Anggap sesuatu benar hanya karena disampaikan oleh pihak dengan gelar / otoritas tertentu, walau belum tentu qualified / reputable
“Obat COVID-19 ini sudah ditemukan oleh seorang Doktor yang sudah mengajar lebih dari 10 tahun” —> taunya Doktor Pertanian
2. Appeal to Anonymous Authority
Mengutip informasi dari “sumber terpercaya” tanpa identitas yang dapat dipertanggungjawabkan, dan dianggap benar.
“Saya pernah dengar dari akun anonim twitter yang vokal bahwa ada konspirasi terselubung untuk menghancurkan kelompok kita!”
3. Appeal to Ignorance
Sebuah klaim dianggap benar apabila sejauh yang ia ketahui, tanpa berusaha mencari tahu, belum terbukti salah.
“Loh tapi kan teori evolusi itu hanya teori, tidak terbukti benar? Apa? Baca biochemistry? Saya ga pernah. Yang jelas evolusi itu salah!”
4. Appeal to Common Practice
Percaya sesuatu benar karena sudah terbiasa dilakukan.
“Kamu itu juga aneh-aneh. Dari zaman Belanda juga kasih upeti itu udah biasa, bukan korupsi cuma bentuk hormat saja. Ga usah ajari saya segala lah”
5. Appeal to Popular Belief
Klaim sesuatu benar karena dipercaya oleh mayoritas orang sebagai keyakinan umum.
“Zaman sekarang kalau ga eksis di Instagram ya aneh banget. Show off sesekali juga perlu dong, lagian kamu doang ga punya Instagram!”
6. Appeal to Novelty
Menganggap sesuatu yang baru pasti lebih baik daripada yang lama.
“Kok lo masih olahraga lari? Sekarang itu lebih happening naik sepeda, lebih sehat dan lebih bisa kumpul juga. Lebih OK sepedaan lah daripada lari”
7. Appeal to Money
Seseorang yang lebih kaya / sesuatu yang lebih mahal dianggap lebih benar.
“Udah ga usah sok gaya kritik si pengusaha sebagai pendukung oligarki segala. Buktinya dia lebih kaya dan sukses dari lo. Omongan dia lebih bisa dipercaya lah!”
8. Appeal to Tradition
Anggap sesuatu benar karena telah dilakukan dan dijaga secara turun-temurun.
“Gini ya dek, dari zaman dosen disini jadi Mahasiswa Baru juga OSPEK udah kayak gini! Junior harus nurut dan hormat sama senior! Paham!?”
9. Appeal to Probability
Hanya karena sesuatu “mungkin” terjadi, walau dengan “kemungkinan sangat kecil”, pasti akan terjadi kepada dirinya.
“Dunia itu adil. Anak orang paling miskin pun pasti bisa PhD Harvard dan jadi 10 orang terkaya. Jangan salahkan keadaan. Yuk bisa yuk!”
10. Appeal to Incredulity
Hanya karena sesuatu rumit dan sulit dipercaya, maka dianggap mustahil.
“Gimana caranya coba scientist tahu kalau >90% DNA Manusia sama seperti Simpanse? Gimana coba cara baca DNA? Terlalu rumit lah. Ngarang aja itu!”
Logical Fallacy
Part II : Appeal to Emotion
11. Appeal to Fear
Menganggap suatu argumen benar berlandaskan rasa takut yang besar terharap pihak lain.
“Ini kok lambang + di pelajaran matematika mirip tanda salib? Lambang PMI juga? Ini pasti bentuk kristenisasi!”
12. Appeal to the Consequences of a Belief
Menganggap sesuatu salah karena bertentangan dengan apa yang selama ini dipercaya.
“Guru saya tidak mungkin sampaikan sesuatu yang salah. Dia guru teladan yang baik, dan saya percaya padanya. Orang seperti dia tak mungkin keliru!”
13. Appeal to Wishful Thinking
Percaya sesuatu benar akan terjadi hanya karena sungguh berharap itu akan terjadi.
