Sulit kita mencoba paham dengan ekspresi muka "mbecetut"-nya. Lebih sulit lagi kita memahami bunyi yang sering dihasilkan oleh mulutnya.
Selalu saja ada nada tak harmonis dan telinga ini menjadi obyek penderita sebagai akibatnya. Menderita dalam arti sesungguhnya.
Sampah, itu ketika mata menjadi juri. Noise, masih terdengar lebih enak bila telinga adalah alat penilai.
Entahlah... dia benar punya mulut, tapi seolah berkodrat tak baik. Bukan suara dengan makna harafiah kita dengar keluar dari mulutnya, bunyi-bunyian, itu lebih tepat.
Dia memang tercipta demi uji sabar kita sebagai manusia semakin terasah sisi kemanusiaannya. Cobaan, ketika iman dijadikan rujukan.
Dia sempurna sebagai "pencoba" dalam takdirnya.
Jutaan masyarakat Surabaya memaknai blusukannya dengan syukur. Selalu ada imbas baik menyusul atas langkah kakinya pada gang-gang sempit dan kotor tak tersorot.
Dia sepertinya, justru memaknai dengan narasi "gila pencitraan" pada sosok ibu yang sangat peduli pada kelompok terpinggirkan itu.
"Diperiksa" sebagai diksi yang merujuk kata "gila" pada kalimat berikutnya jelas merupakan kalimat yg sengaja disiapkan dan disusun jauh sebelumnya.
Bila kalimat itu sengaja diperuntukkan bagi bu Risma, ini jelas tentang makna waras dia seorang diri ditengah jutaan orang gila.
Seorang ibu yang demikian dipuja & dihormati oleh masyarakatnya di Surabaya, dianggap berstatus gila yang patut diperiksa akibat kecanduan blusukan.
Bagi kita yang sejalan dengan bu Risma, kita adalah gila dan Fadli satu-satunya manusia waras di republik ini. Paling tidak, itu karena para waras yang lain yang sealiran dengannya sedang bernasib sial dianggap gila dan masuk penjara.
Di dalam penjara sana ada yang berteriak, "cieee...yang waras sendiriann..🙄"
.
.
.
. @Andita_4
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Tak jauh dari petilasan Ario Penangsang, di desa Jipang, Cepu, Kabupten Blora, seluruh keturunan kakek dari kakeknya Hardjo adalah penganut kejawen. Mereka hidup dengan tenang dan damai.
Dalam mengekpresikan budaya dan agamanya, sebagai orang Jawa, kakek Hardjo sangat menghormati pola hubungan yang seimbang.
Hal itu selalu dilakukan pada sesama individu, alam dan Tuhan dimana adalah sebagai pusat segala kehidupan dunia.
Keseimbangan adalah tentang melihat kedalam, (introspeksi) bukan menunjuk siapa yang bersalah. Bukan pula tentang bonus surga dan denda neraka, ini adalah tentang membuat dirinya semakin hari semakin baik dalam seluruh perjalanan hidupnya hingga keseimbangan terwujud.
Memaknai keterpilihan dan menang demi suara terbanyak, itulah entitas demokrasi kita kenal. Paling tidak, itulah cerita selalu kita dengar setiap pemilu, di mana pun juga.
Prabowo jadi Presiden, jelas adalah target awal Pilpres 2019 lalu. Target berikutnya yang mungkin lebih besar dari target awal itu tak pernah kita dengar. Dia layu sebelum mekar, tenggelam sebelum sempat berlayar. Lainnya, silahkan tambahin sendiri.🤔
"Apa yang tak pernah kita dengar sebagai target selanjutnya?"
Namanya juga hasrat, bisa apa saja. Yang jelas, semua pihak yang tak suka Jokowi berkumpul di sana. Apa agenda ingin agar Jokowi tak terpilih kembali, itulah makna hasrat menjadi relevan.
“Le.. Tuhanmu tak akan marah bila kamu meminta kepadaNYA, tapi sering-seringlah menyapaNYA daripada kau meminta, karena temanmu akan lebih suka kau menyapanya daripada kau sering meminta, walaupun Tuhan, tidak sama dan sebanding dengan temanmu.”
Demikian seorang yang saya kenal melalui akunnya pernah mendapat nasehat dari almarhum ayahnya 30 tahun yang lalu.
Di sela kesibukkannya menjadi diri sendiri lewat cuitan-cuitan yang mengajak kita untuk menempatkan manusia di atas agama. Kadang ia menyelipkan cerita tentang bagaimana keluarganya hidup dalam ke Bhinnekaan.
BU RISMA BANGET
.
.
.
.
Kemana penghuni yang kemarin sempat diajak bicara ibu Mensos, mungkin tak lagi penting. Keberadaan tuna wisma yang tertangkap oleh kepedulian si ibu itu telah menampar sang penguasa tertinggi hingga covid-19 pun turut menjauh.
Kolong jembatan itu kini mendapat perhatian sang wali kota. Bersih-bersih demi indah taman penuh lampu dikejar hingga Februari nanti.
Akan banyak tempat kumuh yang lain berubah dan berbenah bukan karena harus dan demi pantas Jakarta bersolek,
membatasi spontan ibu Mensos baru yang tak tahan tangan untuk selalu berbagi dan menebar rasa solider tak mendapat ruang, sepertinya itulah alasan tepatnya.
Ronaldo hanya butuh waktu enam tahun kerja bersama Manchester United sebelum akhirnya memilih kerja bareng dengan Real Madrid.
Bukan masalah MU kalah hebat dibanding Madrid, ini adalah masalah keputusan logis Ronaldo pribadi. Dia melakukan sebuah keputusan profesional bagi perkembangan karir pribadinya.
Demikianlah Indonesia di jaman Jokowi, bukan masalah Amerika lebih buruk dibanding China, namun arah perkembangan dunia tak mungkin berpihak kepada Indonesia bila terus menempel AS. Dunia sedang berubah.
Caranya berpikir, selalu mencoba untuk mencari jalan keluar ketika prahara ekonomi, entah suami bangkrut atau bahkan PHK saat pandemi menimpa rumah tangganya. Bukan lari, apalagi mencari siapa salah dibalik cerita itu.
Menjual apapun yang berharga dan masih laku yang masih dia miliki demi selamat dan utuh keluarga. Apa saja yang dia punya tak lagi lebih berharga dibanding keluarga.
Ketika menikah telah disepakati, susah senang bersama disambut dengan senyum. Suami terlalu berat bekerja, cepat tangan kanan membantu sementara tangan kirinya tak lepas dari gendong si anak.