Dan seperti biasa, banyak komentar over-politis both dari yang memuji maupun mengkritik.
Mari kita coba telaah satu per satu dengan seksama
Jul 2018 itu penandatanganan Head of Agreement (HoA), Dec 2018 pembayaran oleh Inalum sehingga saham resmi diambil alih. Memang proses M&A begitu, bukan hoax.
PTFI sebagai entitas bisnis yang punya hak menambang di Grasberg (diberikan di era Presiden Soeharto) BUKAN milik Indonesia, tapi FCX. Ini bukan soal ideologis, tapi fakta. Cek saja di akta perusahaan.
Tambang Grasberg memang ada di teritori Indonesia dan tunduk pada hukum Indonesia. PTFI juga beroperasi atas izin yang diterbitkan.
Kalau tanya kenapa kok diberikan, bisa coba ditanyakan ke alm. Presiden Soeharto.
Total nilai transaksi untuk akuisisi PTFI itu sekitar USD 3,85 Bio atau IDR 56 T. Itu setara dengan 2,5% belanja negara APBN 2018.
Pilihannya hanya membebani APBN atau gunakan hutang.
Belum tentu begitu secara time value of money.
Pilih mana, pemerintah (misal) rem pembangunan infrastruktur dan BPJS untuk ad just postur APBN, atau hutang (via Inalum) dan repay dari dividen setelah akuisisi PTFI?
Kalau mau berdebat soal feasibilitas project dan skema hutang, ya harus coba bikin financial modelling.
Gimana cashflow PTFI after acquisition, bisakah bayar interest, berapa yang bisa jadi dividen, berapa IRR. Kalau aman ya no problem.
Keduanya ada plus minus, bisa dibaca sendiri.
Tapi yang jelas, Bond lebih meringankan secara cashflow karena tidak ada principle repayment seperti loan.
Untuk hal ini memang bisa diperdebatkan. Suku bunga global memang uncontrolable.
Tapi PTFI beroperasi di wilayah Indonesia. Jadi seharusnya political risk controlable.
Harus diakui ini sebagai prestasi. Memang metodenya aksi korporasi, so what? Dulu kita merdeka juga ada metode perundingan kan?
Jadi tidak memberatkan keuangan pemerintah lokal tapi tetap memiliki porsi saham cukup besar.
Selamat untuk pemerintah Indonesia, Inalum, dan kita semua!