🕉️ Om Swastiastu, Rahajeng semeng semeton sami, dumogi setate kenak lan ngemangguhang kerahayuan sareng sami 🙏
Nabe ( Sang Guru )
Dalam tradisi hindu di Bali ada yg disebut Sang Sulinggih (Ida Pedande), mereka (dia) yg telah melewati upacara madwijati (masuci,madiksa,mabersih,
mapeningan, atau juga ada yg menyebut dgn mapodgala). Mereka itu yg berkeinginan menjadi Sang Sulinggih telah menyiapkan dirinya secara sekala dan niskala. Sang sisia, setelah memantapkan dirinya bersiap untuk berkosentrasi mempelajari ajaran suci.
Di Bali dlm tradisinya, bagi
laki-laki biasanya menyiapkan diri setelah melewati masa produktif kerja dan menikah (grhasta); memasuki yg dlm idealnya disebut wanaprasta, di Bali wanaprasta bagi sang sisia ini justru dimulai pula masa brahmacari, tahap proses belajar kerohanian. Bandingkan dengan pengertian
brahmacari dalam konteks ajaran catur asrama hindu india plus bandingkan dgn tradisi upanaya, demikian pula bandingkan bahwa dlm tradisi bali, perempuan diizinkan menjadi pendeta sekalipun tdk menikah (kelak disebut Ida Pedande Kanya/Kania).
Tradisi keagamaan Bali mewariskan
sang sisia yg akan menentukan mencari sang nabe, sang guru); berbagai alasan dipergunakan; yg pertama, pertalian darah, pertalian hubungan historis dlm guru masisia, kesamaan mashab juga pertimbangan 'desa, kala, patra'. Jadi sang sisia akan mempertimbangkan banyak hal ketika
menentukan, siapa yg akan dipinangnya menjadi Sang Nabe. Sebaliknya, Sang Nabe pun demikian akan mempertimbangkan permintaan calon sisiannya, apakah akan menerima ataukah tidak permohonan tersebut. Dari tradisi ketelitian Guru Nabe sangat menentukan kelak kesempurnaan sang sisia.
Apabila telah ada kesepahaman, kemantapan di hati juga pertimbangan seluruh keluarga, maka sang calon sisia akan dikenalkan mengenai " nihan ta cilakramaning aguron-aguron, haywa tan bhakti ring guru, haywa himaniman, haywa tan cakti ring sang guru, hyawa tan sadhu tuhwa,
haywa nikelana sapatuduhing sang guru, haywangideki wayangan sang guru, haywanglungguhi palungguhing sang guru. (dikutip dari Cilakrama)"
Sang sisia saat telah diterima sebagai seorang nabe (mahaguru): maka akan otomatis mentaati tatatertib; janganlah tidak bakti terhadap guru,
jgnlah mencaci maki guru, jgnlah segan kepada guru, jgn tdk tulus, jgn menentang segala perintah guru, jgn menginjak bayangan guru, jgn menduduki tempat duduk guru.
Hubungan sang sisia (kang nanak) dgn sang nabe ditertibkan dgn sgt ketat, bahkan kenyataan calon sisia
(calon Pendande di Bali) jarang bahkan tdk berani terlalu sering bertemu dgn sang nabe, sebab ada aturan sebagai berikut; seorang sisia tdk diperkenankan duduk berhadap²an dgn Sang Nabe, tdk diizinkan memutus pembicaraan Sang Nabe, harus menuruti perkataan/apa yg diucapkan
Sang Nabe, bila Sang Nabe datang tanpa direncanakan, sang sisia harus turun dari tempat duduknya, menunduk sampai diizinkan berdiri, bila diizinkan berjalan bersama, sang sisia berjalan di belakang dlm jarak dimana bayangan Sang Nabe tdk akan terinjak kakinya. Demikian pula
aturan menyahuti ucapan Sang Guru, selalu dlm aturan yg ketat; kemudian tdk emosi, terpancing membantah apabila dimarahi ataupun dinasehati, ditegur. Demikian pula dlm aturan sujud bakti, ada tata tertib yg ketat harus ditaati oleh sang sisia.
