Panggilannya Pak Dadang, seorang pemuda berwajah tampan dengan badan yang atletis dengan tinggi 1,78 cm. Bertugas sebagai penyuluh perikanan di desa nelayan.
Sebuah desa yang berada dekat dengan muara laut.Penduduknya tinggal disepanjang pantai. Dan di belakang rumah mereka terhampar tambak yang sangat luas.
Walau awalnya Pak Dadang merasakan beratnya bertugas di daerah terpencil seperti itu, bagaikan terdampar dipulau antah berantah. Namun tetap di jalani dengan ikhlas.
Sebenarnya Bapaknya tidak mengijinkan Pak Dadang untuk bekerja jauh dari orang tuanya, tetapi Pak Dadang berusaha meyakinkan Bapaknya. Berbeda dengan Umminya Pak Dadang yang bijaksana.
Meski berat dan khawatir, berusaha untuk ikhlas mengingat apa yang dilakukan putranya adalah tugas mulia. Dengan berbekal Doa akhirnya pak Dadang berangkat. Ia berjanji akan sering mengirim surat.
Penduduk desa tempat tugas pak Dadang mayoritas memakan ikan dan sagu.
Sedangkan pak Dadang adalah orang asli Bandung, yang tidak terbiasa memakan sesuatu yang berbau amis.
Untuk memenuhi kebutuhan sayuran itu, ia harus menanam sendiri di samping rumahnya menggunakan plastik atau ember bekas atau wadah yang masih bisa dimanfaatkan.
Disana, jika malam tiba, hanya lampu kapal atau lampu yang biasa dibikin sendiri dari botol bekas dikasih sumbu kain yang menerangi desa. Karena listrik belum masuk ke daerah ini. Jalur antar desa pun terhubung menggunakan kapal kecil.
Jarak antar rumah yang satu dengan yang lainnya lumayan berjauhan,
bahkan adzan saja tidak pernah terdengar. Dan mushola dibangun setelah Pak Dadang ada di desa itu, sebelumnya mereka menggunakan rumah bekas milik warga yang tidak digunakan lagi.
Kondisi seperti itu membuat Pak Dadang yang dibesarkan dilingkungan pesantren dan jauh dari keluarga, merasa tambah kesepian tinggal disana.
Semua Dinas yang petugasnya berasal dari luar daerah dan ditempatkan di daerah terpencil, didampingi oleh salah seorang putra daerah.
Begitu juga pak Dadang, dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik ternyata tidak cukup untuk menjalankan tugasnya ketika berhadapan dengan orang yang hanyavmampu bahasa daerah.
Bisa dibayangkan, seperti tersesat di luar negeri yang tidak tau bahasanya dan hanya menggunakan bahasa tubuh saja.
Kebetulan di daerah tersebut terdapat seorang Pemuda yang berbeda dengan pemuda dikampungnya.
Di saat yang lain lebih suka ke laut untuk membantu orang tua menangkap ikan, ia lebih memilih untuk melanjutkan sekolah.
Namanya Ahmad Fatahilah tapi nama itu hanya ada dalam daftar absen di sekolahnya, karena orang lebih mengenalnya dengan nama Aying.
Sosoknya pendiam, pekerja keras dan penurut serta cerdas untuk ukuran anak di daerah itu. Umurnya sepantaran dengan adiknya Pak Dadang yang berada di kampungnya.
Berkat kemauan yang keras untuk memajukan daerahnya, Kepala Desa merekomendasikan Aying untuk mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Daerah.
Sambil menunggu nelayan yang mencari ikan di Bagang, Pak Dadang menemani Aying yang dimintai tolong pemilik kapal untuk menambal kapal yang bocor.
"Sudah siang, kok belum ada Nelayan yang datang dari Bagang ya, Ying?" tanya Pak Dadang keheranan.
"Ini kan bulan purnama pak, mana ada nelayan yang melaut, kecuali yang mancing waktu pagi," jawab Aying sambil senyum.
