Cintai pekerjaanmu seikhlas mungkin, supaya kamu nggak dibikin bingung dan repot oleh pekerjaanmu sendiri.
Cintai pasanganmu seikhlas mungkin, supaya kamu nggak dibikin bingung dan repot oleh pasanganmu sendiri.
Kalau betul2 sudah mentok, nggak bisa lagi, di KBBI ada kata: lepas, lepaskan, melepaskan...
Karena melepaskan itu melegakan...
Melepaskan itu bukan karena sudah tidak cinta atau tidak saling cinta lagi. Tapi karena tidak mau menyakiti atau saling menyakiti satu sama lain lagi.
Dalam HIDUP KADANG BEGITU, tersirat, terkadang kita mau sama uangnya tp nggak mau atau malu sama kerjaannya. Sebaliknya, kita mau sama pekerjaannya, meski uangnya tdk sesuai harapan kita.
Hidup kadang begitu.
Keputusan di hati kita. Putuskan, atau jadinya "begitu-begitu saja".
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Salah satu yang paling sy sesali dlm hidup, ketika Ibu mengirim WA, 5/7, “Man, madu hitamnya Mama sudah habis,” dan sy janji akan mengirimkan. Sampai ibu wafat, 12/7, blm jg sy kirimkan.
Kl kamu tak mau semenyesal saya, ingat janjimu pd ibumu, tunaikan segera...
Permintaan Ibu sangat sederhana tak ada yang merepotkan. Saya yang abai...
Saya makin terpukul saat melihat wallpaper hape almarhumah ibu: foto saya bersamanya. Sementara wallpaper hapeku, tak pernah fotoku bersamanya...
Dua sahabat menghampiri sebuah lapak jualan. Penjualnya ternyata melayani dgn buruk. Mukanya cemberut. Amir jengkel menerima layanan seperti itu. Herannya, Umar enjoy aja, bahkan bersikap sopan kepd penjual itu.
Amir pun bertanya kpd Umar,
“Kenapa kamu bersikap sopan kepd penjual yg menyebalkan itu?”
“Lho, knp aku hrs mengizinkan dia menentukan caraku bertindak? Kitalah sang penentu atas kehidupan kita, bukan orang lain,” jawab Umar.
“Tapi dia melayani kt buruk sekali!
“Itu masalah dia. Dia mau bad mood, tdk sopan, melayani dgn buruk, tdk ada kaitannya dgn kita. Kl kita sampai terpengaruh, berarti kita membiarkan dia mengatur & mempengaruhi hidup kt. Pdhl kitalah yg bertanggung jawab atas diri kt sendiri.”
Kovach & Rosenstiel tak cm nulis 9 Elemen Jurnalisme, tp jg ‘Blur, Bgm Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi’. Pers didedahnya. Ada penganut jurnalisme verifikasi, jurnalisme pernyataan, jurnalisme pengukuhan (propaganda, persuasi, manipulasi) & jurnalisme kaum kepentingan
Jd gak usah kaget dg wajah pers saat ini. Kenali jenis jurnalismenya utk tahu kebenaran isinya. Jurnalisme verifikasi; semata jurnalisme pernyataan; jurnalisme pengukuhan yg cm propaganda, persuasif, manipulatif & menampilkan realitas semu; atau milik ‘kaum kepentingan’
Kovach & Rosenstiel paparkan jg 8 ukuran & fungsi penting jurnalisme yg dibutuhkan saat ini: otentitakor/pensahih, penuntun akal, investigator, penyaksi, pemberdaya, agregator/pengepul cerdas, penyedia forum & panutan.
Pagi2, baca WA, dari seseorang yang mengaku jurnalis sebuah media, dan ingin meminta pendapat saya soal fenomena buzzer.
Tidak saya jawab, krn bagi saya buzzer, bukan masalah. Buzzer adalah istilah netral utk para pendengung, yang sudah sangat lama dikenal dalam dunia pemasaran
Buzzer sekali lagi, bagi saya, adalah istilah yg netral2 aja. Tentang org yg punya pengaruh untuk menyuarakan sebuah kepentingan, entah karena tergerak dengan sendirinya, atau ada imbal baliknya.
Kok tiba2 terdistraksi oleh ingatan ttg ghost writer... ✌🏼✌🏼✌🏼
Ibarat lonceng yang digunakan sebagai alat utk mengumpulkan banyak orang dinsuatu tempat dengan tujuan untuk menyampaikan suatu pengumuman. Itulah buzzer.
Tukang obat yang berteriak-teriak di lapangan terbuka? Anda mau menyebutnya buzzer, silakan saja..,
Dulu, televisi dianggap jd penyebab buruknya mutu tulisan. Sekarang medsos dituding jd penyebabnya. Besok2, entah apa lagi yg dituding.
Bagiku, penyebabnya satu: kita berlama-lama merenungi kertas kosong ketimbang menuangkan pikiran dan perasaan di atas kertas itu.
Menulislah. Bahwa tulisan pertama jelek, alurnya jungkir balik, tata bahasanya babak belur, gpp. Semua penulis profesional juga sama seperti itu. Tak ada yang abrakadabra sekali nulis langsung jadi.
Ingat menulis itu membaca berulang-ulang, bukan memelototi kertas kosong 24 jam.
Tak ubahnya atlet professional, sebelum mengalungi medali, dia harus latihan berulang-ulang, dan butuh sparring partner dan juga pelatih. Begitu pula menulis.
Menulislah, cari teman yang mau membaca dan mengkritisinya, cari guru: bisa manusia, bisa bahan bacaan.
Bila Allah memudahkanmu melaksanakan ibadah puasa, jangan memandang mereka yang tidak bepuasa dengan tatapan merendahkan dan menghinakan.
Ketika Allah memudahkanmu mengerjakan shalat malam, jangan memandang rendah orang-orang yang tidur.
Apabila Allah mudahkan pintu rezekimu, jangan menatap orang-orang yang berutang dan kurang rezekinya dengan tatapan yg mengejek dan mencela. Bukankah semua itu semata titipanNya yg kelak harus dipertanggungjawabkan