Newton itu religius dalam konteks konvensional, sementara Einstein tidak (setidaknya di masa tuanya).
Tapi preferensi religiusitas (apabila itu dipadankan sebagai KEBAIKAN) antara keduanya sama sekali tidak berpengaruh terhadap nilai KEBENARAN ILMIAH atas teori yg mereka ajukan.
Ini yang penting dipahami :
Harun Yahya SALAH bukan karena dia ketahuan sebagai seseorang yang TIDAK BAIK akibat terjerat masalah hukum yang konyol,
tetapi karena sejak awal tulisan dan videonya itu PSEUDOSCIENCE, tak ada KEBENARAN ILMIAH di dalamnya.
Jadi kalau kita mengira para pemuja PSEUDOSCIENCE berbalut agama akan terpukul & mendadak berubah jadi scientific, rasanya jangan terlalu optimis.
Orang2 ini : 1. Terpukul soal Harun Yahya; 2. Tapi tetap tidak kuat hadapi cognitive dissonance; dan 3. Mencari “Harun Yahya” lain
Catat ini:
1. KEBENARAN ILMIAH tidak tergantung apakah pengusulnya BAIK / BURUK (apapun itu definisinya)
2. KEBENARAN ILMIAH tidak bertanggung jawab bahwa kesimpulannya harus sejalan dengan kepercayaan anda
3. KEBENARAN ILMIAH didapatkan murni dari METODOLOGI ILMIAH yang ketat
Menjadi ilmiah perlu lompatan mental yg berat : bersedia mengakui kesalahan, mengoreksinya, dan ulangi prosesnya.
Secara mental, mengakui kebenaran ilmiah sama beratnya dgn mengakui kesalahan & penyesalan masa lalu.
Anda bisa saja mengelak, tapi anda akan dihantui, selamanya.
Saat anda dihantui, anda akan merasa tak nyaman. Tapi anda tetap tak mau akui kesalahan.
Lalu anda akan mengelak, atau buat cerita khayalan untuk tipu diri anda sendiri supaya bisa tetap waras dan masuk akal, setidaknya bagi diri anda sendiri.
Kalau ada yang ungkit, anda marah.
Anda bukan bodoh, anda hanya belum cukup berani untuk menghadapi & mengakui kesalahan.
Padahal untuk menuntaskan masalah, anda mutlak harus mengakui terlebih dahulu bahwa masalahnya ada.
Kalau belum cukup berani, maka larilah ke “Harun Yahya” yang lain. Anda akan butuh itu.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
1. Droplet kecil : ada di sirkulasi udara tertutup
2. Droplet besar : bersin / batuk, tidak jaga jarak, tidak pakai masker
3. Sentuhan langsung / tak langsung : pegang benda sembarang, tidak cuci tangan
Atas 3 poin tersebut, maka saya BODOH SEKALI kalau tak ingin tertular tapi melakukan hal berikut :
1. Ada di ruang tertutup dengan orang banyak dalam waktu lama (kantor, public transport, sekolah, apapun)
2. Tidak pakai masker (termasuk buka masker saat kumpul makan-makan)
3. Tidak rajin cuci tangan, apalagi habis sembarang pegang barang (uang misalnya) ngelap hidung, ngupil, ngucek mata, dan perbuatan ceroboh lain yang beri akses VIP untuk virus masuk ke tubuh
4. Kumpul-kumpul, tidak pakai masker, tidak jaga jarak, dan paket kebodohan lainnya
Bagaimana cara untuk selalu konsisten berpikir kritis dan mencegah terjatuh ke logical fallacy?
1. Hitchen’s Razor
”What can be asserted without evidence can be dismissed without evidence”
Kalau ada yg klaim di rumahnya ada makhluk bersayap yg tak bisa dibuktikan eksistensinya dengan cara apapun, klaimnya bisa dibantah tanpa bukti.
Beban pembuktian ada di pembuat klaim.
2. Occam’s Razor
”Simpler explanations are more likely to be correct; avoid unnecessary or improbable assumptions”
Kalau ada orang habis mabuk mengklaim dirinya diculik alien, penjelasan “sederhana” bahwa ia berhalusinasi saat mabuk lebih mungkin benar daripada benar ada alien.
Film dokumenter Sexy Killers memantik diskusi menarik tentang PLTU Batubara.
Terlepas dari persoalan kepentingan politik praktis, bagaimana sebenarnya pembangunan PLTU Batubara dipandang dari ilmu perencanaan pembangkit listrik?
Disclaimer : 1. Walau saya berusaha sederhanakan sedemikian rupa, sampai titik tertentu penjelasan teknokratis akan tetap butuh konsentrasi untuk bisa dipahami 2. Penjelasan ini tidak menyinggung politik praktis, tapi lebih untuk insight policy di sektor ketenagalistrikan
1. Film Sexy Killers mendokumentasikan dampak buruk PLTU Batubara ke sosial dan lingkungan. Sama seperti sektor-sektor lain, tanpa standar dan kontrol yang memadai, tentu hal ini benar.
Kemarin, 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI) telah berhasil diambil alih oleh pemerintah Indonesia.
Dan seperti biasa, banyak komentar over-politis both dari yang memuji maupun mengkritik.
Mari kita coba telaah satu per satu dengan seksama
1. "Tuhkan, dulu katanya 51% sudah diambil alih. Kok sekarang diambil alih lagi. Berarti yang dulu HOAX dong!? "
Jul 2018 itu penandatanganan Head of Agreement (HoA), Dec 2018 pembayaran oleh Inalum sehingga saham resmi diambil alih. Memang proses M&A begitu, bukan hoax.
2. "Itu kan emang punya Indonesia, ngapain dibeli!?"
PTFI sebagai entitas bisnis yang punya hak menambang di Grasberg (diberikan di era Presiden Soeharto) BUKAN milik Indonesia, tapi FCX. Ini bukan soal ideologis, tapi fakta. Cek saja di akta perusahaan.