Pernahkah kalian hidup dalam situasi membingungkan semacam “pengen putus tapi masih mau terus”? Demikianlah kita hari ini terpenjara oleh berbagai konsep dalam kehidupan.
Kali ini, Logos membahas Psikoanalisis-Marxis Slavoj Žižek!
A Thread
Kemarin, kita sudah membahas konsep triadik Jacques Lacan. Silakan dibaca dulu yaaa!!
Nah, pemikiran Psikoanalisis-Marxis Slavoj Žižek menggunakan perspektif Lacan dalam membicarakan persoalan kebudayaan di tengah penindasan kelas.
Sebelum membicarakan Žižek lebih jauh, ada baiknya kita mengingat kembali bagaimana pemikiran Marx soal kebudayaan.
Pernahkah kalian mendengar istilah “False Consciousness” atau “Kesadaran Palsu”? Istilah ini digunakan oleh para Marxis untuk merujuk pada kondisi masyarakat yang menerima penindasan sebagai sesuatu yang normal.
Istilah kesadaran palsu dapat pula disebut sebagai “kesadaran naif”, yaitu kondisi saat masyarakat melakukan sesuatu atas dasar ketidaktahuannya akan realitas.
Mengapa masyarakat betah berada dalam ketidaktahuannya? Karena, mengutip Lacan, subjek (sebagai bagian dari masyarakat) berada di bawah konstruksi tatanan simbolik tertentu.
Di bawah tatanan simbolik, subjek diarahkan hasratnya pada objek tertentu. Misalnya, seseorang yang menghasrati model pakaian tertentu karena menurut kebudayaan tertentu, model tersebut adalah model yang “bagus”.
Ketika subjek merasa telah meraih objek yang dihasratinya, subjek tersebut mengalami kenikmatan. Akan tetapi, kenikmatan tersebut bersifat sementara.
Hal tersebut terjadi karena konstruksi datang melalui bahasa dan bahasa tidak pernah memberikan makna atau pengertian yang final. Tanpa pengertian yang final akan hasratnya, maka subjek juga gagal memuaskan dirinya. Hal inilah yang disebut sebagai “fantasi”.
Akan tetapi, berbeda dengan Marx yang menyatakan bahwa masyarakat ada dalam kesadaran naif, Žižek menyatakan bahwa masyarakat ada dalam kesadaran sinis.
Perbedaan antara keduanya adalah, bila kesadaran naif menempatkan subjek sebagai subjek yang tidak tahu soal realitas, maka kesadaran sinis menempatkan subjek sebagai subjek yang tahu soal realitas. Jadi, sebenarnya, subjek tahu jika dia sedang ditipu dan ditindas.
Persoalannya, menurut Žižek, dalam kesadaran sinis, subjek, sekalipun tahu soal realitas, tidak mau keluar dari “fantasi”.
Pengetahuan soal realitas menandakan bahwa si subjek telah mengakses yang-Rill. Pengalaman akan yang-Rill, menurut Žižek, dimungkinkan ketika realitas muncul sebagai hal yang berbeda dengan apa yang dijanjikan oleh tatanan Simbolik.
Sebagai contoh, si A mencintai pasangannya. Akan tetapi, suatu hari, pasangannya malah berselingkuh dan si A mengetahui pengkhianatan itu. Anehnya, si A memilih untuk diam, pura-pura tidak tahu, dan tetap setia pada pasangannya yang selingkuh.
Apa yang dialami si A adalah pertemuannya dengan realitas yang tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh tatanan simbolik (janji cinta), yaitu kesetiaan. Pasangan si A ternyata berselingkuh, artinya ia melanggar tatanan simbolik.
Pada akhirnya, menurut Žižek, subjek mesti melakukan tindakan yang radikal, yaitu tindakan yang melawan tatanan simbolik hingga taraf radiks atau akar.
Dalam kasus perselingkuhan di atas, tindakan radikal yang semestinya dilakukan oleh si A adalah, menurut Žižek, memilih untuk putus. Namun, dengan memilih untuk melanjutkan hubungan, ia jatuh ke dalam kesadaran sinis.
