Tegar, seorang polisi muda yang baru bertugas harus berurusan dengan hal-hal mistis. Salah satunya adalah saat ia terjebak di Kota Ghaib PADANG 12. Diceritakan ulang dari kisahnya kepada saya.
Tahun 2010, Tegar pertama kali ditugaskan sebagai Polisi. Penempatannya di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Kabupaten ini dikenal sebagai asal orang-orang sakti.
Bahkan katanya kalau lagi main ke sana terus ada yang nanya "bawa apa?" Bilang aja gak bawa apa-apa. Karena kalau bilang bawa sesuatu maka akan dikerjai. Soalnya "bawaan" yang dimaksud adalah "ilmu". Jadi gak boleh petantang petenteng.
Tapi Tegar ini sejak kecil tidak percaya dengan hal-hal klenik. Ia tidak percaya dengan cerita-cerita ghaib. Bagi Tegar itu semua tak lebih dari sekedar imajinasi. Walau demikian, Tegar tetap memegang di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Ia berlaku sopan di kota orang.
Seminggu yang lalu saya berjumpa Tegar. Dia cerita banyak hal, tapi ini hanya salah satunya. Tegar yang dulu bukanlah yang sekarang, pengalaman-pengalamannya di sana membuat ia percaya kalau di bumi ini kita berbagi ruang dengan sesuatu dari dimensi yang berbeda.
Sebagai pembuka saya ceritakan dulu persentuhan pertama Tegar dengan makhluk ghaib. Kejadiannya terjadi di kontrakannya. Waktu itu hari masih sore, Tegar bersantai di kamarnya.
Tiba-tiba dari belakang rumahnya Tegar mendengar sesuatu bergedebam keras. Karena penasaran Tegar keluar dan membuka pintu belakang. Ia menemukan dua buah kelapa terjatuh dengan posisi berdempetan. Keduanya tampaknya jatuh bersamaan.
Tegar kemudian mengambil kedua kelapa itu. Tak ada keanehan. Diangkatnya kedua kelapa itu lalu dibawanya kedalam. Dimasukkanya ke dalam lemari makanan bagian bawah. Lalu lemari itu diturup rapat. Tegar kemudian kembali ke kamarnya.
Hari beranjak senja, adzan maghrib berkumandang. Tegar mengambil wudhu lalu menunaikan sholat maghrib. Saat shalat ia mendengar suara di dapur. "Tuk tuk tuk tuk". Tapi Tegar tetap fokus shalat.
Ketika shalatnya selesai, Tegar memberanikan diri mengintip ke dapur. Dan Disitulah tegar melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Pintu lemari sudah terbuka. Kedua kelapa itu seperti melompat-lompat berjalan ke arah pintu belakang. Tegar menahan nafas.
Kedua kelapa itu berputar, seperti kepala yang menoleh kepada Tegar. Lalu kelapa itu terguling begitu saja, tak bergerak. Tegar menunggu sekitar 5 menit. Mereka tak bergerak lagi sama sekali.
Tegar memberaninan diri mendekat. Diangkatnya kedua kelapa itu lalu dilemparnya ke semak-semak di belakang rumah. Sekian detik kemudian terdengar suara seperti orang berlari dari tengah semak tersebut.
Tegar tak habis pikir, peristiwa apa barusan. Sungguh di luar nalar manusia.
Diceritakanlah hal itu besoknya pada temannya, Suryo. Suryo hanya tertawa dan bilang "yang begitu-begitu tak aneh di sini. Jadi jangan heran" katanya.
Suryo ini teman Tegar kalau Patroli. Jadi walau kantornya di kota, mereka biasanya patroli ke berbagai kampung. Di sana kampung-kampung berjauhan. Jalan yang jelek juga jadi hambatan. Tak jarang mereka patroli sampai malam.
Mereka juga mulai terbiasa melalui jalan menembus hutan, melalui perkebunan, hingga beberapa kali tersesat karena lokasinya di antah berantah.
Kabar tentang kota ghaib di Padang 12 adalah rahasia umum. Di balik area luas yang diturupi pasir putih itu kabarnya berdiri sebuah kota ghaib megah yang dihunin orang-orang limun. Ada juga yang menyebut dengan orang kebenaran.
