Banyak kisah tentang pengalaman seseorang yang tanpa sengaja berjalan melintas tirai beda alam. Tentu saja ada akibat dibelakangnya.
Seperti yang pernah dialami oleh salah satu teman, dia pernah menembus “batas” dimensi. Seram..
Simak hanya di sini, di Briistory.
***
Suara itu muncul lagi, lebih jelas dari sebelumnya.
Kali ini terdengar dengungan panjang dengan frekuensi agak tinggi, aku yang sedang mengendarai motor mendadak pusing dan mual, fokus jadi bergeser gak lagi memperhatikan jalan.
Gak tahan, lalu memperlambat laju motor kemudian berhenti.
Setelah sudah benar berhenti, aku langsung melepas helm lalu menarik nafas dalam-dalam, coba mengambil oksigen banyak-banyak. Perlahan, pusing dan rasa mual mulai reda, berangsur menghilang.
Tuh kan, suara itu tiba-tiba lenyap ketika aku sudah benar pulih, gak kedengaran lagi, sama sekali. Celingak-celinguk aku dalam gelap, berharap menemukan objek sumber suara.
Selalu saja seperti itu, bebunyian aneh menghilang ketika aku mulai sadar dan berniat untuk mencari tahu sumbernya.
Setelah menghilang, suasana kembali hening, hanya suara binatang malam yang sesekali terdengar mengisi ruang sepi.
Suara apa sih itu? Belakangan semakin sering aku mendengar bunyi aneh. Bunyi yang terdengarnya ketika sedang mengendarai motor di tempat yang nyaris sama, malam hari.
Di jalanan yang sangat sepi ini angin berhembus pelan, dinginnya menembus jaket tebal yang aku kenakan. Nyaris tengah malam aku dalam perjalanan menuju rumah setelah selesai kerja.
“Kenapa Paman? Kok berhenti?”
Tiba-tiba sudah ada motor yang berhenti persis di sebelahku.
“Kada papa Paman, ulun siup setumat nah tadi, tapi sekarang sudah kada papa.” Jawabku.
“Oo kayak itu kah, jangan sorangan disini, bebahaya, yuu jalan lagi, beimbai kita.”
Ada seorang pemotor sepertiku yang berbaik hati menanyakan keadaan ketika melihat aku berhenti di tempat gelap dan sepi ini.
Intinya, beliau bertanya kenapa berhenti, aku jawab karena agak sedikit gak enak badan sebelumnya.
Berikutnya kami berjalan beriringan, melanjutkan perjalanan menembus gelapnya malam di daerah Magalau, salah satu sudut di pulau Kalimantan.
Tapi, tetap saja aku kepikiran tentang peristiwa janggal yang baru saja aku alami, peristiwa yang belakangan semakin sering terjadi.
***
Aku Alfian, lahir dan besar di tanah Pasundan. Tapi setelah menikah, bersama istri memutuskan untuk merantau mencari nafkah di Kalimantan, bagian selatan tepatnya.
Seiring berjalannya waktu, kami akhirnya bisa memiliki rumah. Alur hidup berjalan baik hingga sekarang.
Banyak pengalaman berharga yang aku alami setelah kurang lebih sudah 17 tahun menjadi warga Kalimantan, entah itu yang aku alami sendiri atau bersama keluarga, semua menjadi bunga pemanis dan pahit getir kehidupan.
Di bumi Kalimantan ini juga, kami terus memegang teguh “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, berusaha untuk terus menghormati budaya, kebiasaan, dan kultur masyarakat setempat.
Dari banyak kisah yang pernah aku dan keluarga alami, kali ini aku akan mencoba untuk menceritakan satu pengalaman janggal menjurus seram, kejadian yang aku alami pada tahun 2007, ketika baru empat tahun kami merantau..
Begini ceritanya..
Seperti yang aku bilang tadi, tahun 2007 itu kami baru sekitar 4 tahun hidup di Kalimantan, tapi kurang lebih sudah mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar, dari segi bahasa pun sudah mulai lancar menggunakan bahasa setempat walau masih agak terbata.
