PRAMBANAN NAN ANGGUN
.
.
.
Dia akan bersenandung saat hati kita benar-benar bersih.
Dia mungkin akan bercerita melalui angin yang berhembus
dan semburat pucat sinar rembulan di malam hari.
~Nita~
Abhiseka adalah upacara pensucian dan peringatan diresmikannya Candi Prambanan oleh Rakai Pikatan Dyah Seladu pada Wualung Gunung Sang Wiku (856 M) untuk menandai puncak kekuasaan kerajaan Mataram Kuna.
Ritual yang sama, beberapa saat yang lalu digelar. Baru sekali dan untuk pertama kalinya sejak Candi Prambanan berdiri 1.163 tahun lalu atau tepatnya di tahun 856 masehi.
Ribuan tahun sudah tradisi, budaya dan agama yang demikian agung telah menjadi bagian sejarah kita.
Jauh di dalam sumsum tulang kita, disana tercatat jejak sejarah yang menunjukan jati diri dan keagungan bangsa kita. Menunjukkan siapa kita.
Bangunan sebagai saksi bisu atas kehadiran nenek moyang kita dengan budayanya yang konon sangat tinggi, mulai bercerita.
Bangunan itu, kemarin tidak lebih dari hanya berupa tumpukan batu tak berjiwa. Dia tampak kokoh dan sombong. Dia seperti berjarak dan asing.
Kemarin, dia dipamerkan demi cantik parasnya.
Dia sosok luar biasa indah dan mengagumkan namun kering, sekering indra kita mampu menangkapnya.
Ibarat sebuah rumah besar dan mewah. Ketika daya tarik ekonomi sedemikian kuat karena letak strategisnya rumah tersebut, dia berubah menjadi hotel ataupun kafe misalnya.
Dia dibangun , dihias didandani sedemikian cantik demi hadirnya pelanggan. Rumah itu menjadi semakin mewah namun angkuh. Tak ada jiwa disana. Dia hanya menjadi bangunan megah. Dia hanya house.
Berbeda ketika dia menjadi tempat tinggal. Disana hadir cinta. Disana kebaikan bermula. Disana pula segala perih, duka, bahagia menyatu dalam kebersamaan. Disanalah tempat kita kembali dan pulang. Home...
Batu bertumpuk dalam rupa candi itu kini telah kembali menjadi seperti sediakala, seperti maksud awal candi itu dibangun bersamaan dengan ritual pensucian candi itu.
Upacara Abhiseka menandai moment perubahan ini. Abhiseska menandai candi yang selama ini hanya menjadi tempat wisata kembali pada fungsinya.
Rasa damai seketika itu juga hadir. Candi itu seolah memiliki Ruh.
Atmosfir kesombongan akan keindahan serta kerumitan arsitekturnya perlahan luruh. Suasana magis, damai, tenang, seolah ingin berbisik dalam lirih suara, betapa bahagianya dia sekarang...
Tidak ada Tuhan dalam kitab suci. Juga tidak ada Tuhan dalam buku agama apa pun.
Yang ada adalah sabda dan perintahNya.
Demikian pula, Tuhanpun tidak ada dalam batu bertumpuk itu, Tuhan hadir dalam kerinduan umatNya yang berkumpul disana.
Kerinduan selama hampir seribu tahun terbalas sudah. Air mata bahagia menetes atas haru bangunan itu kembali menjadi rumah tempat umatNya bersujud.
Tak ada hal lebih indah selain berdialog dan bercengkerama dengan Sang Khalik bagi rindu umatNya.
Semua kebaikan dan cinta, lahir dan tumbuh dari sana.
Candi Prambanan telah menemukan jalannya. Dia adalah saksi bisu sejarah tentang hebat nenek moyang kita di masa lalu. Hebat atas pencapaian kepercayaan, pikiran sekaligus kebijaksanaan mereka dimasa lalu.
Duduk, diam dan dengarkan saja..
Dia akan bersenandung saat hati kita benar-benar bersih.
Dia mungkin akan bercerita melalui angin yang berhembus dan semburat pucat sinar rembulan di malam hari.
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
PRESIDEN IMITASI
.
.
.
Sangat ga apple to apple membandingkan Anis dan Jokowi. Namun bukan salah apel yang satu ingin meniru dan menempatkan diri menjadi apel yang lain.
Meniru, mungkin tidak terlalu tepat bila karena dia bukan subyek. Ditirukan..!! Ditirukan adalah obyek.
