Daniel Ahmad Profile picture
May 28, 2020 187 tweets 21 min read Read on X
PENGEMIS KAMPUNG BAYANG (HORROR STORY)
BASED ON URBAN LEGEND.

Ditulis oleh, Daniel Ahmad.

BAGIAN 1 DAN BAGIAN 2

#PengemisKampungBayang #DanielAhmad #ceritahoror #ceritahorror #CeritaHororTwitter Image
Saya akan berbagi kisah tentang sebuah kampung di dataran tinggi kota Gambir. Kisah ini akan di-update secara berkala setiap malam jumat, atau setiap kali saya mau.

Mari kita mulai.
BAGIAN 1

Malam ini saya tidak bisa tidur. Hujan yang katanya ampuh mengundang lelap, kini justru terdengar menakutkan. Atap rumah seperti digempur jutaan kerikil. Benar-benar berisik. Belum lagi gelegar petir yang terdengar hampir setiap lima menit sekali.
Jangankan untuk lelap, kantuk yang saya kumpulkan sejak pukul delapan malam tadi, sekarang jadi hilang. Tiga jam saya habiskan tercenung dalam gelapnya kamar. Mencumbu pikiran kosong. Di dinding hanya ada pantulan lampu luar membentuk lubang udara.
Dari sangat bosannya menunggu kantuk, dinding itu jadi terasa menarik untuk diperhatikan setiap detik, sampai akhirnya ada suara yang membuyarkan kebosanan ini.
Seseorang mengetuk pintu rumah. Saya bisa mendegar dengan jelas, karena kamar saya berada di depan, berdampingan dengan ruang tamu. Sekarang sudah pukul setengah satu malam. Sepertinya kakek saya sudah datang. Ia menyerah menunggu hujan reda, dan memutuskan untuk menerobos deras.
Kakek saya seorang tukang kayu. Katanya malam ini ada acara di kantor desa. Beliau bilang akan pulang jam sepuluh, tapi sepertinya hujan ini benar-benar mengacaukan jadwal pulang kakek dan jadwal tidur saya. Sedikit menggerutu, saya pun bangun dan langsung menuju pintu.
Ruang tamu yang lengang menyambut. Kursi-kursi kosong menghadap ke televisi yang padam, memunggungi dinding dengan jendela kaca besar dilindungi terali besi berpola diagonal. Pintu rumah ada di samping jendela, masih berbunyi dengan ketukan yang tak beraturan dan sedikit kasar.
“Ya, kek, sebentar,” ucap saya.
Begitu pintu rumah saya buka, yang saya dapati bukanlah orang yang seharusnya datang.
PANGAPORA
Begitu yang tamu saya ucapkan dengan nada halus memelas. Pangapora adalah bahasa madura untuk ucapan permisi. Biasa diucapkan ketika hendak lewat di depan orang, di halaman rumah orang, dan sebagainya.
Namun, situasi kali ini sedikit berbeda, dan walaupun saya berusaha bersikap sopan, tapi saya tidak bisa menampik heran dan ketakutan.
Orang di hadapan saya adalah laki-laki berambut gondrong. Saya hanya bisa melihat salah satu matanya melotot dari sela-sela rambut lepek dan semrawut. Dia mengenakan kemeja putih berlengan panjang yang penuh noda tanah. Celana compang-camping bernoda lumpur.
Hanya dengan sekali lihat, saya bisa menyimpulkan kalau bukan pengemis, berarti orang gila.
Hanya saja, ada satu hal yang membuat saya harus mempertimbangkan kesimpulan barusan. Laki-laki ini sedang menggendong seseorang di punggungnya.
Orang itu diselimuti kain cokelat lusuh yang lebih mirip karung beras kalau saja saya tidak melihat dua kaki kurus menjuntai, kepala yang bersandar ke leher belakang si laki-laki dengan wajah miring, dan tangan ringkih sedang terulur ke arah saya. Seolah sedang meminta sedekah.
“Pangapora, cong.”
Ucapan itu tidak keluar dari mulut si laki-laki yang sejak tadi hanya menganga, melainkan dari orang yang sedang ia gendong, yang dari suaranya saja bisa saya terka kalau itu seorang nenek-nenek. Rambut putih kusam yang menyembul dari kain cokelat itu menegaskan semuanya.
Entah kebetulan atau memang rezeki si nenek, di kantong celana pendek saya ada uang seribu rupiah. Saya berikan uang itu ke tangan si nenek yang kemudian menggengamnya dengan lemah.
Laki-laki itu berbalik, lalu pergi menggendong si nenek menerobos hujan yang masih sangat deras. Tanpa permisi, tanpa terima kasih. Kaki telanjangnya menjejaki tanah becek. Kedua tangannya dengan kokoh menggendong nenek itu, meskipun langkahnya yang goyah membuat saya khawatir.
Petir menyambar keras sekali. Kalau bukan karena itu, saya mungkin masih berdiri di pintu memerhatikan kepergian pengemis barusan yang sudah sampai... sampai mana? Mereka sudah tidak kelihatan. Entah ditelan deras hujan, gelap malam, atau mata saya saja yang mulai memberat.
Merasa tidak punya urusan lagi, dan cuaca benar-benar tidak bersahabat, saya putuskan untuk menutup pintu lalu kembali ke kamar. Dalam hati masih bertanya-tanya, apakah mengemis tengah malam begitu adalah wajar di kampung ini?
BAGIAN 2