Waktu itu kami masih tinggal rumah kontrakan kecil di Batu licin, kota pesisir di selatan pulau.
Di tahun 2007 itu aku masih bekerja satu perusahaan kelapa sawit di Banian
Keadaanlah yang mengharuskan untuk sering kali pulang pergi dari rumah ke tempat kerja, padahal jarak yang harus ditempuh cukup jauh, menggunakan motor bisa memakan waktu tiga sampai empat jam.
Waktu itu anakku masih kecil, gak tega kalau sering meninggalkan hanya berdua dengan Ibunya sendirian. Jadi ya begitu, nyaris setiap hari aku pulang pergi Batu Licin - Banian menggunakan motor.
Nah, jalur yang harus ditempuh setiap hari ini sungguh sangat menantang. Saat itu, nyaris sepanjang perjalanan masih sangat sepi, di banyak bagiannya malah sama sekali gak ada rumah atau pemukiman penduduk, hanya hutan belantara yang menjadi santapan sejauh mata memandang.
Kontur jalannya juga cukup "seru", gak terlalu lebar, banyak tanjakan serta turunan, kadang berkelok kanan kiri tanpa putus. Ya itu tadi, jalurnya sangat menantang, fisik maupun mental, nyali serta keberanian.
Tapi ya karena niat waktu itu memang untuk mencari nafkah dan menjaga keluarga kecilku sebaik-baiknya, jadi rintangan apa pun harus dihadapi dan lalui. Sukurlah, sampai detik ini aku masih bisa melanjutkan hidup.
Balik lagi ke pembicaraan mengenai jalur yang aku harus lalui ketika pulang pergi kerja di tahun 2007.
Entah sudah berapa kali aku mengalami kejadian-kejadian janggal dan menyeramkan ketika harus melintas jalur Banian – Batu Licin, tapi ada satu peristiwa yang amat sangat susah untuk diterima akal, tapi nyata, karena aku yang mengalaminya sendiri.
Untuk pulang pergi kerja, seperti yang sudah aku bilang tadi, akan memakan waktu tiga sampai empat jam menggunakan motor.
Dalam rentang perjalanan yang cukup jauh itu, aku harus melewati satu daerah yang merupakan areal gunung kapur, Magalau namanya.
Daerah Magalau ini tempat yang sangat indah, walaupun terkenal dengan gunung dan perbukitan kapurnya tapi tetap banyak pemandangan hijau yang akan kita temui kalau melewati jalan yang membelah di tengahnya.
Jalan banyak berkelok, tikungan, tanjakan dan turunan, jembatan kecil dan besar, pokoknya sangat menantang.
Ada cerita yang beredar juga, kalau katanya daerah Magalau ini pada jaman dahulu kala merupakan wilayah laut, makanya di beberapa perbukitannya berbentuk seperti batu karang menjulang yang sering dihantam ombak. Begitulah cerita yang banyak beredar.
Peristiwa aneh dan janggal yang akan aku ceritakan kali ini terjadinya di Magalau..
***
Ketika kurang lebih sudah empat tahun melintas jalur Banian – Batu Licin, termasuk melalui Magalau, aku sudah semakin berani untuk pulang ke rumah ketika sudah gelap, sudah malam.
Walau sering kali bisa konvoy bersama teman kerja yang kebetulan pulang ke arah yang sama, tapi beberapa kali aku harus jalan sendirian.
Awalnya gak pernah merasakan atau mengalami hal aneh, tapi ketika sudah mulai memasuki tahun ke empat aku mulai merasakan kejanggalan, keanehan, atau apalah namanya.
Paling sering aku melintas jalur Banian – Batu Licin, khususnya Magalau, antara jam 7 sampai jam 10 malam, tapi kadang beberapa kali harus pulang malam hingga di atas jam 10.
Dan semua kejanggalan itu hampir selalu aku rasakan pada malam hari.
Oh iya, peristiwa yang aku ceritakan di awal tadi merupakan kejadian entah yang sudah keberapa kalinya.
