, 128 tweets, 18 min read
My Authors
Read all threads
hai, selamat malam..
Saya sedang dalam tahap penulisan cerita ini. Sebuah kisah nyata yang dialami keluarga saya sendiri. Mohon doa semoga tidak banyak hambatan dalam penyelesaian.
@BacahorrorCom @bacahorror @bagihorror @threadhorror_id @IDN_Horor
#bacahorror #threadhorror
Bahkan kasih sayang seorang ibu tiada putus meski raga sudah terpisah dengan nyawa. Pada jasad yang tlah terkubur, ada cinta yang tetap tumbuh subur.
Tahun 1980, Sebuah desa dengan inisial NR.
Aku, Danum (Ada dicerita “Tumbal Hutan Arai”) adalah anak ketiga dari 5 bersaudara, 2 kakak kembarku meninggal pada saat dilahirkan.
1 adikku berusia 5 tahun bernama Ita.
Dan hari ini, adalah hari dimana adik bungsuku Uci dilahirkan sekaligus hari yang menjadi awal mula kepedihan hidup kami sebagai anak yatim tanpa ibu.
Karena ibuku meninggal pada saat melahirkan adik bungsuku.
“Paaakk..oo pakkk.. tolong panggilkan Nek Atoy di kampung sebelah. Perutku dah sakit sekali..” Kata umak malam itu.
Nek Atoy adalah dukun beranak yang tersohor pada masanya.
Jaman dulu, belum ada dokter ataupun bidan di kampung kami. Semua hal yang berkaitan dengan orang sakit dibawa ke dukun. Iya, dukun kampung.

“sabar ya, ini aku siapkan sampan untuk jemput nenek. Kau tahan dulu ya. Tunggulah barang satu jam.” Jawab apak.
Jarak antara kampung kami dengan kampung tempat tinggal Nek Atoy memang tidak terlalu jauh hanya saja menuju kesana cuma bisa menggunakan sampan karena akses darat antar kampung masih tertutup oleh rimbunan hutan.
Dan juga letak perkampungan yang ditepi sungai membuat transportasi air menjadi pilihan utama untuk pergi kemana-mana.
Ditambah lagi, menuju kampung Nek Atoy artinya apak harus berkayuh melawan arus sehingga akan memakan waktu cukup lama kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki karena uncak sungai yang berupa riam tidak bisa dilalui oleh sampan kecuali dalam kondisi air sungai pasang/naik.
“oo num, tolong jaga umak di rumah. Apak mau jemput nek Atoy dulu. Kau jangan kemana-mana ya.” Lanjut apak sambil memegang pundakku.

“Aok Pak, nanti aku jaga umak.” Jawabku yang pada saat itu berusia 8 tahun.
Pergilah apak menyusur sungai dengan sampan menjemput nek Atoy.

Ntah sial apa, sampan yang dibawa apak karam menabrak batu.
Tidak ada hujan apalagi badai, sampan yang apak bawa menjadi tidak seimbang sehingga apak kepayahan mengendalikan sampan miliknya itu.
Sekelebat mata, apak yang jatuh kedalam air dengan kondisi sampan yang terbalik melihat ada “segulung tikar” berenang dibawah air sungai.

“Mau petanda apa ni ya, kok tiba-tiba sial gini.” Ujar apak dalam hati.
Menurut kepercayaan, Hantu air yang berwujud tikar ini adalah pertanda buruk bagi yang melihatnya.
Ntah akan ada kejadian tak diinginkan, ataupun duka cita namun apak berusaha menepis prasangka buruknya malam itu.
Sudahlah malam, penerangan kurang, sampan karam juga berada jauh dari pemukiman membuat bapak hampir kehabisan harapan.

Sampai akhirnya apak melihat cahaya senter yang menyorot dari arah hilir sungai.
Harap-harap cemas, ternyata salah satu penduduk dari kampung yang sama dengan Nek Atoy yang lewat.

