Bagi nelayan, malam adalah teman, jala adalah sahabat. Namun, dirinya adalah sosok paling sial. Tiba-tiba naik di sampan minta di antarkan pulang. Nun, namanya.
Cerita ini di ceritakan oleh Narasumber yang tidak ingin di publikasikan siapa namanya. Cerita ini adalah seada-adanya cerita yang tidak di kurang-kurangi maupun di lebih-lebih kan. Saya mencoba menceritakan kembali dengan menjaga keaslian cerita. Jadi langsung saja ke cerita nya
Kebetulan, di depan rumah aku memiliki seorang tetangga, namanya Bapak Lucas (nama samaran) memiliki satu orang istri yang sangat baik hati, juga memiliki tiga orang anak. Dua perempuan dan satu laki-laki yang paling bungsu.
Aku tau cerita itu dari Bapak, dimana sempat waktu itu ada banjir karna hujan besar, dan rumah di pakai mengungsi perempuan-perempuan yang kerja di sana.
Seleseai menggoreng ubi, aku menyisihkan sebagian untuk di bagi ke tetangga depan rumah. Kebetulan sekali, waktu itu keluarga Pak Lucas sedang berkumpul di atas dipan kayu yang sengaja di taruh di depan rumah.
Beliau ini sangat ramah, saat aku datang Pak Lucas buru-buru menyuruh istrinya untuk membuatkan segelas kopi. Sebenarnya sungkan, namun karna sudah di buatkan aku menerimanya dengan senang.
Namun, sepertinya beliau sangat menghargai itu dengan anggapan aku sudah berusaha keras. Katanya anak flores saja kalau sekolah di jawa pulang-pulang lupa logat. Aku menimpalinya dengan tawa ringan. (jangan lupakan logat, kawan)
Cerita mulai mengalir saat aku menanyakan tentang kehidupan beliau, aku sedikit takjub saat beliau bilang kalau sebenarnya beliau ini bukan warga asli flores, beliau ini aslinya berdarah Timor Leste.
Beliau ini seorang nelayan, beberapa kali menjadi pemburu kepiting, udang, hingga ahirnya fokus menjaring ikan setelah berhasil membeli sebuah jala (jaring)
“Bapak biasanya, berangkat jam berapa?” tanyaku sembari menyeruput kopit yang sedikit lebih pahir dari kopi jawa.
Setelah memeriksa jala, Lucas ke dapur. Mengambil kopi yang sudah tersedia di atas meja. Sembari Lukas menyesap kopi, istrinya memasukan 3 buah ubi ke dalam tungku untuk bekal suaminya.
Lucas, melepaskan tali sampan yang terikat di sebuah pohon, suasana bibir sungai sangat sepi. “Ahh, sepertinya yang lain sudah berangkat” melihat tak ada sampan yang di parkir di bibir sungai.
Setelah tali sampan terlepas, di masukkan nya tas dan juga jala di atas sampan. Di dorong nya sampan itu pelan, setelah mengambang Lucas menaiki sampan itu lalu mengayuh nya pelan.
Saat sudah sampai di tengah-tengah sungai, Lucas menebarkan jala. Di tunggu nya jala itu dengan sabar sembari kembali membuka bungkusan koran yang dirinya bawa.
Jujur saja tak ada fikiran jika itu hantu atau semacam nya, yang terbayang di fikiran Lukas adalah kapal nya terantuk mayat yang mengambang di sungai. Dan sialnya dirinyalah yang menemukanya.
Namun kini arah nya bukan lagi ke tengah laut, dirinya lebih memilih putar balik, menutup mulut rapat-rapat tentang apa yang dia temukan lalu pulang saja.
Saat bibir sungai sudah mulai terlihat, sesuatu yang hangat mengalir diantara kaki Lucas. Rasanya kental, lengket, warnanya merah pekat kehitam-hitaman.
Dari situ Lucas paham jika di belakangnya bukanlah manusia.
Di ambil nya jala itu dengan nafas yang memburu, setelah nya mengambil tas berisi ikan lalu mengambil tali sampan untuk di ikat kembali ke batang pohon.
Lucas melakukan semuanya dengan tangan yang bergetar.