Isu yang beredar bahwa pernah ada pengiriman satu kapal penuh mobil mewah ke kabupaten ketapang. Namun tak satupun mobil itu ada di jalanan Ketapang. Orang-orang bilang, itu milik orang2 Padang 12.
Kisah itu terus hidup dan dipercaya orang-orang. Kota berteknlogi tinggi dan bersembunyi ini mengingatkan kita pada Wakanda.
Nah karena tak peduli hal-hal mistis, Tegar tak pernah mendengar cerita Padang 12 ini. Hingga suatu malam mereka berpatroli melewati area ini. Dan ini adalah awal mula kisah ia tersesat di kota itu.
Penasaran? Kalau penasaran boleh like dan retweet dulu ya karena ceritanya lebih oke kalau saya ceritain malam. Jadi sampai jumpa nanti malam. Mau olahraga dulu.
Jadi malam itu Tegar dan Suryo pulang patroli dari kampung-kampung sekitaran Ketapang. Mereka melalui jalan yang melintasi Padang 12. Di perjalanan Tegar merasa kebelet pipis.
"Bro, berhentilah sebentar. Ndak tahan lagi nih" kata Tegar.
"Sabar, nanti aja"
"Udah di ujung ni!"
Tegar bersikeras, tapi Suryo tampak tak mau memberhentikan mobil patroli itu. Tapi Tegar benar-benar audah tak tahan.
"Kalau tak berhenti, biar aku lompat" kata Tegar mengancam. Suryo meminggirkan mobilnya. Ia mengalah.
Lokasi mereka berhenti bukan di area pasir putih itu, namun tidak begitu jauh. Tegar berjalan sedikit jauh ke arah semak-semak. Ia membelakangi mobil patroli.
Saat Tegar buang air kecil tiba-tiba suara mobil perlahan hilang. Ia berpikir kalau Suryo mematikan mesin. Tapi saat Tegar berbalik, ia tak melihat ada mobil di sana.
"Sialan, kemana perginya Suryo?"
"Sur! Sur!" Seru Tegar. Tak ada yang menyahut. Tegar berjalan ke arah jalan, lengang. Di sekitarnya hanya gelap.
Tegar memgeluarkan handphonenya. Mungkin Suryo lupa, atau sesuatu terjadi pada Suryo. Tak ada sinyal. Sama sekali tak ada sinyal. Tegar terjebak di tempat itu, di antah berantah.
Yang Tegar pikirkan adalah bagaimana ia bertahan sampai besok. Ketika hari terang, ia akan mencari jalan pulang. Ia berharap menemukan gubuk untuk istirahat melepas penat.
Langit malam itu sangat cerah, bulan purnama jelas tak tertutup awan. Tegar menemukan sebuah jalan setapak. "Jangan-jangan ini memgarah ke rumah orang" pikirnya. Maka ia terus berjalan mengikuti jalan tersebut. Jalan tersebut tampak lapang dengan pepohonan rindang di kanan kiri.
Suasana juga sangat sepi. Tak ada suara burung atau jankrik. Alam seperti sedang di-silent. Tapi Tegar tak terlalu memikirkan. Ia hanya mencari tempat untuk istirahat.
Tegar terus berjalan hingga menemukan sebuah gubuk reot di tepi jalan. Bentuknya kayak Pos Ronda. Tak berdinding beratap daun. Tegar berhenti di situ sambil membuka handphone berharap mendapat sinyal. Tapi tetap nihil.
Direbahkannya badan di gubuk itu. Ia berusaha memejamkan mata. Namun ia mendengar langkah mendekat. Tegar kembali duduk. Tampak seorang bapak tua berdiri di dekatnya.
"Mau istirahat ya?" Tanya bapak itu.
"Iya pak" jawab Tegar tak menaruh curiga. Mungkin itu warga lokal pikirnya.
"Gubuk ini ada yang punya. Sebaiknya anak tidak tidur di sini" kata Bapak itu.
"Oh maaf pak, saya tidak tahu. Saya hanya menumpang istirahat sambil menunggu pagi" kata Tegar.
"Kalau mau istirahat, ikut saya saja" kata Bapak itu.
Tegar tak banyak bertanya. Bersyukur ia menemukan orang yang mau membantunya. Bapak itu berjalan di depan dengan tongkat dari kayu. Tegar mengikuti dari belakang. Jalan setapak tadi tampak lurus, tak berbelok sama sekali.
