Perempuan Penghayat Menulis

“… kami sebagai penganut Penghayat Kepercayaan dianggap sebagai orang kafir, tidak beragama, kumpul kebo, akhirnya sampai juga ke telingaku, sekalipun secara tidak langsung.”

Itulah sepenggal kisah Rela Susanti yang diabadikannya dalam tulisan Image
berjudul “Ketika Perkawinan Terganjal Peraturan”. Rela adalah penganut Budi Daya yang pernah berjuang enam tahun lamanya untuk sekadar mendapatkan Akta Perkawinan karena keteguhannya dalam mempertahankan identitasnya sebagai Penghayat Kepercayaan.

Bersama suaminya ia
memperjuangkan perkawinan menurut adat Sunda, bisa dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bandung. Pemerintah rupanya menolak. Proses ini lalu memaksa kedua mempelai tersebut melakukan gugatan, menjalani sidang demi sidang seperti tak berujung, hingga
perkara tersebut harus diselesaikan oleh Mahkamah Agung.

Bukan hanya urusan Pengadilan yang memojokan mereka. Selama periode itu pula, 2001-2006, keduanya terus menjadi sasaran olokan dan teror masyarakat. Itulah harga yang harus mereka bayar karena keteguhan mempertahankan
identitas sebagai Penghayat.

Perjuangan Rela bersama keluarganya adalah kisah inspiratif. Meski sudah terendap lama, ketika ditulis, kisah tersebut tetap mengundang haru biru. Tidak berlebihan bila Rela Susanti kemudian ditetapkan sebagai pemenang lomba menulis yang dihelat
Perspektif Pelaku

Sayembara menulis untuk perempuan Penghayat sendiri, merupakan inisiatif Dian Jennie Tjahjawati, Ketua Puanhayati Pusat, untuk mendorong lahirnya narasi yang merepresentasi suara perempuan Penghayat. Inisiatif tersebut bermula dari keprihatinan tentang Image
keberadaan perempuan Penghayat yang selalu direpresentasikan secara salah dan dipenuhi oleh stigma.

Pemberitaan dan pewacanaan terhadap perempuan Penghayat memang mulai melibatkan lebih banyak kelompok akademisi dan CSO, meski begitu, Dian Jennie berpandangan bahwa representasi
yang dilakukan oleh kalangan outsider saja, tidak cukup mampu menampilkan kedalaman dan kompleksitas pengalaman perempuan Penghayat.

Atas dasar inilah, pada Agustus 2019, Puanhayati lalu mengundang semua anggotanya untuk menjadi bagian lomba menulis dengan tema “Perempuan
Penghayat Kepercayaan Menembus Batas Diskriminasi”. Melampaui urusan perlombaan, sayembara menulis tersebut sesungguhnya dimaksudkan melahirkan lebih banyak narasi tentang pengalaman perempuan Penghayat yang ditulis oleh pelakunya sendiri.

Meski sayembara ini hanya berhasil
menarik dua puluh partisipan, akan tetapi kisah-kisah yang berhasil dituliskan oleh para perempuan Penghayat, telah menjadi sarana yang penting untuk menampilkan suara mereka, di samping kisah-kisah itu sendiri tentu saja jauh lebih berwarna, lebih dalam, lebih kompleks dari
narasi yang sudah ditampilkan oleh para penulis-akademisi yang menjadikan kalangan Penghayat sebagai obyek kajiannya.

Tulisan-tulisan diseleksi dan dinilai tiga orang dewan juri yang ditunjuk oleh Puanhayati. Tiga orang dewan juri tersebut adalah: [1] Drs. KRT Sulistiyo Tirto
Kusumo, MM (Mantan Direktur Penghayat Kepercayaan); [2] Akhol Firdaus (Direktur Institute for Javanese Islam Research IAIN Tulungagung), dan; [3] Dian Jennie Tjahjawati, S.Sos (Ketua Puanhayati Pusat).

Dewan juri lalu menetapkan tiga penulis terbaik. Juara pertama adalah Rela
Susanti dengan tulisan berjudul “Ketika Perkawinan Terjagal Peraturan”. Juara kedua adalah Timih Himayati (Aliran Kebatinan Perjalanan) dengan tulisan berjudul “Kenangan Perjalanan Hidup Kami”. Juara ketiga adalah Dwi Setyani (Kerokhanian Sapta Darma) dengan tulisan berjudul
“Refleksi Hidup Perempuan Penghayat”.