“Walau ada pandemi, bulan depan ekonomi kita akan tumbuh melesat lebih dari 5%! Vaksin bulan depan ketemu dan diproduksi! Semua baik-baik saja!”
14. Appeal to Spite
Anggap klaim seseorang layak dibantah karena membencinya.
“Jangan dengarkan dia! Semua pejabat, pengusaha, kelas menengah, siapapun mereka yang bukan kita, tidak usah didengar karena pasti berpihak pada kepentingan kapitalis!”
15. Appeal to Flattery
Gunakan pujian yang tidak relevan untuk selipkan klaim yang tidak berdasar.
“Bagi orang dengan kecerdasan dengan tingkat pendidikan setidaknya setara master di Ivy League akan memahami bahwa apa yang saya sampaikan adalah benar”
16. Appeal to Nature
Klaim bahwa sesuatu lebih benar dengan menggunakan analogi tentang apa yang seharusnya ada di alam.
“Pemimpin itu sudah sewajarnya harus laki-laki, karena di alam pun binatang mamalia berkelompol seperti Singa dan Gorilla pasti dipimpin yang jantan”
17. Appeal to Ridicule
Mengejek argumen yang berseberantan dengan membuatnya terdengar absurd.
“Bumi yg kompleks terbentuk secara kebetulan dari tabrakan benda langit padat saat awal terbentuknya Matahari? Bukankah itu sama saja bilang ada mobil yg kebetulan terakit sendiri?”
18. Appeal to Pity
Menggunakan rasa kasihan untuk menggiring pendapat lawan.
“Memang betul pejabat itu ada salah dan khilaf sudah ambil uang yang bukan haknya. Tapi apa kita tidak kasihan, umurnya sudah tua, pengabdian selama ini tidak sedikit. Bukankah kita seharusnya pemaaf?”
Logical Fallacy
Part III : Data Fallacies
19. Cherry Picking
Memilih dan menggunakan data secara selektif agar sesuatu dengan hasil yang diinginkan.
“Menurut riset opini dengan sample 90% pengusaha energi fosil, mayoritas nyatakan bahwa energi fosil ramah lingkungan dan memajukan ekonomi”
20. Data Dredging
Klaim bahwa pattern data menunjukkan korelasi tertentu tanpa sebelumnya mengajukan hipotesis yang jelas.
“Saat saya memimpin, ekonomi tumbuh. Oh ya jangan semata dihubungkam dengan harga komoditas yang kebetulan sedang boom, pokoknya karena saya memimpin”
21. Survivorship Bias
Menarik kesimpulan hanya berdasarkan data yang “selamat” dan bisa dianalisis.
“Dari jumlah lubang tembak di pesawat yang pulang perang, paling banyak ada di sayap. Ini bagian pesawat paling rawan!” -> padahal yang ketembak di bagian fuel langsung jatuh
22. Cobra Effect
Menciptakan insentif yang justru akibatkan hasil sebaliknya dari yang diharapkan.
“Di kota ini banyak Kobra. Kita buat insentif, siapa yang bisa bunuh dan serahkan bangkai kobra, akan dibayar pemerintah” -> bukannya berkurang, warga malah jadi ternak Kobra!
23. False Causality
Kesalahan asumsi bahwa 2 hal yang terjadi pasti saling menyebabkan satu sama lain.
“Data tunjukkan naiknya penjualan eskrim menyebabkan naiknya jumlah perenang di laut yang digigit hiu!” -> padahal keduanya hanya sama2 terjadi saat summer
24. Gerrymandering
Manipulasi kumpulan data dengan mengatur batas pengelompokkan untuk mengubah hasil.
“Hillary menang secara total suara pemilih nasional, tapi Trump menang berdasarkan jumlah daerah yang dimenangkan”
25. Sampling Bias
Menarik kesimpulan dari sampling data yang tidak representatif untuk gambarkan populasi yang ingin dimengerti.