Pukul 9 pagi, saya dibangunkan oleh keributan di ruang tamu. Suara orang-orang sedang mengobrol. Saya kenal salah satu suara itu, itu suara kakek. Serak dan berat, tapi justru yang paling nyaring. Dari cara mereka bicara, sepertinya serius sekali.
Saya bangun, membuka pintu, mendapati ruang tamu yang ramai. Ada sedikitnya enam tamu di sana. Saya tidak menghitung yang menunggu di luar. Mereka sedang duduk di kursi masing-masing dengan kakek saya sebagai pusat.
Beberapa dari mereka sempat mengangguk untuk menyapa saya. Sisanya masih serius mendengarkan kakek bicara.
Sedikit yang saya tangkap dari diskusi itu adalah, rencana pembangunan sebuah jembatan, dan sesuatu yang berhubungan dengan tukang pijat. Entah apa maksudnya. Merasa tidak penting, saya melangkah pergi ke kamar mandi yang ada di dapur.
“Hadi, kamu ndak salat subuh?” tanya nenek.
“Salat, nek, tapi tidur lagi,” jawab saya sambil menguap.
“Makanya jangan begadang. Niatmu ke sini mau liburan, kan? Sia-sia kalau waktumu habis buat tidur,” omel nenek, sebisa mungkin dengan suara pelan agar tamu-tamu yang sedang heboh itu tidak mendengar.
“Hujannya berisik, nek. Petirnya bikin kaget. Mana semalam ada pengemis yang datang minta-minta,” saya beralasan.
Seketika nenek menghentikan aktifitas bersih-bersihnya. Pemukul kasur yang dgenggamnya itu berhenti di udara, dan tak sempat menggebuk. Nenek saya menoleh dengan dahi mengerut. Bukan kerutan karena tua, tapi kerutan heran.
“Pengemis?”
“Hooh. Laki-laki, gondrong, bajunya compang-camping, terus—“
“—terus kamu kasih?” tanya nenek. Kali ini air mukanya berubah masam.
“Seribu doang. Kembalian karcis bus kemarin lusa.”
Setiap jawaban yang saya berikan, membuat wajah nenek seolah makin ketakutan. Takut itu menular. Sekarang saya juga jadi ketakutan.
“Kenapa, sih, nek?”
“Hadi, selama tiga hari di sini, sudah berapa kali pengemis itu datang?” tanya nenek sambil menarik saya ke dapur.
“Baru semalam.”
“Apa dia bilang sesuatu? Tanya sesuatu?”

Nenek mencecar saya dengan pertanyaan demi pertanyaan.
“Nggak, nek, saya juga nggak ngomong apa-apa, soalnya kesal. Kasihan, sih, kasihan, tapi minta-minta ke rumah orang tengah malam begitu benar-benar nggak sopan.”
Ya, pengemis semalam adalah kombinasi keanehan dan ketidak sopanan yang tidak pernah saya temui sebelumnya. Hanya saja, bukankah reaksi nenek saya sedikit berlebihan?
“Memang mereka siapa, sih, nek?” tanya saya.

Nenek saya urung menjawab karena mendengar rapat di ruang tamu sudah bubar. Kakek saya menutup pintu dan menyusul kami ke dapur.

“Jembatannya mau diperbaiki mulai besok. Hari ini saya mau ke sungai untuk lihat-lihat,” ucap kakek.
“Kamu jadi mancing?” tanya kakek pada saya.
“Hari ini batal, kek. Mungkin besok.”
Sebelumnya, kakek sempat cerita tentang sebuah jembatan tua yang menghubungkan desa kami dengan sebuah bukit kecil di seberang sungai. Jembatan itu putus sejak seminggu yang lalu, sebelum saya datang berlibur ke desa ini.
“Kamu kenapa, Hadi?” tanya kakek, seolah memergoki suasana hati saya yang sedang gamang.

Namun, melihat nenek yang berusaha menyembunyikan percakapan kami barusan, saya pun memilih tidak menjawab. Setidaknya tidak dengan jawaban yang jujur.
“Kesiangan, kek. Susah tidur gara-gara hujan,” jawab saya.
“Ya, sudah, nanti malam kamu tidur di kamar kakek saja, biar kakek di depan saja, sama nenek,” Kakek menaik-turunkan alisnya pada nenek. Nenek membalas dengan memukul pantat kakek pakai penggebuk kasur.
Setelah itu, kakek pergi ke meja makan untuk sarapan. Dengan gelagat seolah menyimpan rahasia besar, nenek memberi saya peringatan.

“Kalau nanti malam orang datang lagi, jangan kamu kasih. Jangan buka pintu.”

“Ke-kenapa, nek?” tanya saya pelan, mengimbangi bisikan nenek.
“Karena sekali diberi, pengemis itu akan datang terus setiap malam ke rumah orang yang memberinya uang.”

Bersambung ke Bagian 3.
BAGIAN 3

Selama tiga hari berada di desa ini, untuk pertama kalinya saya bisa menikmati malam yang tenang tanpa suara berisiknya hujan. Nyanyian jangkrik-jangkrik girang mengentalkan suasana pedesaan. Namun, bukan berarti saya bisa tidur dengan lelap.
Peringatan nenek tadi pagi masih saya bawa di pikiran ini sampai pukul sepuluh malam. Lebih buruknya lagi, malam ini saya sedang sendirian.
Kakek sedang rapat dengan warga mengenai pembangunan jembatan. Nenek saya dan nenek-nenek lainnya juga terlibat dalam proyek sebagai penyedia konsumsi. Sepertinya besok akan jadi hari yang sibuk buat warga Kampung Bayang.
Sebagai tamu, saya hanya bisa rebahan dan menyumbang doa. Tapi sebelum mendoakan mereka, alangkah baiknya kalau saya mendoakan diri sendiri.
Saya liburan ke sini karena ingin memancing. Sampai bawa alat pancing sendiri dari rumah. Tapi sudah tiga hari si Sobri, sahabat saya yang bertugas sebagai pemandu sibuk terus, sementara liburan pesantren hanya tinggal dua minggu.
Sejak kakek dan nenek pergi, sudah berkali-kali saya menoleh pintu. Tidak berharap, hanya bersiap-siap kabur kalau ada seseorang yang mengetuk. Volume televisi juga sengaja saya maksimalkan. Bagaimana pun, saya harus tetap siaga sampai kakek dan nenek datang.
Saya tertidur di kursi dengan televisi menyala, lalu terbangun karena suara pintu. Saya melompat. Ini rekor bangun tidur tercepat yang pernah saya lakukan. Biasanya butuh jeda lima menit baru bisa bergerak. Kali ini hanya satu detik, dan saya sudah berlari menuju kamar.
"Hadi! Buka pintunya, Di!"

