Ketika pihak yang keberatan terhadap karya jurnalistik makin mudah mengkriminalisasi jurnalis menggunakan UU ITE, kita sebagai publik juga ikut dirugikan.
Seberapa parah sih situasi hak ekspresi dan berpendapat kita di internet?
Sebenarnya dalam UU Pers sudah diatur tahap yang harus dilakukan oleh mereka yang keberatan terhadap pemberitaan sebelum menggugat ke pengadilan. Jadi nggak tiba-tiba lapor ke polisi. Seperti apa tahapannya?
Pertama dengan menggunakan Hak Jawab, yakni dengan meminta media memuat fakta dan opini yang belum ditampilkan dalam berita yang dipermasalahkan.
Kedua, jika Hak Jawab dianggap tidak cukup, maka ada mekanisme pelaporan ke Dewan Pers. Dewan Pers yang menentukan apakah sebuah karya jurnalistik melanggar etika atau tidak. Jika tetap tidak terima, baru melaporkan secara perdata.
Namun, UU ITE menjadi semacam jalan pintas bagi pihak yang keberatan terhadap karya jurnalistik agar tidak menempuh tahapan itu. Seseorang bisa langsung melaporkan jurnalis ke polisi tanpa harus menggunakan Hak Jawab ataupun mengajukan keberatan ke Dewan Pers.
Salah satu dampaknya adalah ketakutan yang menyebar (chilling effect) pada publik. Lebih jauh, jurnalis akan menghindari isu-isu sensitif, seperti pengungkapan kejahatan lingkungan, korupsi, atau kekerasan seksual. Lalu kita hanya disajikan berita-berita dangkal dan banal. Mau?
Melalui Laporan Situasi Hak-Hak Digital Indonesia yang diterbitkan @safenetvoice, kami menemukan sejumlah data-data yang perlu kita cermati.
Pertama, korban kriminalisasi UU ITE 2019 paling banyak menimpa jurnalis (7). Lalu aktivis (5), akademisi (3), dan artis (3).
Kedua, kalangan yang hobi ngaduin adalah pejabat publik (10 kasus) dan politisi (10 kasus). Kemudian disusul artis (3 kasus) dan tenaga profesional seperti dosen dan dokter (2 kasus).
Merefleksikan dua temuan itu, kalian lebih mungkin jadi korban atau pelaku?
Temuan yang disusun @safenetvoice ini dapat diakses oleh publik di sini.
Laporan tersebut, bisa jadi pintu untuk mempelajari isu hak-hak digital kita yang rentan. Bahkan bisa jadi alat untuk mendorong agar negara mewujudkan pemenuhan dan perlindungan hak-hak digital kita.
Bayang-bayang ancaman UU ITE ini harus dihentikan. Jika tidak, kian maraknya penggunaan UU ITE untuk mengkriminalisasi warga bisa menjadi mesin penggali kuburan kebebasan berpendapat yang baru kita nikmati kembali pasca Orde Baru.
Jika ingin mendalami isu ini, kamu bisa silaturahmi ke artikel yang ditulis oleh @antonemus berikut.
Penelitian anti-fan pertama baru dilakukan pada 2003, diprakarsai oleh Jonathan Gray, di mana ia secara tidak sengaja ketika dalam wawancara menemukan perbedaan antara fans The Simpson dan pasangan mereka yang non-fans dan anti-fans.
Gray menemukan bahwa anti-fans mempunyai pengetahuan yang dalam tentang suatu teks, tapi menginterpretasikannya berbeda.
Logikanya, orang yang tidak menyukai sesuatu tidak akan mencari tahu objek yang mereka tidak sukai. Tapi, anti-fans justru melakukan hal yang sebaliknya.
Kami turut berduka untuk seluruh korban kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 sekaligus berduka atas gagapnya jurnalisme di banyak media Indonesia yang tak kian membaik dalam meliput bencana.
Memang ada dua cara meliput peristiwa mendadak, seperti kecelakaan ini.
Pertama, liputan yang fokus dengan informasi-informasi dasar mengenai kecelakaan itu sendiri. Dari hal-hal berkaitan dengan penyebab kecelakaan sampai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pengambil kebijakan dalam merespon sebuah peristiwa.
Kedua, liputan bergaya human interest. Liputan ini lebih mengandalkan penggambaran orang secara emosional daripada data-data keras. Contohnya seperti liputan The Guardian ini.
KESALAHAN MEDIA KETIKA MENULIS BERITA KEKERASAN SEKSUAL
== A THREAD ==
1. Menggiring pembaca untuk menghakimi penyintas, misal dalam kasus artis sebagai pekerja seks.
2. Menggiring pembaca untuk memaklumi/menganggap wajar perbuatan pelaku, misal menggunakan diksi “pelaku khilaf”, “tidak kuat menahan nafsu”, “terpaksa nekat”, “sudah lama tidak berhubungan intim”, dll.
Kami turut berduka atas musibah yang menimpa penumpang Lion Air #JT610. Tapi kami juga dibuat geram oleh sejumlah media yang lagi-lagi membuat berita yang kacau. Sebelum makin ngawur, kami ingin menyerukan beberapa hal, agar kita tidak lagi menuang minyak dalam kobaran api.
Beberapa media sudah mulai membicarakan soal firasat, membedah akun media sosial korban #JT610, dan hal-hal yang bersifat dramatis untuk memikat perhatian publik. Padahal publik perlu informasi yang lebih penting dari itu.
Kami juga menghimbau agar media tidak ngawur ketika menunjuk narasumber. Kami tidak ingin lagi ada paranormal yang diberi panggung di layar kaca. Selengkapnya, kita bisa membaca tulisan Ahmad Arif ini kembali. remotivi.or.id/amatan/32/Jurn…
Halo kawan-kawan. Sudah lama kami nggak kultwit nih. Mulai hari ini kami akan merencanakan kultwit lebih rutin. Semoga aja kultwit kami kayak mengkudu: berfaedah. :p
Nah, temanya kali ini adalah mengenai netralitas vs independensi. Pantengin terus kultwitnya, ya. (1/15)
Sering kan kita dengar ungkapan “Ah, media ini nggak netral” atau “Wartawan harus netral”? Netralitas kemudian dijadikan standar ideal bagi kerja-kerja jurnalistik. Wartawan dan media yang bermutu adalah yang netral. Buat kami, pemahaman ini keliru. (2/15)
Wartawan & media tdk hrs netral, mereka hrs berpihak. Namun, keberpihakannya itu hrs diambil scr independen. Artinya, keberpihakannya terhadap suatu isu diambil bkn krn permintaan pemilik media, ancaman dr penguasa, atau iming2 uang (pemasangan/pembatalan iklan, misalnya). (3/15)