau Eman.
Zubai terduduk. Ada seseorang datang ke arahnya. Aroma durian menusuk-nusuk hidungnya.
"Wah durian!!!" Seru Zubai.
"Durian pertama kita malam ini" kata Timur tersenyum bangga.
"Ayo kita makan sekarang!" Kata Zubai tidak sabar.
"Eman! Ayo makan durian! Timur dapat satu nih!" Teriak Zubai.
"Ssst! Jangan berteriak di tengah hutan! Apalagi ini sudah malam" kata Timur. Zubai menutup mulut dengan kedua tangannya.
"Upsss! Maaf!" Katanya.
Eman mendengar suara Zubai. Sialan, Timur menemukan Durian duluan. Padahal ia tadinya berharap ia menemukan durian duluan. Agar durian pertama yang Zubai makan adalah durian darinya.
"Aku harus mendapat durian yang besar" kata Eman. Ia tetap harus kelihatan lebih spesial. Emak tak menggubris panggilan Zubai tadi, ia terus berjalan mencari Durian.
Ah Emang senang sekali ketika beberapa langkah kemudian ia menemukan sebuah Durian yang cukup besar. Durian itu tergeletak dk atas tanah yang basah. Ukurannya sekepala orang dewasa.
Dipungutnya durian itu, diciumnya aroma durian yang khas. Ia dapat merasakan aroma durian itu masuk ke hidungnya hingga ke paru-parunya. Ia buru-buru berjalan kembali ke Pongkal.
"Hei, aku juga menemukan Durian" kata Eman. Timur dan Zubai tampak sedang mengecap sisa durian di jarinya.
"Wah ada ronde 2 nih" kata Zubai
"Ini cukup besar. Ayo dibuka. Aku tak sabar mencicipinya. Aromanya saja sudah menggiurkan" kata Eman bangga.
Zubai dan Timur terbelalak melihat durian yang Eman letakkan. Mereka berpandangan dan melompat dari Pongkal. Semua durian yang baru saja dimakan dimuntahkan tanpa sisa.
Eman bingung. Ia melihat durian yang ia bawa. Ia gemetaran. Ya, itu bukan durian. Itu kepala manusia yang menbusuk bahkan dipenuhi belatung. Aroma busuk menusuk-nusuk.
Bangsattt, pas cari gambar ini aja jiji banget. Ini harus cepat saya hapus dari gallery.
Dan itu adalah awal untuk malam paling Jahannam di hidup Zubaidah, Sulaiman, dan Syamsuddin Terbit Timur.

Semua barusaja dimulai.
Lemesin jari lagi. Terimakasih yang udah like sama retweet. Kalau mau baca thread lain yang sudah selesai, silahkan ke sini
"Kita pulang saja" kata Timur. Ia panik. Tubuhnya mulai panas dingin.
Zubai masih terus muntah. Eman masih berharap ia salah liat. Ia memandang wajah itu. Tapi jelas sekali, itu nyata.
Lalu mata kepala itu terbelalak. Eman kaget, ia melompat dengan obornya.
"Ayo kita pulang!!" Kata Eman sambil menarik tangan Zubai.
"Tunggu aku" kata Timur yang tertinggal.
"Kita berjalan kemana Eman?" Tanya Timur.
"Pulang"
"Ini bukan jalannya, kita salah arah" kata Timur. Eman tadi benar-benar panik.
"Kalau begitu ayo putar balik" kata Eman.
Mereka pun berputar balik. Mereka belum jauh meninggalkan kebun durian. Cahaya lentera dari Pongkal juga harusnya masih terlihat. Tapi di depan mereka hanyalah kegelapan. Hening.
Timur berusaha mengumpulkan keberanian.
Timur terus berjalan. Anehnya harusnya mereka melalui kebun durian. Tapi 20 menit berjalan mereka tak juga menemukan kebun durian.
"Kamu yakin arahnya ke sini Timur?" Tanya Zubai.
"Harusnya iya. Tadi kita belum berjalan jauh" kata Timur.
"Sepertinya kita tersesat" kata Eman melihat pohon2 besar di sekitarnya.
"Kita memang tadi siang tak lewat sini" kata Timur. Lalu di keheningan malam mereka mendengar suara gemericik air.