"Masih jauh pak?" Tanya Tegar mulai merasa lelah. Ia sudah mengantuk. Itu sekitar pukul 11 malam.
"Sudah dekat nak" kata bapak itu. Dan benar saja, beberapa menit kemudian jalan itu mulai disinari lampu-lampu. Mereka tiba di tepian sungan yang rapi. Seperti "water front". Tegar takjub bukan kepalang. Tak pernah tahu di tempat terpencil itu ada sebuah tempat sebagus itu.
"Rumah bapak dimana?" Tanya Tegar.
"Di sana!" Kata bapak itu sambil menunjuk ke seberang. Dan di situlah Tegar kaget bukan kepalang. Dilihatnya sebuah kota megah di bawah purnama. Lampu-lampu kota menyala terang. Masih ramai orang berlalu lalang.
"Tempat apa ini?" Tanya Tegar.
"Tak perlu bertanya, kau mau istirahat bukan?" tanya bapak itu.
"Iya pak"
"Ikutlah dengan saya kalau begitu"
"Tidak pak, saya pulang saja. Teman saya mungkin mencari saya" kata Tegar. Ia merasa ini semua begitu aneh.
Bapak itu mencengkram tangan Tegar.
"Sudah ikut saya saja! Kau tak mau kenapa napa bukan?" Mata bapak itu tampak melotot. Tegar merasakan kengerian luar biasa. Badannya mendadak lemas. Ia tak kuasa menolak. Tapi ia menyadari ada yang salah.
Sebentar. Makan dulu.
"Pak, saya izin pulang saja pak" kata Tegar sekali lagi.
"Ya sudah, kalau itu maumu" kata Bapak itu. Ia melepas cengkraman dari tangan Tegar. Kekuatan Tegar perlahan pulih.
"Tapi kau bawalah ini" kata bapak itu sambil memberi sepotong kayu kering.
"Untuk apa ini?" Tanya Tegar.
"Ini akan membimbingmu kembali ke sini" kata bapak itu. Ia lalu meninggalkan Tegar di tepi sungai itu. Bapak itu menghilang di tengah kegelapan.
Tegar berjalan menjauhi tempat tadi. Lampu2 terang itu mulai jauh di belakangnya. Ia hanya perlu berjalan lurus saja seperti saat ia datang. Tapi ia menyadari sesuatu, jalanan itu berubah. Jalanan tampak becek, pohon besar di kanan kiri. Rerimbunan pohon menutup cahaya bulan.
Jalan itu sama sekali berbeda dengan jalan yang dilaluinya tadi. Tegar tak mengenal jalan itu. Bagaimana mungkin? Apakah ia tersesat?. Tapi ya yakin tadi ia melalui jalur yang sama.
Lalu di kanan dan kirinya Tegar mendengar sesuatu berkelebat kencang. Daun-daun pohon bergemerisik seperti tertiup angin. Ada yang tak beres. Tegar mengambil handphone dan menyalakan flash. Tak ada siapa-siapa.
Suasana jalan terasa begitu mencekam. Berbalik berarti kembali ke tempat bapak tadi, maju Tegar tak tahu arah tujuannya.
Tegar memilih maju. Sudah ia tolak tawaran bapak tadi. Tak enak ia kembali.
Jauh Tegar berjalan Tegar menemukan gubuk yang tadi. Badan Tegar begitu lelah. Tak ada siapa-siapa di gubuk itu.
"Aneh, aku bisa sampai ke sini. Tapi jalan tadi jelas berbeda" pikir Tegar. Karena badannya terasa remuk redam, Tegar memutuskan untuk tidur.
Tegar tertidur. Tapi udara mendadak panas. Tegar merasa sangat gerah. Ia membuka mata. Gubuk itu terbakar. Tegar panik dan menghindari dari atap yang berguguran.
Tegar melompat ke jalan. Seseorang berbaju hitam berdiri di depannya.
"Kenapa kau kemari?" Tanya sosok itu. Matanya merah menyala.
"Kenapa kau kemari?" Tanyanya sekali lagi.
"Aku tak tahu. Aku tersesat" kata Tegar.
Sosok itu mencengkram lengan Tegar.
"Ikut aku kalau begitu" ia lalu menarik Tegar. Tapi Tegar berusaha melawan. Terdengar tawa di sekitar. Dari balik rerimbunan berpuluh2 sosok pendek keluar. Mata mereka hijau.
