Menarik. Konten gratisnya (.com) memuat pernyataan pejabat, konten berbayarnya (.id) membuat reportase lapangan, datang ke lokasi, mewawancarai petani, dan mengambil foto.

Mari mulai membiasakan diri dengan konten (non-fiksi) yang berbayar. amp.kompas.com/money/read/202…
Karena gratis, biaya produksi informasi akan cenderung ditekan seminimal mungkin agar margin keuntungan iklan tetap besar. Kasus detikcom atau berita Tribunnews adalah contoh.

Media yang tergantung pengiklan daripada pelanggan, juga cenderung menomoduakan kepentingan pembacanya.
Ini yang terjadi pada televisi "free to air" di Indonesia. Sejumlah konglomerat diberi izin frekuensi, dan menjual "air time" nya kepada pengiklan sebagai satu-satunya pemasukan.

Hasilnya, orang mulai berhenti menonton TV dan cari konten yang lebih baik. Meski berbayar.
Tapi masalah lain muncul. Di sebuah negara di mana ekosistem konten berbayarnya rendah (budaya literasi, prioritas pada sembako, dll), apakah artinya informasi berkualitas hanya beredar di kalangan yang bisa membayar?

Di sinilah perlunya negara punya media publik seperti BBC.
TVRI, RRI, dan Antara idealnya mengambil peran itu. Tak boleh ambil iklan, dan seluruh operasinya ditutup dana publik. Tapi ini NKRI. Semua teori mati muda di sini.

Media-media negara ini justru dikooptasi kepentingan politik, justru karena anggarannya diatur politisi.
Maka media seperti BBC memungut iuran dari warga. Sehingga sejak awal, pemerintah tahu uang itu untuk BBC. Petinggi BBC tak perlu menjilat atau tunduk pada pemerintah untuk mendapatkan anggarannya sendiri.

Sebenarnya pers mahasiswa sudah beini. Mahasiswa baru dipungut. Tapi...
Di beberapa kampus, mahasiswa diminta membayar biaya penerbitan mahasiswa. Uang ini untuk membiayai pers mahasiswa. Birokrat kampus seharusnya hanya mengadministrasikan dan menyalurkan. Tapi yang terjadi, dana ini dijadikan tali kekang terhadap konten pers mahasiswa itu sendiri.
Mereka ikut menyensor dan menentukan isi. Malangnya, banyak pers mahasiswa yang memilih tunduk asalkan uangnya bisa turun dan medianya bisa terbit. Padahal itu uang mereka sendiri.
Kesimpulan: media yang ideal adalah media berbasis komunitas (pembacanya). Dibiayai dan dikontrol oleh pelanggannya. Sebenarnya ini kembali ke konsep lama, zaman koran belum dikuasai pengiklan, dan surat pembaca benar-benar mendapat tempat terhormat. ***

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Dandhy Laksono

Dandhy Laksono Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @Dandhy_Laksono

9 Feb
Seorang maestro atau virtuoso menginvestasikan waktu dan dedikasi total pada satu bentuk keahlian seni (sebagai profesi).

Tapi kesenian rakyat punya corak sendiri. Mereka tetap bertani, beternak, sambil menyulap desanya menjadi "sanggar tari".

Segera di Watchdoc Kolaborasi.
Salah satu indikator kesejahteraan adalah jika ekonomi sebuah masyarakat menghasilkan surplus waktu, yang dipakai untuk berbagai ekspresi dan aktualisasi.
Dan indikator itu bisa dilihat dalam kesenian rakyat. Bukan dalam konsep profesi seperti seniman-seniman istana sepanjang sejarah. Produk mereka mungkin "masterpiece", seperti Mozart atau Raden Saleh. Tapi tak bisa dipakai jadi tolok ukur kesejahteraaan sosial.
Read 4 tweets
16 Jan 20
Membaca kelimanya lebih terkesan perkara administrasi birokrasi daripada menguji apakah konten TVRI saat ini benar-benar menjalankan mandat sebagai TV publik.

Sepanjang sejarah keributan di TVRI, tak pernah masuk pada substansi ini.

kumparan.com/kumparannews/5…
TVRI sebagai media sebenarnya sudah lama kehilangan pengaruh. Pukulan pertama dari TV swasta 1990-an. Pukulan kedua jatuhnya rezim Soeharto. Karena corong, ia ikut jatuh. Pukulan ketiga dari teknologi, mulai VCD sampai Youtube kini.