"Air itu pasti akan mengalir ke sungai" kita cari sumber suaranya. Kata Timur.
Malam beranjak larut. Timur, Zubai, dan Eman menemukan sumber air itu. Sebuah aliran mata air kecil. Zubai mencuci mukanya demi menahan kantuk.
"Maafkan aku mengajak kalian ke sini" kata Zubai.
"Tidak apa-apa Zubai. Kita tidak tahu itu akan terjadi bukan?" Kata Eman.
"Harusnya aku mengikuti peringatan dari suara itu"kata Timur.
"Suara apa?" Tanya Zubai.
Lalu Timur bercerita soal suara yang ia dengar. Zubai dan Eman juga bercerita hal yang sama.
"Kalau kita saling cerita, pasti ini tidak akan terjadi" kata Timur
"Tak ada gunanya menyesal. Sekarang bagaimana caranya kita pulang" kata Eman.
"Ini sudah sangat malam. Kita tersesat. Lebih mudah kalau kita pulang nanti siang" kata Timur.
"Kalau begitu kita menginap di sini?" Tanya Zubai.
"Itu pilihan terbaik" kata Timur.
Eman ingin protes. Tapi Timur benar. Mereka terlalu lelah.
Zubai, Eman, dan Timur telentang di atas rumput yang basah.
Mereka benar-benar lelah. Tak berapa lama mereka sudah lelap. Langit hitam legam perlahan berubah berwarna merah.
Lanjut ga ni? Mana suaranya?
Hari sudah beranjak siang. Ibu Zubaidah resah. Zubaidah berjanji akan pulang pagi hari, sebelum masuk sekolah. Tapi sampai pukul dua belas Zubai, Eman, dan Timur tidak juga muncul.
Ibu Zubaidah menemui orang tua Timur dan Eman. Mereka tidak terlalu khwatir karena kedua anak itu sudah biasa pergi berhari-hari.
"Pak, mereka janji akan pulang pagi. Saya tahu anak saya Zubaidah tidak akan melanggar janjinya" kata Ibu Zubaidah menangis di depan Pak Bakar. Pak Bakar iba.
"Ya sudah, saya akan menyusul ke sana" kata Pak Bakar.
Pak Wa Bakar, Ayah Eman memang dekat dengan ayah Zubai. Mereka berasahabat. Ia tak tega melihat Ibu Zubai bersedih. Walau tubuhnya masih lelah pulang menyadap karet, ia tetap berangkat.
Gesit sekali pak Wa Bakar itu. 45 menit saja dia sudah sampai di kebun Durian milik keluarga Zubai. Dulu waktu ayah Zubai masih hidup, dia sering diajak Ngelayah di situ.
Di kebun itu ia tak berjumpa siapapun. Hanya ada satu durian sisa dimakan, lalu satu durian lain tergeletak masih belum dibuka. Ada juga perbekalan-perbekalan Timur, Eman, dan Zubai. Makanan mereka bahkan belum dibuka. Sungguh janggal.
Di tanah bekas hujan kemarin siang, ia bisa melihat jejak2 kaki berjalan menjauh. Bekasnya cukup dalam menunjukkan mereka berlari. Tapi di ujung kebun, bekas itu menghilang sama sekali.
Kita kembali ke Eman, Timur, dan Zubai yang tertidur.
Hari masih gelap. Zubai merasakan sesuatu merayap di badannya. Ia membuka mata. Apakah Timur dan Eman sejahat itu padanya?

Zubai menatap makhluk yang merayap di perutnya. Seekor ular sawak, alias phyton!.
"Timur!!!!!" Zubai menjerit memanggil nama Timur. Timur dan Eman terkejut dan terbangun.
Mereka berdua pun turut kaget melihat ular di perut Zubai.
"Tolong!" Kata Zubai lirih. Timur dan Eman yang baru bangun masih linglung. Apa yang harus mereka lakukan?
Eman mengambil sebatang kayu yanh berada tak jauh darinya. Dengan kayu itu ia bermaksud mengangkat ular itu dari tubuh Zubai. Tapi ular itu bergerak duluan. Ia merayap menuruni badan Zubai lalu hilang di semak-semak.
Timur menarik tangan Zubai, membantunya berdiri. Obor mereka sudah mati. Langit masih gelap, namun mereka dapat merasakan hutan itu lebih terang. Suasana terasa hening.