Pertama kali sadar ada yang aneh, ketika dalam perjalanan, aku seperti mendengar ada keramaian, ada suara banyak orang sedang beraktivitas, nyaris seperti di pasar atau perkantoran, pokoknya ramai, tapi gak kelihata ada apa-apa di sekitar, kosong.
Hal itu berlangsung sebentar, mungkin hanya sekitar 15 sampai 20 detik, setelah itu menghilang, sepi lagi seperti semula.
Mengalami hal itu tentu saja aku jadi bertanya-tanya, suara ramai apa barusan?
Tapi kebingungan hanya sebentar, ketika kemudian aku melanjutkan perjalanan pulang, lalu berangsur melupakan.
Berikutnya, suara-suara keramaian itu beberapa kali muncul lagi dengan jeda satu atau dua minggu. Karena semakin penasaran, beberapa kali pula aku sampai berhenti lalu turun dari motor untuk mencari sumbernya.
Sudah bisa ditebak, aku gak menemukan jawaban, aku sedang melintas di tengah hutan, sama sekali gak ada keramaian.
Aneh kan? Iyalah.
Pernah juga, masih di tengah malam dan melintas jalan di Magalau sendirian, tiba-tiba motorku seperti disalip oleh kendaraan yang melintas kencang,
tapi sama sekali aku gak melihat ada kendaraan yang lewat, hanya suaranya saja yang terdengar, hanya anginnya saja yang terasa, “Wuuuusssshh”, jalanan tetap kosong.
Aku seperti didahului oleh kendaraan berbentuk mobil yang melintas dengan kecepatan tinggi, tapi gak ada bentuk dan wujudnya.
Peristiwa seperti itu terjadi dua atau tiga kali.
Dari sekian banyak peristiwa janggal, nyaris semuanya gak terlalu mengganggu, hanya menimbulkan rasa penasaran dan sedikit rasa takut.
Tapi gak semuanya seperti itu, ada yang sangat mengganggu dalam berkendara, yaitu beberapa kali terdengar suara dengungan.
Dengungan yang kalau muncul nyaris selalu berbeda frekuensinya, kadang rendah kadang tinggi.
Mengganggunya gimana? terkadang kalau muncul dengan frekuensi tinggi, aku jadi merasakan sakit di kepala lalu berangsur mual, seperti mau pingsan rasanya.
Kalau sudah seperti itu aku langsung menghentikan motor, menepi sebentar dan mangatur nafas, biasanya setelah itu suara dengungan berangsur hilang.
Yang pasti, semua kejanggalan-kejanggalan itu terjadinya selalu di daerah sekitar Magalau.
Sampai akhirnya ada satu peristiwa yang benar-benar menguji ketahanan mental serta fisik yang aku punya, peristiwa yang sepertinya merupakan puncak dari banyak kejadian janggal yang aku alami.
***
Menjelang akhir tahun, biasanya adalah waktu di mana kepadatan pekerjaan semakin meninggi, oleh karena itulah aku jadi seringkali pulang malam di saat-saat seperti ini.
Masih lekat dalam ingatan, waktu itu hari senin di bulan November 2007, jam 10 malam aku masih di kantor.
Sebenarnya, perusahaan menyediakan tempat layak apa bila ada karyawan yang bekerja sampai larut dan harus bermalam di kantor karena berbagai hal.
Tapi, hari itu aku harus pulang karena sebelumnya istri memberi tahu kalau anak kami mengalami demam tingggi, aku jadi kepikiran
Iya, aku benar-benar harus pulang saat itu juga.
Singkatnya, setelah sudah siap semua, sekitar jam setengah sebelas aku memulai perjalanan.
Motor kesayangan yang selalu setia menemani kembali harus menjalankan tugasnya mengantarku pulang, menembus jalanan di tengah belantara Kalimantan.
Malam itu aku berkendara sendirian..
Tentu saja, di sepanjang jalan aku sama sekali gak melihat atau berpapasan dengan kendaraan lain, jalanan sepi dan kosong, berpagar pepohonan dan tumbuhan rapat berbaris rapih pada sisinya.
Ditambah keadaannya sangat gelap, satu-satunya penerangan hanya bersumber dari lampu motorku saja, gak ada yang lain.