“oiiii...kituuk (kesini) oiiiii.. tolong aku..” Teriak apak berulang.
“oo su, ngapa nuan?? Mau kemana??.” Sebuah teriakan balasan dari seseorang yang apak sangat kenal suaranya.

Ialah Paman Simon yang terus berkayuh mendekati sampan apak.
“Oi mon, aku mau ke rumah Nek Atoy. Itu bah, istri aku mau melahirkan tapi malah kebadi macam ini. Bisa kah nuan bantu aku?.” Tanya apak tanpa basa basi karena yang dipikiran hanya umak dirumah yang menantinya.
“wai boleh, kita angkat dulu sampan nuan. Pinggirkan jak, besok kita bawa pulangnya. Sekarang aku antar ke tempat Nek Atoy.” Ucap Paman Simon.

“Makasih banyak bah mon, nanti aku kasi beras pulut.” Ucap apak kemudian.
“Dah lah su, aku ni nolong. Ndak usah mikirkan ini itu dulu ya.” Jawab Paman Simon lagi.

Apak dan Paman Simon dengan susah payah menarik dan menepikan sampan. Menambatkannya disebuah batang pohon pinggir sungai.
Sepanjang jalan bersama dengan paman simon, apak yang berada di bagian belakang sampan merasa ada yang menggaruk punggungnya. diraba oleh apak, tak ada apapun. tak lama sesusatu tsb kembali menggaruk-garuk punggungnya. Apak mulai merasa takut.
Paman simon yang mengatur kemudi, merasakan semilir angin berhembus pelan namun menghasilkan suasana yang menegangkan.

Ia mengedarkan pandangan ke pepohonan yang ada di sepanjang tepian aliran sungai.
Melihat sekitarnya seperti banyak mata yang memandang kearah mereka berdua, berkejar-kejaran membuntuti sampan yang bergerak pelan dari sisi sungai.

Mata yang berterbangan hinggap dari dahan pohon ke pohon lain.
“Oo su, banyak jolu (hantu) ngikut kita ni..” ucap paman simon pelan sambil menoleh kearah apak.

“Iya, biar lah mon. Pura-pura ndak liat jak.” Jawab apak sekenanya.
Apak yang juga melihat keberadaan ‘mereka’ hanya berusaha untuk mengabaikan meski hati merasa tidak tenang. *****
Memakan waktu yang cukup lama berhasil membuat apak khawatir juga bimbang karena janjinya pada umak hanya pergi selama 1 jam tentu tidak akan sesuai rencana.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, artinya sudah hampir 2,5 jam apak dalam perjalanan namun belum juga sampai ketempat Nek Atoy dan membawanya kepada umak.
“Mon, ndak bisa lebih cepat kah??.” Tanya Apak pada Paman Simon.

“Gimana su, kita ni bekayoh pakai kayu, lagipula kita ngelawan arus. Sabar bah su, berdoa jak istri nuan kuat nunggu.” Jawab Paman Simon menenangkan apak yang terlihat gusar.
Dalam keadaan basah kuyup mereka berdua melawan arus juga rasa dingin, berteman dengan diam dan suara air.

Dalam diamnya, apak memikirkan si hantu tikar yang meskipun sudah berusaha diabaikan namun tetap saja terlintas di kepala.
Sementara itu, di rumah kami.
______________________________________________________________

“Mana apak ikau ya num, dah mau 3 jam.. ndak kuat umak ni.” Ujar umak sambil menyeka air mata yang sesekali meleleh.
Mungkin menahan sakitnya kontraksi menjelang kehamilan.
Di dekat kakinya kulihat ada darah dan air juga lendir yang merembes.
Cairan berbau anyir itu menetes di sela-sela papan rumah kami.
Rumah kami adalah rumah betang dengan lantai dan dinding papan.
*contoh rumah di kampung. sumber gambar dari Travelblog.id
Lantainya sendiri disebagian sekat ruangan berupa susunan papan yang tidak rapat sehingga kita bisa melihat apa yang ada di bawah lantai rumah.
Diwaktu yang sama, tak sengaja aku mendengar suara napas binatang.

