Jika di Bali sabung ayam disebut sebagai Tajen yg berasal dari kata Taji alias pisau kecil yg diikatkan pd kaki ayam, di Lombok sabung ayam memiliki sebutan berbeda, yaitu Gocekan.Tentu agak mengherankan jika di kedua tempat yg memiliki
akar budaya yg sama ini, sabung ayam yg berasal dari ritual Tabuh Rah memiliki sebutan berbeda. Jika Tajen berasal dari Taji, lantas dari mana asal Gocekan? Pd zaman kerajaan Karangasem Lombok, tersebutlah seorang warga keturunan saudagar Cina bernama Goh Tjek Ang.
Orang Tionghoa ini gemar berjudi, terutama sabungan ayam. Di mana ada perjudian, di sanalah Goh Tjek Ang berada. Suatu kali, Goh Tjek Ang masuk ke dalam puri. Di dlm puri ini kebetulan sedang berlangsung sabungan ayam. Setelah sabungan ayam berakhir, di hadapan para pesabung yg
sedang berkumpul, ia mengatakan, jika ada warga yg memiliki seekor ayam aduan berwarna putih, berkaki putih, dgn hanya satu bulu hitam di bagian ekornya, ia siap membeli dengan harga berapa pun. Ayam jenis ini disebut Serawah Cina yg dipercaya sebagai aduan yg tdk terkalahkan.
Pernyataan ini tentu mengundang para penjudi utk mencarinya. Dan, memang tdk mudah untuk mencari jenis ayam aduan ini, walaupun telah ditelusuri ke sejumlah desa di Lombok. Diperkirakan, ayam jenis ini hanya ada di Cina. Namun demi melihat Goh Tjek Ang yg kaya raya, sekaligus
upaya untuk mencari untung yg banyak, beberapa warga justru ingin membohonginya.
Warga masyarakat berkolusi mencari seekor ayam jantan berbulu putih dan berkaki putih. Ayam ini kemudian dipermak dgn cara satu bulu pd bagian ekornya dicabut dan diganti dgn bulu ayam berwarna
hitam. Setelah nampak sempurna,ayam ini diperlihatkan kepada Goh Tjek Ang. Sesuai janjinya, Goh Tjek Ang pun membelinya dgn harga yg sgt tinggi menggunakan kepeng bolong.
Tibalah hari sabungan itu. Seluruh warga yg ada di arena perjudian tersebut tdk menjagokan ayam Goh Tjek Ang
karena mengetahui Serawah Cina itu palsu. Mereka menjagokan ayam lawannya. Sementara Goh Tjek Ang harus menghadapi taruhan yg sgt besar dari warga, baik berupa barang maupun uang. Ketika ayam mulai beradu, petaruh hiruk pikuk. Namun para petaruh menjadi tercengang karena justru
ayam Serawah Cina palsu milik Goh Tjek Ang berhasil membuat lawannya menggelepar.
Para petaruh, termasuk yg sebetulnya tdk memiliki uang, lari meninggalkan Goh Tjek Ang. Kelakuan ini ditiru oleh petaruh lain sehingga Goh Tjek Ang sgt marah sambil menjerit-jerit hingga meninggal
dunia. Namun versi lain menyebutkan, Goh Tjek Ang dibunuh oleh mereka yg kalah dlm taruhan karena khawatir tdk berhasil membayar kekalahan. Apalagi jumlah yg kalah adalah seluruh petaruh, sedangkan Goh Tjek Ang hanya seorang diri.
Tidak lama berselang setelah peristiwa itu,
wabah penyakit datang di Pajang. Warga desa yg terlibat dlm taruhan mengalami musibah terserang penyakit, tdk lama kemudian meninggal dunia. Kejadian yg beruntun ini membuat masyarakat berpikir keras mencari tahu apa yg sebenarnya terjadi. Beruntung, salah seorang tokoh spiritual
mendapatkan pewisik, bahwa wabah itu berasal dari perbuatan yang mereka lakukan terhadap Goh Tjek Ang.
Hasil dari pewisik itu menyebutkan, untuk mengatasi wabah tersebut harus dilakukan upacara. Setelah dilakukan upacara dimaksud, wabah pun terhenti.
Karena dianggap memiliki kesaktian, maka sejak itu tradisi sabung ayam di Lombok disebut Goh Tjek Ang dan karena lidah Melayu bunyinya berubah menjadi Gocekan.
Sumber: m.facebook.com/lombokheritage… @Jelantik5@pasektohpati
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Betapa malu kaum suku Sakya, mendengar junjungannya meminta², duduk ditepi jalan, mengancungkan batok kelapa. Rasanya, ambruk seluruh hati suku Sakya. Kasak-kusuk di pasar mulai mendengung," barangkali putra raja Sakya, sdh gila. Menghilang begitu saja,
muncul-muncul jadi pengemis..." Belum lagi tuduhan lain, mendengung di seluruh negeri-negeri. Tak kuasa rasanya suku Sakya menahan sakit hati dan panas isi kepala, lelah menjelaskan,"itulah ada bagian laku spiritual, itu untuk memahami, menyelamai derita, bagaimana sakitnya
menanti pemberian...bagaimana rasanya merasa tak memiliki apa², selain diri yg hanya bergantung pd isi perut!"
