Surat Para Raja Nusantara Beraksara Pegon Koleksi British Library
- sebuah utas
sebenarnya utas ini berangkat dari buku katalog yang disusun oleh @BLMalay dan Bernard Arps dalam sebuah pameran pada 1991 di Jakarta. Dari katalog ini, ada satu bagian yang menarik menurut kami. Yakni, penggunaan aksara Pegon dalam surat-surat para raja tersebut.
surat yang terbanyak adalah surat-surat yang ditujukan kepada Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles, baik saat bertugas di Jawa (1811-16) ataupun di Bengkulu (1818-24)
Rata-rata surat tersebut menggunakan aksara Arab-Pegon dengan bahasa Melayu. Di antaranya seperti surat dari Sultan Pontianak Syarif Kasim kepada Raffles pada 1811 (MSS Eur.E.378/1) berikut ini:
Adapula surat dari orang berpengaruh di Istana Riau-Johor, Sayid Muhammad Zaid al-Kudsi kepada Raffles, 6 Januari 1811. Juga menggunakan bahasa Melayu.
Surat Panembahan Sumenep Nata Kusuma kepada Raffles pada 1816 ini, juga setali tiga uang. Menggunakan aksara Arab-Pegon dengan bahasa Melayu (Add 45273)
Akan tetapi, beberapa surat di atas, memang berasal dari daerah yang berkultur Islami. Jadi, tidak heran jika menggunakan aksara Arab-Pegon dan bahasa Melayu. Namun, ada surat lain yang tidak berasal dari kultur islami, namun menggunakan bahasa dan aksara yang sama.
Yakni, sebuah surat dari Raja Buleleng Bali, Ratu Gusti Wayahan Karangasem yang dikirim ke Raffles tertanggal 25 Februari 1811 berikut ini:
Sebagaimana kita ketahui, Bali yang dipengaruhi oleh agama Hindu yang memiliki kekayaan aksara dan bahasa tersendiri. Dalam surat-surat yang lain, mereka justru menggunakan aksara dan bahasanya sendiri.
Seperti surat emas yg ditulis dua pangeran dari Bali, Kanjeng Kiai Angrurah Jambe dari Badung dan Kiai Angrurah Agung dari Mengwi kepada Gubernur Semarang, Johannes Vos bertarih 1768 ini:
Sila baca transkrip dari surat Raja Buleleng di atas pada foto di bawah ini:
Bahasa Melayu pada masa itu, memang menjadi bahasa pergaulan (lingua franca) di kawasan Asia Tenggara. Sebagai bahasa pergaulan, bahasa Melayu (maupun aksaranya) juga tak terbatas dengan ras dan agama tertentu. Raja Buleleng yang Hindu dan Bali pun sah menggunakannya.
Dari sini, kemudian nilai-nilai keislaman bisa ditransformasikan secara luas. Melintasi beragam ras, etnis, suku, dan agama. Islam pun dipahami secara kosmopolit. Tak semata agama yang eksklusif. Sebagaimana seringkali dimunculkan dewasa ini....
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Pesawat Sriwijaya Jakarta-Pontianak dengan kode penerbangan SJ182, mengalami kecelakaan sore ini, mengingatkan pada peristiwa 64 tahun silam. Tepatnya 27 Desember 1956. Kecelakaan pesawat yang dialami oleh KH. Idham Chalid.
Pria kelahiran 27 Agustus 1922 di Setui, Kalimantan Selatan tersebut, mengalami kejadian mencekam tersebut, saat terbang dari Bandara Polonia, Medan. Ia yang kala itu menjabat Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia usai menghadiri Muktamar ke-21 Nahdlatul Ulama.
Seusai Muktamar, pengurus NU dari Jawa pulang dengan mencarter kapal laut Tampomas yang legendaris karena berakhir dalam kondisi terbakar itu. Sedangkan Kiai Idham yang merupakan seorang pejabat tinggi masih bertahan di Sumatera Utara. Ia mengurus perihal gejolak politik di sana.
Pesantren Darul Ulum yang berdiri cukup besar di Dusun Gembolo, Desa Purwodadi, Gambiran, Banyuwangi ini, tak bisa terlepas dari KH. Syamsul Mu'in Kholid selaku pendirinya. Ada cerita panjang yang melatarinya. Tak serta merta lantas membesar sendiri.
Kiai kelahiran 13 Juni 1931, di Desa Wringinputih, Kec. Gambiran itu, merupakan putra dari Kiai Abdul Jalil. Orang tuanya tersebut merupakan perantauan dari Kediri yang mengadu nasib sebagai petani di Banyuwangi.
Buku "Mengislamkan Jawa" karya M.C Ricklefs yang diterbitkan oleh @serambi ini, ada sedikit kejanggalan. Angklung Banyuwangi didefinisikan seperti halnya angklung sunda.
Foto: google
Coba baca di footnote no.67 ini. Dalam teks yang dimaksud adl angklung dari Banyuwangi. Tapi, definisi di footnote "untuk memunculkan bunyi, angklung harus digoyangkan".
Padahal angklung Banyuwangi untuk membunyikannya harus dipukul seperti di video ini:
Asal-usul nama Banyuwangi kerap dikaitkan dengan legenda Sritanjung - Sidopekso. Sebuah kisah yang telah ada beratus tahun lamanya. Sejak masa Hindu-Budha. Namun, seiring waktu, nilai2 Islam turut mewarnai epos tersebut.
Menurut Prijono dalam "Sri Tanjung, Een Oud-Javaasech Verhaal (1938)", kisah Sritanjung dikarang oleh Citragotra sekitar tahun 1500-1600. Yakni, masa dimana Hindu masih menjadi agama mayoritas dan mempengaruhi berbagai unsur kebudayaan. Tak terkecuali dunia kasusastraan.
Sebagaimana diketahui, proses berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) tak semata sbg sebuah perwujudan dr gairah pergerakan. Yg mungkin hanya berkutat pd serangkaian rapat & kajian. Mendirikan NU lebih komplek. Ada serangkaian konfirmasi spiritual yg harus dilakukan oleh para pendirinya.
Tidak hanya melibatkan Syaikhona Kholil Bangkalan yang sudah teramat populer. Namun, juga terdapat sejumlah laku spritual lainnya. Di antaranya adalah dengan bertirakat di makam Sunan Ampel di Surabaya. Hal ini sebagaimana dimuat dalam majalah Mimbar No. 7 Tahun I.