Nah, bila kita mengkontekstualisasikan konsep-konsep di atas untuk melihat realitas sosial, politik, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat kontemporer, kita akan melihat betapa banyak dari kita yang terjebak dalam kesadaran sinis.
Contoh paling jelas dari kesadaran sinis adalah betapa kita masih rela membeli sesuatu hanya karena merek. Contoh lainnya adalah betapa banyak koruptor yang masih memiliki banyak pendukung.
Saat ini tengah berlangsung webinar ke-20 Logos bersama @LiemAndrian. Kita akan ngobrolin Literature and Systematic Review! Bagi yang mau nonton langsung, silakan gas ke ya!
Systematic Review berupaya untuk mengidentifikasi, menilai, dan merangkum semua bukti empiris yang memenuhi kriteria kelayakan untuk menjawab sebuah pertanyaan riset yang spesifik.
Systematic Review berguna bagi banyak orang, terutama pembuat kebijakan. Misalnya, membaca banyak artikel akan memakan waktu lama apabila diperlukan keputusan dalam waktu dekat.
"Nyatakan jihad Anda pada dua belas musuh yang tidak dapat Anda lihat: egoisme, arogansi, kesombongan, kepongahan, keserakahan, nafsu, intoleransi, amarah, berbohong, menipu, bergosip, dan memfitnah.”
2 Filsuf Etika Timur Tengah Terbesar: Ibn Miskawayh & Al-Ghazali
- a thread!
Setelah sebelumnya Logos membahas puluhan filsafat dan etika Barat, hari ini mimin coba membagikan filsafat dari Timur Tengah. Sepanjang pembacaan, mimin menemukan 2 tokoh besar ahli etika Timur Tengah, yakni Ibn Miskawayh dan Al-Ghazali.
Ibn Miskawayh (932-1030) menulis sebuah buku berjudul "Cultivation of Morals", yang memulai tradisi etika Persia.
Seperti yang sering terjadi pada penulisan etika Islam awal, dasar teori Ibn Miskawayh adalah ide-ide Plato yang telah menyebar ke Timur.
Perdebatan mengenai keberadaan Tuhan sepanjang sejarah dunia perfilsafatan tidak pernah selesai. Salah satu pemikiran penting yang menarik untuk kita pelajari adalah argumen ontologis Rene Descartes.
3 Bukti Keberadaan Tuhan a la argumentasi ontologis Descartes!
- a thread!
Argumentasi ontologis Descartes ini adalah argumen yang menarik sekaligus banyak disalahmengertikan sepanjang orang-orang mendalami pemikirannya. Kita mencoba mengupasnya perlahan ya.
Tanpa berlama lagi, mari kita masuk ke materi hari ini.
Bukti Pertama tentang Tuhan: Ide dan Penyebab.
Descartes berkata bahwa kita semua memiliki Ide Ketuhanan yang jelas dan nyata. Semua ide ini merupakan sebuah akibat dari sebab. Maka dari itu, pasti ada penyebab dan Ide Ketuhanan yang kita semua miliki.
Kenapa sih kepribadian tiap orang bisa beda? Ada yang baperan. Ada yang kalem. Ada yang suka minder. Ada juga yang ansos. Kok bisa gitu sih?
Kali ini Logos membahasnya dari perspektif psikologi sosial yang dipraktikkan oleh Erich Fromm!
A Thread!
Dalam bukunya yang berjudul Escape from Freedom, Fromm berupaya menganalisis kebutuhan manusia untuk terikat dengan suatu konsep (negara, agama, suku, dll) serta implikasi dari kebutuhan tersebut.
Pada bagian awal, Fromm menjelaskan landasan teori bagi analisisnya.
Fromm berangkat dari teori psikoanalisis Sigmund Freud. Fromm menggunakan sekaligus melakukan kritik terhadap pemikiran Freud.
Nathan Shipley, seorang film director asal Amerika Serikat membuat eksperimen GAN menggunakan Artifical Intelligence yang dapat membawa kita melihat wajah "asli" dari lukisan-lukisan terkemuka.