Sang sisia jauh² hari baik karena
tradisi maupun diberitahu oleh guru pendampingnya (Guru Waktra), mengenai aturan busana sampaipun rambut. Perhatikan bahwa tradisi menggunakan Bhawa (aketu agung) hanya dikenal dlm tradisi ahindu di Bali; sebab dlm Hindu Bali, dikenal penataan hiasan rambut ini beragam,
dlm tradisi Bali dikenal Aketu Agung, kemudian dikenal pula dgn Abhawa Ron, mendandani rambut dgn daun, Adastar menggunakan destra, Abebed Sirah; memakai serban, bergundul (amundi), kemudian rambut yg dijalin kelihatannya sebagai mahkota (aketujata), dihias dgn buah-buah kecil yg
bulat atau dlm istilah sankerta disebut Rudraraksa atau dlm istilah kawi jawa disebut Aketu Ganitri, kemudian terurai (angrure): biasanya Pedande Budha yg lelaki melakukan angrure, kemudian dikenal pula sanggul rambut sebagai Amrabku, ada juga rambut di tengkuk kepala, disebut
anondong; dst….termasuk akuncir alit; dikenal di india pada sadhu². Jadi tata krama hiasan rambut dlm tradisi pendeta di Bali memang berbeda dgn tradisi yg ada di India. Demikian pula pemakaian busana, dstnya.
Sang calon sisia pun mulai melatih diri dlm aturan makan, yg boleh
dan tdk diperbolehkan. Bandingkan dgn laku vegetarian, tradisi di Bali justru menjelaskan aturan makan dan minum bagi pedande dgn jelas & teliti, perhatikan bagi Pedande dgn garis Civait dilarang makan daging babi yg dipelihara ( celengwanwa), ayamwanwa, krurapaksi, nilapaksi,
atat,syung, dst. Kemudian mengenai pantangan memakan binatang pancanaka kecuali beberapa yg diizinkan, mengenai larangan memakan makan dari yang hidup di dlm tanah seperti bhuhkrimi, bekut,, pramikirimi, berbagai jenis ulat, serangga, dll. Aturan mengenai yg tdk boleh dimakan
tanbhaksyana, dst. Demikian pula soal minuman, kehadiran berjudi, tata cara berteduh, tata cara menempati rumah,melakukan jual-beli, berhutang, dst.
Banyak hal kemudian kini ditafsir seolah aturan-aturan itu sebagai tata krama feodal, padahal itulah brata (tapa) pengendalian
diri seorang calon sisia yg akan menjadi seorang pendeta. Ini adalah bagian keyakinan dimana pembersihan diri tdk sebatas mandi, berpakaian bersih, namun jauh sampai ke dlm diri yang niskala. Demikian pula mengenai busana. Ini adalah pengenalan sepintas mengenai maguru sisia tdk
sebatas hubungan guru dgn murid, namun ada 'tatatertib' yg menjadi karakater dlm tata krama yg dijadikan mendorong seseorang yg berkeyakinan utk kelak menjadi Pedande, yg akan menjadi 'Surya' bagi umatnya. Berbeda dgn model hubungan guru murid di sekolah atau di pasraman modern
yg mengadopsi gaya² tradisi agama yg berbeda mashab dan budaya yg berbeda, maka di Bali tradisi maguru sisia memiliki kekhasan sendiri.
Menurut saya sepatutnya bagi yg meyakininya, menjaga tradisi maguru sisia ini, bukan justru mencoba² menggantikannya dgn tradisi yg berbeda.
Atau mengaburkan dgn menyamaratakan hubungan sisia (umat) dgn 'Suryanya' (Pedande) bahkan kemudian mengira jika telah menjadi guru agama atau meminpin pasraman ada dalam posisi sebagai nabe. Pengenalan sepintas ini sesungguhnya bersifat pula fleksibel, masing-masing keluarga,
klan, dsbnya memiliki pula tambahan dan pengembangan aturan antara sang sisia dan Sang Nabe, sungguh bijak pula tdk menyeragamkannya, mengira ada yg salah dlm salah satu kebiasaan dan mengira ada yg lain yg lebih benar. Sebab ini adalah masalah keyakinan dlm maguru sisia
dlm lingkup tradisi hindu di Bali.
"Tulisan seorang sahabat, yg prihatin dgn situasi di Bali"
🙏
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
AGNI (API)
Agni ini memang tak sederhana; bahwa api juga dilambang sebagai nafsu yang berkobar², tak kenal siapapun disaat murka; akan menghancurkan apapun tanpa kenal ampun. Agni juga mendapat gelaran sarwa baksa; pemakan segalanya. Namun jika api dipahami,
maka seperti api takep, yg dibuat dari dua belah serabut kelapa, dasarnya ada tapak dara; lambang harmoni inilah juga oleh para cendekiawan disebut Yoga Jiwatman; yg menolak dari segala godaan. Dikenali pula prakpak dan obor; keduanya adalah penenang bhuta kala,
penunjuk arah kemana bhuta kala itu harus menuju, kemudian dikenal pula api tetimpug, dibuat dari tiga potong bambu, jika bambu itu dibakar akan menimbulkan ledakan; namun syaratnya di ujung bambu itu dibuatkan sampian; symbol bahwa bambu itu telah dihidupkan.