Pemenang lomba menulis ini kemudian diumumkan secara resmi pada 22 Oktober 2019, bersamaan dengan Sarasehan Nasional Penghayat Kepercayaan, di Hotel Grand Pasundan, Bandung.

Menurut Dian Jennie, lomba menulis tersebut hanyalah tahap awal
untuk membangun narasi tentang perempuan Penghayat. Puanhayati sendiri tengah mengagendakan program penguatan kapasitas, yang salah satunya berupa pelatihan menulis sehingga diproyeksikan mampu melahirkan lebih banyak lagi penulis dari kalangan perempuan Penghayat sendiri.
Program tersebut akan diwujudkan pada 2020.

Perempuan Penghayat memang harus menulis. Hal ini karena mereka adalah kelompok subaltern yang mengalami beragam peminggiran dan diskriminasi. Hampir tidak ada telinga yang mampu mendengarkan bahasa mereka. Bahkan, seandainya ada
sekalipun, tidak tersedia bahasa konseptual yang benar-benar bisa mewakili pengalaman mereka. Selama ini, keberadaan mereka dianggap tidak ada, dan suara mereka pun seakan-akan terbungkam.

Beruntunglah karena Puanhayati hadir sebagai organisasi payung bagi perempuan Penghayat,
sekaligus mengambil inisiatif yang penting untuk membangkitkan kesadaran perempuan untuk menuliskan kisah mereka sendiri. Inilah tonggak penting untuk membangun narasi tentang perempuan Penghayat yang dikisahkan menurut sudut pandang mereka sendiri. []

Akhol Firdaus

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Bangkitnya Agama Adat Nusantara (GBMYLKSKVXYWQ)

Bangkitnya Agama Adat Nusantara (GBMYLKSKVXYWQ) Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @agama_nusantara

Oct 5, 2023
Posted @withregram • @kabarsejuk Kesaktian Pancasila Singkirkan Agama-agama Nusantara?

Tragedi 1965 di Indonesia berupa sejarah kelam pembunuhan massal, penyiksaan, dan penghilangan paksa yang banyak dilakukan di luar hukum dan disponsori oleh negara. Pelanggaran HAM serius ini
berlangsung pada 1965-1966.

1 Oktober yang ditetapkan oleh Orde Baru (Orba) sebagai Hari Kesaktian Pancasila menjadi bagian dari rangkaian tragedi traumatis untuk memberi cap komunis atau PKI (Partai Komunis Indonesia) terhadap setiap warga yang dituduh tidak berideologi
Pancasila.

Pancasila sebagai dasar dan ideologi tunggal kehidupan berbangsa dan bernegara pada Orba menyingkirkan ratusan agama leluhur nusantara. Aluk Todolo salah satunya.

Para penghayat agama atau kepercayaan selain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha oleh rezim
Read 8 tweets
Jun 8, 2023
Pemerasan Terhadap Rumah Ibadah

Jarang diketahui oleh masyarakat luas di Indonesia, jika beberapa rumah ibadah (Kelenteng, Vihara dan Bio) harus mengalami nasib yang sangat menyedihkan dibanding dengan rumah2 ibadah lainnya.

Kami di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa telah Image
mengunjungi sejumlah rumah2 ibadah dan menemukan beberapa informasi diantaranya (sebagian tak mau mengungkapkan karena khawatir dan takut) mengalami perlakuan tak semestinya.

Kekejaman sistematis terhadap etnis Tionghoa, terjadi begitu hebat kala pemerintahan orde baru berkuasa.
Inpres no.14 tahun 1967 , selain membatasi ruang gerak, orang2 Tionghoa juga dilucuti dari budayanya sendiri, bahkan agama. Tak ketinggalan regulasi tersebut, juga berdampak kepada eksistensi rumah ibadah orang2 Tionghoa.

Walaupun Kelenteng / Vihara / Bio adalah rumah ibadah
Read 10 tweets
Jun 8, 2023
Jemaat vihara membersihkan patung di Vihara Kwan In Thang, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (30/1/2019). Ritual pencucian patung dewa serta bersih-bersih ini dilakukan dalam rangka perayaan tahun baru China atau Imlek tahun 2570. - ANTARA/Muhammad Iqbal Image
PSI Janji Berantas Praktik Pemerasan Rumah Ibadah Vihara dan Kelenteng

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menemukan berbagai praktik pemerasan terhadap rumah ibadah Vihara dan Klenteng di berbagai tempat di Indonesia.

