Kenapa sih kepribadian tiap orang bisa beda? Ada yang baperan. Ada yang kalem. Ada yang suka minder. Ada juga yang ansos. Kok bisa gitu sih?
Kali ini Logos membahasnya dari perspektif psikologi sosial yang dipraktikkan oleh Erich Fromm!
A Thread!
Dalam bukunya yang berjudul Escape from Freedom, Fromm berupaya menganalisis kebutuhan manusia untuk terikat dengan suatu konsep (negara, agama, suku, dll) serta implikasi dari kebutuhan tersebut.
Pada bagian awal, Fromm menjelaskan landasan teori bagi analisisnya.
Fromm berangkat dari teori psikoanalisis Sigmund Freud. Fromm menggunakan sekaligus melakukan kritik terhadap pemikiran Freud.
Pada dasarnya, Fromm sepakat dengan Freud, bahwa hasrat manusia yang terletak di dalam alam bawah sadar merupakan sumber dari tindakan. Hasrat tersebut adalah insting atau kenikmatan biologis yang harus dipenuhi, misalnya, seks dan makanan.
Bagi Freud, untuk memenuhi hasrat biologis tersebut, manusia tidak mementingkan hal lain, selain dirinya. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk antisosial.
Akan tetapi, karena manusia hidup dalam masyarakat yang menganut suatu konsep moral tertentu, maka tidak setiap hasrat biologis dapat benar-benar terpenuhi sebagaimana diinginkan si manusia.
Sebagai contoh: Setiap orang butuh makan. Akan tetapi, karena hidup di dalam masyarakat, seseorang tidak bisa seenaknya mengambil makanan dimanapun ia berada. Maka dari itu, ia perlu melakukan sesuatu yang direstui oleh masyarakat, misalnya, melakukan pembelian.
Dengan demikian, masyarakat berfungsi sebagai pengontrol (baca: penekan) dari hasrat.
Dalam pengontrolan tersebut, hasrat tidak menghilang, melainkan bertransformasi menjadi tindakan-tindakan yang “direstui” oleh masyarakat.
Pada titik ini, Fromm mulai tidak sepakat dengan Freud. Menurut Fromm, masyarakat tidak hanya memiliki fungsi kontrol atau represi, melainkan juga fungsi “kreasi”. Dengan represi masyarakat, seseorang dituntut untuk menjadi kreatif.
Bagi Fromm, dalam hubungannya dengan masyarakat, seseorang dapat mengalami dua jenis proses adaptasi, yaitu adaptasi statis dan adaptasi dinamis.
Adaptasi statis adalah adaptasi yang hanya mengharuskan pengadopsian kebiasaan. Adaptasi ini tidak mengubah struktur sifat seseorang. Sebagai contoh, perubahan tata cara makan seorang Tionghoa yang datang ke Amerika.
Kemudian, adaptasi dinamis dapat dipahami sebagai adaptasi yang dapat mengubah struktur kepribadian seseorang. Sebagai contoh, seorang anak yang mematuhi perintah ayahnya.
Lalu, dalam proses itu, bagaimana bisa muncul sifat yang beragam dari setiap orang?
Sebagaimana telah diketahui, tindakan manusia berakar pada hasrat yang tertanam dalam alam bawah sadar. Fromm membagi hasrat ke dalam dua jenis.
Jenis pertama adalah hasrat yang “kaku”, yaitu hasrat fisiologis dan pemenuhannya tidak bisa ditawar. Sebagai contoh: rasa lapar, haus, kantuk, dll.
Jenis kedua adalah hasrat yang “fleksibel”, yaitu hasrat yang non-fisis dan pemenuhannya dapat disesuaikan dengan keadaan. Sebagai contoh: cinta, kepuasan atas kenikmatan seksual, hasrat berkuasa, dll.