"Aku akan pulang" kata Tegar. Ia berusaha melepas cengkraman itu lalu berlari. Tapi saat hendak berlari kakinya terkulai lemas. Tegar terjerembab.
Sosok-sosok kecil itu mendekat dan menyeringai. Liurnya menetes-netes. Tegar hanya berharap ia sedang bermimpi buruk. Tempat apa itu? Apa yang terjadi dengan dirinya!.
Tegar merogoh sakunya. Ia ingin mengeluarkan handphone berharap dapat mengusir makhluk-makhluk itu dengan cahaya flash. Tapi ia malah menemukan kayu. Ah dia ingat kayu itu. Ia tak tahu fungsinya, ia genggam erat saja kayu itu.
Sosok berbaju hitam yang mencengkramnya tadi tampak berang. Ia melangkah ke arah Tegar namun saat hendak menyentuh tegar ia menarik tangannya dan meringis kesakitan. Kayu itu bercahaya terang benderang.
Sekian detik kemudian seperti ada cahaya flash dari kayu itu semua mendadak terang dan Tegar terlempar. Ia di jalan setapak lurus dengan pohon rindang di kanan dan kiri. Ia kenal jalan itu.
Kali ini di depan Tegar berdiri seorang gadis dengan baju berwarna biru terang. Baju itu tampak berkilauan di bawah cahaya purnama.
"Siapa lagi kau ini? Aku mau pulang" kata Tegar.
"Ayah bilang kau akan kembali ke sini. Aku disuruh ayah menjemputmu Tegar" kata gadis itu
Gadis itu menarik tangan Tegar. Tangannya terasa dingin.
"Kau anak bapak tadi?"
"Benar. Ayah sudah memperingatkanmu agar tak pergi. Tapi kau memaksa. Makanya ayah memberimu kayu itu" kata gadis itu.
"Sekarang ikutlah denganku" katanya lagi.
Tapi tiba-tiba seperti ada yang menarik tegar. Tegar mundur beberapa langkah ke belakang. Tawa riuh terdengar. Aura panas menyergap.
Leher Tegar dicengkram oleh sosok berbaju hitam tadi. Gadis berbaju biru itu kaget.
Tegar merasakan panas menjalar2 di seluruh tubuhnya. Tegar meraih kayu tadi dan menancapkan ke perut sosk hitam itu. Sosok itu lenyap bagai bayangan. Tegar terjerembab.
"Ikutlah denganku, biar kuobati lukamu" kata Gadis itu melihat bekas luka bakar di leher Tegar. Tegar berusaha bangkit dan berjalan dengan dipapah gadis itu. Aromanya begitu harum. Tubuhnya begitu sejuk.
Tegar tak dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas. Tapi aroma itu sungguh membuat jantungnya berdegub kencang.
"Darimana kau tahu namaku?" Tanya Tegar.
"Tak perlu banyak bertanya bang. Nanti bang Tegar juga akan mengerti" kata gadis itu.
Tegar dan gadis itu tiba di tempat tadi Tegar meninggalkan bapak yang membawanya. Dari seberang sungai seorang bapak mengayuh perahu. Kabut mengambang di atas sungai yang tenang. Tegar mendengar jelas suara air yang dihantum kayuh.
Tegar mengikuti gadis itu turun ke perahu. Bapak pengemudi perahu tidak berbicara. Ia memutar haluan dan membawa tegar menyeberang.
"Kalau boleh tahu, tempat apa ini?"
"Ini Adalah kota kami. Hanya orang-orang terpilih yang dapat datang kemari. Kau beruntung bang Tegar" kata gadis itu.
"Lalu yang tadi siapa?"
"Itu biar ayah yang cerita. Tugasku hanya menjemputmu bang" kata gadis itu.
"Dan sekali lagi bang, kau tak perlu banyak tanya. Cukup ikut saja" tambahnya. Tegar hanya terdiam.
Sebentar sebentar. Ada revisi kerjaan dari kantor jam segini. Menyebalkan tapi bagaimana lagi.
Tegar diajak berjalan melalui lorong kota. Orang-orang masih ramai duduk di kafe-kafe tepi jalan. Tegar melihat berbagai kendaraan yang tak pernah ia jumpai sebelumnya. Gadis itu menarik tangan tegar. Mereka.