"Kakek?" gumam saya yang hampir menutup pintu kamar.

Setelah saya perhatikan lagi, yang datang memang kakek dan nenek. Ini sudah pukul satu malam. Saya tertidur sekitar dua jam.

"Ya, kek, tunggu."
Saya membuka pintu, membiarkan kakek, nenek, dan omelannya masuk.

"Disuruh buka pintu malah lari ke kamar!" omel kakek.
Hanya nenek saja yang diam. Nenek justru mengangkat kedua alisnya, mengisyaratkan sebuah tanya yang langsung saya pahami maksudnya. Saya balas tanya itu dengan gelengan. Melaporkan pada nenek bahwa pengemis itu tidak datang.
"Di, masukin motor kakek, ya!" pinta kakek seraya memberikan kunci motor.

Saya ke luar. Terasa sekali perbedaan suhunya. Di luar dingin sekali. Apalagi saya mengenakan baju dan celana pendek. Betis dan paha saya merinding, dan sesuatu di antaranya mengerut.
Saat kedua tangan saya sudah bersiap mendorong motor merah berlampu bundar, saya terpekik karena melihat seseorang sedang melintasi halaman.
Pengemis itu lewat di depan rumah kakek. Masih menggendong si nenek. Saya berniat secepat mungkin memasukkan motor ke dalam, tapi dongkrak ganda ini terasa sangat berat. Atau kaki saya saja yang mendadak lemas?
Dalam hati saya berharap agar pengemis itu tidak berbelok dan menghampiri saya, seraya meyakinkan diri bahwa mereka hanya pengemis biasa. Mereka tidak meminta nyawa, hanya meminta rupiah. Apa yang kamu takutkan, Hadi? Saya membatin.
PANGAPORA
"Astaga!"

Segera saya dorong motor kakek masuk ke ruang tamu. Rodanya membekaskan lumpur di lantai. Setelahnya, saya menutup pintu. Pengemis yang tiba-tiba saja menoleh dan mengulurkan tangan itu masih mematung di halaman rumah. Tak beranjak walau sudah diberi isyarat pelit.
Saya masuk ke kamar. Setidaknya, malam ini saya mematuhi perintah nenek untuk tidak memberi mereka uang. Sumpah. Ada yang salah dengan pengemis itu. Barusan untuk pertama kalinya saya melihat wajah si nenek yang digendong.
Kebetulan dia menengadahkan wajahnya. Wajahnya pucat sekali. Sepertinya setelah malam ini, saya tidak bisa menganggap mereka sebagai manusia lagi.
Oke, ini akan sedikit panjang. Enaknya lanjut di sini, atau bikin tweet baru nih, kak?

Maaf, saya newbie di twitter hehe
BAGIAN 4

Esok paginya, saya sudah bersiap ke luar rumah untuk bertemu dengan Sobri. Kami sudah berencana untuk pergi memancing.
Kampung Bayang ini memang terkenal dengan tempat memancingnya. Banyak orang dari desa-desa tetangga datang ke sini hanya untuk memancing di Danau Bayang yang terkenal. Setidaknya di kalangan orang yang hobi memancing. Termasuk saya.
Saya pun datang ke sini untuk liburan. Tentu saja tidak ingin liburan saya terganggu karena mitos bodoh tentang pengemis itu. Lalu, agar saya juga tidak kelihatan bodoh, saya memutuskan untuk tidak memberi tahu teman saya tentang apa yang saya alami semalam.
Begitu teman saya datang menjemput, saya pun pergi dan meninggalkan semua kemuskilan itu di rumah nenek.
Namanya Sobri. Kami sudah berteman sejak SD, sampai sekarang sudah sama-sama SMA. Meskipun bertemunya hanya setahun dua kali, saat liburan saja, tapi kami tak pernah putus komunikasi. Ini tahun 2010. Ponsel sudah masuk desa. Tidak ada lagi alasan silaturahmi terputus.
Bicara soal putus, dalam perjalanan pulang dari memancing, kami sempat melewati jembatan yang katanya sedang dibagun kembali oleh warga. Jembatan itu melintang di atas sungai besar yang airnya deras akibat musim hujan.
Kami hanya melihat dari jauh. Dari atas. Sambil duduk di motor. Di bawah sana ada banyak orang dan satu alat berat. Bagaimana pun juga, bekerja dengan kondisi sungai seperti itu tetaplah berisiko.
"Kok nggak nunggu musim hujan selesai aja, ya?" tanya saya.

"Kasihan, Di. Di seberang sana ada rumah Mak Sulas," jawab Sobri.

"Mak Sulas?"
"Iya, tukang pijat. Sudah sepuh juga. Biasanya Mak Sulas pergi ke desa untuk belanja, atau dijemput warga yang butuh jasa pijatnya. Cuma gara-gara jembatan ini amblas, akses ke rumah Mak Sulas jadi terputus. Warga khawatir karena sampai sekarang beliau belum ada kabar."
Kami menghabiskan waktu hampir lima belas menit hanya untuk menonton warga bekerja, sambil sesekali diselingi candaan. Sesaat lupa tujuan pulang. Dari sini saya melihat kakek. Dia sedang sibuk mengukur papan kayu dibantu beberapa warga.
Di sisi yang lain, ada kelompok yang bertugas membuat pondasi. Semuanya baru. Kayu dan bambu bekas jembatan sebelumnya tampak menumpuk di seberang sungai dan tak tersentuh sama sekali.
Dari jalan besar tempat saya dan Sobri nongkrong, saya mendengar teriakan. Seketika kerumunan warga yang sedang bekerja itu bubar. Mereka menghambur ke arah sekelompok orang yang datang dari hulu sambil menggotong sesuatu dibungkus tembikar.
"Ada apa, ya?" gumam Sobri penasaran.