"Ada yang aneh" kata Timur.
"Aneh bagaimana?" Tanya Zubai.
"Kita sudah tidur cukup lama. Kenapa langit masih gelap?"
"Shubuh mungkin" kata Eman.
"Kalau shubuh fajar harusnya sudah terbit, langit memutih di timur. Lihat ini, semua gelap" kata Timur.
"Mungkin perasaan kita saja. Ini memang masih malam" kata Zubai.
"Sepertinya kita ikuti aliran air ini, sama seperti rencana sebelumnya" kata Timur.
"Kan kau bilang lebih baik cari jalan siang saja" kata Eman.
"Kita tak boleh lama-lama di sini. Ini aneh, beneran aneh" kata Timur
Mereka bergegas. Suasana benar-benar hening. Tak ada suara satu jangkrik pun. Benar-benar aneh.
Mereka berjalan terus mengikuti arus air.
Semakin mereka jauh berjalan hutan semakin lebat. Ada yang tak beres tapi mereka tak tahu harus apa. Mereka hanya ingin segera keluar dari hutan rimba itu.
Dari balik rimbun pohon terdengar suara gemerisik. Lalu mereka mendengar suara bisikan yang pernah mereka dengat. "Pulang! Pulang! Pulang!" Kata suara itu.
Zubai, Eman, dan Timur berpandangan.
"Iya kita mau pulang. Tapi lewat mana?" Tanya Zubai bingung. Lalu suara itu perlahan-lahan memghilang.
"Kita terus jalan, aliran air ini satu2nya kesempatan" kata Timur. Zubai mengikutinya dari belakang. Eman mulai bersungut2 melihat Zubai lebih dekat dengan Timur sepanjang perjalanan. Bukannya apa, Timur lebih tua, Zubai merasa lebih aman.
Sudah lama sekali mereka berjalan tapi mereka tidak juga menemukan sungai. Rasanya mereka malah masuk ke hutan lebih dalam.
Eman berhenti berjalan. "Kita tambah tersesat!" Kata Eman.
"Ini semua gara-gara Timur" tambahnya
"Terus apa rencanamu?" Tanya Timur.
"Kita sudah terlalu jauh. Kalau kamu tidak sok tahu, kita tidak tersesat sejauh ini" kata Eman.
"Heh! Ini semua gara-gara kamu. Kamu yang bawa kepala sialan itu! Yang bikin kita panik terus kabur sampai ke sini" balas Timur berang.
"Sudah! Bukan waktunya bertengkar. Kita harus kompak untuk menemukan jalan pulang" kata Zubaidah menengahi. Kepalanya pusing mendengar pertengkaran dua temannya itu.
Lalu dari kejauhan terdengar suara orang menumbuk padi.
"Dengar! Ada orang di sekitar sini" kata Zubai
"Ayo ikuti arah datangnya suara itu. Tambahnya
Biasanya orang2 memang punya alu dan lesung di ladang. Kemungkinan mereka dekat dengan ladang orang.
Mereka mengikuti arah suara itu. Mereka bisa mendengar suara itu semakin dekat. Ketik mereka keluar rerimbunan pohon, tampak sebuah kampung kecil ada di sana. Tak ada suara lain terdengar selain suara alu yang beradu dengan lesung.
Pak Wa Bakar kembali ke kampung sore pukul 3. Langsung ditemuinya pak kepala dusun.
"Pak, Eman, Zubai, dan Timur hilang"
"Hilang? Hilang bagaimana?" Tanya pak kepala dusun.
"Raib pak. Entah tersesat atau ada sesuatu yang lain" katanya.
Kampung apa yang mereka temukan? Lalu bagaimana usaha irang kampung mencari mereka?
Bersambung ya. Bingung banget jam segini udah ngantuk kayak orang normal.
Sore itu, orang-orang berkumpul di rumah kepala dusun. Mereka mendengar cerita dari Pak Wa Bakar. Ibunya Zubai menangis kencang sekali. Ia menyesal memberi izin mereka berangkat.
Malam harinya, 10 orang dari kampung berangkat mencari. Ibunya zubai mendatangi Ai Karom memohon bantuan. Yang sudah sering baca thread saya kenal dong siapa Ai Karom.