“ggrrkk..grrkk..”
Kuarahkan mataku ke sumber suara, di bawah lantai tepat di bawah tempat umak duduk kulihat ada 2 ekor binatang bermata merah berkeliaran sambil menjilati cairan dan darah yang menetes dari selangkangan umak.
Dengan keadaan takut dan gemetar aku bertanya

“makk.. ih apa tuu makk. Ngapa binatang itu jilatin darah..” tanyaku bertubi-tubi dengan rasa ngeri dan jijik sambil berlindung dibalik kain umak.
“Ndak usah kau liat num, biar jak. Mending sana kau tunggu apak di lanting.” Kata umak menyuruhku keluar.

Lanting merupakan rumah rakit tradisional yang dibangun dengan pondasi kayu dan konstruksi mengapung.
Kupandangi umak, kulihat matanya.
Seperti ada yang berbeda dengan suara yang keluar dari mulut umak hari ini.

“Mak, ngapa bah? Aku ndak mau ke lanting, aku kan jaga umak.” Jawabku pelan
“Ndak apa, biar kalau apak sampai kau bisa langsung bilang sama umak.” Ujarnya lagi sambil mengelus kepalaku seolah caranya tersebut akan berhasil membuat aku lebih tenang.
“ggrrrkk..ggrrkk..” lagi. Suara dari binatang dibawah lantai benar-benar mengganggu pikiranku.

Kulihat sudah bertambah jumlahnya menjadi 3 ekor.
Sedemikian lahap dan menjijikkan binatang-binatang aneh itu menjilati darah dan lendir yang keluar menderas.
Mual aku melihatnya, ditambah lagi bau amis benar-benar memenuhi rongga hidungku.

Dengan terpaksa aku berlari menuju lanting berharap apak segera datang.
Setengah jam berlalu, aku yang masih dikelilingi rasa ngeri menunggu apak datang.
Hingga kulihat samar-samar ada sampan dengan ukuran sedang menuju kearah lanting tempat aku berjongkok menanti.

Benar, apak datang.
Merapatlah mereka,

“Pak, mana sampan? Kok lain sampannya?.” Tanyaku pada apak.

Kulihat ia bersama 2 orang lain, yaitu Paman Simon dan Nek Atoy.
“Nanti lah apak cerita, kau ngapa ke lanting? Kan tadi apak nyuruh nunggu umak.” Sahut apak memandangku was-was.

“Umak suruh aku nunggu apak disini biar kalau dah datang langsung naik. Tadi tu umak dah bedarah.” Jawabku menjelaskan
“Bajat..!! Ayok cepat. Nanti ada bajat..!!” dengan wajah tegang Nek Atoy yang baru menginjak lanting langsung berlari mendahului kami semua menuju rumah.

Aku bingung, tak tau menau apa yang dikatakan olehnya.
Begitu aku, apak dan paman simon sampai kedepan pintu terdengar nek atoy berucap

“ooo aaii, kasih mantau.. (Aduhai.. kasian liatnya) Mati dah istri kau...” Kata nek atoy sambil menggendong seorang bayi perempuan.
Apak yang mendengarnya bergegas masuk, begitu pula aku.

“Nek ngapa bisa nek?.” Apak terisak menangis bersimpuh di sebelah umak yang telentang dilantai.
“Umak kau dah ndak ada num.. ini adek kau ni, sukur dia hidup..” Ujan Nek atoy sendu.