Saya pun demikian. Penasaran saya hampir tak terbendung mana kala tembikar itu diletakkan di tanah, dan dibuka untuk diperlihatkan isinya. Sayang sekali, pandangan saya terhalang kerumunan orang.
Yang jelas, ibu-ibu langsung menyingkir dengan jijik. Ada juga yang menjerit histeris.
Seorang warga menaiki lereng sungai dengan tergesa-gesa. Begitu sampai di atas, di samping kami, saya langsung bertanya dengan antusias.

"Ada apa, Man?"

"Bede mayit, cong. Takaek e beto raje."

(Ada mayat, nak. Tersangkut di batu besar.)
BAGIAN 5

Kami pulang tanpa sempat menyaksikan sendiri mayat siapa yang warga temukan. Ini karena Sobri takut dan memaksa saya untuk pulang saja.
Andai tidak menumpang, pastilah saya suruh dia pulang sendiri. Bukan karena saya berani, tapi saya tidak bisa tidur kalau tidak melihat sendiri. Kadang saya benci sifat yang mudah penasaran ini.
“Assalamualaikum,” ucap kakek sambil membuka pintu.
“Waalaikumsalam,” jawab saya.

Kakek datang membawa beban berat. Lebih berat dari kayu-kayu yang sering ia angkat setiap harinya. Kakek langsung duduk, menyandarkan bahunya, melepas kopiah, lalu memejam ke langit-langit rumah.
“Sudah selesai jembatannya, kek?” tanya saya.
“Belum, lah. Dengan kondisi sungai dan cuaca seperti ini, mungkin bisa sampai satu minggu. Apalagi barusan ada kejutan di sungai.”
“Kejutan?” tanya saya, berpura tidak tahu.
“Warga menemukan mayat laki-laki tersangkut di batu sungai. Sepertinya mati terseret arus deras,” tutur kakek.

“Innalillahi. Terus gimana, kek?”
“Sudah dibawa aparat. Di sana juga masih banyak polisi. Kerjaan warga terganggung, kakek malas, makanya pulang. Lah, bukannya kamu mau pergi mancing?”

“Sudah pulang juga, kek. Mendung. Takut hujan. Ikan juga cuma dapat sedikit,” jawab saya seraya menggerutu.
Hujan yang saya takutkan datang juga. Semakin larut, semakin deras. Kabupaten Gambir memang terkenal dengan curah hujan yang lumayan tinggi. Apalagi desa Bayang ini berada di dataran tinggi. Tanpa hujan pun, malam hari sudah sangat dingin.
Saya yang di rumah biasa tidur telanjang dada, di sini harus tidur berselimut ganda. Itu juga masih dilapisi sarung.
Setidaknya malam ini saya bisa sedikit tenang. Nenek ada di rumah. Meskipun ia sudah berisitirahat sejak selesai salat isya tadi, meninggalkan saya menonton televisi sendiri.
Ibarat menabur gula di minuman bergaram. Tontonan yang saya pilih adalah acara lawak, agar bisa menjadi penawar kesepian.
Pukul sebelas malam, kanal televisi jadi semakin tidak bersahabat. Iklan rokok mulai mendominasi, dan bisa-bisanya mereka menayangkan film horor pada saya yang nyaris takut setengah mati.
Jadilah saya menjelajah acara demi acara, hingga akhirnya berhenti pada sebuah kanal tembang kenangan. Lagu-lagu lawas yang sudah ada sebelum saya lahir, terdengar indah juga di malam ini.
Saat saya mulai menikmati setiap lirik dan nada-nada lawas, sebuah petir menampar kesunyian dan membuat gelapnya malam jadi terang sekilas. Sedetik kemudian, gelap kembali, membawa serta cahaya lampu dan padamnya televisi.
Sudah kaget karena petir, kaget juga karena mati listrik. Ponsel saya beralih fungsi jadi senter. Lingkaran sinar menyorot ruang tamu dari sudut ke sudut, lantai ke langit-langit, kemudian ke lemari di samping televisi, berharap menemukan lilin dan korek api.
“Alhamdulillah, ketemu,” gumam saya girang. “Nek, padam, nek!”

Nenek tidak menjawab. Gelap seperti ini mungkin membuat orang susah tidur, tapi untuk yang sudah terlanjur tidur, biasanya tambah susah bangun.
Akhirnya saya nyalakan sendiri lilin di atas asbak. Memberi pelita kecil di kegelapan ruang yang kosong.

“Apa saya sekalian ngepet aja, ya?” kelakar saya dalam hati.
Pendar lilin di jendela berpadu dengan butiran air hujan yang terempas angin. Romantis. Ada ketenangan yang aneh yang saya rasakan saat ini. Saya beranjak untuk menutup tirai. Biarlah romantis itu ada di luar, yang penting saya tetap aman di dalam.
PANGAPORA, CONG
Saya nyaris terjungkal. Suara nenek itu terdengar sangat dekat. Saya perhatikan jendela kaca yang sudah separuh tertutup tirai, tapi tidak ada siapa pun di sana. Tidak ada laki-laki bermata satu yang sedang menggendong nenek-nenek. Tidak ada siapapun kecuali pantulan diri sendiri
Merasa itu hanya ilusi, saya berniat menyelesaikan tirai yang tinggal separuh. Tangan saya meraih ujung tirai. Celingak-celinguk melihat ke luar.
Halaman rumah digempur hujan habis-habisan. Lumpur bercipratan ke teras. Ada jejak manusia di sana, tapi bukan jejak kaki. Lumpur itu membentuk jejak tangan yang terus mengular ke jendela, ke bawah lantai, dan ....
ASTAGHFIRULLAH
Persetan dengan tirai. Saya memilih lari ke kamar dan menutup pintu. Saya melompat ke atas kasur, menarik selimut lalu bergeming. Hanya degup jantung saja yang aktif beregerak. Selebihnya, tubuh saya kaku serupa mati.
Pangapora, cong. Pangapora, cong. Pangapora, cong.