Ditirukan dan kemudian ditempatkan pada posisi itu menjadikan Anis dobel obyek. Dia bukan melakukan atau berkehendak, tapi terkena akibat atas tindakan dari pihak lain.
Contoh sukses Jokowi ditiru. Menjadi Gubernur DKI kemudian lompat jadi Presiden, itulah gambar besarnya.
Hebat bila proses meniru itu berasal dari dirinya. Ada kecerdasan positif (paling tidak ada effort untuk menjadi) siap digelar demi langkah sangat sulit seorang Jokowi sampai pada titik tertinggi di negeri ini. Anis tampak bukan person seperti itu.
Ketika sebagian saudara kita menghina atas tak pantas bangsa ini pernah mampu membangun Candi Borobudur, mereka berteriak sebagai peninggalan Nabi Sulaiman. Ramai mereka berkunjung dan berteriak dengan segala dalilnya.
Tak pantas bangsa primitif tidak kenal Tuhan dan penyembah berhala batu dan pohon besar memiliki karunia sebesar itu. Mampu membuat bangunan sehebat candi Borobudur. Hanya bangsa terpilih dengan para nabinya berasal saja itu boleh.
Ratusan tahun sudah dia tersembunyi dalam tebal lumpur pasir akibat gunung Merapi dan bisikannya justru didengar si asing yang kita panggil sebagai penjajah. Raffles, Gubernur Jendral Inggris di Jawa mendapat karunia itu.
Ketika sikap toleran menjauh dari cara kita hidup, radikal sebagai akibat cara kita berpikir mendekat dalam dekat jangkauan menggoda. Selalu bertaut dalam gerak seirama. Di sana ada korelasi tak dapat dihindar.
Rasa tak suka-ku, menuntut tindakan kongkrit. Bukan sekedar alenia dalam kalimat dan narasi sebagai tanda.
Hantam! Pukul! Musnahkan! Dan lalu chaos terjadi sebagai akibat.
Dalam kekacauan, pikiran jernih bukan pilihan. Refleks sebagai reaksi, jauh lebih mudah terjadi & nalar kita tak bertanya lagi tentang pantas atau tidak.
Dalam kacau kita bersama, selalu tercipta peluang bagi "liyan" (pihak ke 3).
Siap, lugas, pintar dan sangat mengerti kemana institusi Kepolisian pada era modern ini harus bergerak, sepertinya terpampang sangat jelas pada cara sosok ini.
Paling tidak, ini terlihat dengan sangat jelas dari banyaknya pujian anggota Komisi III DPR RI ketika Calon tunggal Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo memaparkan makalahnya yang berjudul
"Transformasi Menuju Polri Yang Presisi" pada uji kepatutan atau fit and proper test Rabu 20 Januari 2021.
.
.
PRESISI adalah singkatan Prediktif, ResponSibilitas dan TransparanSi.
Bukan SBY tak pandai lantas kita memuji banyak langkah strategis Jokowi dengan sebutan pintar yang telah membuat negeri ini bergerak pada langkah benar.
UU No 4 tahun 2009 tentang batubara dan mineral bumi yang menjadi acuan langkah Jokowi dan kemudian sukses adalah peraturan yang dibuat pada era SBY. SBY telah memberi peninggalan UU baik dan Jokowi sebagai penerus, melihat dan melaksanakannya.
UU itu memerintahkan negara untuk tidak menjual mineral bumi secara gelondongan atau mentah, atau apa adanya. Harus ada nilai tambah. Harus ada unsur diolah terlebih dahulu sehingga memiliki nilai lebih dan keuntungan pun dapat lebih maksimal.
KILAU TONGKAT KOMANDO SANG JENDRAL
.
.
.
Untuk Pembaca Yang Tabah
.
.
Orang-orang besar mulut itu kini mulai terhempas pada pinggiran jurang dalam dan tak berujung. Tanpa daya, mereka terpojok dan menunggu ajal.
Adakah tangan asing akan meraihnya, pertunjukan lebih dramatis sepertinya sangat mungkin terjadi. Moment sempurna, sedang ditunggu.
Itulah alasan kenapa Jendral Listyo Sigit Prabowo harus menjadi Kapolri.
Disamping prestasinya yang hebat, dia adalah orang paling mengerti bahasa Presiden Jokowi. Bukan hanya verbal, gesture hingga gimmick Presiden dimengertinya.
Kecepatan eksekusi dari perintah Presiden akan berjalan sangat efisien adalah akibat logis atas lancarnya komunikasi.