Freud menjelaskan bahwa kepribadian kita membentuk sebuah struktur yang terdiri atas 3 bagian, yaitu Id, Ego, dan Super-Ego
Id, yang terletak dalam alam bawah sadar, adalah tempat bagi hasrat yang ada sejak lahir. Rasa lapar, hasrat seksual, dan kebutuhan lainnya terletak di dalamnya.
Dengan demikian, hasrat selalu butuh dipenuhi.
Tapi, akankah kita memenuhi rasa lapar dengan mengambil makanan secara sembarangan? Mencuri, misalnya?
Nah, keputusan kita terkait cara memenuhi hasrat ditentukan oleh interaksi kita dengan norma, agama, budaya, hukum, dll. Dalam pemikiran Freud, semua hal yang sifatnya mengatur hasrat disebut sebagai “Super-Ego”.
Setelah negosiasi antara hasrat (Id) dan moral (Super-Ego), terbentuklah “Ego”, yaitu kepribadian yang kita tampilkan secara sadar.
Secara sederhana, Ego adalah bagaimana hidup kita sehari-hari.
Sekarang masuk ke Lacan.
Dalam konsep triadiknya, Lacan menjelaskan bagaimana identitas dan subjek terbentuk. Ego, sesuatu yang kita tampakkan sehari-hari, dapat dipahami sebagai identitas dan pemahaman terhadapnya berarti pemahaman tentang identitas diri.
Ketika seseorang lahir, di dalam dirinya telah terdapat hasrat. Akan tetapi, berbeda dengan orang dewasa, bayi belum merasa tertekan hasratnya karena memang hasratnya masih terpenuhi. Semisal, minum susu dari Ibu.
Nah, ketika si bayi belum merasa adanya represi atas hasratnya, maka ia belum menyadari adanya Super-Ego. Tanpa Super-Ego, tidak ada identifikasi diri. Dengan demikian, bayi belum menyadari dirinya.
Tetapi, akan tiba saatnya si Ibu tidak bisa memenuhi semua kebutuhan si bayi, misalnya untuk ada di sampingnya setiap saat.
Menghadapi kenyataan itu, si bayi menyadari bahwa hasratnya mulai tidak terpenuhi karena suatu halangan tertentu.
Halangan tersebut bisa dipahami sebagai Super-Ego. Adanya Super-Ego menuntun si bayi pada identifikasi dirinya, yaitu bahwa dirinya dan ibunya merupakan dua hal yang berbeda.
Upaya identifikasi diri pertama si bayi dimulai dengan melihat rupa dirinya di hadapan “cermin”. Cermin di sini dapat dipahami baik secara harfiah maupun metaforik (pantulan wajahnya pada mata si Ibu, misalnya). Fase ini disebut sebagai “Fase Imajiner”.
Semakin lama, Super-Ego hadir dalam bentuk moral yang disampaikan pada si anak melalui bahasa. Bagaimana cara kerja bahasa? Lacan menjelaskannya sebagaimana Derrida menjelaskannya pada thread ini:
Misalnya, seorang Ayah memberi petuah pada si anak untuk menjadi anak yang ‘pintar’. Dengan demikian, hasrat si anak di arahkan untuk memenuhi harapan si Ayah.
Persoalannya, dalam pikiran pascastruktural, kata atau tanda tidak pernah mencapai kepenuhan maknanya. Definisi dari ‘pintar’ tidak pernah final dan dapat berubah sesuai konteks ruang dan waktu.
Maka dari itu, si anak akan mengejar predikat ‘pintar’ yang sebenarnya tidak pernah ada. Hal itu sama saja dengan kita yang terus-menerus mengejar kebahagiaan, ketampanan, kecantikan, kekayaan, kehebatan, dll.
Padahal itu semua tidak pernah memiliki ujung yang jelas.
Hal inilah yang membuat kita tidak pernah puas. Hasrat kita selalu mengejar sesuatu yang simbolik, sesuatu yang seakan ada namun sebenarnya tidak ada.
Fase ini disebut sebagai “Fase Simbolik”.
Nah, kedua fase itulah, yaitu imajiner dan simbolik, yang membentuk identitas subjektif kita. Apa yang kita pahami tentang, baik-buruk, indah-tidak indah merupakan hasil dari kedua fase tersebut.
Di hadapan diri subjektif, semua memiliki dan diberi nilai dan makna. Nilai dan makna pada sesuatu, tentu saja, bersifat subjektif. Realitas, pada dirinya, tidak punya makna dan nilai.