Ai Karom sudah tua, sudah tak sanggup kalau ikut menyisir hutan untuk menemukan 3 anak yang hilang itu.
"Mereka sedang tersesat. Tidak jauh, tapi tidak dekat" kata Ai karom pada ibu Zubai. Ai Karom dapat merasakan ada energi besar yang menutup penglihatannya.
Zubai, Timur, dan Eman berjalan ke kampung yang sepi itu. Suara orang menumbuk padi itu hilang. Pintu-pintu mendadak terbuka. Dari tiap rumah keluar orang-orang berbaju hitam. Zubai, Timur, dan Eman berdiri waspada.
Seorang bapak tua mendekat. "Selamat datang di kampung kami. Tak banyak orang yang datang ke sini, bagaimana kalian bisa sampai kemari?" Tanya bapak itu.
"Ka..kami tersesat" kata Zubai terbata-bata.
Orang-orang lain yang berdiri di belakang Bapak Tua itu menatap Zubai dan teman-teman dengan pandangan aneh. Pandangan mereka kosong. Wajah mereka pucat. Mulut mereka merah seperti orang mengunyah sirih pinang.
Eman komat-kamit membaca doa. Iya merasa kampung itu sangat aneh. Begitu juga Timur dan Zubai. Mereka tegang.
"Kalian ikut saya" kata Bapak itu. Zubai, Eman, dan Timur berpandangan.
"Maaf pak, kami hanya menumpang lewat. Tidak bisa singgah" kata Timur.
"Kalian tidak akan kemana-mana" kata Bapak itu.
Eman menarik tangan Zubai.
"Lari! Kita harus lari dari sini!" Seru Eman. Timur juga langsung ikut berlari. Mereka berlari menuju hutan, tapi saat kali mereka melangkah ke hutan, saat itu juga mereka masuk ke kampung lagi dari arah sebaliknya.
Kalau kalian bingung intinya kalau mereka mau keluar kampung dari arah barat mereka otomatis masuk kampung dari arah timur. Mereka terus berusaha lari ke berbagai arah namun mereka tetap berada di kampung itu.
Bapak tua dan penduduk lainnya hanya melihat Zubai dan kawan-kawan terus lari. Sampai mereka lelah.
"Biarkan kami pergi!" Seru Timur.
"Kalian bisa pergi, tapi satu akan tinggal" kata Bapak itu.
"Kenapa?. Apa salah kami?" Seru Timur.
"Tidak ada yang salah. Ini untuk alam" kata Bapak itu.
"Ikut saya" tambahnya.
Tak ada pilihan. Mereka mengikuti bapak tua berjalan ke salah satu rumah. Di belakang mereka, warga-warga lain mengikuti mereka. Timur, Eman, dan Zubai menggigil ngeri.
Mereka naik ke sebuah rumah. Pak tua memoersilahkan mereka duduk.
"Duduklah, kalian tamu-tamu saya" ksta bapak itu. Timur, Zubai, dan Eman duduk. Di hadapan mereka disajikan masing-masing secangkir kopi hitam pekat.
"Minumlah"
"Kami tidak minum kopi pak"
"Minumlah"
"Kami tidak minum kopi"
"Minumlah" pak tua setengah membentak.
Timur gelagapan. Yang mereka pikirkab adalah bagaimana mereka kabur dari tempat itu.
"Kalian tidak bisa kabur, minumlah"
Tangan Zubai bergetar. Ia mengambil gelas berisi kopi itu. Karena tangannya yang bergetar kopinya sedikit tumpah. Ia mendekatkan gelas kopi ke mulutnya. Timur menahan tangan Zubai.
Timur baru saja meminum setengah kopinya saat ia melihat tumpahan kopi itu berwarna merah.
Sementara itu Eman sudah menghabiskan kopi dari gelasnya.
"Kenapa berhenti?" Tanya bapak tua.
"Minuman apa ini? Siapa kalian sebenarnya?" Tanya menuangkan sebagian kopinya ke alas tikar pandan tempat mereka duduk. Tetesan kopi itu berubah menjadi darah. Eman dan Zubai kaget.
Eman memandangi gelasnya yang sudah kosong. Kalau tidak dalam kondisi mencekam tentu ia sudah muntah.