Biasanya, bulan dan langit bisa memberikan serpihan cahaya, suasana jadi gak terlalu kelam. Tapi kali ini beda, angkasa kelihatan kusam, awan tebal menggantung, gak ada sinar bulan. Jadinya malam semakin kelam, agak mencekam.
Jaket kulit sedikit bisa manahan terpaan angin, tapi tetap dinginnya masih terasa menembus sampai ke rongga dada.
Laju motor kupacu sedikit lebih cepat dari biasanya, ingin cepat sampai di rumah untuk dapat melihat keadaan si kecil yang sedang sakit.
Kurang lebih sudah empat tahun lamanya aku melewati jalan yang sama, jalur yang sama, karena itulah hampir setiap kelokannya aku sudah sangat hapal.
Karena sudah sangat hapal dan ditambah kondisi jalan yang kosong melompong, dengan kecepatan di atas rata-rata, kurang dari satu jam aku sudah memasuki wilayah Magalau.
Seperti yang sudah aku ceritakan di awal, jalan di Magalau memiliki kontur yang menantang, banyak tanjakan, kelokan, serta tikungan tajam. Makanya, di sini aku sedikit mengurangi kecepatan, lebih fokus dan konsentrasi.
Karena gelap, aku jadi susah melihat jam tangan, jadinya hanya bisa mengira-ngira saja sudah pikul berapa saat itu. Tebakanku kira-kira sudah jam setengah dua belas.
Motor terus kupacu, sudah belasan tikungan terlewati, tanjakan turunan terlalui, yang ada dalam pikiran hanya ingin cepat sampai rumah.
Tapi beberapa menit berikutnya ada sesuatu yang terjadi, ada keanehan yang akhirnya membuat kembali harus menurunkan kecepatan. Keanehan yang sebelumnya sudah pernah aku alami.
Tepat ketika baru saja melewati satu tikungan tajam, yang sejak tadi hanya suara mesin motorku saja yang kedengaran, tiba-tiba aku mendengar ada suara lain, samar tapi ada.
Terdengar ada keriuhan, seperti suara banyak orang yang sedang berada di satu tempat, ada yang bersahutan, berbincang, tertawa, ada yang sedang saling memanggil, pokoknya suara banyak orang sedang berinteraksi, Ramai!
Mendengar itu, sontak aku langsung memperlambat laju motor, lalu memperhatikan sekeliling, melihat ke kanan kiri, coba mencari sumber suara. Tapi aku gak menemukan apa-apa! Hanya sepi dan gelap layaknya belantara di tengah malam.
Lalu suara itu dari mana munculnya? Entahlah, yang pasti detik berikutnya aku mulai merinding, perasaan mengatakan kalau kali ini kejanggalan sudah merunut seram.
Coba mengabaikan, aku kembali tancap gas.
Tapi suara itu tetap ada, “keramaian” tetap terdengar, kadang samar kadang sangat jelas.
Sampai entah berapa menit kemudian, suara itu berangsur hilang. Aku kembali mempercepat laju motor.
Tapi ketenangan hanya sebentar, berikutnya ada kejadian yang berbeda lagi.
Gak mendadak, tapi perlahan aku kemudian mendengar suara yang lagi-lagi sebelumnya sudah pernah terdengar.
Ada dengungan.
Aku bingung cara menggambarkan bunyi ini, intinya terdengar seperti suara lebah tapi dengan volume tinggi, kira-kira seperti itu.
Dengungan ini belum mengganggu kalau masih samar, tapi akan menganggu kalau sudah sangat jelas dan dengan frekuensi tinggi.
Buat aku, lama kelamaan mendengar dengungan ini kepala menjadi pusing, kemudian perut berangsur mual, ingin muntah dan berkeringat dingin, entah kenapa bisa begitu.
Sama, yang aku rasakan saat itu juga begitu, lama kelamaan dengungan jadi semakin jelas, dan frekuensinya meninggi. Perlahan aku merasakan pusing, perut mual, tapi masih terus memaksa diri untuk melanjutkan perjalanan.
Tapi akhirnya aku menyerah, ketika mulai turun keringat dingin.
