Kata Nur dlm al-Qur'an selalu disebut dlm kata tunggal (bkn jamak), mengandung makna bahwa Cahaya selalu Tunggal, dari sisiNya, bersumber dariNya.
Mahasuci Allah Swt.
Kata dhulmun, gelap, dlm al-Qur'an banyak sekali disehut secara jamak (walau jg ada single, mufrad). Mengandung makna bhw kezaliman² amatlah luas dan bnyak jalan dan bentuknya, walau juga bs ditunggalkan dlm rupa kesyirikan, msl. Dan hanya Satu CahayaNya yg bs menerangi semuanya.
Frasa Nurun 'ala Nurin (Cahaya di atas Cahaya) mengandung makna bhw petunjuk, taufik, dan hidayah dr Allah Swt berlapis-lapis, tiada ujung dan hentinya dikaruniakan. Maka bs bertambah dalam, dalam, dan dalam iman di hati hingga makrifati sbg buah dr anugrah² Cahaya itu.
Misykat bagaikan celah/lubang yg kedap; di dalamnya ada pelita; ia berada dlm kaca² yg bening, hingga pancaran terang pelita itu berlipat ganda mencemerlangkan segala di sekitarnya; hingga meruahkan pohon perkasa yang diberkahi dan lalu menguatkan berkah² ke sekelilingnya.
Perumpamaan karunia cahaya (hidayah, taufik, rahmat) dr Allah Swt kpd hambaNya bagaikan begitu rupa ilustrasinya. Maka sosok yg tlh diguyur cahaya demikian, semata pancaran² terang cahaya yang diuarkan ke sekelilingnya.
Dlm konteks kita, ia adalah cinta, rahmat, kasih sayang.
Bisalah, dgn kata lain, dikatakan sang mukmin yg haq tentulah semata mberkahi, merahmati, kepada makhluk-makhlukNya, siapa pun ia, dlm kondisi apa pun ia. Bagaikan cahaya matahari yg tak pernah pilih² menerangi semua makhlukNya.
Wallahu a'lam bish shawab.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Mulailah bersikap kritis ya pd unggahan² sosmed dlm bentuk apa pun yg bicara ttg Islam.
Kritislah pd kontennya. Jgn terpukau pd perawakan, kostum, bahkan kendati wasis dlm kutipan ayat² n hadis²nya.
Ya, kontennya. Ini sgt pokok dan besar pengaruhnya bagimu.
Dalil² adalah teks² suci dan sahih, tetapi ia bisa dibawa ke mana-mana sesuai karepe si pembicara. Karenanya, dlm khazanah keilmuan yg ilmiah dan bertanggung jawab, tak dibolehkan semua orang tnpa fondasi ilmu² yg pantas tuk menafsir n menerangkan dalil² krena rawan kepleset.
Al-Mu'minun 71 tlh mengingatkan: "Jika kebenaran tlh diseret hawa nafsu, maka akan rusaklah langit dan bumi beserta seluruh penghuninya."
Kebenaran (haq) dimaksud bs termasuk dalil². Yakni klau dalil² dibawakan oleh orang yg bkn ahli ilmu, apalagi plus hawa nafsu.
Dlm Balaghah, dikenal kaidah bhw penggunaan kata makrifat yg sama mengandung pengertian bhw kata kedua lebih besar/luas dibanding makna kata pertama.
Kata ihsan/kebaikan pertama (yg dilakukan fulan), tentu di dunia di saat hidup, msl sedekah, akan diganjar dgn lipat² kebaikan (lbh besar/luas/unlimited), ya di dunia dan akhirat.
Mari renungkan:
Karena demikian adanya, bukankah masuk akal sekali tuk disimpulkan bhw sejatinya segala amal kebaikan merupakan keniscayaan logis untuk kita lakukan krn manfaatnya benar² balik ke diri sendiri dgn lebih besar/luas?
Disebutkan dlm al-Qur'an, "dan Aku tidak memberikan ilmu pada kalian kecuali sedikit."
Sedikit menurut Allah, tak ada satu pun dr kita yg tahu seberapa.
Tp cb renungkan: kita mencapai kemajuan peradaban begini berkat pesatnya pengetahuan, sains, teknologi, kan.
Dan, ini semua adalah sedikit "kata Allah" tadi.
Sayangnya, kita lbh sering alpa bhwa ini semua hanya sedikit. Sekali lagi sedikit. Kita cenderung mendaku diri luas betul ilmunya, dahsyat.
Pdhal, kata Allah ya sedikit.
Malaikat pernah "berpendapat" pada Allah saat diberitahu ihwal Dia akan menciptakan makhluk di bumi. Kata malaikat "apakah Engkau akan menciptakan makhluk yg gemar merusak dan menumpahkan darah".
Allah menjawab: Aku lebih tahu (berilmu) dibanding kalian.
Ihwal ilmu, betul ia disanjung luar biasa agung dlm berbagai ayat dan hadis. Bahkan disebut al-Qur'an bagai sejajar dgn pahala irang terjun perang dan syahid.
Ia disebut pula menaikkan derajat kita, ya hadapanNya, jga sesama.
Tetapi jgn lupa bhwa ilmu pun bisa menjungkalkan pada azab yg pedih. Bahkan disebut dlm hadis dlm istilah² yg mengerikan: dajjal ay ulama su' dan asyadda adaban (adab yg paling keras).
Ilmu boleh sujulang gunung, seluas laut; tetapi clue maslahat seyogianya selalu jadi tujuan terbesarnya, selaras pas dgn tujuan hakiki syariat: "dar-ul mafasid wa jalbul mashalih". Tdak ada yg lain.
Segala maslahat adalah ridhaNya, syariatNya. Dan tentu pula sebaliknya.
1. Bagaikan laba-laba yg membangun rumahnya, padahal serapuh-rapuhnya rumah adalah rumah laba-laba
2. Bagaikan batu licin yg ada debu di atasnya, lalu turun hujan deras hingga lenyaplah sempurna debu itu.
3. Bagaikan kebun di atas dataran tinggi yg berlimpah panennya, bahkan jikapun hujan turun sedikit, telah cukuplah itu untuk menyuburkan tanaman-tenamannya.