“Ngapa umak aku nek??.” Tanyaku sambil menangis deras

“Tembunik (ari-ari) adek kau sangkut didalam ndak bisa keluar. Umak kau ndak kuat sakit.” kata Nek Atoy.
“Tu lah apak tu ngapa lama jemput nenek huu..hu.. mati kan umakku pak.. dah ndak punya umak lagi aku.” Jeritku sambil memukul apak berkali-kali.
“Maap bah num, tadi sampan karam. Mana apak tau kalau jadi kayak gini. Mungkin tadi tu pertanda juga.” Jawab apak sambil menyeka air mata.

“Pertanda gimana ? ada apa emangnya tadi?” Tanya Nek Atoy pada apak.
“Tadi tu sampanku karam nek, pas aku di air ada hantu tikar. Ada 2 kali aku liat mahluk itu mutar-mutar berenang ngelilingin sampan. Dari situ perasaan udah ndak enak, Cuma ku tepis lah berdoa semoga ndak ada hal jelek terjadi. Rupanya ini.” Jelas apak.
Nek atoy lalu memandangku dengan tatapan menyelidik, dia seperti tau sesuatu.
Aku yang sedih, takut, juga ngeri langsung berujar
“Tadi, sebelum apak sampai. Umak bedarah banyak, darahnya netes ke bawah lantai. Disana ada binatang matanya merah jilatin darah lendir umak, ada mungkin 3 ekor nek. Umak ndak mau bilang itu apa, cuma abis itu lah umak nyuruh aku ke lanting.” Ucapku tersedu menangis
“Waaii benar aku bilang kan, Bajat itu. Bukan binatang, memang hantu ngisap darah orang mau mati. Mungkin itu makanya umak nyuruh kau ke lanting. Biar ndak liat dia mati.” Ujar nek atoy berkaca-kaca sambil menimang adik perempuanku yang sudah berhenti menjerit.
Aku yang mendengar ucapan nek atoy semakin merasa sedih, karena membiarkan umak meninggal tanpa ditemani aku ataupun apak.

Nek atoy kemudian menyerahkan adikku kepelukan apak.
Lalu Nek atoy mengurut perut umak dan berusaha mengeluarkan tembunik yang ketinggalan didalam agar bisa segera dikubur.

Sedangkan paman simon keluar rumah memberi kabar pada sanak saudara dan tetangga kampung untuk membantu proses pembersihan dan pemakaman umak.
Dimalam yang sama umak dimandikan.
Menurut adat dan kepercayaan di kampung, orang yang “mati jelek” (seperti meninggal karena santet/teluh, meninggal saat melahirkan, dsb) harus dimandikan dan dikeramas rambutnya dengan getah paku/pakis dan rebung.
Yang mana dalam masa berkabung selama 7 hari pantang untuk berpergian, pantang untuk berburu juga pantang makan pakis dan rebung.
Karena apabila dilanggar, jika berpergian akan mendapatkan bala bencana, bila berburu maka didalam daging hasil buruannya akan dipenuhi rambut dan tikar bekas si mayat dimandikan, dan bila memasak pakis rebung, maka makanannya akan berbau amis mayat.
Kulihat umakku dimandikan dan dikeramas dengan pakis rebung. Kutemani ia hingga dimasukkan kedalam peti mati.

Tetua kampung menutup mata umak dengan koin perak. Aku yang tidak pernah melihatnya pun merasa ingin tau lalu bertanya pada apak,
“ngapa mata umak ditutup koin pak?.” Tanyaku pada apak sambil memeluk lengannya.

“Iya, memang tradisi kita kayak gitu. Kalau dalam seminggu koin jatuh dari matanya berarti umak kau tau kalau dia udah meninggal. Kalau koin masih utuh di matanya, nanti bangkit.”
- Kata apak menjelaskan. Semakin kuperhatikan, semakin aneh kulihat. wajah umak di bedaki dengan abu.
Orang-orang yang memandikan dan mengangkat petinya pun dilempar abu.
Apak yang paham aku keheranan menjabarkan bahwa orang mati jelek memang banyak syarat dan pantangan selama sekian waktu.