“Berdasarkan survey opini Indonesia tentang pembangunan di Papua, dengan 95% sample hidup di Jakarta, nyatakan bahwa pembangunan Papua sudah OK”
26. Gambler’s Fallacy
Anggap sesuatu yang sudah terjadi lebih sering sebelumnya tidak akan muncul lagi.
“Di game lempar koin ini, sudah 10x berturut-turut muncul ‘head’, jadi pasti selanjutnya ‘tail’ yang akan muncul”
27. Observer Effect
Tindakan mengamati mempengaruhi / mengubah perilaku subjek yang diamati.
“Katanya kinerja PNS malas. Nyatanya tidak. Buktinya saat saya lakukan kunjungan terjadwal, semua sedang sibuk kerja dengan serius”
28. Simpson’s Paradox
Pola data yang seharusnya terdiri dari beberapa kelompok dipaksakan jadi satu dan justru tunjukkan pola sebaliknya.
Susah pakai contoh deskriptif, jadi pakai visual aja ya.
29. McNamara Fallacy
Hanya memperhitungkan data yang mudah diukur sehingga kehilangam gambaran utuh.
“Negara kita pertimbuhan GDP nya bagus kok. Index Kebahagiaan? Itu sulit diukur dengan reliable. Toh kalau GDP tumbuh seharusnya kebahagiaan secara umum juga naik kan?”
30. Publication Bias
Riset yang menarik lebih banyak dibaca sehingga membentuk persepsi terhadap realitas.
“Lebih baik fokus ke riset pengembangan obat dan vaksin COVID-19. Apa? Sebelumnya sudah ada riset yang prediksi pandemi? Kok ga pernah dibahas sebelum pandemi terjadi ya?”
Logical Fallacy
Part IV : Faulty Deduction
31. Anecdotal Evidence
Mereduksi standar pembuktian untuk buat / bantah klaim dengan gunakan pengalaman pribadi / orang lain.
“Aneh kalau ada survey yang bilang lebih dari 70% siswa tidak suka belajar di sekolah. Saya pribadi sangat suka. Bagi saya sekolah menyenangkan!”
32. Undistributed Middle
Anggap bahwa 2 hal yang menggunakan atribut yang sama maka pasti saling berhubungan.
“Teori itu kan bisa salah, lha itu Evolusi kan cuma Teori. Makanya Teori Evolusi itu tidak terbukti benar”
33. Composition Fallacy
Anggap bahwa karakteristik dari suatu kelompok menggambarkan kelompok secara keseluruhan.
“Kebanyakan pelaku kriminal disini itu kan imigran. Makanya imigran itu pasti cenderung berperilaku seperti kriminal!”
34. Spotlight
Pengamatan terhadap suatu hal yang menjadi sorotan menggambarkan sesuatu secara keseluruhan.
“Kan sudah banyak yang bilang COVID-19 itu konspirasi. Berapa orang? Wah gatau juga, tapi kan itu rame dibicarakan sama artis dan musisi? Konspirasi lah itu!”
35. Design Fallacy
Anggap bahwa sesuatu yang didesain dengan bagus / indah lebih mungkin benar.
“Infografis bagus dari akun anonim facebook ini bagus sekali. Coba bandingkan dengan grafik di paper ilmiah ini, ruwet, jelas lebih meyakinkan infografis ini lah!”
36. Sweeping Generalization
Mengeneralisir sesuatu dengan terlalu luas.
“Semua ketertinggalan kita, dari segi ekonomi maupun teknologi, disebabkan karena anak muda kita kurang bermoral dan terlalu sering berbuat mesum”
37. Division Fallacy
Anggap karakteristik dari suatu kelompok pasti diikuti oleh seluruh anggota kelompoknya.
“Saya sering lihat di TV kalau yang jenggotan dan celana cingkrang itu pasti setuju poligami. Kamu jenggotan dan pakai celana cingkrang, kamu pasti mau poligami ya?”