Aku tepikan motor, berhenti di sisi jalan. Membuka helm, lalu menarik napas panjang, coba menyerap oksigen banyak-banyak.
Setelah itu, perlahan aku mulai pulih, pusing mual dan keringat dingin berangsur hilang. Saat itulah aku sadar kalau ternyata suara dengungan juga hilang, keadaan kembali sepi, senyap layaknya hutan belantara.
Ketika kondisi badan sudah agak bugar, aku memutuskan untuk melanjutkan lagi perjalanan. Namun ketika hendak memakai helm, tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara kendaraan yang melintas.
Sangat jelas, aku mendengar suara mesin mobil yang sedang melintas cepat, anginnya sampai terasa menggoyang motor dan badanku. “Wuuuussssssshh..”
Yang melintas bukan hanya satu kendaraan, tapi ada tiga, aku menghitungnya, aku yakin itu.
Tapi ada yang menyeramkan, ternyata aku hanya mendengar suaranya saja, hanya merasakan anginnya saja, sama sekali aku gak melihat wujud bentuk dari kendaraan itu!
Jalanan tetap kosong, tetap sepi, tetap gelap!
“Ya Tuhan, apa yang baru saja melintas?” aku bertanya dalam hati.
Masih kebingungan, aku langsung memakai helm lalu tancap gas. Suasana semakin mencekam, semakin gak jelas.
***
Seharusnya, aku sudah menemui satu atau dua rumah penduduk.
Perhitunganku, harusnya sudah melewati daerah Magalau. Tapi ini nggak, jalan yang aku tempuh masih di tengah-tengah hutan, masih sepi dan gelap, sama sekali gak kelihatan bangunan atau rumah penduduk.
Gak ada pilihan lain, selain terus maju mengikuti jalan, berharap gak tersesat.
Aneh, karena seharusnya aku sudah hapal dengan wilayah ini, tapi sekarang seperti sedang melintasi jalan yang belum pernah aku lewati, sama sekali asing.
Di manakah ini? Apa aku tersesat? Pertanyaan-pertanyaan itu mulai muncul.
Belasan detik berikutnya, bait-bait doa mulai mengalir dalam hati ketika menyaksikan kabut tipis mulai turun menghalangi pandangan, lampu motor yang tadinya jauh memberikan luas penerangan tiba-tiba jadi terhalang.
Laju motor semakin lambat seiring dengan semakin tebalnya kabut, menyebabkan jarak pandang semakin pendek.
Tapi terus saja aku ikuti jalan, perlahan, tapi terus bergerak maju. Di titik ini aku merasa benar-benar sendirian, dalam cekam di satu sisi Borneo.
Kabut semakin tebal dan semakin tebal, hingga akhirnya aku hanya bisa melihat beberapa meter ke depan, motor melaju sangat pelan.
Entah sudah berapa menit kemudian, ketika akhirnya aku harus berhenti.
Ternyata, di depanku persis jalan gak lagi hanya lurus satu jalur. Jalan jadi terbelah dua, menikung ke kanan dan ke kiri. Aku menemui persimpangan!
Persimpangan yang aku merasa kalau sebelumnya gak pernah ada.
Harus berpikir cepat jalan mana yang harus aku pilih, ke kanan atau ke kiri. Kembali ke tempat kerjaku bukan merupakan opsi.
Perhitunganku, aku harus mengambil jalan ke kiri, karena kalau ke kanan akan terus masuk ke hutan, sementara ke kiri seharusnya menuju kota Batu Licin di pesisir pulau, harusnya seperti itu.
Ya sudah, perlahan aku kembali berjalan walau masih banyak keraguan, mengikuti jalan berbelok ke kiri.
Belum ada perubahan, kabut masih menghalangi pandangan, jarak pandang masih terbatas.
Tapi gak lama, sekitar dua atau tiga menit kemudian kabut perlahan menghilang.
Iya, kabut perlahan menghilang sampai akhirnya lenyap sama sekali. Kemudian, kecemasanku berangsur luntur ketika melihat langit tiba-tiba menjadi cerah, ribuan bintang terlihat cahayanya.