"Lekas habiskan. Jangan bertanya. Yang gelasnya masih berisi, tak akan bisa pulang" kata pak Tua. Zubai dan Timur berpandangan. Sungguh mereka tak tahu harus melakukan apa.
Timur menutup mata, lalu sekali teguk minuman yang tersisa di gelasnya habis. Zubai masih gemetaran.
Zubai hendak menangis. Ia dapat mencium bau amis dari gelas itu. Eman menyambar gelas Zubai lalu meneguknya beberapa kali hingga habis.
"Apa yang kau lakukan anak muda?"
"Bapak bilang yang minumannya tidak habis akan tinggal. Ini minuman Zubai dan saya habiskan.Dia boleh pulang"
"Pintar sekali kau. Itu benar, sama sekali tak menyalahi aturan. Dia boleh pulang". Eman lega, Zubai menatap Eman dengan penuh terimakasih.
"Tapi seperti yang saya katakan. Satu harus tinggal. Itu engkau anak muda" pak tua menunjuk Eman.
"Ke..kenapa Eman harus tinggal?" Tanya Zubai.
"Kalian terlalu banyak bertanya. Tapi tak apa sekali ini akan saya jawab. Anak muda ini meminum minuman jatah kau agar kau bisa pulang. Itu pengorbanannya. Saya rasa dia juga akan setuju kalau dia tinggal agar kau bisa pulang"
"Tidak, Eman harus ikut kami pulang!" Seru Zubai.
"Pulanglah, saya beri waktu kalian pulang sekarang. Kalau tidak, tiga-tiganya harus tinggal".
Timur menarik tangan Zubai. "Ayo pulang"
"Tapi Eman" zubai menatap Eman. Eman menangis, tapi ia berbisik "pulanglah"
Orang-orang membuka jalan. Timur dan Zubai berjalan menuruni tangga. Zubai menangis. "Eman!" Bisiknya lirih.
"Sudahlah, ayo kita pulang. Daripada tak satupun selamat" kata Timur.
Sungguh itu bagaikan mimpi bagi mereka. Langit masih gelap, tak ada matahari di tempat itu.
Timur dan Zubai berjalan ke arah hutan. Kali ini mereka dapat pergi meninggalkan kampung itu. Ketika kampung itu sudah tak tampak, Zubai melepas tangan Timur.
"Kenapa kita tinggalkan Eman???" Tanya Zubai.
"Harus bagaimana lagi? Kita tidak tahu apa yang akan terjadi" sahut Timur.
"Kita datang bertiga, kita pulang bertiga" kata Zubai.
"Tapi bapak itu bilang satu harus tinggal. Kau tahu cara kabur dari sana tanpa meninggalkan satu orang?" Tanya Timur.
"Akan diapakan Eman di sana?"
"Tidak tahu, yang jelas kita harus pulang"
"Dia akan menjadi tumbal" kata sebuah suara yang mereka kenal. Suara yang sama yang menyuruh mereka pulang.
Ular Sawak yang melingkar di perut Zubai waktu itu tampak melingkar di atas dahan sebuah pohon.
"Kaukah yang berbicara?" Tanya Timur ke Ular itu.
"Benar. Aku sudah memperingatkan kalian. Tapi kalian tak mau mendengar" kata Ular itu.
"Tumbal? Tumbal apa?" Tanya Zubai.
"Mereka adalah penjaga hutan. Mereka menjaga tatanan. Manusia mengambil dari hutan, dan ada waktunya hutan mengambil dari manusia" kata Ular itu.
"Jadi Eman?"
"Ya dia tidak akan pernah pulang. Dia akan menjadi milik hutan ini" kata Ular itu.
"Sekarang kembalilah ke kampung itu. Masih belum terlambat" kata Ular itu.
"Tadi kau suruh pulang, sekarang kau suruh kembali" sergah Timur.
"Aku akan ke sana. Eman harus pulang bersama kita" kata Zubai.
"Itu namanya bunuh diri! Kau pergi saja, aku akan pulang" kata Timur. Zubai berjalan meninggalkan Timur.
"Lalu dimana jalan keluar dari sini?" Tanya Timur pada ular itu. Tapi ular itu menghilang.
Zubai berlari ke kampung itu. Di tengah kampung Eman dikelilingi banyak orang. Pak tua seperti merafal mantra memegang keningnya.