Suara itu terus terdengar. Mengalun dilatari suara hujan. Makin lama makin memelas, hingga berakhir menjadi tangisan. Tangisan yang pilu dari seorang nenek-nenek renta.
BAGIAN 6

Pagi harinya, di meja makan. Kakek sarapan lebih banyak dari biasanya. Masih ditambah tiga buah bakwan sebagi teman ngopi. Nenek sedang mencuci piring, sementara saya terkantuk-kantuk mengunyah nasi.
“Kamu begadang lagi?” tanya kakek.
“Hujan. Berisik.” Jawab saya, lemas.
“Kan sudah kakek suruh tidur di kamar kakek.”
“Semalam padam, kek.”
“Lho, kapan? Kok nenek tidak tahu?” sambung nenek dari tempat cuci piring.
Ya, nenek ngorok, sahut saya dalam hati.
“Hari ini ada rencana kemana, Di?” tanya kakek lagi, sambil menyesap kopi hitam.

“Sobri ngajak mancing di danau, kek. Tapi masih pikir-pikir lagi setelah penemuan mayat kemarin.”

“Oh, ya, itu gimana lanjutannya?” sambung nenek.
“Menurut hasil pemeriksaan, ternyata mayat itu adalah Kasmin, cucu dari Mak Sulas.”

“Innalillahi, benar Kasmin ternyata,” ucap nenek.

Mak Sulas? Sepertinya pernah dengar, saya membatin.
“Iya. Dugaan sementara, Kasmin sedang menyeberangi jembatan, kemudian terpeleset dan jatuh saat sungai sedang deras-derasnya.”

“Kok nekat sekali nyeberang lewat jembatan itu ya, kek?” tanya saya.
"Ya, gimana lagi? Itu satu-satunya akses paling gampang untuk pergi ke desa. Kasmin tinggal berdua sama Mak Sulas di atas bukit sana. Kasmin memang punya gangguan mental, sebelah matanya juga cacat, tapi dia masih bisa merawat Mak Sulas yang sudah tua,” tutur Kakek.
“Kenapa, Di? Kok mukamu begitu?” kakek lanjut bertanya.

Saya melirik nenek, memberinya tatapan tidak sanggup. Serupa lambaian tangan ke kamera di acara uji nyali. Beruntung nenek mengerti. Ia menghela napas, bersiap menjelaskan.
“Ini, Kek. Cucumu sempat didatangi Kasmin. Katanya dia minta uang."

“Terus?”

“Ya, dikasih uang."

"Dia memang begitu, Di. Namanya juga nggak normal. Tapi kalau tahu begini nasibnya, rasanya kakek pengin ngasih setiap kali dia datang."
Saya diam saja. Meskipun bukan versi terakurat, setidaknya itu versi tersingkat dan mungkin yang paling bisa diterima kakek sekarang.

"Apa Mak Sulas sudah diberi kabar?" tanya nenek.
“Belum. Makanya hari ini ada tim yang mau menyeberangi sungai lewat jalur barat. Sekadar memastikan kondisi Mak Sulas pasca meninggalnya Kasmin yang diperkirakan sudah hampir satu minggu.”
“Ya Allah, Mak Sulas. Semoga beliau ndak kenapa-napa,” ratap nenek. “Mak Sulas banyak berjasa buat orang-orang di desa ini. Banyak nolong orang dan anak-anak yang sakit juga. Makanya warga sering sekali pergi ke rumahnya sekadar ngasih makanan.”
Saya nyaris tersedak mendengar cerita kakek, terutama kalimat terakhirnya barusan. Kalau memang si Kasmin meninggal sudah hampir seminggu, terus yang kemarin malam itu siapa, anjing?

Saya tidak mau kelihatan bodoh di depan kakek, jadi untuk sekarang saya simpan dulu.
“Selain Kasmin, apa Mak Sulas tidak punya saudara?” tanya saya.

“Ada, tapi sudah sama-sama tua juga. Sudah mikirin hidup dan mati masing-masing,” jawab nenek. "Semoga Kasmin bisa beristirahat dengan tenang."

Kakek mengaminin doa nenek.
Benar. Mungkin Kasmin sudah bisa beristirahat dengan tenang di alam sana. Namun, tadi malam... saat saya hendak menutup tirai jendela... saya melihat nenek itu di sana. Duduk lemas di teras, mengangkat tangan keriputnya pada saya.
Wajahnya putih sekali, matanya hitam sekali dengan titik merah menyala di tengah. Tidak ada lagi yang menggendongnya. Tidak ada lagi yang menemaninya mengurusi masalah dunia yang belum selesai. Nenek itu masih meminta-minta pada tetangganya. Masih mengharap belas kasih mereka.
"Kek, Nek," ucap saya dengan suara tertahan.

"Apa, di? Mukamu pucat sekali," kata kakek.

"Saya mau tanya, nenek yang digendong almarhum Kasmin setiap malam itu siapa?"

Kakek dan nenek saling pandang, kemudian serempak melihat saya dengan heran.

"Nenek? Nenek siapa, Di?"
****

Oke, cukup dulu hari ini. Kita lanjutkan besok malam.
Terima kasih sudah membaca.
BAGIAN 7

Sekarang saya tahu kenapa jembatan itu penting sekali. Jalan alternatif untuk sampai ke rumah Mak Sulas benar-benar sulit, dan nyaris mustahil untuk dilewati orang tua. Dari enam orang yang ikut, dua di antaranya sudah menyerah sebelum memasuki kawasan bambu.
Dua-duanya adalah warga yang sudah berusia lanjut. Semua memaklumi para kakek itu, karena setelah ini perjalanan akan berubah jadi pendakian.
Sisanya tinggal empat orang, yaitu Harto, Tanjung, Man Nasih, dan ...

"Kamu yakin mau lanjut ke atas, Hadi?" tanya Man Nasih.

"Yakin, Man," jawab saya mantap.
"Duh, saya nggak ngerti kenapa Lek Majid menyuruh kamu ikut. Kami yang asli penduduk sini saja banyak yang belum pernah ke rumah Mak Sulas lewat jalan ini," gerutu Man Nasih, mengeluhkan keputusan kakek.
DUA JAM SEBELUMNYA
"Kamu ngelihat Kasmin menggendong perempuan?" Kakek memastikan. Suara beratnya agak melengking karena efek kejut.