Realitas yang ada pada dirinya, yang tidak mengandung nilai dan makna dari diri subjektif disebut sebagai “The Real” atau “yang-Riil”.
Pernahkah kalian hidup dalam situasi membingungkan semacam “pengen putus tapi masih mau terus”? Demikianlah kita hari ini terpenjara oleh berbagai konsep dalam kehidupan.
Kali ini, Logos membahas Psikoanalisis-Marxis Slavoj Žižek!
A Thread
Kemarin, kita sudah membahas konsep triadik Jacques Lacan. Silakan dibaca dulu yaaa!!
Nah, pemikiran Psikoanalisis-Marxis Slavoj Žižek menggunakan perspektif Lacan dalam membicarakan persoalan kebudayaan di tengah penindasan kelas.
Saat ini tengah berlangsung webinar ke-20 Logos bersama @LiemAndrian. Kita akan ngobrolin Literature and Systematic Review! Bagi yang mau nonton langsung, silakan gas ke ya!
Systematic Review berupaya untuk mengidentifikasi, menilai, dan merangkum semua bukti empiris yang memenuhi kriteria kelayakan untuk menjawab sebuah pertanyaan riset yang spesifik.
Systematic Review berguna bagi banyak orang, terutama pembuat kebijakan. Misalnya, membaca banyak artikel akan memakan waktu lama apabila diperlukan keputusan dalam waktu dekat.
"Nyatakan jihad Anda pada dua belas musuh yang tidak dapat Anda lihat: egoisme, arogansi, kesombongan, kepongahan, keserakahan, nafsu, intoleransi, amarah, berbohong, menipu, bergosip, dan memfitnah.”
2 Filsuf Etika Timur Tengah Terbesar: Ibn Miskawayh & Al-Ghazali
- a thread!
Setelah sebelumnya Logos membahas puluhan filsafat dan etika Barat, hari ini mimin coba membagikan filsafat dari Timur Tengah. Sepanjang pembacaan, mimin menemukan 2 tokoh besar ahli etika Timur Tengah, yakni Ibn Miskawayh dan Al-Ghazali.
Ibn Miskawayh (932-1030) menulis sebuah buku berjudul "Cultivation of Morals", yang memulai tradisi etika Persia.
Seperti yang sering terjadi pada penulisan etika Islam awal, dasar teori Ibn Miskawayh adalah ide-ide Plato yang telah menyebar ke Timur.
Perdebatan mengenai keberadaan Tuhan sepanjang sejarah dunia perfilsafatan tidak pernah selesai. Salah satu pemikiran penting yang menarik untuk kita pelajari adalah argumen ontologis Rene Descartes.
3 Bukti Keberadaan Tuhan a la argumentasi ontologis Descartes!
- a thread!
Argumentasi ontologis Descartes ini adalah argumen yang menarik sekaligus banyak disalahmengertikan sepanjang orang-orang mendalami pemikirannya. Kita mencoba mengupasnya perlahan ya.
Tanpa berlama lagi, mari kita masuk ke materi hari ini.
Bukti Pertama tentang Tuhan: Ide dan Penyebab.
Descartes berkata bahwa kita semua memiliki Ide Ketuhanan yang jelas dan nyata. Semua ide ini merupakan sebuah akibat dari sebab. Maka dari itu, pasti ada penyebab dan Ide Ketuhanan yang kita semua miliki.
Kenapa sih kepribadian tiap orang bisa beda? Ada yang baperan. Ada yang kalem. Ada yang suka minder. Ada juga yang ansos. Kok bisa gitu sih?
Kali ini Logos membahasnya dari perspektif psikologi sosial yang dipraktikkan oleh Erich Fromm!
A Thread!
Dalam bukunya yang berjudul Escape from Freedom, Fromm berupaya menganalisis kebutuhan manusia untuk terikat dengan suatu konsep (negara, agama, suku, dll) serta implikasi dari kebutuhan tersebut.
Pada bagian awal, Fromm menjelaskan landasan teori bagi analisisnya.
Fromm berangkat dari teori psikoanalisis Sigmund Freud. Fromm menggunakan sekaligus melakukan kritik terhadap pemikiran Freud.
Nathan Shipley, seorang film director asal Amerika Serikat membuat eksperimen GAN menggunakan Artifical Intelligence yang dapat membawa kita melihat wajah "asli" dari lukisan-lukisan terkemuka.