Jika TVRI harus ribut, mestinya ini topiknya.
Dewan Pengawas atau Direksi mestinya diangkat dengan menjalankan mandat menjadikan TVRI lembaga penyiaran publik seperti BBC, NHK, atau KBS. Apalagi di tengah putus asa publik pada TV-TV swasta yang dikuasai oligarki, jadi corong politik, dan programnya hanya untuk mencetak uang.
Read 6 tweets
18 Sep 19
Hari-hari ini adalah saat yang tepat untuk mengingat kembali, bahwa kita sebagai bangsa pernah punya standar moral yang tinggi dalam menghindari konflik kepentingan dan korupsi di kalangan pejabat publik.

-- A THREAD --
Rahmi Hatta pernah bercerita, tahun 1970-an, Gubernur Ali Sadikin ingin membantu biaya listrik rumah Bung Hatta di Jalan Diponegoro, Jakarta.

Tapi Ali Sadikin khawatir Bung Hatta menolak. Lalu ia membuat narasi Bung Hatta sebagai "Warga Teladan" sehingga bebas biaya listrik.
Kisah lain yang kerap kita dengar adalah bagaimana Bung Hatta melarang keras trio Meutia, Gemala, dan Halida menggunakan mobil dinas, untuk keperluan keluarga seperti antar jemput dari rumah Jalan Proklamasi ke tempat peristirahatan keluarga di Mega Mendung.
Read 12 tweets
29 Aug 19
5 Cara Berpikir tentang Papua yang Membuat Kita Tak Merasa Menjadi Penjajah.

1. Jika Papua merdeka, apa kehidupan mereka akan lebih baik?
2. Papua merdeka adalah agenda asing.
3. Semua akan minta merdeka.
4. Apakah SDM-nya siap?
5. Pejabat Papua juga korup.

-- A THREAD --
1. “Apakah jika merdeka, kehidupan mereka lebih baik?”

Apakah bersama NKRI kehidupan di Papua lebih baik? Apakah setelah merdeka dari Belanda ---yang membangun infrastruktur, sistem pendidikan, kesehatan, birokrasi, bahkan sistem hukum--- kehidupan rakyat Indonesia lebih baik?
Jika jawabannya “iya”, berarti Papua berhak punya peluang yang sama.

Jika jawabannya “tidak”, mengapa kita memaksa mereka ikut tidak bahagia bersama kita?
Read 15 tweets
27 Jun 19
HTI sebagai ormas dinyatakan terlarang, tapi gagasannya tentu tak hilang. Menjadi keyakinan orang per orang. Ada yang jadi penceramah, pegawai negeri, atau guru.

Lalu yang beda pandangan mengira, kalau organisasi sudah dilarang, gagasan lantas ikut mati atau wajib ditinggalkan?
Gagasan tak bisa mati. Ia hanya akan ditinggalkan jika ada gagasan baru yang dianggap lebih kuat. Maka sepanjang tak ada kekerasan atau ujaran kebencian, orang dan gagasannya tak bisa dianggap kriminal atau "musuh negara".

Ini dasar demokrasi. Kalau dasar saja gagal, ya repot.
Berlawanan dengan "ideologi negara" bukan berarti kriminal sepanjang tak ada kekerasan atau ujaran kebencian. Sebaliknya, mengapa negara yang dilengkapi instrumen-instrumen "dakwah ideologi" seperti 300 ribu sekolah, izin frekuensi TV/radio, justru takut pada gagasan tanding?
Read 11 tweets
23 May 19
Apa contoh unjuk rasa damai yang bisa dijadikan acuan untuk menyampaikan aspirasi di NKRI?

5 tahun warga Bali menolak reklamasi yang tak digubris?

12 tahun Aksi Kamisan yg tak satu pun diselesaikan?

Atau 50 tahun warga Papua yg kerap berakhir dengan persekusi dan penangkapan?
Kerusuhan jelas satu hal. Tapi Indonesia juga gagal memberikan pendidikan politik bahwa jalan aspirasi damai lebih efektif.

Ada petani Kendeng menyemen kaki dan menang di MA, tapi pabriknya jalan terus. Ada presiden yang merespon perampasan tanah dengan "wong cuma demo aja lho".
Dalam kasus Papua, sayap gerakan politik damai seperti Theys Hiyo Eluay yang pernah dirangkul Gus Dur, justru dibunuh (2001), dan para pelakunya naik pangkat. Sehingga memaksa orang berpikir jika risiko sama-sama mati, mending angkat senjata saja.
Read 9 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!