Orang-orang itu menatap tegar dengan tatapan yang aneh. Mereka sampai di depan sebuah kios. Bapak-bapak tadi sedang memoles sebuah batu dengan kain.
"Saya tahu, kamu pasti akan datang" kata pak tua itu.
"Antarkan dia untuk istirahat" kata pak tua itu pada anaknya.
Gadis itu membawa Tegar ke kamar di lantai dua. Berbeda dengan gedung2 di sekitar, bangunan itu terbuat dari kayu. Lantainya berderit kalau kita berjalan dengan cepat. Gadis itu tersenyum dan meninggalkan Tegar di kamar sendirian.
Karena terlalu lelah, Tegar langsung tertidur. Matanya memang sudah sangat mengantuk.
Matahari sudah tinggi ketika Tegar terbangun. Di luar orang ramai berlalu lalang. Di sampingnya sudah diediakan semacam roti dan secangkir minuman beraroma jahe. Tegar hendak memakannya hingga tiba-tiba seseorang mengetuk jendela kamar itu.
"Jangan minum" kata bocah lelaki di depan jendela.
"Kenapa?"
"Nanti kujelaskan. Temui aku di tepi sungai" kata bocah itu lalu melompat ke bangunan sebelah.
"Kau jangan berlama-lama di sini!" Serunya.
Yak ketiduran hahaha.
Tegar pun turun ke lantai bawah. Gadis sedang bersama ayahnya. Ternyata bagian bawah tempat itu seperti sebuah toko. Orang-orang membeli barang-barang aneh si bapak dengan kunyit.
"Sudah bangun kau rupanya? Sudah makan?" Tanya si gadis.
"Sudah" kata Tegar. Roti itu kini ada dalam sakunya, sedangkan minumannya ia tuang tadi di jendela.
"Bagus kalau begitu. Kau mau jalan-jalan?" Tanya gadis
"Iya. Mau melihat sekitar sebentar"
"Kalau begitu tunggu aku sebentar" kata si gadis.
Ketika Si Gadis masuk ke dalam, Tegar keluar. Orang-orang ramai berlalu lalang. Di siang hari ia dapat melihat semua dengan jelas. Lngit biru, gedung-gedung tinggi, orang-prang pendek, juga kendaraan yang berlalu lalang. Semua terlihat berbeda. Asing.
Tapi yang Tegar pikirkan sekarang adalah cara untuk pulang. Tapi ia perlu bertemu bocah tadi. Maka ia berjalan ke arah sungai. Orang-orang masih memperhatikannya dengan tatapan yang aneh.
Tegar sampai di tepi sungai. Dengan keramaian di kota, sungai itu tampak lengang. Hanya ada satu pak tua pengemudi perahu yang bersandar di dermaga.
Lalu dari balik pohon terdengar suara "ssst"
Tegar menoleh. Bocah tadi pagi di sana.
Tegar mendekat.
Bocah itu menarik tangan Tegar ke sisi rerimbunan pohon.
"Kau harus pulang" kata bocah itu
"Kenapa?"
"Kau bukan dari sini kan?"
"Iya benar"
"Kau harus pulang. Jangan sampi kau terjebak seperti aku. Kau harus bisa merayu mereka untuk mengembalikanmu" kata bocah itu.
"Siapa namamu? Fatih , aku Fatih"
"Aku Tegar"
"Dari seragammu kuduga kau polisi"
"Iya aku polisi"
"Ah para Polisi pasti sedang mencariku"
"Mencarimu?"
1990
Seorang anak berusia sekitar 15 tahun hilang setelah izin ke orang tuanya pergi bersama teman-temannya. Mereka menumpang pick up ke kota. Namun di perjalanan mobil mereka amblas oleh jalan yang becek. Saat menunggu mobil bisa jalan lagi, satu di antara mereka hilang. Fatih.
"Kamu kemari tahun 1990?"
"Iya memangnya kenapa?"
"Ini sudah 2010"
"Heh bagaimana mungkin?. Aku baru satu tahunan di sini"
"Tapi kau memang tak nampak menua. Tempat apa ini sebenarnya?"
"Kota ini sama seperti kota manusia biasa. Di sini ada orang baik, adapula orang jahat. Ada banyak manusia dari luar seperti kita"
"Lalu dimana mereka?"
"Kau ingat minuman itu?"