38. Relativist Fallacy
Menolak suatu klaim karena percaya bahwa kebenaran relatif bagi setiap kelompok.
“Kamu percaya vaksin medis untuk anak itu penting, saya percaya madu herbal sudah cukup. Ya sudah, kita anggap saja keduanya benar menurut kepercayaan masing2”
39. Hasty Generalization
Mengambil kesimpulan hanya dari sample yang sangat kecil.
“Aku dulu pernah pacaran satu kali, terus aku diselingkuhin. Emang semua cowok brengsek!”
40. Perfectionist Fallacy
Anggap kebenaran hanya ada di posisi yang sempurna / mutlak. Segala yang di luar itu salah.
“Jadi posisi kamu menentang kebijakan ini atau tidak? Percuma kalau cuma klarifikasi, itu sama saja dengan mendukung!”
41. Jumping to Conclusions
Menarik kesimpulan terlalu cepat tanpa bukti yang cukup.
“Ngapain perempuan muda keluar malam kayak gini? Kamu pasti perempuan penghibur ya!?”
42. Middle Ground
Anggap bahwa sesuatu yang saling bertentangan pasti memiliki titik tengah.
“Untuk kasus pemerkosaan ini, sudah jangan diperpanjang secara hukum. Sebagai jalan tengah, pemerkosa bersedia tanggung jawab dengan menikahi korban”
Logical Fallacy
Part V : Manipulating Content
43. Unfalsifiability
Membuat klaim yang tidak bisa dibuktikan salah atau benar.
“Anak ini jadi gay karena kemasukan setan, harus dikeluarin ini setannya. Bukti? Ya ga ada bukti, setan mana kelihatan. Masa kamu ga percaya sama saya?”
44. Ad Hoc Rescue
Membela terus hal yang dipercaya dengan terus merevisi argumen.
“OK lah, membantu mudahkan hidup, tingkatkan produktivitas, gerakkan ekonomi, permudah konektivitas, tidak ada kan dampak positif teknologi untuk manusia?”
45. False Dilemma
Menyajikan hanya 2 alternatif solusi yang bertentangan dan menyembunyikan alternatif lain.
“Pilihan kita hanya lockdown sementara atau membiarkan ekonomi berjalan. Tidak ada opsi lain, dan lockdown akan hentikan ekonomi. Bantuan pemerintah? Itu bukan opsi!”
46. Misleading Vividness
Menjelaskan sesuatu dengan sangat detail, walaupun jarang terjadi, sehingga sangat meyakinkan sebagai kebenaran.
“Ini adalah Budi Setiawan. Dia adalah anak tukang becak yang lulus dari MIT dan bekerja di Google. Kisahnya sejak bayi blablabla..”
47. Red Hearing
Mengalihkan pembicaraan dengan topik yang menarik kita ke kesimpulan lain.
“Memang betul anggota partai kami ada yang korupsi, tapi kan lebih banyak koruptor di partai sebelah? Coba, skandal besar korupsi partai sebelah sudah sampai mana?”
48. Slippery Slope
Menggunakan satu langkah untuk menarik rentetan kesimpulan yang seolah pasti akan terjadi.
“Kalau kita terapkan standar kurikulum seperti kampus top di Eropa, nilai Barat akan masuk. Barat itu liberal, nanti anak muda kita jadi pro sex bebas!”
Logical Fallacy
Part VI : Garbled Cause and Effect
49. Post Hoc Ergo Propter Hoc
Karena suatu hal terjadi setelah suatu hal, maka keduanya memiliki hubungan sebab akibat.
“Habis kucing hitam menyeberang jalan, aku langsung jatuh dari motor karena menabrak tepi jalan. Kucing hitam memang pembawa sial!”
50. Circular Logic
Mengambil kesimpulan dari premis yang telah memiliki kesimpulan.
“Hanya orang yang ingin sex bebas yang tidak setuju aturan mempidanakan pelaku sex bebas. Kamu tidak setuju, maka kamu pasti pelaku sex bebas!”