"Nenek-nenek, bukan perempuan!" koreksi saya.

"Buat kakek, nenek-nenek adalah perempuan, Di!"

"Terserah!"
"Kok kamu ndak bilang dari kemarin, Di?" kali ini nenek ikut bertanya.

"Saya pikir nenek sudah tahu, soalnya nenek bilang Kasmin sering ke sini, kan?"
"Memang, Di. Tapi dia selalu datang sendirian. Minta-minta juga sendirian sambil menyodorkan kaleng bekas susu STM. Kalau pun nggak datang untuk mengemis, biasanya kasmin ngorek-ngorek sampah di halaman belakang rumah ini. Itu juga sendirian," kata kakek.
"Ya, terus yang saya lihat kemarin dan tadi malam itu siapa?"

Sampai di sini darah saya berdesir. Fakta bahwa kakek dan nenek tidak tahu apa-apa, membuat saya merasa sendirian dalam teror ini.
"Apa jangan-jangan ...." spekulasi nenek terhenti. Ia melirik kakek, seolah yakin kakek sedang memikirkan hal yang sama.

Kakek berpikir sejenak. Ia menyeruput kopi hitamnya, kemudian berserdawa ringan.
"Kalau hari ini kamu nggak jadi mancing, gimana kalau kamu ikut Nasihin saja ke rumah Mak Sulas."
"Hah?" Saya tercengang.

Betapa tidak? Tawaran kakek itu seolah menyiramkan minyak tanah ke bara api di kepala saya yang masih berasap. Sudah jelas-jelas cucunya ketakutan, kakek malah memberi saran yang mustahil saya kerjakan.
TAPI, DI SINILAH SAYA SEKARANG.
Bersama Man Nasih, Harto dan Tanjung, akhirnya saya berhasil juga sampai di puncak bukit, disambut oleh lebatnya bambu-bambu hijau nan segar.
“Dulu saya sering ke sini, Di,” kata Man Nasih. “Di ujung bukit sana ada danau kecil, lebih kecil dari Danau Bayang, dan merupakan tempat memancing yang ndak banyak diketahui orang.”

“Saya tahu, lek, makanya saya ikut.”
“Oh, pasti Lek Majid yang kasih tahu, ya? Saya dan kakekmu memang sering mancing berdua dulu.”

Kami berempat ke luar dari kawasan bambu. Lebatnya batang-batang kurus hijau itu sudah layak disebut hutan. Dari tempat kami keluar, sudah tidak bisa lagi melihat arah datang.
Bambu itu menutup rapat jangkauan pandang, seolah kami tidak punya pilihan untuk pulang.

Sekarang, kami berada di puncak bukit yang hampir seluas lapangan sepak bola. Tanahnya ditumbuhi tanaman rambat yang berkilauan diterpa sinar matahari pukul sembilan pagi.
Dari bukit ini juga kami bisa melihat hampir seluruh desa. Bahkan rumah kakek pun tampak seperti kardus sepatu anak-anak.

“Hadi, jangan bengong!” tegur Man Nasih.
Kami melanjutkan perjalanan menyeberangi tanah lapang. Berpindah dari sisi satu ke sisi lainnya, di mana sebuah pohon beringin tumbuh tinggi dan rindang, dan satu-satunya tanaman tertinggi di bukit ini. Bahkan lebih dari atap rumah yang tengah dinaungi daun lebat di bawahnya.
“Itu rumahnya, Man?” tanya Harto.

Man Nasih mengangguk.

Kami mendekati sebuah rumah kecil dengan dinding dan tiang terbuat dari kayu bercat putih yang mulai luntur di sana-sini. Di depan ada teras dikelilingi pagar bambu yang dicat biru langit.
Di sana ada sebuah kursi dan bangku bambu memanjang. Orang-orang sini menyebutnya lincak. Mungkin tempat Mak Sulas memijat pasien atau menerima tamu yang datang.
Pintu rumah itu sedikit terbuka. Dari celah itu, yang tampak hanya kegelapan.

“Harto, Tanjung, kalian tunggu di bawah pohon beringin saja!” Perintah Man Nasih, “Hadi ikut saya. Jangan lupa bawakan kainnya.”
Saya baru tahu kalau isi dari gulungan plastik yang saya bawa adalah kain. Mungkin kafan. Setelah mayat Kasmin ditemukan kemarin, dan mengacu pada cerita saya tentang nenek pengemis yang digendong Kasmin, kakek berasumsi akan menemukan mayat di rumah ini.
Kakek tidak sembarangan menceritakannya pada orang lain. Selain saya dan nenek, hanya Man Nasih yang tahu tentang hantu pengemis itu.
Man Nasih tidak mengucapkan salam, dan langsung saja naik ke teras tanpa melepas sandal.

Semakin dekat, semakin saya mencium aroma apak. Hanya saja, meskipun samar, saya juga mencium aroma yang lezat, seperti ikan goreng atau tempe goreng.
Man Nasih membuka pintu perlahan, tapi pintu itu terpelanting ke dalam dengan cepat, menampakkan sosok nenek tua sedang menggigit ikan goreng.

“APA?” sergah nenek itu.
Man Nasih mendadak kikuk. Ia langsung melepas alas kaki dan melemparnya ke halaman. Tentu saja saya melakukan hal yang sama.

“Mak Sulas, sampean masih hidup?” tanya Man Nasih, dengan wajah yang tidak percaya.

Segera ikan goreng di mulut Mak Sulas berpindah ke mulut Man Nasih.
Nenek yang dipanggil Mak Sulas itu kemudian mengunyah daun sirih. Bibirnya keriput dan menghitam. Rambutnya putih dan jarang. Pundaknya ringkih, lebih mirip pundak anak kecil.
Tubuhnya hanya dibalut kain putih lusuh, dan meskipun rumahnya tidak memiliki lantai, kaki nenek itu tidak mengenakan alas.

Tapi tunggu dulu! Kalau benar nenek ini adalah Mak Sulas, lantas ....