Abu yang dilempar itu bertujuan untuk mengusir energi jahat atau setidaknya meminimalisir karena umak mati dalam keadaan seperti itu.
Lepas 7 hari kematian umak..

“Pak, Umak dah ndak ada. Siapa yang urus aku, Ita sama uci nanti?” tanyaku pada apak siang itu.
“Minggu depan bik Nur bawa kalian ke kota ya, maaf num apak bukannya ndak mau ngurus. Cuma apak rasa kalian bisa lebih nyaman dan aman kalau tinggal di Kota. Biar kau sama uci bisa sekolah. Nanti setiap bulan apak jenguk.” Jawab apak dengan mata berkaca-kaca.
Aku mengangguk belajar untuk memahami kondisi, di sisi lain akupun ingin merasakan bagaimana rasanya sekolah. Sebab di kampung belum ada sekolah yang layak pada saat itu.
Bik Nur sendiri merupakan adik dari umak. Mereka sejak lama meninggalkan kampung dan menetap di Kabupaten. kabar kematian umak sampai terlambat ke telinga Bik Nur dan keluarga karena terbatasnya --
--alat komunikasi ditambah lagi jarak kampung ke Kabupaten menempuh waktu sehari semalam lewat jalur sungai.

Selama menunggu Bik Nur, Uci kuberi asupan air tajin (air rebusan beras) setiap hari sebagai pengganti asi.
Uci tidak pernah rewel, hanya saja setiap magrib semenjak ia lahir acapkali menjerit hingga berjam-jam lamanya dan baru akan berhenti setelah kelelahan menangis.
Hingga akhirnya keluarga dari kota datang. Aku, Ita dan Uci diboyong bik Nur keluar dari kampung.
Tepat 14 hari kematian umak, setelah sehari semalam kami berada di air akhirnya sampailah ke Kota.
“Num, adek kau ndak usah di kasi air tajin lagi. Udah ada susu. Terus, panggil bibik ni ibu. Anggap lah ibu kalian sekarang ya..” Kata Bik Nur yang setelah saat itu kami memanggilnya dengan sebutan ibu.

“iya bu..” Jawabku singkat
Namun, masih saja setiap magrib hingga larut malam uci menjerit-jerit keras. Kukira uci buang air besar atau ngompol. Atau mungkin sakit. Namun setiap diperiksa tidak ada bekas ompol maupun eek nya dan kondisi badannya normal-normal saja.
Ibu nur dan bapak juga turut merasakan kebingungan, hingga hari ke 17 kematian umak. Uci saat itu berada di kamar dalam ayunan tak seperti biasanya, begitu tenang pada saat magrib.

#bacahorror #threadhorror @bacahorror @threadhorror_id
“Iya kan, mudah-mudahan dia ndak rewel lagi..” Jawab bapak
Namun belum sempat bapak melanjutkan omongan, samar-samar dari dalam terdengar suara derit ayunan yang di goyangkan perlahan
Kemudian di susul dengan tawa kecil bayi uci. berulang-ulang suara ayunan diikuti suara tawa bayi selama sekian jam
Hingga akhirnya keluarga dari kota datang. Aku, Ita dan Uci diboyong bik Nur keluar dari kampung Tepat 14 hari kematian umak. setelah sehari semalam kami berada di air akhirnya sampailah ke Kota.

#threadhorror #bacahorror #horror
“Num, adek kau ndak usah di kasi air tajin lagi. Udah ada bapak beli susu. Terus, panggil bibik ni ibu. Anggap lah aku ni ibu kalian sekarang ya..” Kata Bik Nur yang setelah saat itu kami memanggilnya dengan sebutan ibu.
“iya bu..” Jawabku singkat.

Hari pertama kami di rumah ibu, aku memperhatikan setiap sudut rumah. Penuh dengan ornamen tua, lukisan foto keluarga, dan guci serta gong antik yang kata ibu peninggalan nenek buyutnya dahulu.
Berbeda sekali dengan rumah kami di kampung yang berlantai dan dinding papan, rumah ibu terlihat lebih modern dengan dinding dan lantai semen.