51. Two Wrongs Make a Right
Anggap bahwa suatu kesalahan dapat menjadi benar dengan tunjukkan kesalahan lain.
“Memang pelaku pemerkosaan itu jahat, tapi korban juga yang salah karena pakai baju sexy!”
52. Affirming the Consequent
Anggap hanya ada 1 penjelasan atas fenomena yang sedang diamati.
“Habis menikah, biasanya orang punya anak. Karena itu, orang yang menikah pastilah karena ingin punya anak”
53. Cum Hoc Ergo Propter Hoc
Anggap fenomena yang terjadi bersamaaan pasti punya hubungan sebab akibat.
“Orang yang pakai narkoba seringkali bertato. Karena itu, orang bertato pasti pakai narkoba!”
54. Ignoring a Common Cause
Anggap A yang menyebabkan B, padahal A dan B sama-sama disebabkan oleh C.
“Anak di SD Negeri non percontohan malas, jadi nilainya jelek” —> padahal anak malas dan nilai jelek sama-sama disebabkan guru tak kompeten mengajar
55. Denying the Antecedent
Tidak mengakui bahwa penyebab suatu hal bisa lebih dari satu hal.
“Kalau kamu masuk PTN, kamu pasti jadi orang sukses. Kalau kamu gagal masuk PTN, kamu pasti gagal jadi orang sukses”
Logical Fallacy
Part VII : On the Attack
(Probably the most common logical fallacy yang sering ditemui dan dilakukan, karena jadi jurus standar saat argumen seseorang terpojok tapi tetap tidak mau kalah)
56. Ad Hominem
Membantah argumen dengan menyerang pribadi seseorang yang tak berhubungan dengan argumen.
“Halah banyak omong lo, ga usah sok pinter deh. Pake avatar anime di twitter aja berani debat pakai kutipan jurnal ilmiah”
57. Burden of Proof
Si pembuat klaim merasa tak wajib menyajikan bukti dia benar. Anda yang harus buktikan dia salah.
“Loh saya kan cuma share berita kalau si Panjul ini titisan Dajjal. Kamu bisa buktikan saya salah ga? Kalau nggak, ya berarti benar dia titisan Dajjal!”
58. Genetic Fallacy
Menyerang sumber dari argumen, bukan argumennya itu sendiri.
“Ya Biologi modern dikembangkan oleh scientist dan kampus yang namanya terkenal tapi pemikirannya liberal dan kebarat-baratan. Mana bisa kita terima Teori Evolusi?”
59. Straw Man
Mendistorsi informasi dengan menyempitkan konteksnya sampai kehilangan maksud yang sebenarnya.
“Anda memberi penekanan bahwa mendidik anak dengan cara berpikir scientific itu penting? Berarti anda bilang pendidikan agama itu tidak penting!?”
60. Guilt by Associasion
Menyudutkan argumen dengan mengasosiasikan dengan kelompok yang tidak populer.
“Oh jadi anda ingin memperkuat serikat pekerja, sama seperti keinginan para komunis? Jadi apa anda ini komunis?”
61. Circumtance Ad Hominem
Menyudutkan argumen dengan menekankan ada kepentingan si penyampai informasi dalam argumen.
“Tentu saja dokter kampanye rokok buruk untuk kesehatan. Dokter dekat dengan perusahaan farmasi yang jual obat lepas candu rokok. Jadi klaim tak bisa diterima”
Sengaja tulis list panjang beberapa jenis logical fallacy di twitter, supaya kalau nanti ada yang melakukan logical fallacy, tinggal kutip salah satu tweet dari thread di atas 😌
Sekalian belajar membiasakan diri juga supaya tidak jatuh ke logical fallacy.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Newton itu religius dalam konteks konvensional, sementara Einstein tidak (setidaknya di masa tuanya).
