George Johan Albert Webb. Dia dilahirkan pada tanggal 23 Juli 1861 di Batavia, dari pasangan Samuel Arthur Webb dan Johanna Charlotta Geertruida Alexandrina Muller Kruseman.
Pada bulan Desember 1884, dia diangkat menjadi letnan pada pasukan infanteri Koninklijke Nederland Indies Leger(KNIL). Pada tahun berikutnya dia dikirim bertugas ke India.
Di tahun 1887 dia ditugaskan di Aceh di dalam Batalion Infanteri ke-12. Pada tanggal 12 Oktober 1887 di pertempuran dekat Kuta Pohama dia menunjukkan keberanian yang luarbiasa yang memuaskan pimpinannya.
Karena prestasi dan keberaniannya di setiap pertempuran dia dianugerahi medali Gouden Kroon (Mahkota Emas).
Pada pertempuran di Samalanga dia pun menunjukkan prestasi yang luarbiasa sehingga pada tanggal 23 Oktober 1901 dianugerahkanlah medali Militaire Willems-Orde kelas IV kepadanya, oleh Jenderal Johannes Benedictus van Heustz.
Medali ini adalah medali paling bergengsi di kerajaan Belanda dan tidak diberikan kepada sembarang orang. Webb kemudian ditunjuk sebagai komandan Divisi Ketiga Marsose dan kepala administrasi sipil di Lamnyong.
Kapitein Webb memang bukan orang sembarangan. Namun sehebat apapun Kapitein Webb, dia harus bertekuk lutut di hadapan kegigihan dan keberanian pejuang Aceh.
Pada bulan Januari 1902, Kapitein Webb memimpin langsung pasukan Marsose dalam pengejaran terhadap Panglima Polem dan pasukannya di kawasan Leubeue Minyeuk (Lhok Sukon).
Ketika melintasi hutan yang amat lebat dan rapat itu, tiba-tiba sebatang kayu besar terayun dengan deras dari atas, dan menghantam kepala Kapitein Webb serta beberapa orang anak buahnya. Kepalanya hancur lebur dan otaknya tercerai-berai.
Dia tewas seketika. Jebakan batang kayu itu telah diasiapkan oleh para pejuang Aceh. Karena saking mengerikannya kondisi jenazah Webb, istrinya sendiri tidak diperbolehkan untuk melihatnya.
Pada nisan Webb terukirlah sejarah bisu, betapa gigih dan kuatnya perlawanan kaum muslim Aceh terhadap invasi kaum kaphe.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Mengenang 22 Tahun Tragedi PEMBANTAIAN Arakundo oleh Serdadu Indonesia.
Tragedi Idi Cut 3 Februari 1999 atau lebih dikenal dengan tragedi berdarah arakundo terjadi di Aceh Timur.
Bedasarkan pengakuan saksi mata yang selamat, TNI aparat Indonesia membunuh masyarakat dengan sadis dan keji, masyarakat yang tak berdosa dibaringkan di jalan, diikat tangan dan kaki, lalu ditindih batu diatas badan kemudian aparat TNI menceburkan korban Hidup-ke dalam sungai.
Peristiwa ini tjd di Idi Cut, Pukul 1 malam 3 Februari 1999
Pembantaian ini diduga merupakan tindakan balas dendam ABRI atas penyisiran (sweeping) yang dilakukan sejumlah org tak dikenal dan berujung pada pembunuhan beberapa personel ABRI di Lhok Nibong pada tgl 29 Desember 1998
Acheh, Bangsa Asia Tenggara pertama yang berkunjung ke Eropa
Salah satu kerajaan Asia yang dihubungi para musafir niaga Belanda di Asia-Tenggara adalah Acheh, di utara Sumatra.
Acheh adalah kerajaan Islam yang pada masa itu sudah memiliki hubungan dagang dengan India, Persia dan Turki. Awal dari hubungan dengan Acheh oleh Belanda di nilai jauh lebih menguntungkan.
Karena waktu itu kedatangan mereka disambut baik oleh Raja Acheh. Lagi pula untuk melindungi posisinya di kawasan itu dari Portugis, yang menjadi pesaingnya dan sering menghasut orang Acheh untuk melawan Belanda.
Mengenang 17 Tahun Darurat Militer, Nestapa Rakyat Aceh
Awal pemberlakukan status darurat militer pada 19 Mei 2003 langsung diwarnai dengan aksi pembakaran sejumlah gedung sekolah di Nanggroe Aceh Darussalam yang dilakukan oleh Militer.
19 MEI 2003 menjadi memori kelam bagi penduduk bumi Serambi Mekkah. Sejak pukul 00.00 WIB, sebuah status perang berlaku di setiap jengkal tanah Aceh. Hari itu, Presiden Megawati Sukarnoputri dengan meminjam mulut Menko Polhukam Jenderal SBY mengumumkan pemberlakuan status DM.
Segera setelah itu, mesin dan armada perang dikerahkan. Setidaknya, Jakarta mengirimkan 30 ribu personel pasukan TNI dan 12 ribu Polisi. Personel itu lengkap dengan alat tempur.
Blang Padang dan Blang Punge adalah “Umeung Musara” (Tanah Wakaf) Masjid Raya Baiturrahman yang tidak boleh diperjualbelikan, atau dijadikan harta warisan.
Dan tidak ada pihak yang dapat mengganggu gugat status keberadaan hak miliknya.
Dalam sebuah tulisan Karel Frederik Hendrik Van Langen De Inrichting van Het Atjehschee Staatbestur Onder Het Sultanaat” pada tahun 1888 yang kemudian diterjemahkan oleh Prof. Abu Bakar Atjcheh dengan judul Susunan Pemerintahan Atjcheh semasa kesultanan.
Dalam buku ini disebutkan bahwa Blang Padang dan Blang Punge adalah “Umeung Musara” (tanah wakaf) Masjid Raya Baiturrahman yang tidak boleh diperjualbelikan, atau dijadikan harta warisan. Dan tidak ada pihak yang dapat mengganggu gugat status keberadaan hak miliknya.
BAGI orang Aceh, peristiwa konflik selama penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) adalah sebuah kenangan yang tidak akan terlupakan.
Apalagi bagi mereka yang merasakan langsung sepatu laras militer dan hantaman popor senjata.
Buku “Aceh Bersimbah Darah” merupakan satu dari sekian buku yang mencatat sejarah konflik Aceh. Buku ini bisa menjadi “koran sepanjang masa” bagi orang Aceh.
Membaca buku ini, orang dapat melihat langsung peristiwa Aceh bersimbah darah.
Buku ini dimulai dari kisah peradaban dan kekerasan di Serambi Mekkah.
Bab I mengisahkan tentang korban DOM yang sebagian besar adalah syuhada.