Pada lukisan keluarga, aku melihat foto ibu, almarhum umak, bibi dan pamanku yang lain.
Cantik, iya umak dan saudara-saudaranya memang memiliki paras yang menarik. Kutatap satu persatu wajah pada lukisan itu, degg! Aku melihat mata umak dalam lukisan berkedip dengan bibir yang berubah dari tersenyum menjadi datar.
Aku memalingkan wajahku sebentar lalu melihat lukisan itu lagi. Tidak, semuanya normal. Semua wajah dalam lukisan itu tersenyum. Aku mengira tadi hanyalah halusinasiku saja.
Belum selesai keterkejutanku, kembali aku dikagetkan suara jeritan uci dari dalam kamar.
Ntah kenapa masih saja setiap magrib hingga larut malam uci menjerit-jerit keras. Kukira uci buang air besar atau ngompol. Atau mungkin juga sakit.
Namun setiap diperiksa tidak ada bekas ompol maupun eek nya dan kondisi badannya normal-normal saja.
Ibu nur dan bapak juga turut merasakan kebingungan hingga menjelang hari ke 5 kami di kota. Uci saat itu berada di kamar dalam ayunan tak seperti biasanya, begitu tenang pada saat magrib.
Ibu yang heran setengah berbisik bicara kepada bapak dari depan pintu kamar

“Pak, tumben uci diam ya..” Ucapnya

“Iya kan bu, Syukurlah.. mudah-mudahan dia ndak rewel lagi..” Jawab bapak
Belum sempat bapak melanjutkan omongan, samar-samar dari dalam terdengar suara derit ayunan yang digoyangkan disusul oleh tawa kecil bayi uci.
Ibu dan bapak yang sedikit deg-degan enggan untuk masuk kedalam kamar dan membiarkan uci didalam.
Pikir mereka uci tengah berinteraksi dengan teman ari-arinya
(Kepercayaan orang jaman dahulu sebelum 40 hari maka bayi yang baru lahir biasa berinteraksi dengan ari-arinya).
Dan selama uci tidak menangis, maka tidak apa-apa hingga merekapun mengabaikan hal tersebut.
Selama sekian hari ibu dan bapak acapkali mendengar bayi uci tertawa-tertawa kecil didalam ayunan ataupun kelambu. Ia yang biasanya menangis saat magrib kini sudah tak lagi menjerit pada waktu tersebut.
Apakah sudah tenang? Tidak, bayi uci memang tidak lagi menangis pada waktu magrib, namun ia kerap terbangun diatas jam 9 malam dengan jeritan yang lebih kencang dari biasanya.
Maka begadang pulalah ibu saban malam demi menenangkan uci.
Hingga magrib dihari berikutnya, dari dalam kamar ibu terdengar senandung yang hampir bisa dibilang seperti bisikan..
“ssss..ssss.. Aku nudu timang demeraup, tinggik jerangkuk ayunt kuderayak pemingkai bubunt, Dingo batimang bundong timang, karno timang aku pagi bakal bapangkat jenang”
(Aku menimang anakku, tinggi terlalu ayun ku ayukan pembingkai ubun-ubun. Dengarlah anakku.. karena engkau anakku, aku akan menjadi orang berpangkat, akan menjadi orang suku yang rupawan)
#############################################
*BAPAK POV*