Betapa malu kaum suku Sakya, mendengar junjungannya meminta², duduk ditepi jalan, mengancungkan batok kelapa. Rasanya, ambruk seluruh hati suku Sakya. Kasak-kusuk di pasar mulai mendengung," barangkali putra raja Sakya, sdh gila. Menghilang begitu saja,
muncul-muncul jadi pengemis..." Belum lagi tuduhan lain, mendengung di seluruh negeri-negeri. Tak kuasa rasanya suku Sakya menahan sakit hati dan panas isi kepala, lelah menjelaskan,"itulah ada bagian laku spiritual, itu untuk memahami, menyelamai derita, bagaimana sakitnya
menanti pemberian...bagaimana rasanya merasa tak memiliki apa², selain diri yg hanya bergantung pd isi perut!"
Gautama, tertegun lama, utusan dari kerajaannya berdatangan, menyembahnya dgn penuh duka, airmata mengalir deras memenuhi seluruh wajah utusan itu, suaranya mengisak,
Jika di Bali sabung ayam disebut sebagai Tajen yg berasal dari kata Taji alias pisau kecil yg diikatkan pd kaki ayam, di Lombok sabung ayam memiliki sebutan berbeda, yaitu Gocekan.Tentu agak mengherankan jika di kedua tempat yg memiliki
akar budaya yg sama ini, sabung ayam yg berasal dari ritual Tabuh Rah memiliki sebutan berbeda. Jika Tajen berasal dari Taji, lantas dari mana asal Gocekan? Pd zaman kerajaan Karangasem Lombok, tersebutlah seorang warga keturunan saudagar Cina bernama Goh Tjek Ang.
Orang Tionghoa ini gemar berjudi, terutama sabungan ayam. Di mana ada perjudian, di sanalah Goh Tjek Ang berada. Suatu kali, Goh Tjek Ang masuk ke dalam puri. Di dlm puri ini kebetulan sedang berlangsung sabungan ayam. Setelah sabungan ayam berakhir, di hadapan para pesabung yg
Ibu saya sudah berumur 90-an kini, sudah pikun dan senang main ceki. Dia ibu yang asyik dalam soal mengajarkan anak-anaknya megame alah nak Bali. Ibu saya tidak pernah menakuti-nakuti soal apapun jika berkaitan dengan betare, kawitan,
soal membanten; ibu saya termasuk ibu yang sangat relaks. Bahkan kadang membuat saya tersenyum jika mengingat; hal-hal kecil yg membuat logika, nalar saya tersentak, suatu hari, ibu menata canang dan segehan, sejumlah yg akan dihaturkan di seluruh rumah. Ibu saya memercikan air,
kemudian pelukatan, kemudian tirta. Lalu memasang dupa diantara apitan canang-canang. Lalu segehan itu ditaburi garam, diperciki arak berem; Ibu saya kemudian berucap pelahan; "Tiang leleh pisan, ten nyidayang keliling, niki titiang ngayat sareng sami sane nuwenang jagat, sane
MENGAPA ‘NAK’ HINDU BALI MENCAKUPKAN TANGAN BILA SEMBAHYANG
Saya masih muda belia ketika beberapkali melakukan perjalanan ke India. Teman-teman saya saat itu, hampir semuanya penulis, setengah berbisik ketika memasuki sebuah kuil bertanya mengapa cara sembahyang mereka
(orang-orang di kuil itu berbeda dengan kamu?). Dlm pikiran teman² saya, India adalah ‘ibu’ dari ajaran Hindu, mestinya cara sembahyangnya sama dgn yg ada di Bali, namun dlm kenyataannya, cara sembahyang saya berbeda.
Begitu juga ketika saya pergi ke Malaysia,dan beberapa negara
lain, bila tidak bertemu dgn komunitas orang bali Hindu, maka yg saya temukan cara sembahyang yg berbeda.
Tahun berganti, ketika transportasi begitu cepat, internet membuat informasi melaju mendekat.
Setelah usai pembakaran sang sawa dengan segala kelengkapanya. Dilakukan kemudian nuduk galih. nuduk (memunguti), galih (tulang). tulang² itu kemudian direka ulang mengikuti bentuk tubuh. Dan setiap organnya kemudian disusuni dgn bunga-bunga tertentu serta kwangen.
Maka tubuh itu sejatinya taman bunga. Lalu dibungkus dgn kain putih. Dan dinaikan ke pengiriman. Atau ngareka dpt langsung dilakukan di pengiriman. Sedangkan di atas tempat pembakaran ditanamkan beberapa batang pohon kayu sakti.
Sejenak dalam keyakinan orang bali saat berteduh di bawah kayu dapdap itulah roh roh yang baru terjaga akan ketiadaan tubuhnya dan beberapa pengawal alam kematian mulai datang melihat lihat. Karena itu dilakukan adegan ngangonang. Dua orang berakting sebagai pengembala dan sapi.