Untuk memenuhi kedua jenis hasrat tersebut, seseorang perlu bekerja. Tentu saja, setiap orang, dikondisikan oleh faktor sosial-budaya, memiliki pekerjaan yang beragam. Nah, keragaman itu juga berpengaruh pada pembentukan struktur kepribadian.
Jadi, menurut Fromm, sifat seseorang terbentuk melalui proses yang melibatkan hasrat—yang kaku dan yang fleksibel. Kemudian, jenis adaptasi yang dialami, serta kondisi masyarakat tempat orang tersebut hidup.
Pernahkah kalian hidup dalam situasi membingungkan semacam “pengen putus tapi masih mau terus”? Demikianlah kita hari ini terpenjara oleh berbagai konsep dalam kehidupan.
Kali ini, Logos membahas Psikoanalisis-Marxis Slavoj Žižek!
A Thread
Kemarin, kita sudah membahas konsep triadik Jacques Lacan. Silakan dibaca dulu yaaa!!
Nah, pemikiran Psikoanalisis-Marxis Slavoj Žižek menggunakan perspektif Lacan dalam membicarakan persoalan kebudayaan di tengah penindasan kelas.
Saat ini tengah berlangsung webinar ke-20 Logos bersama @LiemAndrian. Kita akan ngobrolin Literature and Systematic Review! Bagi yang mau nonton langsung, silakan gas ke ya!
Systematic Review berupaya untuk mengidentifikasi, menilai, dan merangkum semua bukti empiris yang memenuhi kriteria kelayakan untuk menjawab sebuah pertanyaan riset yang spesifik.
Systematic Review berguna bagi banyak orang, terutama pembuat kebijakan. Misalnya, membaca banyak artikel akan memakan waktu lama apabila diperlukan keputusan dalam waktu dekat.
"Nyatakan jihad Anda pada dua belas musuh yang tidak dapat Anda lihat: egoisme, arogansi, kesombongan, kepongahan, keserakahan, nafsu, intoleransi, amarah, berbohong, menipu, bergosip, dan memfitnah.”
2 Filsuf Etika Timur Tengah Terbesar: Ibn Miskawayh & Al-Ghazali
- a thread!
Setelah sebelumnya Logos membahas puluhan filsafat dan etika Barat, hari ini mimin coba membagikan filsafat dari Timur Tengah. Sepanjang pembacaan, mimin menemukan 2 tokoh besar ahli etika Timur Tengah, yakni Ibn Miskawayh dan Al-Ghazali.
Ibn Miskawayh (932-1030) menulis sebuah buku berjudul "Cultivation of Morals", yang memulai tradisi etika Persia.
Seperti yang sering terjadi pada penulisan etika Islam awal, dasar teori Ibn Miskawayh adalah ide-ide Plato yang telah menyebar ke Timur.
Perdebatan mengenai keberadaan Tuhan sepanjang sejarah dunia perfilsafatan tidak pernah selesai. Salah satu pemikiran penting yang menarik untuk kita pelajari adalah argumen ontologis Rene Descartes.
3 Bukti Keberadaan Tuhan a la argumentasi ontologis Descartes!
- a thread!
Argumentasi ontologis Descartes ini adalah argumen yang menarik sekaligus banyak disalahmengertikan sepanjang orang-orang mendalami pemikirannya. Kita mencoba mengupasnya perlahan ya.
Tanpa berlama lagi, mari kita masuk ke materi hari ini.
Bukti Pertama tentang Tuhan: Ide dan Penyebab.
Descartes berkata bahwa kita semua memiliki Ide Ketuhanan yang jelas dan nyata. Semua ide ini merupakan sebuah akibat dari sebab. Maka dari itu, pasti ada penyebab dan Ide Ketuhanan yang kita semua miliki.
Nathan Shipley, seorang film director asal Amerika Serikat membuat eksperimen GAN menggunakan Artifical Intelligence yang dapat membawa kita melihat wajah "asli" dari lukisan-lukisan terkemuka.