Tapi preferensi religiusitas (apabila itu dipadankan sebagai KEBAIKAN) antara keduanya sama sekali tidak berpengaruh terhadap nilai KEBENARAN ILMIAH atas teori yg mereka ajukan.
Ini yang penting dipahami :
Harun Yahya SALAH bukan karena dia ketahuan sebagai seseorang yang TIDAK BAIK akibat terjerat masalah hukum yang konyol,
tetapi karena sejak awal tulisan dan videonya itu PSEUDOSCIENCE, tak ada KEBENARAN ILMIAH di dalamnya.
1. Droplet kecil : ada di sirkulasi udara tertutup
2. Droplet besar : bersin / batuk, tidak jaga jarak, tidak pakai masker
3. Sentuhan langsung / tak langsung : pegang benda sembarang, tidak cuci tangan
Atas 3 poin tersebut, maka saya BODOH SEKALI kalau tak ingin tertular tapi melakukan hal berikut :
1. Ada di ruang tertutup dengan orang banyak dalam waktu lama (kantor, public transport, sekolah, apapun)
2. Tidak pakai masker (termasuk buka masker saat kumpul makan-makan)
3. Tidak rajin cuci tangan, apalagi habis sembarang pegang barang (uang misalnya) ngelap hidung, ngupil, ngucek mata, dan perbuatan ceroboh lain yang beri akses VIP untuk virus masuk ke tubuh
4. Kumpul-kumpul, tidak pakai masker, tidak jaga jarak, dan paket kebodohan lainnya
Bagaimana cara untuk selalu konsisten berpikir kritis dan mencegah terjatuh ke logical fallacy?
1. Hitchen’s Razor
”What can be asserted without evidence can be dismissed without evidence”
Kalau ada yg klaim di rumahnya ada makhluk bersayap yg tak bisa dibuktikan eksistensinya dengan cara apapun, klaimnya bisa dibantah tanpa bukti.
Beban pembuktian ada di pembuat klaim.
2. Occam’s Razor
”Simpler explanations are more likely to be correct; avoid unnecessary or improbable assumptions”
Kalau ada orang habis mabuk mengklaim dirinya diculik alien, penjelasan “sederhana” bahwa ia berhalusinasi saat mabuk lebih mungkin benar daripada benar ada alien.
Film dokumenter Sexy Killers memantik diskusi menarik tentang PLTU Batubara.
Terlepas dari persoalan kepentingan politik praktis, bagaimana sebenarnya pembangunan PLTU Batubara dipandang dari ilmu perencanaan pembangkit listrik?
Disclaimer : 1. Walau saya berusaha sederhanakan sedemikian rupa, sampai titik tertentu penjelasan teknokratis akan tetap butuh konsentrasi untuk bisa dipahami 2. Penjelasan ini tidak menyinggung politik praktis, tapi lebih untuk insight policy di sektor ketenagalistrikan
1. Film Sexy Killers mendokumentasikan dampak buruk PLTU Batubara ke sosial dan lingkungan. Sama seperti sektor-sektor lain, tanpa standar dan kontrol yang memadai, tentu hal ini benar.
Kemarin, 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI) telah berhasil diambil alih oleh pemerintah Indonesia.
Dan seperti biasa, banyak komentar over-politis both dari yang memuji maupun mengkritik.
Mari kita coba telaah satu per satu dengan seksama
1. "Tuhkan, dulu katanya 51% sudah diambil alih. Kok sekarang diambil alih lagi. Berarti yang dulu HOAX dong!? "
Jul 2018 itu penandatanganan Head of Agreement (HoA), Dec 2018 pembayaran oleh Inalum sehingga saham resmi diambil alih. Memang proses M&A begitu, bukan hoax.
2. "Itu kan emang punya Indonesia, ngapain dibeli!?"
PTFI sebagai entitas bisnis yang punya hak menambang di Grasberg (diberikan di era Presiden Soeharto) BUKAN milik Indonesia, tapi FCX. Ini bukan soal ideologis, tapi fakta. Cek saja di akta perusahaan.