Melihat itu, aku jadi semakin percaya diri untuk kembali mempercepat laju motor.
Tapi ternyata belum bisa seperti itu, kenapa? Karena ternyata aku masih belum juga mengenali wilayah ini, masih merasa asing, aku yakin belum pernah melintas di sini sebelumnya.
Ini di mana sih?
Semakin bingung lagi ketika satu persatu aku melihat ada bangunan besar di kanan kiri jalan. Bangunan besar itu sepertinya rumah, setidaknya itu yang ada di pikiran.
Oh iya, jalanan juga terus-terusan menanjak, seperti sedang menuju ke ketinggian.
Aku terus mengikuti jalan, sementara bangunan rumah di sisi semakin lama semakin banyak, tapi mungkin karena sudah tengah malam aku belum juga melihat ada orang lalu lalang, tetap sepi dan kosong.
Yang aneh lagi, jalan yang sedang aku lintasi ini lama kelamaan semakin lebar dan bagus, gak sempit seperti sebelumnya. Ini di mana sih?
Tapi sekitar lima menit kemudian aku sampai di tempat di mana aku bisa membenarkan dugaanku sebelumnya. Jalan yang sejak tadi menanjak akhirnya sampai puncak ketinggian, aku tiba di tempat yang letaknya di atas. Dari sini aku dapat melihat pemandangan kota yang ada di bawah.
Saat itulah aku memutuskan untuk menepi, berhenti sejenak. Dari situ aku melihat banyak pemandangan yang membuat aku jadi sangat kebingungan.
Pertama, jalan yang ada di hadapan manjadi dua lajur, masing-masing lajur sangat lebar dan dipisahkan oleh separator yang bentuknya seperti taman kecil yang indah.
Lampu jalan berbaris menerangi, cahayanya terang temaram, sangat indah dipandang mata.
Kedua, rumah-rumah yang ada di pinggir jalan ukurannya besar-besar dan megah, rumah mewah. Aku yakin itu rumah, bukan bangunan lain, karena bentuknya memang rumah.
Sama sekali aku belum pernah melihat rumah sebesar dan semegah ini sebelumnya, di mana pun juga, belum pernah.
Ketiga, ini yang paling membingungkan, di kejauhan aku sudah bisa melihat lautan, tapi gak jauh di seberang laut ada ada pulau kecil yang isinya kerlap-kerlip cahaya kota besar. Iya, cahaya lampu kota besar!
Kenapa aku bilang kota besar? Karena banyak terlihat gedung-gedung menjulang tinggi, selain gedung tinggi juga ada bangunan besar lainnya yang juga memancarkan cahaya.
Intinya, aku melihat gemerlap kota besar modern nan megah di pulau seberang laut, kota yang sama sekali aku belum pernah temui sebelumnya.
Aku juga melihat beberapa kapal besar sedang melintas di selat yang menghubungkan pulau Kalimantan yang tengah aku pijak ini dengan pulau kecil gemerlap kelihatan ada kota modern di dalamnya.
Dalam kebingungan, aku masih bisa sedikit mengambil kesimpulan:
“Seharusnya, kalau terus ikuti jalan ini, nanti di bawah akan sampai di batu Licin.” Begitu pikirku dalam hati.
Tapi masih ada yang mengganjal, masih banyak keraguan, masih belum berani untuk meneruskan perjalanan.
Sepinya malam seketika pecah, ketika sekonyong-konyong melintas dua kendaraan mewah melaju dengan kecepatan sedang, karena gak melintas dengan cepat aku jadi bisa melihat bentuk dua mobil itu dengan jelas.
Mobil mewah, aku tahu kalau harganya mahal, kok bisa ada di sini?
“Paman mau ke mana?”
Aku kaget, tiba-tiba sudah ada dua orang yang berdiri di sebelahku. Dua orang pemuda tampan yang menyapaku ramah menggunakan bahasa Banjar.
Lalu aku menjawab dengan beberapa pertanyaan, “Saya mau ke Batu licin, apakah jalan menurun ini akan ke Batu Licin? itu Batu licin kan?”