"Iya"
"Itu akan menghapus memori dunia kita"
"Jadi mereka lupa?"
"Benar"
"Kau bagaimana?"
"Sama sepertimu, aku tidak meminumnya"
Tegar semakin bingung. Apa yang terjadi sebenarnya. Semua itu terlihat mustahil.
Oh ya, ingatan Tegar tak sejelas ini. Dialognya juga gak sedetail ini. Saya berusaha mengemas ulang ceritanya sebaik mungkin agar bisa dinikmati.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ulak Rohim pulang ke kampung halaman karena mertuanya mulai sakit-sakitan. Namun pengalaman di rumah mertua itu menjadi pengalaman yang sangat tak menyenangkan.
RUMAH MERTUA
Dikisahkan oleh putra beliau puluhan tahun kemudian.
thread akan saya mulai pukul 7. boleh dilike dan diretweet dulu ya kawan-kawan.
Ulak Rohim adalah seorang pedagang di perbatasan Kapuas Hulu dan Malaysia. Kerja kerasnya di masa muda membuat Ulak Rohim dapat dikatakan sukses. Namun suatu waktu ia mendengar bapak mertuanya, Ai Ratong jatuh sakit.
Suatu waktu Umak (ibu saya), pergi berkunjung ke rumah kakak keluarga dari kakak Iparnya. Waktu itu usianya sekitar 17 tahun. Kisah ini baru diceritakan beliau saat saya pulang akhir tahun kemarin.
Untuk menceritakan ulang cerita ini saya seperti mengumpulkan puzle. Beruntung saya sempat pulang ke kapuas hulu dan mendapat cerita lainnya yang melengkapi cerita ini.
Kematian? Banyak Orang takut menghadapi sang Maut. Tapi tidak bagi Mak Cik Ramani. Ketika Kehidupan sudah begitu menyakitkan, ia ingin maut sehera menjemput. Tapi maut malah terasa semakin jauh. sesuatu dari masa lalu, menyiksanya hidup-hidup.
Kalau ada orang paling kaya di kampung kami tak lain dan tak bukan ialah Mak Cik Ramani. Janda tua tanpa anak. suaminya meninggal akibat kecelakaan di tambang emas liar. Tapi segala kekayaan itu, tak membuatnya bahagia. Sama sekali tidak.
Biar saya ceritakan terlebih dahulu kisah Bang Mahran. Suami Mak Cik Ramani yang tewas itu. Orangnya berbudi pekerti yang baik. Orang tak pernah menyangka ia akan tewas dengan begitu menyedihkan. Tangannya masuk ke mesin, lalu ia kehabisan darah.
Sekitar seminggu yang lalu saya berjumpa Wawan. Dia follower akun ini. Dia bilang dia ingin menyampaikan sebuah cerita. Setelah sempat batal bertemu karena PSBB kedua kemarin, akhirnya kami bertemu.
Wawan usianya sekitar 35 tahun. Kejadian ini menimpa kakaknya, MILA. Oh ya, Wawan mengajak saya bertemu karena dia juga dari Pontianak. Katanya dia sejang saat menemukan akun saya yang banyak bercerita dengan latar belakang Kal-Bar.
Hari minggu yang lalu saya berjumpa seorang teman dari Pontianak. Kami kenal di sebuah forum sekitar tahun 2012. Saya tunjukkan akun ini dan dia ternyata punya cerita untuk diceritakan. Sebuah peristiwa di Tahun 2007, saat dia SMA.
Kali ini dari pengalaman pribadi, tahun 2016 sempat mau beli rumah karena harganya yang murah. Rumah kayu di tepian kota Pontianak itu ternyata menyimpan banyak cerita.
Jadi saya pertama kali dapat kerja tahun 2015. Biasa masih muda, langsung ngerasa punya uang dan impiannya langsung tinggi aja. Nabung dikit terus niat buat beli rumah. Tapikan harga rumah sekarang kan gila-gila kan ya. Sampai saya dapat info soal rumah itu.
Saya tidak akan menyebutkan rumah ini dengan spesifik. Yang jelas lokasinya itu di perbatasan Kubu Raya dan Pontianak. Untuk sampai ke rumah itu dari jalan raya harus masuk kompleks dan masuk jauh ke dalam. Setelah belok sana sini nanti akan ketemu tuh rumah tua dari kayu.