Aku mendengar suara seseorang mengayun anak angkatku di kamar. Pertama kali kudengar suara itu, aku mengira bahwa danum lah yang melakukannya. Dewasa sekali, di usia 8 tahun ia sudah mampu memomong adiknya yang masih merah itu.
Namun pada hari kesekian, kejadian sama terjadi berulang. Aku pun menyadari sesuatu bahwa tidak ada seorangpun yang diijinkan memasuki kamar kami.
Aturan ini juga diberlakukan pada anak2 kandung kami. Aku percaya bahwa siapapun yang ada di rumah ini sangat patuh pada aturan tersebut.
Ditambah lagi, hari itu aku mendengar derit ayunan lebih kencang dari biasanya. Di iringi nyanyian pilu dari suara yang tidak ku kenal.
“Aku nudu timang demeraup, tinggik jerangkuk ayunt kuderayak pemingkai bubunt, asdlkcjnvsadckiascskicwd.......” aku tak jelas mendengar lirik dari suara nyanyian itu, terlalu lirih.
Danum kah? Sepertinya tidak mungkin. Aku baru saja melihat danum dan ita msh berada di teras rumah sambil menyiram tetanaman.

Lalu siapa? Siapa yang mengayun uci? Siapa yang bersenandung? Istriku tak pernah bernyanyi lagu demikian dan akupun tak mengenal suaranya.
Ku panggil istriku

"Nur.. nur.. oo nur.."

"Apa pak??" Jawab istriku

"Nur ayok ikut" ujarku sembari menarik tangannya
"Kemana?? Aku cuci tangan dulu, abis nyangkul tanah belakang." Jawabnya masih dengan sekop tanah ditangan. Akupun menunggu ia membersihkan tangan.

"Ngapa pak??" Tanyanya lagi
"ayo ke depan kamar." Jawabku sembari berjalan berjingkat kearah kamar

"Coba dengar, ada yg nyanyi.." bisikku tanpa membuka kamar kami.
Istriku mendekatkan telinganya ke daun pintu
"aku dah tiap hari dengarnya.. bukankah itu danum yang punya kerja??" Istriku balik bertanya.
Kemudian aku megarahkan telunjuk ke teras rumah melalui jendela kaca

"Liat tu danum sama ita disana. Lagipula siapa yang berani masuk ke kamar kita??" Ucapku
Istriku terlihat kaget dan seperti menyadari banyak hal. Ia menatapku dengan pandangan heran. Belum sempat ia bertanya, tiba2 ita datang dr depan dan bilang
"Buk, itu umak yang ngayun uci. Katanya kasian uci nangis terus.." ucapnya dengan terbata karena belum lancar bicara sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibir meminta kami untuk tidak berisik.
"Umak bilang uci mau di bawa umak pergi. Tapi aku suruh tunggu. soalnya belum mandi" Lanjut ita dengan wajah tanpa dosa.
kembali ke sudut pandang "Danum"

Aku melihat ibu, bapak dan ita tengah berdiri didepan pintu kamar. Penasaran, akupun menyusul ita yang memang lebih dahulu menghampiri ibu bapak.

“Bu, ngapa kok di depan pintu??” Tanyaku pelan
“Uci diayun umak, uci diayun umak.” Jawab Ita sambil tersenyum bertepuk tangan senang

Sialan, Akupun langsung panik. Kulihat ibu mendekati pintu kamar, aku membuntutinya.
Kami membuka pintu perlahan, mengintip lalu terlihat sosok perempuan dengan rambut panjang berantakan tengah menimang uci dan menyusuinya. Perempuan yang memang terlihat mirip umak itu tiba-tiba menoleh kearah kami. Ia yang tengah duduk di kasur menatap kami dengan tatapan tajam
“sssstt.....” Mahluk mirip umak itu meletakkan telunjuknya yang keriting dan menghitam kedepan bibirnya seolah memberi kode pada kami untuk diam, sama seperti yang ita lakukan sebelumnya.
Kulihat ita terus saja tersenyum menatap “umak”.
Umak menyeringai menatap kami. Tanpa mata! Iya, umak tak punya mata. Jelas kulihat ada lubang pada wajahnya yang hanya berisi serabut-serabut seperti rumput kering.