Aku bilang begitu sambil menunjuk ke bawah.
“Bukan, itu bukan Batu Licin.” Jawab mereka.
“Lalu itu di bawah itu kota apa?” tanyaku lagi.
“Kalau paman tersesat, lebih baik kembali, jangan diteruskan. Nanti paman malah gak akan bisa pulang.” Begitu mereka bilang, sambil tersenyum.
Kemudian mereka lanjut melangkah meninggalkan aku yang semakin kebingungan
Gak bisa pulang? Kok jadi seram?
Itu kota apa sih yang ada di pulau? kota besar megah dan modern, Ini di mana sih?
Mulai panik, nyaris menangis, tapi akhirnya akal sehatku jalan, memutuskan untuk mengikuti anjuran dua pemuda misterius tadi, balik arah, kembali ke arah aku datang sebelumnya.
Motor kupacu dengan cepat, coba menjauh dari kota aneh itu.
Melintas di jalan sebelumnya, yang semakin lama semakin menyempit.
Beberapa menit kemudian perlahan turun kabut tipis.
Nyaris bersamaan dengan turunnya kabut, perlahan aku mendengar suara dengungan yang mengganggu itu lagi, semakin lama frekuensinya semakin tinggi.
Seperti sebelumnya, lama kelamaan kepalaku menjadi pusing, perutku mual, karena mengdengar dengungan itu.
Puncaknya, keringat dingin mulai bercucuran. Gak tahan lagi, aku menepi, berhenti di sisi jalan.
Tapi ada yang berbeda dengan sebelumnya, dengungan semakin jelas terdengar, memekakkan telinga, kepalaku tambah sakit, mual semakin menjadi-jadi, badanku lemas, keringat dingin bercucuran.
Setelah itu aku gak ingat apa-apa lagi.
***
Keesokan paginya, aku tersadar di rumah salah satu penduduk.
Ternyata, sebelumnya aku ditemukan warga sedang tergeletak pingsan di pinggir jalan, lokasinya sekitar satu jam dari Batu Licin.
Gak lama-lama berbincang dengan penduduk yang baik hati itu, aku langsung pamit pulang, ingin melihat keadaan anak dan istriku.
Peristiwa apakah yang aku alami malam sebelumnya? Kota megah apa yang aku lihat di kejauhan? Aku tersasar ke tempat apa?
Pertanyaan-pertanyaan yang sampai detik ini belum juga terjawab.
Yang pasti, malam itu aku melihat ada kota modern nan megah berdiri di pulau kecil gak jauh berseberangan dengan Batu Licin. Padahal sebelum dan sesudahnya aku gak pernah melihat itu semua, gak pernah ada, sampai sekarang.
***
Balik ke gw lagi ya, Brii..
Masih banyak kisah aneh menjurus mistis di setiap sudut Indonesia, satu persatu gw akan coba menceritakannya.
Sekian untuk malam ini. Tetap sehat, supaya bisa terus merinding bareng.
Semoga mimpi indah,
Salam,
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Bali, gak perlu dijelaskan panjang lebar lagi kalau pulau ini merupakan salah satu tempat terindah di muka bumi, eksotis di berbagai sisi.
Tempat tujuan paling diidamkan oleh banyak wisatawan, dalam dan luar negeri. Terkenal juga dengan sebutan Pulau Dewata, tempatnya para Dewa.
Tapi gak bisa dipungkiri juga kalau Bali punya banyak cerita mistisnya. Salah satunya adalah peristiwa yang dialami oleh salah satu teman kita berikut ini.
Simak di sini, di Briistory..
***
Aku Irene, tinggal dan bekerja di Jakarta, pernah mengalami peristiwa menyeramkan yang gak masuk di akal.
Pengalamanku ini berawal ketika bersama dua teman dekat berlibur ke Bali, gak menggunakan pesawat, kami memilih untuk mengendarai mobil, road trip istilahnya.
Perjalanan malam seringkali membuahkan kisah seram.
Seperti yang pernah dialami oleh salah satu teman kita Rizky, ketika dia menggunakan angkot untuk kembali ke tempat kost-nya di Jatinangor pada suatu tengah malam.