Bisnis.com, JAKARTA —
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengaku menemukan berbagai praktik pemerasan terhadap rumah ibadah vihara dan klenteng di berbagai tempat di Indonesia.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul "PSI Janji Berantas Praktik Pemerasan Rumah Ibadah Vihara
Read 5 tweets
Jun 8, 2023
BEBASKAN DIRI DARI POLITISASI AGAMA (CITA-CITA NEGARA RASIALIS)

Kesadaran satu bangsa, Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 :
𝕂𝕒𝕞𝕚 𝕡𝕦𝕥𝕣𝕒 𝕕𝕒𝕟 𝕡𝕦𝕥𝕣𝕚 𝕀𝕟𝕕𝕠𝕟𝕖𝕤𝕚𝕒, 𝕞𝕖𝕟𝕘𝕒𝕜𝕦 𝕓𝕖𝕣𝕓𝕒𝕟𝕘𝕤𝕒 𝕪𝕒𝕟𝕘 𝕤𝕒𝕥𝕦, 𝕓𝕒𝕟𝕘𝕤𝕒 𝕀𝕟𝕕𝕠𝕟𝕖𝕤𝕚𝕒. Image
Sudah jelas dan bisa anda saksikan sendiri kan bahwa agama menjadi faktor pemecah belah bangsa kita? Fundamentalisme, radikalisme dan terorisme merebak? Generasi muda dan anak-anak yang terus menerus dicekoki dengan dogma2 intoleran dan kekerasan, dan segala macam kekejian
lainnya (dusta, hoax, pelintiran, kesaksian palsu, rasisme, kecurangan, korupsi, poligami, pedofil, dsb)?
Politisasi agama menyebar kebencian, egoisme dan menjauhkan sifat tepo seliro.... gotong royong.

Rakyat bertanya-tanya kenapa pemerintah tidak jua bertindak?

Sebetulnya
Read 6 tweets
Apr 12, 2021
“Ajaran Mama Mei tidak berbeda dengan Sunda Wiwitan,” kata Engkus Ruswana. Sunda Wiwitan yang diacunya adalah kepercayaan paling asal di kalangan komunitas Sunda, yang kini dilestarikan oleh orang-orang Baduy di Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten, sumber dari semua sekte Sunda
Wiwitan yang berkembang di tanah Sunda.

Satu contoh, jika Agama Sunda Wiwitan menyebut Yang Mahakuasa sebagai Sanghiang Keresa, Agama Buhun menyebutnya Maha Kersa.

Baik Agama Sunda Wiwitan maupun Agama Buhun sangat menghormati alam, suatu heroisme yang tak ditemukan dalam Hindu
dan Budha. Robert Wessing, peneliti dari Universitas Western Kentucky, Amerika, dalam Cosmology and Social Behavior in West Java Settlement, menguatkan pendapat itu. Tesisnya, dalam masyarakat Sunda, alam adalah pusat kosmologi adat dan kepercayaan paling signifikan.

Dalam Agama
Read 7 tweets
Apr 12, 2021
DI kalangan pemeluk Agama Buhun, Engkus Ruswana dikenal sebagai ketua umum Budi Daya, organisasi kemasyarakatan yang mengurusi para pemeluk ajaran Mei Kartawinata. Budi Daya hanyalah salah satu di antara tiga organisasi yang melayani para penghayat dari komunitas yang sama. Dua
lainnya Aji Dipa dan Aliran Kepercayaan Perjalanan (AKP).

Ruswana punya definisi tentang agama. Muasal kosakata “agama” menurutnya adalah hagama, dari bahasa Kawi. Ha untuk “ada” dan gamana untuk “aturan atau jalan”. Dari sana, Ruswana mengartikan agama sebagai “ada aturan atau
jalan (lebih baik)” dan ke sanalah sebenarnya tujuan ajaran-ajaran Mei Kartawinata bermuara.

Untuk membangun jalan dalam mencapai tatanan sosial yang lebih baik, Agama Buhun berpijak pada tiga elemen utama. Spiritualitas individu berdasar ketuhanan. Kemanusiaan berdasar
Read 11 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(