SIAPA YANG DIGENDONG OLEH KASMIN?
Bersambung dulu, teman-teman. Terima kasih sudah membaca.
BAGIAN 8

Kami berangkat membawa pertanyaan, tapi jawaban yang kami dapatkan tidak seperti yang kami kira. Mak Sulas sehat sentosa—yang mana sangat kami syukuri—tapi sehatnya itu justru memunculkan pertanyaan baru. Siapa nenek yang digendong almarhum Kasmin?
Kenapa pula seolah-olah nenek itu hanya menampakkan wujudnya pada saya? Kakek dan nenek tidak tahu. Man Nasih tidak tahu. Tidak ada yang tahu kecuali saya. Apakah saya sespesial itu?
Malam ini hujan lagi. Tidak terlalu deras, tapi cukup menahan Sobri di rumah sampai lewat jam sepuluh malam. Sobri datang selepas isya. Usai menyiapkan umpan untuk besok, kami duduk di ruang tamu. Saling berbagi hal yang tidak kami tahu.
Ingin rasanya memberi tahu Sobri tentang nenek pengemis itu, tapi kalau dia tahu, dia pasti akan pulang walau harus menerobos hujan. Ya, saya yakin itu. Kami memang sahabat yang jauh. Satu-satunya yang mendekatkan kami adalah sifat penakut.
“Saya nggak bisa pulang ini, Di?”

“Ya sudah, nginap di sini aja, Bri,” bujuk saya. Sangat berharap Sobri berkata iya. “Lagian sepertinya kakek sama nenek belum bisa pulang juga.”

“Emang malam ini mereka kerja di mana?” tanya Sobri.
“D rumah Pak Hasan, di dekat sungai. Sedang persiapan bikin jembatan darurat, biar Mak Sulas bisa turun buat lihat makam cucunya.”

“Oke, cukup. Jangan ngomongin Kasmin.”

“Kenapa, Bri?”

“Dia hidupnya saja bikin saya takut, apalagi matinya.”
“Kamu pernah didatangi Kasmin?” tanya saya.

“Sering. Dia itu sebenarnya bukan pengemis, tapi belakangan ini jadi sering minta-minta ke rumah orang. Malam hari lagi. Pengemis-pengemis di simpang tiga Bayang saja nggak ada yang sampai begitu.”
Saya teringat sesuatu. Dalam perjalanan ke sini beberapa hari yang lalu, saya melewati persimpangan yang Sobri maksud. Di sana memang banyak sekali pengemis. Mereka duduk berjajar di sepanjang jalan, di gapura Kampung Bayang.
Saat itu tidak sedikit pun terlintas pikiran yang aneh-aneh, sampai akhirnya saya dihadapkan pada masalah ini.

“Apa Kasmin selalu datang sendiri? Maksud saya, dia nggak pernah bawa teman, gitu?” tanya saya.
“Nggak. Dia memang selalu sendiri. Lagian dia juga dimusuhi sama pengemis-pengemis di simpang tiga Bayang. Mungkin dirasa mengambil jatah mereka.”

“Begitu, ya,” ucap saya.
Sebagai warga, Sobri tentu tahu banyak tentang kampungnya. Di saat yang bersamaan, saya merasa dia tidak tahu apa-apa.
Kami fokus menonton televisi sampai lima belas menit berikutnya. Sobri sudah habis dua batang rokok. Saya sudah habis satu toples keciput. Saya kenyang, Sobri penyakitan.
“Ini hujan kapan redanya, ya?” Keluh Sobri.

“Sudah, nginep aja, Bri!”

“Nggak bisa, Di. Saya belum ngidupin lampu di kandang sapi. Bapak saya juga ikut bantu bikin jembatan. Pastinya dia juga belum pulang.”

“Ibumu?”

“Kerja di luar negeri. Jadi pengusaha kerajinan tangan.”
“Alhamdulillah,” ucap saya.

“Sekarang sudah punya dua anak sama suaminya yang baru,” lanjut Sobri.

“Innalillah,” ucap saya lagi.
Setengah jam setelah bilang begitu, Sobri tidur pulas di kursi ruang tamu. Dengkurnya membuat film aksi yang saya tonton jadi terasa lucu. Saya mematikan televisi. Sepertinya tidak lama lagi akan menyusul Sobri.
Hujan sudah tidak terlalu deras, tapi sebaiknya saya biarkan Sobri tidur saja. Jahat, sih, tapi lebih jahat lagi membangunkan orang yang tidur pulas.
Saya menggelar selimut di lantai ruang tamu. Tak lupa juga membawa bantal dari kamar. Kali ini, pintu dan tirai jendela saya tutup rapat. Kakek bawa kunci sendiri, jadi tidak perlu repot-repot membangunkan saya untuk buka pintu.
Akhirnya, setelah mematikan lampu, saya merebahkan badan. Dengkuran Sobri memang menyebalkan, tapi setidaknya memberi sedikit rasa aman. Mengingatkan saya bahwa saya tidak sendirian.
Tengah malam saya terbangun. Sobri masih konsisten dengan dengkurnya, dan sepertinya kakek dan nenek belum pulang. Pandangan saya masih buram, kepala juga masih pusing. Saya bahkan tidak tahu kenapa saya terbangun.
Tidak ada petir, tidak mati listrik, hujan juga sudah reda. Satu-satunya yang menganggu hanyalah rasa ingin pipis.

Saya beranjak. Jalan sempoyongan menuju kamar mandi yang ada di dapur.
Setelah melewati kamar kakek dan nenek, lalu melewati ruangan terbuka tempat mesin jahit, langkah saya terhenti saat hendak melewati lorong menuju dapur.
Lampu di dapur mati. Gelap dan terang bertemu di tengah lorong. Entah perasaan saya saja, atau memang ada seseorang yang sedang duduk di lantai dapur. Saklar lampu dapur ada di samping meja makan. Saya harus melewati gelap dulu sebelum membuat ruangan itu terang.
Demi kesehatan sang burung hantu, saya tetap harus ke kamar mandi untuk pipis. Saya terobos lorong yang gelap dengan langkah cepat. Begitu jempol kaki saya mencium kaki meja, tangan saya langsung meraba dinding mencari saklar.

