Film dokumenter Sexy Killers memantik diskusi menarik tentang PLTU Batubara.
Terlepas dari persoalan kepentingan politik praktis, bagaimana sebenarnya pembangunan PLTU Batubara dipandang dari ilmu perencanaan pembangkit listrik?
1. Walau saya berusaha sederhanakan sedemikian rupa, sampai titik tertentu penjelasan teknokratis akan tetap butuh konsentrasi untuk bisa dipahami
2. Penjelasan ini tidak menyinggung politik praktis, tapi lebih untuk insight policy di sektor ketenagalistrikan
Lalu kenapa kita masih membangun PLTU Batubara?
Tanpa tahu hal ini, mustahil kita bisa menganalisis dengan baik.
Kalau supply sedikit lebih kecil dari demand, maka kualitas listrik (Volt, Hz) akan terganggu
Kalau supply jauh lebih kecil dari demand, maka sistem akan runtuh / mati secara keseluruhan (istilah teknisnya black out)!
Base load, yaitu beban dasar (flat terus selama 24 jam)
Intermediate load, yaitu beban sesaat (fluktuatif selama 24 jam)
Peak load, yaitu beban puncak (hanya tinggi selama beberapa jam)
Pembangkit listrik di BASE LOAD hanya bisa handle BASE LOAD, tidak bisa di INTERMEDIATE & PEAK LOAD. Sementara INTERMEDIATE & PEAK LOAD bisa handle BASE LOAD.
Alasan teknis : PLTU, PLTN, dan PLTP sulit untuk bisa memproduksi listrik secara tidak stabil (naik turun), harus continues
Pembangkit yang lebih murah dan tidak bisa fluktuatif diposisikan sebagai BASE LOAD. Logis kan?
PLTG (Gas) diposisikan sebagai INTERMEDIATE LOAD karena lebih fleksibel (bisa di-push memproduksi tinggi dalam waktu cepat) dan lebih murah dari minyak
PLTD (Oil) dan PLTA Peaker diposisikan sebagai PEAK LOAD
Dari kacamata planning, kita TIDAK HARUS membangun PLTU. Tapi perlu dicatat, kita BUTUH pembangkit listrik untuk handle BASE LOAD
Lalu apa alternatif kita untuk memikul BASE LOAD?
Ada PLTP (Geothermal), PLTA Konvensional, PLTN (Nuklir). Nah mulai menarik ya, mari kita telaah satu per satu :)
Hanya ada satu catatan : tidak semua tempat memiliki potensi Geothermal dan Hidro (volume air dan beda ketinggian) yang memadai.
Untuk Geothermal, Indonesia punya 40% cadangan dunia.
Lalu kenapa PLTP dan PLTA tidak masif?
Beberapa PLTA butuh tunnel yang membelah gunung. Di PLTP terdapat risiko menemukan "sumur kering".
PLTA besar butuh 4-5 tahun sampai berproduksi, PLTP bahkan butuh 7 tahun!
Kenapa?
Karena dalam beberapa kasus, PLTA perlu menenggelamkan luas area (bahkan desa) tertentu
PLTP seringkali ada di hutan, bagaimana bangun pipa uapnya?
Ketiganya memiliki risiko konstruksinya sendiri.
Di Indonesia belum ada kasus real, tapi bisa diprediksi dengan mudah penolakan warga ke PLTN kan?
Wait, something's wrong. Bagaimana dengan Renewable Energy lain? Kita belum bahas Surya dan Bayu (Angin) kan?
Keduanya tergolong INTERMITTENT karena supply hanya ada ketika matahari dan angin ada. Lalu bagaimana posisinya dalam load profile?
Ya, bisa. Karena Jerman terkoneksi dengan European Super Grid. Jadi PLTS dan PLTB Jerman "bekerjasama" dengan PLTN Prancis dan PLTA Norway loh :)
Stronger grid, higher solar & wind penetration.
Sekali lagi, ingat FACT 1 ya
Tapi belum untuk saat ini.
Lantas apa pilihan seandainya anda policy maker?
Kita butuh pembangkit listrik yg cepat & murah. Dan sayangnya, PLTU punya keduanya
Kita harus siap, dari segi infrastruktur, manufacture, sampai raw source nya
Kalau pakai kacamata idealistik di SEXY KILLERS, unfortunately, bahan baku baterai tidak lain adalah BARANG TAMBANG. Lithium, nickel, dst. Padahal baterai adalah kunci pemakaian PLTS dan PLTB.
Jeng jeng jeng jeng :)
Disclaimer, ini fiksi ya. Tapi bukan tak mungkin terjadi.
Jadi dugaan saya, membangun PLTU masih keniscayaan setidaknya beberapa tahun ke depan, siapapun Capres yg terpilih.
Tapi menjadi idealis bukan berarti terlepas dari persoalan solusi praktis loh
Kita butuh terlibat lebih jauh, bukan justru kecewa dan melepaskan diri.
Tapi mbok ya kalau bisa jangan golput karena kagetan. Sayang nunggunya 5 tahun lagi kalau nyesel hehe
Tetap optimis ya!