Gautama, tertegun lama, utusan dari kerajaannya berdatangan, menyembahnya dgn penuh duka, airmata mengalir deras memenuhi seluruh wajah utusan itu, suaranya mengisak,
Ibu saya sudah berumur 90-an kini, sudah pikun dan senang main ceki. Dia ibu yang asyik dalam soal mengajarkan anak-anaknya megame alah nak Bali. Ibu saya tidak pernah menakuti-nakuti soal apapun jika berkaitan dengan betare, kawitan,
soal membanten; ibu saya termasuk ibu yang sangat relaks. Bahkan kadang membuat saya tersenyum jika mengingat; hal-hal kecil yg membuat logika, nalar saya tersentak, suatu hari, ibu menata canang dan segehan, sejumlah yg akan dihaturkan di seluruh rumah. Ibu saya memercikan air,
kemudian pelukatan, kemudian tirta. Lalu memasang dupa diantara apitan canang-canang. Lalu segehan itu ditaburi garam, diperciki arak berem; Ibu saya kemudian berucap pelahan; "Tiang leleh pisan, ten nyidayang keliling, niki titiang ngayat sareng sami sane nuwenang jagat, sane
MENGAPA ‘NAK’ HINDU BALI MENCAKUPKAN TANGAN BILA SEMBAHYANG
Saya masih muda belia ketika beberapkali melakukan perjalanan ke India. Teman-teman saya saat itu, hampir semuanya penulis, setengah berbisik ketika memasuki sebuah kuil bertanya mengapa cara sembahyang mereka
(orang-orang di kuil itu berbeda dengan kamu?). Dlm pikiran teman² saya, India adalah ‘ibu’ dari ajaran Hindu, mestinya cara sembahyangnya sama dgn yg ada di Bali, namun dlm kenyataannya, cara sembahyang saya berbeda.
Begitu juga ketika saya pergi ke Malaysia,dan beberapa negara
lain, bila tidak bertemu dgn komunitas orang bali Hindu, maka yg saya temukan cara sembahyang yg berbeda.
Tahun berganti, ketika transportasi begitu cepat, internet membuat informasi melaju mendekat.
Setelah usai pembakaran sang sawa dengan segala kelengkapanya. Dilakukan kemudian nuduk galih. nuduk (memunguti), galih (tulang). tulang² itu kemudian direka ulang mengikuti bentuk tubuh. Dan setiap organnya kemudian disusuni dgn bunga-bunga tertentu serta kwangen.
Maka tubuh itu sejatinya taman bunga. Lalu dibungkus dgn kain putih. Dan dinaikan ke pengiriman. Atau ngareka dpt langsung dilakukan di pengiriman. Sedangkan di atas tempat pembakaran ditanamkan beberapa batang pohon kayu sakti.
Sejenak dalam keyakinan orang bali saat berteduh di bawah kayu dapdap itulah roh roh yang baru terjaga akan ketiadaan tubuhnya dan beberapa pengawal alam kematian mulai datang melihat lihat. Karena itu dilakukan adegan ngangonang. Dua orang berakting sebagai pengembala dan sapi.
Buda Cemeng Ukir, Buda Cemeng Warigadean (selikur galungan), Buda Cemeng Langkir, Buda Cemeng Merakih, Buda Cemeng Menail, Buda Cemeng Klau. Pertemuan antara sapta wara (buda) dengan panca wara (wage) disebut dengan Buda Wage (Buda Cemeng).
Hari ini disebut rerahinan (hari suci), karena pada hari ini payogan Sanghyang Manik Galih. Beliau turun ke dunia muncul dari Sanghyang Ongkara Merta. Pada hari ini “sang gama tirtha” (umat sedharma) maprakerti / melakukan pemujaan kehadapan Sanghyang Sri dgn menghaturkan canang
sari di sanggah / merajan, di “luhuring aturu” (di atas tempat tidur / plangkiran tempat tidur), dan di lumbung, memohon kehadapan Sanghyang Sri / Sanghyang Manik Galih / Sanghyang Sri Sedana / Sanghyang Rambut Sedana agar menganugrahkan kesuburan dan kesejahteraan di dunia.
1/ Lanjutan Perbedaan Jawadwipa, JawaBuddha, dan Kejawen..
2. Jawa Buda (Śiwa Buddha)
Merupakan ajaran agama Śiwa yang sudah bercampur dengan ajaran agama Buddha Mahāyāna/Tantrayāna (Wajrayāna) dan ajaran Jawadīpa. Ajaran ini mencapai puncak keemasannya pada masa
2/ Majapahit. Masyarakat Jawa sering kali menyebut ajaran ini dengan istilah agama Buda (baca: agomo Budo) saja dan penganutnya disebut wong Jawa Buda (baca: wong Jowo Budo). Naskah-naskah Jawa Baru sering juga menyebut istilah agama Buda ini. Kadangkala istilah tersebut
3/ dipakai untuk menunjuk suatu masa ketika agama Islam belum menyebar secara merata di tanah Jawa. Istilah yang kerap dipakai adalah “Jaman Buda”. Dalam kitab primbon keris atau dhuwung, tangguh (model) keris tertua masih disebut dengan tangguh Buda. Buda di sini tidak