"Oh! pantas saja, dari tadi tak perhatikan kok tumben dermaga penuh kapal," kata Pak Dadang sambil menepuk jidatnya.
"Bapak mau beli ikan apa?" tanya Aying sambil melihat wajah Pak Dadang.
"Kepingin teri yang di jemur di Bagang, rasanya kan gak asin dan kering sekali," jawab Pak Dadang.
Aying mengangguk-anggukan kepala setuju dengan yang dikatakan Pak Dadang. Suasana lengang sejenak, dari arah kejauhan terdengar suara ombak yang alun menenangkan, air laut merangsak masuk ke arah Muara sungai seperti sedang menggiring pikiran mereka.
"Pak, kalau malam bulan purnama, di kampung Bapak sana rame gak?" tanya Aying, sambil mengoleskan getah damar pada bagian yang bocor.
"Kalau di pesantren, biasanya baca sholawat, diiringi musik dari benda apa saja yang dipukul para santri. Ada yang memukul gendang, ada yang memukul ember, ada yang memukul gelas kaca.
Macam-macam, seadanya alat yang mereka bawa. Yang tidak ketinggalan itu angklung" jawab pak Dadang, sambil membantu Aying mengerok punggung kapal agar mudah ditambal.
Acara itu yang sering di tunggu-tunggu santri kalau bulan purnama. Mereka menggelar tikar di pelataran mesjid, ibu-ibu membawa makanan masing-masing nanti saling tukar makanan," lanjutnya sambil membantu Aying mengerok punggung kapal agar mudah ditambal.
"Angklung itu apa Pak?" tanya Aying yang sedari tadi menyimak cerita Pak Dadang sambil sesekali mengaduk damar dalam kaleng.
"Angklung itu alat musik dari bambu yang dimainkan dengan cara di goyangkan. Nanti kalau kamu punya uang, Bapak ajak ke Bandung," Jawab Pak Dadang.
Sesaat mereka terdiam, hanyut dengan pikiran mereka masing-masing. Tidak terasa air sudah mulai membelai bagian lutut Pak Dadang, dan Dia pun lalu pindah naik ke punggung kapal yang bocor itu.
"Kalau di sini biasanya setiap bulan purnama bakalan ada pertunjukan yang rame Pak, Bapak mau lihat gak nanti malam?" Tanya Aying sambil senyum aneh.
"Memangnya ada hiburan apa, Ying?" Tanya Pak Dadang penasaran.
Pak Dadang termenung, sambil mengingat-ngingat semua kegiatannya di daerah itu, Dia merasa tidak pernah mendengar apalagi menyaksikan acara atau hiburan apapun.
Hiburan Pak Dadang saat perlu suasana baru, Dia akan pergi memancing ke tengah Laut, atau pergi kegunung dan memandang laut dari puncak gunung.
Atau jika ingin suasana lebih modern, Pak Dadang akan pergi nonton ke Bioskop saat ke kota dan itupun harus menempuh dua hari satu malam perjalanan menggunakan kapal.
"Kalau tidak ketiduran, kita nonton pertunjukan dari sini saja!" Kata Aying, tetap dengan senyumnya yang misterius.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Senja itu tampak kuning, adat orang kampung kalau sore memiliki aura warna kuning, semua orang tidak boleh berada di luar rumah. Kata orang tua dulu penyakit menular sedang menyebar.
Pesan Almarhum Abah, setiap hari harus menyempatkan membaca Al-Quran dan Pak Dadang membiasakan membaca seusai magrib sembari menunggu waktu Isya tiba.
Sesaat mereka terdiam, hanyut dengan pikiran mereka masing-masing. Tidak terasa air sudah mulai membelai bagian lutut Pak Dadang, dan Dia pun lalu pindah naik ke punggung kapal yang bocor itu.
"Kalau di sini biasanya setiap bulan purnama bakalan ada pertunjukan yang rame Pak, Bapak mau lihat gak nanti malam?" Tanya Aying sambil senyum aneh.