Bapak, yang sedari tadi diam tak bersuara kemudian bergegas pergi.
“Pak! Bawa Haji Syam kesini pak!” Teriak ibu disertai anggukan bapak yang berlari keluar rumah. Aku dan ibu yang merasa takut berhamburan menjauh dari kamar.

Selang beberapa waktu kemudian Bapak kembali naik becak bersama dengan Haji Syam.
“Assalamualaikum wr wr..” Mula Haji Syam
“Walaikumsalam pak Haji, ayo masuk pak. Tolong anak saya..” Ucap ibu kemudian mengajak Haji Syam mendekati kamar.
Didepan kamar masih terlihat Ita berdiri tersenyum-senyum menatap ke dalam namun “umak” sudah tidak tampak.

Hanyalah Uci yang masih berada didalam ayunan yang bergoyang pelan.
“Astaghfirullahhaladzim.. Astaghfirullahhaladzim.. tolong ambilkan air putih.” Ucap Haji Syam sembari istighfar berulang-ulang.
Ibu segera mengambilkan air putih dan diserahkan kepada Haji Syam yang kemudian dibacakan ayat-ayat alquran lalu meminumkannya kepada Ita yang masih senyum-senyum sendiri, sebagian air putih tersebut juga diusapkan ke wajah ita. Ita lalu menangis.
Haji Syam segera masuk ke dalam kamar, mengangkat bayi Uci dari dalam ayunan dan membacakan doa-doa disebelah telinganya. Uci yang sebelum kedatangan Pak Haji terus menerus menangis dalam sekejap saja menjadi tenang kemudian tertidur.
Bayi uci kemudian dibawa keluar oleh Haji Syam dan diserahkan kedalam gendongan ibu.

“Pak Haji, Kok Bisa ada adekku tadi didalam?” Tanya Ibu
“Bayimu disusui jin, jin yang serupa arwah ibunya. Adekmu..” Jawab Haji Syam\

“Lalu kayak mana pak sekarang??” Tanya Bapak melanjutkan
“Udah, ndak apa-apa. Malam jumat besok tolong adakan yasinan/pengajian. Doakan adekmu, semoga dia tenang di Alam Sana. Undang tetangga saja.” Jawab Haji Syam lagi

“Anak-anakku ndak apa-apakah pak?.” Tanya Ibuku tergesa
“InshaAllah ndak apa-apa. Oiya kalau boleh tau anak-anak angkatmu ni Islam atau ndak?”

“Belum Pak, masih ikut agama umaknya. Kristen.” Jawab Ibu
“Kalau mau, sekalian nanti sebelum pengajian kita islamkan anak-anakmu ya. Supaya kalian lebih mudah dalam proses didikan agama yang sama.” Ucap haji Syam meneruskan dijawab dengan persetujuan ibu dan bapak.
Hingga tibalah waktu aku menjadi mualaf, Demikian pula Ita dan Uci. Semenjak yasinan itu, Uci sudah tidak lagi menangis yang “tidak normal” seperti hari sebelumnya. Tidak lagi kudengar senandung nina bobo dari arwah umak.
Mungkin umak sudah tau, sudah sadar kalau ia telah berbeda alam dengan kami.
Haji syam juga hampir setiap malam mengunjungi rumah kami untuk memastikan kami baik-baik saja hingga hari ke 40 kematian umak.
############################################
Demikianlah sepenggal cerita dari Ibuku tentang umaknya, yang mana terselip juga bagaimana kami yang berdarah Dayak murni ini menganut agama islam.
Mohon maaf untuk segala kekurangan,
kesalahan dalam penulisan juga keterlambatan update cerita ini. Karena penulis juga memiliki beberapa kesibukan hingga agak susah untuk melanjutkan cerita.
Sekian dan sampai bertemu dicerita selanjutnya, Semoga pembaca selalu sehat, murah rejeki, Wassalam.

#bacahorror #threadhorror @BacahorrorCom @bacahorror @IDN_Horor
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with Anno 🤸

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!