Setelah memastikan tali sudah terikat, Lukas berjalan setengah berlari melewati hutan. Di bawah sinar bulan, langkah kakinya beradu dengan suara langkah lain. Bayangan yang jatuh ke tanah bukan hanya bayangan milik nya.
Sampai, saat setengah perjalanan sosok itu terbang lalu berhenti tepat di depan Lucas. Di tengah jalan setapak, diantara pohon-pohon sosok itu terlihat sangat nyata.
Kaki nya mengambang, bajunya berwarna merah darah, wajahnya tertunduk dengan rambut menutupi wajahnya.
Ada yang bilang jika hantu itu tadinya perempuan yang bekerja di prostitusi di belakang bukit yang di bunuh lalu di buang ke sungai. Ada juga yang bilang itu adalah hantu korban pembunuhan, ada juga yang bilang kalu hantu itu adalah perempuan yang bunuh diri.
Sebenci apapun itu jangan melukai apalagi membunuh. mungkin karma tidak langsung datang. tapi siapa yang tau karma apa sebagai ganti dari perlakuan kita" ucap beliau sebagai pemanis dari ahir cerita.
TAMAT
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Rumah itu menghantuiku, bahkan setiap puing genteng yang hendak menghantam wajahku tiap malam, tidak lebih mengerikan darinya yang bahkan tidak mbisa menyentuh kulitku.
@bacahorror_id @IDN_Horor
Pertama, aku ingin menyampaikan untuk siapapun km yang hendak mengapload story ini, ataupun ingin membawakannya. Selain mencantumkan narasumber, aku hanya ingin mengingatkan kalau lebih baik membawakan cerita ini di saat cerita sudah rampung.
Kedua, bagi pembaca ku yang sangat aku rindukan.. Jika kalian menantikan cerita ini setiap hari, atau mengharapkan kehadirannya setiap waktu, lebih baik baca cerita ini setelah rampung.
Kepadatan jadwal kerja, dan nongkrong, membuat cerita ini jarang tersentuh, jangan kecewa.
Tentang aku, dan jiwaku yang lain.
@bacahorror #threadhorror #horrorthread
Malam, yang tak begitu cerah. Tapi semoga kamu dalam keadaan baik. Dan ya.. Aku mendapatkan satu cerita yang sudah utuh. Sudah mendapatkan ijin, juga sudah rampung.
Aku tidak suka basa basi, ku jelaskan intinya sebagai pembuka cerita, lalu biarkan cerita mengalir se adanya.
Aku mendapatkan cerita ini dari seorang sahabat karip, seorang perempuan, umurnya kurang lebih 37thn, beda 13thn denganku. Kami bertemu 6 tahun lalu di suatu kos, sebelum memutuskan untuk berbagi kamar. Sebut saja namanya Ayu. Bukan nama asli.
Cerita ini terjadi sekitar bulan oktober lalu. Sebenarnya Aku, indah, adrian, dan koko, sudah merencanakan pendakian ini dari lama. Tapi baru bisa bisa terlaksana sekitar bulan oktober.
Sebenarnya aku belun tau medan gunung penanggungan seperti apa
“Aku, Dewi Arimbi. Sampai tiba ajalku nanti, aku akan tetap mencintai suamiku yang kamu bunuh di depan mataku. Hatiku terbakar bersama raga yang ada di dalam rumah itu”
Dilihat nya Nonok tengah memasukkan kayu ke dalam diang (api) sedangkan Pakde Bejo tengah menjemur kayu di samping rumah dengan kesal. Karna baru saja di masukkan ternyata tidak jadi hujan.
Awalnya keadaan desa biasa saja, namun semuanya berubah saat kami kedatangan warga baru. "Keluarga Bpk Rusli" begitu kami menerka setiap terjadi pekara.
Gerimis tipis membuat desa terlihat lebih gelap dari biasanya. Suara jangkrik nampak nyaring. Kabut mulai menutup pandangan. Pukul 17:00. Dari kejauhan nampak lampu senter mencoba menembus kabut yang kian pekat. Sayup-sayup terdengan seseorang menyapa
“Pak...” sapanya pada Kandar. Sedang Kandar yang di sapa hanya membalas “Moggo” (silahkan) sebagai bentuk basa-basi. Padahal kandar sendiri tak dapat melihat seseorang itu.