"Bebaskan Eman!" Seru Zubai. Orang-orang yang mengelilingi Eman membuka jalan untuk Zubai.
"Sudah kukira kau akan datang" kata pak Tua itu. "Kemarilah!".
Zubai mendekat, Eman merasa kepalanya pusing. Kesadarannya kembali.
"Saya baru saja hendak memulanhkan Eman ke dunia kalian. Sebagaimana yang kalian lihat, ini bukan dunia kalian. Di sini tak ada matahari, hanya ada malam yang panjang" kata Pak Tua.
"Jadi soal Tumbal itu bohong?" Tanya Zubai. Lalu muncullah ular sawak merayap dan naik ke badan Pak Tua. "Aku tidak berbohong, hutan telah mengambil jatahnya" kata Ular itu.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Eman.
"Hutan Rimba ini tak sembarang mengambil jatahnya. Itulah tugas kami, menemukan orang yang layak diambil" kata Pak Tua.
"Ketika kalian datang sudah kami perintahkan kalian bertiga untuk pulang. Kalau kalian menurut tentu kalian tidak akan ke sini. Tapi kalian lalai, jadilah kalian 3 orang calon tumbal"
"Saat kalian mengikuti suar aliran sungai, sudah kami peringatkan agar pulang. Tapi kalian tetap membangkang. Maka kalian bertiga tetap menjadi calon tumbal"
Ketika kalian sampai di sini, saya menguji hati nurani kalian. Dan Eman adalah yang pertama lulus. Ia rela berkorban, maka Eman saya selamatkan. Saya suruh tinggal"
"Tinggal kalian berdua yang menjadi calon tumbal. Maka saya kirim ular saya ini lagi untuk meminta kalian menyelamatkan Eman. Satu orang memilih kemari, satu lagi memilih pulang sendiri. Maka kau lulus ujian kedua"
"Jadi..."kalimat Zubai menggantung.
"Benar sekali. Teman kalian yang satu itu telah diambil oleh hutan"
"Timur? Kalian tidak boleh mengambil timur!" Seru Eman.
"Sudah terlambat. Hutan sudah mengambil jatahnya" kata Pak Tua itu.
Sudah dua malam satu hari pencarian dilakukan namun tak ada tanda-tanda keberadaan Zubai dan kawan-kawan.
Ibu Zubai sudah seperti orang gila menangis tanpa henti. Beberapa warga bahkan menyusuri sungai karena khawatir mereka jatuh ke sungai dan tenggelam.
"Mereka akan pulang, tapi ..." kata Ai Karom sambil menghembuskan asap tembakau dari mulutnya.
"Tapi apa ai?" Tanya Ibu Zubai.
"Hanya ada dua. Satunya tak pulang" kata Ai Karom.

Lalu beberapa saat kemudian orang heboh. Warga yang mencari datang membawa Zubai dan Eman.
Mereka berdua ditemukan pingsan di atas perahu di tepi sungai. Warga sempat panik karena tubuh mereka dijaga seekor ular. Saat warga datang, ular itu lalu pergi.
Mereka berdua dirawat Ai Karom hingga sembuh. Ai Karom bilang, alam memang mengambil jatahnya dengan berbagai cara. Ada yang tenggelam di sungai, ada yang tersesat lalu menghilang, ada yang digigit ular di tengah hutan, dan banyak cara lainnya. Terlihat seperti kecelakaan biasa.
Kejadian ini bisa terjadi karena mereka bertiga, dan alam harus memilih salah satu saja.
Dua bulan kemudian Jasad Timur ditemukan di tengah hutan oleh seorang warga yang sedang mencari rotan. Tersandar pada pohon kayu seperti orang yang meninggal karena tersesat di hutan.
Eman dan Zubai menyimpan memori mengerikan itu bertahun-tahun. Tak terlupakan.
Maka dengan ini "Suara Dari Rimba" saya nyatakan selesai!!!
Terimakasih yang sudah menyimak. Boleh bantu like dan retweet biar kayak youtuber.
Sama follow juga boleh bantu akun kecil ini biar terus aktif merangkai cerita.
Yang mau komenin atau nanya soal cerita ini, sila reply!
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Horror Kalimantan

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!