“Ketemu!”

Dapur pun jadi terang benderang.
PANGAPORA, CONG.

Nenek itu nyaris menggenggam pergelangan kaki saya. Menengadah dengan wajah pucat yang belum saya hapus dari ruang trauma di kepala. Entah perasaan saya saja, atau kali ini wujudnya lebih menyeramkan.
Pucatnya tidak hanya di wajah, tapi nyaris di sekujur tubuh. Di setiap sisi yang tidak tertutup kain cokelat itu.

Terpaksa saya melompati si nenek. Persetan dengan kesopanan. Kemudian saya berlari kembali ke ruang tamu, sambil tetap membaca ayat suci berharap bisa mengusirnya.
BAGIAN 9

Sobri terpaksa bangun. Sekarang ia duduk dengan wajah kusut, berusaha sebaik mungkin mencerna cerita saya yang tergagap-gagap.
“Ada hantu? Di dapur?” tanya Sobri sambil menguap.

“Iya, Bri. Saya nggak tahu harus cerita sama siapa lagi, tapi sejak jenazah Kasmin dikebumikan, hantu nenek itu datang sendiri setiap malam.”
“Hantu nenek?”

“Nenek yang digendong Kasmin?”

“Kasmin gendong nenek?” Sobri ngeyel.

“Tadinya saya mau cerita, tapi saya takut kamu nggak percaya.”
“Ya, gimana saya mau percaya kalau nggak lihat sendiri? Kalau Kasmin yang sering ngetuk pintu rumah orang tiap malam, itu sudah biasa. Tapi nggak pernah dia gendong orang seperti yang kamu bilang.”
“Pangapora,” ucap saya sambil mengulurkan tangan pada Sobri. “Begitu. Nenek itu selalu bilang gitu sambil ulurin tangan.”

“Hantu ngemis uang?” Sobri tampak akan tertawa.

“Terserahlah!”
Saya menyerah. Saya duduk sambil merokok, menatap fokus pada dapur. Di sana sudah terang benderang, meskipun belum cukup membuat seram barusan hilang.

“Sejak kapan kamu ngerokok?” tanya Sobri.
“Bacot!” sahut saya sambil terbatuk-batuk. Sakit di dada saya akibat asap membuat saya sampai pada sebuah tekad. Saya menyerah. Saya tidak bisa menikmati lagi liburan yang seperti ini.
Keesokan paginya, saya memutuskan untuk segera pulang saja ke kampung halaman. Saya sampaikan itu pada kakek dan nenek, dan tentu saja mereka tidak lantas megizinkan.

“Liburanmu, kan masih lama, Di?”
“Iya, tapi kalau begini terus, bisa-bisa saya mati ketakutan, Kek.” Jawab saya sambil mengemas barang.

Kakek dan nenek saling pandang. Berdiri di pintu kamar menyaksikan cucunya yang sedang bersiap kabur dari medan perang.
“Ini tentang nenek itu, kan? Beneran ada?”

“Lah, kakek kira saya bercanda? Kalian lihat apa yang terjadi sama Kasmin, kan? Dia masih gentayangan padahal sudah seminggu lalu meninggal. Terus kenapa nggak percaya sama hantu nenek-nenek yang saya ceritakan?” saya mulai jengkel.
“Ya, soalnya, Mak Sulas masih hidup, Di. Sekarang saja beliau sudah ada di desa. Sebentar lagi kami mau ke pemakaman Kasmin.”

“Bisa saja itu arwah orang lain!”

“Siapa?”

“Mana saya tahu, Kek!”
Saya menutup pintu dengan keras. Saya biarkan kakek dan nenek membisu di luar. Kesal sekali rasanya jadi orang yang tidak dipercaya sahabat, bahkan kakek dan nenek sendiri. Tekad saya sudah bulat. Hari ini saya harus pulang.
“Ya, sudah,” ucap kakek dari balik pintu, “Sebentar lagi kakek antar ke simpang tiga. Tapi sebelum itu, ikut kakek dulu, ya, ke pemakaman,” bujuknya.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Daniel Ahmad

Daniel Ahmad Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @DanieloAhmad

Jul 14, 2024
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI - CHAPTER 40 (TAMAT)
@bacahorror
@IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
TIGA HARI KEMUDIAN

Aku dan kakek menunggu perahu itu kembali. Duduk di pinggir pantai melawan silau matahari terbit. Sesekali kumenunduk, mencoreti pasir dengan ranting kering, membuat pola tak beraturan yang mewakili perasaanku saat ini.
Read 98 tweets
Feb 2, 2023
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 38, 39

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 38

Lembu hitam besar menghadang di tengah jalan. Tergeming memperhatikan kami lewat matanya yang merah menyala, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak semata ingin melintas, tapi ia punya tujuan, dan tujuan itu adalah menjemput apa yang ia rasa adalah miliknya.
Read 81 tweets
Jan 26, 2023
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN SATU.

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN 1

Keseharian Hayati saat pagi hari tak jauh dari tungku dan sumur. Menjaga agar tungku tetap menyala, serta memastikan peralatan masak bersih dari noda.
Read 111 tweets
Jan 5, 2023
Kakek dan Mbah Sopet harus pulang dengan berjalan kaki. Setelah semua aksi mereka yang membuatku kagum, aku baru sadar kalau keduanya tidak bisa mengendarai sepeda motor.
Read 23 tweets
Dec 22, 2022
CHAPTER 35

Butuh waktu untuk memproses perkataan Pak Edi agar terdengar masuk akal. Ada sebagian kalimat yang tidak jelas kutangkap, tapi sesuatu tentang menghidupkan anak yang sudah mati,--
Read 97 tweets
Dec 15, 2022
Teman-teman yang baru bergabung, silakan lewat pintu masuk dulu.

CHAPTER 33

Usai mendengar cerita dari Mbah Sopet, kami memutuskan untuk segera menyusul kakek. Di luar dugaan, Sugik masih setia menunggu.
Read 62 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(