Simak kisahnya di sini, di Briistory.
***
Aku Rizky, Mahasiswa angkatan 2005 salah satu kampus di Jatinangor, Jawa Barat.
Yang akan aku ceritakan kali ini adalah peristiwa yang aku alami sendiri pada tahun 2006.
Begini ceritanya..
Seperti mahasiswa lain yang berasal dari luar daerah di mana letak kampus berada, aku yang berasal dari Sukabumi harus ngekost juga.
Tempat kostku gak teralu jauh dari kampus, masih bisa dijangkau dengan jalan kaki untuk pulang pergi kuliah.
Malam ini, gw akan membahas sedikit tentang satu mahluk yang bisa dibilang salah satu urban legend di Indonesia, yaitu tuyul.
Ini sekadar berbagi cerita aja, silakan diambil hikmahnya kalo ada.
Yuk simak yuk, di sini, di Briistory..
***
Kayaknya udah gak ada yang gak tau tuyul, hampir semua orang di Indonesia udah tahu. Jadi gw gak perlu lagi menjelaskan apa itu tuyul ya.
Intinya, tuyul adalah mahluk ghaib yang bentuknya anak kecil, gundul, kerjaannya mencuri uang, dan sering kali memiliki tuan.
Banyak mitos mengenai tuyul, gw gak tau pasti itu beneran mitos atau malah fakta. Satu yang pasti, pendapat kebanyakan orang akan bilang kalau tuyul ada tuannya, sang tuan inilah yang memelihara si tuyul, si tuan ini juga yang memerintahkan dan menyuruh tuyul untuk mencuri uang.
Banyak ketakutan dalam pikiran ketika sedang di kamar mandi, sering kali memaksa diri untuk lekas selesai karena merasakan ada yang aneh, padahal mungkin hanya pikiran jelek saja.
Ah, tapi bisa juga terjadi beneran kan?
Simak cerita kali ini, tentang hantu di kamar mandi.
***
Kamar mandi, satu ruangan yang selalu ada di setiap bangunan, entah itu rumah, kantor, tempat ibadah, mall, dan lain sebagainya, kamar mandi pasti ada.
Ya memang tujuan dibuat untuk memenuhi salah satu hasrat manusia, yaitu membersihkan diri alias mandi, buang air, atau kegiatan lainnya.
Lagi-lagi, perjalanan menuju satu tempat menghasilkan kisah membuka tabir gelap. Benturan dua dimensi gak terelakkan, menjadi suguhan kisah seram.
Prio, pemuda asal Jogja, akan menceritakan kisahnya ketika menyusuri jalan lintas selatan Jawa. Simak di sini, di Briistory..
***
Jam delapan malam aku sudah di atas motor kesayangan, menyusuri jalan lintas selatan pulau Jawa.
Aku bekerja di Purwokerto, malam jumat ini harus pulang ke Jogja karena ayah masuk rumah sakit.
Bukan kebiasaanku untuk pulang mendadak seperti ini, jadwal pulang biasanya dua minggu atau malah satu bulan sekali. Tapi ini harus aku jalani, walaupun salah satu kakak bilang kalau aku gak perlu pulang, keluarga besar sudah banyak yang menemani dan mengurus keperluan Ayah.
Tempat baru, suasana baru, seharusnya menyenangkan. Tapi kita harus sadar kalau semua tempat pasti punya sejarah di belakang, termasuk tempat kost.
Seorang teman akan bercerita kisah seram yang dia alami di tempat kost Senopati, Jakarta.
Simak di sini, di Briistory.
***
Jakarta, kota metropolitan yang sama sekali belum pernah aku kunjungi, kota besar dengan tingkat keruwetan di level tinggi. Tapi apa mau dikata, garis hidup menuntun aku untuk tinggal dan mencari nafkah di Ibu Kota negara ini.
Aku Ovie, perempuan 28 tahun asal Jambi. Sudah empat tahun lebih jadi penduduk Ibu kota, sejak lulus kuliah dulu. Mau gak mau, aku jadi terbiasa dengan ritme hidup dan suasana Jakarta.